Jumat, 29 November 2019

Manusia dan Rasionalitas

Karena saya lebih sering menyendiri, menulis, membaca, dan memikirkan (mungkin sama dengan menghayal) di kala senggang, menyebabkan banyak hal yang menjadi konsensus yang tercipta dalam pola hidupan manusia ini. Konsesus itu berlaku hanya untuk saya seorang dan bisa saya pahami sendiri. Salah satu tinjauan mendasar saya terhadap sikap dan tingkah laku manusia adalah hanya mahkluk yang tidak selalu bertindak rasional dalam hidupnya.
Rasionalitas pada dasarnya adalah bentuk keyakinan akan sesuatu yang benar dan sesuatu yang salah. Namun semua itu tidak terlalu menjadi pertimbangan bahkan sering kala dilupakan karena ada faktor lain yang memengaruhi perbuatan atau tindakan manusia. Saya pun demikian.
Ada suatu alasan mendasar yang membuat seseorang tetap tidak menerima jalan rasional dalam tindakannya. Yaitu tekanan yang berasal dari fantasi kenyamanan dan harapan idealis yang menghasilkan suatu pola tindakan yang tidak lagi teratur dalam ranah berfikir logis. Tekanan itu berasal dari diri sendiri dimana manusia memiliki imaginasi tersendiri terhadap bentuk yang nyaman baginya. Sulit digambarkan bahkan dipahami oleh orang lain. Namun semua itu hanya harapan yang dalam suatu kalkulasi menghasilkan nilai nol atau mendekati nol. Meskipun tidak ada kemungkinan selalu manusia bertindak irrasional karena ada mimpi dan harapan yang dia coba torehkan menjadi sebuah makna kehidupan.
Oh ya bagian diatas adalah bagian seseorangan yang beridealis. Terdapat bagian lain dimana terdapat kegugupan untuk bertindak sehingga hanya menghasilkan pandangan yang sentris dengan pragmatis. Namun saya cukup tidak tertarik dengan manusia yang berfikir pola pragmatis karena arah pola gerak dan prilakunya sudah cukup terbaca. Kecendrungan pada nilai-nilai pragmatis agak cetek dan memalukan menurutku. Karena sebagai manusia aku masih selalu mencuba agar nilai-nilai pragmatis tidak mempengaruhi prilaku aku sebagai manusia.

Salah satu cara berfikir manusia pragmatis yang kemudian irrasional menurut saya terlihat dengan ciri tindakannya yang kasar pada yang lemah, merendah pada yang kuat, meninggi pada orang yang rendah, atau merasa harus sombong pada orang yang memiliki kekurangan. Manusia ini melihat covernya namun terlupa esensi penting dirinya dalam kehidupan. (saya tidak mengatakan hal itu salah atau benar, kadang konsensus itu sudah tercipta bahkan sebelum saya lahir, cuma yang bisa saya katakan adalah saya tidak terlalu setuju suatu tindakan yang berlebihan sampai terucap lewat lidahnya bahkan dalam tindakan termasuk ekspresi wajah). Adapun saya mungkin salah satu seperti mereka, namun saya tentu tetap membeci hal itu termasuk membenci tindakan saya sendiri yang kadang sombong.
Hanya dengan melihat salah satu unsur yang terlihat dipermukaan, manusia kadang langsung sombong tanpa meneliti unsur kebenaran yang lain yang kurang dalam dirinya. Saya cukup mengingkari orang-orang yang berada dalam bawah tekanan kemiskinan, kebodohan, kekurangan akses ke keadilan, kekuaran fikiran untuk hidup, atau yang tergerus oleh pola-pola hidup yang salah. Aku mengingkari mereka dalam suatu dunia yang lebih buruk yang mana pada dasarnya aku tidak jauh berbeda dengan mereka. Mereka yang tidak memiliki rumah, mereka yang tidak punya keluarga, mereka yang tidak memiliki harapan, mereka yang tidak memiliki teman, mereka yang tidak memiliki anggota fisik yang lengkap, mereka yang tidak memiliki arah mana yang dituju.
Pada dasarnya masing-masing kita mungkin adalah manusia yang beruntung dengan semua bentuk pemikiran yang membangun kehidupan ini. Tapi bukan berarti kita harus sombong dengan menganggap kehidupan kita sempurna dibandingkan manusia yang kita kira tidak mengetahui arah hidup. Ada kalanya kita salah, sangat salah dalam menilai hidup ini karena materialisti atau sudut pandang pragmatis menjadi parameter yang logis untuk menjadi manusia seutuhnya.
Meskipun kita memiliki dunia bersertakan isinya kehidupan menjadi manusia tidak serta merta kita dapatkan karena hanya didapat dari proses berfikir terhadap kalam Tuhan, Allah. 
Allah maha adil dia telah menyampaikan esensi hidup kita di dunia hanya kita yang terlalu pongah dan sombong untuk menelisik ayat-ayatNya. Jika aku hubungkan dengan judul saya di atas maka jawabannyak adalah menjadi manusia itu tidak selamanya rasional dan memang bukan itu esensinya. Menjadi manusia cukup dengan menurunkan ego dan meningkatkan akal dibawah kehariban Allah. Hanya dia yang memahami esensi hidup kita dan dialah yang membuat ciptakan ini, manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar