Sabtu, 26 April 2014

no title



Ini sudah hari keberapa aku tidak pernah menuliskan lagi bagaimana kisah yang aku lalui. Sungguh, rasanya ada yang kurang dalam hidup ini ketika yang saya lakukan seperti sungai yang tidak mempedulikan air yang melaluinya. Apakah ini bentuk lain dari rasa ikhlas?? Entah lah.
Hari ini aku seperti menyisakan banyak jatah kata yang tak tau kemana harus ku ucapkan. Akibat dari mengurung diri dikamar selama 4 hari rasanya banyak yang ingin aku ucapkan sekedar melepaskan beberapa kata untuk menyenangkan hati yang suram ini.
Aku putus kan hari ini aku akan keluar. Walau masih setengah-setengah saat itu aku masih ragu. Sampai munif sms tentang buku yang ingin aku pinjam. Oleh karena itu aku punya alasan kuat untuk ke kampus, maksud saya ke MUI ^^. Kampus itu MUI dan fakultas itu hanya buat numpang belajar tapi pelajaran sesungguhnya aku dapat dari MUI :D.
Jam 4 tepat atau lewat aku sampai di MUI. Rasanya kangen sekali sudah beberapa hari saya tidak ke MUI seperti suatu waktu yang sangat lama. Rasanya asing memang sebagai orang yang baru datang tidak langsung sholat karena aku tadi udah sholat sebelum berangkat. Aku putuskan menyudut sambil baca buku di salah satu tiang besar di masjid itu.
Tak lama aku duduk sambil baca buku khilafah ustmani aku ditegur oleh Yunus anak FH. Kenalan saat sebuah seminar di PSJ kemudian kami jadi dekat. Biasalah kehidupan kampus kayak gitu saling tertaring dengan pemikiran masing-masing.
Tak lama kami berbicara Yunus tanpa harus pergi dan kemudian Danar datang dan menyapa saya dengan hangat. Danar ini orang yang sering saya liat di masjid ini. Enatah kenapa karena saling bertatap muka jadi saling kenal dan tidak asing lagi. Gayanya yang khas membuka percakapan kami dengan issu seminar yang menari. Menaik snacknya, menarik lunch, dan lain-lain hehehe :D.
Sembari sedang bercakap-cakap baru datang munif. Lengkap deh anggota PKM hahahahaha…… Danar melepas kami dengan kesibukannya di fisip. Aku dan munif membuka cakrawala sejarah seperti sebelumnya yang pernah kami lakukan ^^. Tak lama munif juga dipanggil oleh alam bawah sadarnya, maksudnya dia harus pergi.
Tak lama saya membaca buku lagi eh, mas Feri datang dan ngajak ngobrol lagi. Menariknya beliau yang sudah S2 memaparkan tentang Tesisnya dari prodi Matematika UI. Apa tadi ya… saya agak lupa judul tesisnya. Klo ngak salah tentang bukan persamaan yang dibuat berbentuk suatu tidak siklus dengan menggunakan metode tentu sehingga menghasilkan suatu rumus baku. Dari rumus tersebut itu akan menghasilkan satu rangkaian terpanjang. Katanya sih itu sangat berguna untuk menemukan rangkaian DNA yang pecah saat kecelakaan.
Magrib pun datang tak terasa cepat sekali dan perbincangan sore itu harus berberakhir. Magrib hingga Isya. Saya belum mau dan tidak ingin beranjak se-inchi pun dari tempat sholat. Sedikit membaca buku ensiklompedi yang dipinjamkan munif saya bisa mengetahui kwalitas sastra dari penulisnya. Lebih dari itu saya tertarik dengan keberagaman kelompok Islam yang dipaparkan dalam buku yang berhalaman 700 lebih ini.
Sejenak saya hentikan aktifitas saya dan mencoba melelapkan diri diatas sajadah masjid, rasanya empuk sekali dan pengen tidur  disana.
Selama perjalanan pulang saya memikirkan saya yang dulu di tahun 2009. Benar kata munif satu-satunya yang membuat manusia maju dulu itu dibanding sekarang adalah karena membaca dank arena tidak adalagi hiburan selain itu karena elektronik justru sangat terbatas. Saya saat 2009 tidak memiliki sesuatu pun yang menghibur bahkan jika menghibur cendrung saya tinggalkan. Satu-satunya hiburan saya saat itu adalah hp, sms-an. Saya punya teman sms baik yang pernah ketemu maupun tidak. Tapi sms-an menjadi suatu ekspresi yang membuat saya terhibur walaupun tidak begitu banyak yang peduli akan hal ini.
Berbeda dengan sekarang aku justru melupakan sms-an karena menghabiskan pulsa dan tidak ada mudharatnya -_-. Selain itu sejak saya di depok saya lebih tertutup terhadap yang namanya wanita. Ini kemajuan, yaah ini kemajuan

Selasa, 01 April 2014

Dampak Positif dan Negatif Industri Jalan Tol Dibandingkan Kereta Listrik Atau KRL




Indonesia adalah negeri yang terdiri dari banyak pulau dan terdapat lima pulau besar yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua Barat. Secara geografis Indonesia seharusnya bukanlah manusia yang bergantung pada daratan karena jumlah lautan di Indonesia jauh lebih luas dari pada daratan. Barang siapa yang menguasai laut berarti dialah penguasa Nusantara kurang lebih begitulah peran kerajaan Sriwijaya pada puncak kejayaannya. Indonesia menjadi negara yang meneruskan wilayah Nusantara seharusnya memanfaatkan laut secara optimal baik dalam hal mengekploitasi sumber daya laut hingga menjadikan laut sebagai jalur transportasi utama antar pulau.
            Perkembangan Transportasi Nusantara atau Indonesia sekarang pada awalnya adalah pelayaran mengarungi laut. Budaya melaut telah lama berkembang di Indonesia sehingga ada bagian komunitas yang hidup di laut seperti Orang Bajo. Melekatnya jiwa melaut bagi bangsa Indonesia menjadikan laut bukan hanya sebagai sarana transportasi dan eksploitasi sumber daya alamnya tetapi juga sebagai sarana perdagangan. Pada abad 15 masehi, Indonesia telah menjalin hubungan perdagangan denagn berbagai daerah. Banyak wilayah-wilayah di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan menjadi tempat-tempat jalur perdagangan.

            Pelayaran laut membawa Indonesia menjadi daerah perdagangan dan tumbuhnya ekonomi di beberapa pusat perdagangan di Nusantara seperti Aceh, Malaka, Sunda Kelapa, Surabaya, dan sebagainya. Nusantara pada saat itu mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan bahkan menjadi daerah primadona dalam perdagangan bagi bangsa lain. Sampai pada akhirnya kejayaan ini membuat bangsa asing ingin mendapatkan keuntungan sehingga membuat mereka menjalankan penjajahan di negeri ini.
            Belanda adalah negara yang tidak main-main dalam menganggarankan pembangunan sarana transportasi. Bukti kongkret dari semua itu adalah dibuatnya jalur kereta api yang sampai saat ini Indonesia masing menggunakannya. Tidak hanya jalur darat tetapi jalur laut pun Belanda membangun armada pelayaran Nusantara. Hingga Indonesia merdeka bahkan sampai saat ini peninggalan kereta api, rel, dan stasiunnya masih lengkap dapat dinikmati kemudian.
            Sekarang ini kita melihat bahwa Indonesia maju kearah yang sebenarnya sangat jauh dari perencanaan kedepan. Pertanyaan yang pertama harus dijawab adalah transportasi yang hingga saat ini masih bermasalah terutama di Jakarta dan sekitarnya. Jakarta telah menjadi pusat dari segala bidang mulai dari politik hingga hiburan, mulai dari kemudahan hingga kesulitan, mulai dari keamanan hingga bencana. Tidak bisa dipungkiri masalah transportasi menjadi masalah serius bagi masyarakat Jakarta karena sering memakan waktu jika terjebak macet.
            Keberadaan jalan tol di Jakarta pun tidak terlalu menolong. Jalan tol yang sebenarnya merupakan jalan alternatif tetapi beralih fungsi menjadi jalan utama. Hingga jalan tol pun tidak jarang terkena macet apalagi pada jam sibuk. Pertanyaan yang muncul adalah “kenapa harus membangun jalan tol jika pada awalnya terdapat kesimpulan bahwa jalan tol tidak menjadi solusi bagi pengurangan kemacetan?”. Menjawab permasalahan tersebut saya lebih melihat pada kereta api atau kereta listrik sebagai solusi terbaik untuk mengatasi kerumitan transportasi Jakarta.
            Pembangunan jalan tol menjadi industri infrastruktur yang pada tahun 1978 mulai ditangani oleh Jasa Marga. Berdasarkan PP no 4 tahun 1978 Jasa Marga mendapat mandat sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melakukan perencanaan, pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan jalan tol. Pada tahun 80-an pemerintah mulai membuka kesempatan pada insvestasi swasta untuk pembangunan jalan tol. Dasawarsa 90-an Jasa Marga terbuka menjadi lembaga otoritas yang menfasilitasi investor-investor swasta yang sebagian besar gagal dalam mewujudkan proyeknya seperti JORR dan Cipularang. Jasa Marga tida sepenuhnya lagi menjadi milik negara tetapi sudah dikuasai oleh swasta lewat investasi-investasinya.

Tingkat Kecelakaan
            Dibandingkan dengan kereta api, jalan tol justru menjadi alternatifnya yang tidak lebih baik. Jika dilihat dari angkat kecelakaannya, kereta listrik justru lebih sedikit dari pada kecelakaan di jalan tol. Selama tahun 2013 kereta api mengalami kecelakaan sebanya 32 kali sedangkan kecelakaan di jalan tol Jakarta-Cikampek saja seharinya mencapai 36 kali dan setahunya kira-kira 13000 kali di sebuah ruas jalan tol Jakarta Cikampek. Jika dibandingkan jumlah kecelakaan kereta dengan mobil di jalan tol Jakarta Cikampek maka kira-kira 1 banding 407 dengan analogi jika kereta api terjadi kecelakaan sekali maka kecelakaan mobil mencaai 407 kali di jalan tol tersebut.
Gambar 1. Jumlah kecelakaan di Jalan tol Cikampek

Menumbuhkan ekonomi daerah
Menggunakan jasa kereta api membuat tumbuhnya ekonomi daerah menjadi lebih baik seperti beberapa daerah yang dilewati oleh stasiun kereta api. Tidak heran daerah satelit Jakarta seperti Bogor, Bekasi, dan Depok mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan karena dilalui oleh kereta. Begitu juga beberapa daerah seperti beberapa daerah di pulau jawa yang dilalui oleh kereta seperti Nganjuk yang terkenal dengan penghasil bawang. Daerah-daerah tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi yang bagus sehingga mendorong alur pertumbuhan kesejahteraan masyarakat.
            Berbeda halnya dengan pertumbuhan ekonomi akibat jalan tol. Pertumbuhan ekonomi yang pertama terlihat adalah dialami oleh perusahaan produksi mobil seperti Daihatsu yang memegang penjualan terbanyak pada tahun 2011. Sedangkan semua prusahaan produksi mobil adalah insvesitasi asing artinya keuntungan sudah pasti mengalir pada asing. Belum lagi dalam hal menggati spare part-nya kita masih beragantung pada produk asing.
            Mobil selain mahal dan penyebab peningkatan kendaraan terbanyak ternyata penghasil polusi juga. Akibatnya mobil hanya akan menyebabkan masalah baru seperti macet, Jakarta makin panas, ruang parkir makin sempit, dan sebagainya.
Gambar 2. Jumlah kapasitas mobil, aset, dan tenaga kerjanya

Tahun
Mobil Penumpang
Bis
Truk
Sepeda Motor
Jumlah
1987
1170103
303378
953694
5554305
7981480
1988
1073106
385731
892651
5419531
7771019
1989
1182253
434903
952391
5722291
8291838
1990
1313210
468550
1024296
6082966
8889022
1991
1494607
504720
1087940
6494871
9582138
1992
1590750
539943
1126262
6941000
10197955
1993
1700454
568490
1160539
7355114
10784597
1994
1890340
651608
1251986
8134903
11928837
1995
2107299
688525
1336177
9076831
13208832
1996
2409088
595419
1434783
10090805
14530095
1997
2639523
611402
1548397
11735797
16535119
1998
2769375
626680
1586721
12628991
17611767
1999*)
2897803
644667
1628531
13053148
18224149
2000
3038913
666280
1707134
13563017
18975344
2001
3189319
680550
1777293
15275073
20922235
2002
3403433
714222
1865398
17002130
22985183
2003
3792510
798079
2047022
19976376
26613987
2004
4231901
933251
2315781
23061021
30541954
2005
5076230
1110255
2875116
28531831
37623432
2006
6035291
1350047
3398956
32528758
43313052
2007
6877229
1736087
4234236
41955128
54802680
2008
7489852
2059187
4452343
47683681
61685063
2009
7910407
2160973
4452343
52767093
67336644
2010
8891041
2250109
4687789
61078188
76907127
2011
9548866
2254406
4958738
68839341
85601351
2012
10432259
2273821
5286061
76381183
94373324

Gambar 3. Jumlah peningkatan kendaraan per tahun

Kereta listrik atau lebih kita kenal dengan KRL memiliki keuntungan lebih banyak dari pada memperbanyak pembangunan jalan tol. KRL dapat menampung beban hingga 30 ton pergerbongnya dan jika dibandingkan dengan mobil kereta dapat mengangkut 150 orang dalam sekali jalan. KLR juga kendaraan anti macet atau ban kemps sehingga perjalanannya jauh lebih aman dari pada menggunakan mobil dengan jalan tol.
Penulis menimbang bahwa sesungguhnya jika Indonesia ingin menyelesaikan permasalahan angkutan darat cukuplah dengan mengembangkan jalur KLR tidak dengan menambah ruas jalan tol. Selain memakan banyak lahan juga tidak efesien dalam masalah anggaran.

Sumber
Tesis : Pudji Krisna Murti, Multi Peran Jasa Marga (persero) Sebagai Penyelenggara Jalan Tol, Fisip UI, Jakarta, 1996.
Situs :