Minggu, 03 November 2019

Narasi Sentimen yang Membutakan

Setidaknya narasi sentimen ini menjadi kajian universal yang bisa saja terdapat pada masing-masing kelompok afiliasi politik. Jika kita telisik lebih jauh terdapat dua kelompok besar dalam hangatnya dunia media politik hari-hari ini. Kelompok pro Jokowi (termasuk pro radikal, Anti Anies, Anti Islam, dll) dan kelompok anti Jokowi (termasuk PA 212, pro Islam, pro Anies, anti radikal) menjadi pemain tunggal dalam pentas dunia politik nasional. Tentu hal ini wajar dikala arah politik telah menyulutkan narasi pemenang (Jokowi) dan pengontrol (anti Jokowi).
Sebenarnya realitanya tidak semulus itu. Pemenang jelas dia punya mainan hebat yaitu kekuasaan, sedangkan yang anti Jokowi yang sudah kalah dua kali hanya bisa gigit jari di atas text ketidak-adilan ciptaan penguasa. Namun kedua kelompok masyarakat ini memiliki etos berpolitik yang hampir sama. Kerap kali sosial media tidak menjadi arena yang sehat untuk saut menyaut diantara mereka. Cukup menyiksa bagi akademi, indenpendent group, atau pemikir (seperti saya).
Kadang narasi yang dibangun masing-masing kelompok jauh dari narasi integrasi. Narasi kasar, menjatuhkan, bahkan kalau bisa menyerang secara personal. Inilah narasi politik saat ini yang berkembang sangat lepas di media seperti sosial media.
Kanal-kanal youtube maupun media sosial lainnya menjadi tempat penyampaian opini dan isu terbarukan. Setidaknya kebebasan ini perlu untuk diapresiasi, ditambah dengan kejelian dalam melihat fakta. Namun jika digunakan untuk menjatuhkan seseorang mending difikirkan lagi. Hidup dalam ragam perbedaan itu memang tidak gampang. Kadang kala kita harus menghargai keunggulan orang lain, kadang kala kita juga harus mengakui kekeliruan pribadi. Oleh karena itu era saat ini HARUS kiranya masing-masing kubu untuk bijak dalam menyampaikan argumen agar tidak terjerumus pada narasi yang malah membangkitkan sentimen berakibat rusaknya peradaban.
Jika sentimen yang muncul itu hanya akan menyulitkan emosi, dan emosi kemudian dibalas dengan emosi pula dalam bentuk sentimen juga. Tentu dunia bernegara kita sudah jauh dari kata sehat. Penulis berpandangan sangat wajar jika ada hasrat menggebu-gebu terutama untuk elit yang lahir baru kemaren sore. Kebanyakan dari mereka yang masih muda tidak melihat asal permasalahan secara komprehensif, hanya sangat cepat marah, dan terseinggung.
Jangan sampai sentimen yang dikedepankan dalam upaya mencari solusi. Adapun sentimen hanya membutakan terhadap fakta lain. Kebutaan fakta lain itu lah kelemahan mereka. Alangkah baik jika komunikasi politik disampaikan dengan wajar dan sopan. Jauh dari narasi mencurigai atau narasi ketidak percayaan.
Yah baru-baru ini Partai Solidaritas Indonesia kembali bercuap dengan narasi yang saya maksud. Mungkin tujuannya baik, namun cara yang salah tidak pantas mendapat apresiasi. Karena hanya menyulutkan kebencian atas narasi sentimen yang tengah dibangunnya. Mungkin dengan menyampaikan secara sopan PSI nantinya akan diterima dimasyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar