Minggu, 17 November 2019

Dialektika dan Hidupnya Peradaban I

Kamaren aku mencoba menyibukkan diri dengan beberapa agenda walau tidak semua agenda terpenuhi. Agenda pertama yaitu bersih-bersih kontrakan yang udah tidak terawat. mulai dari jam set 7 hingga jam set 10. Kurang lebih aku mencoba untuk diam dan hanyut dengan kesibukan ini. Berfikir disela-sela cuci piring, gosok2 kompor yang berkarat hingga kembali mengatur dapur yang lebih effisien dari sampah-sampah yang ngak perlu.
Lama dengan kesendirian itu cukup membuah aku jenuh. Sebagai pencinta ketenangan dan kesendirian saat ini itu tidak seharusnya saya bersama dengan orang yang bebal tentang narasi neo-hedonisme.
Sudah aku putuskan beberapa waktu yang lalu. Aku butuh wadah yang membuat aku tidak sendiri. Akhirnya set 10 aku caps ke club TMC. udah lama ngak ke club. Di club dengan tujuan pragmatis rasanya cukup membangunkan aku dari keresahan. Habis itu kita diskusi panjang lebar di Kansas (Kantin Sastra, antonim untuk kantin masa millenials) bahkan hingga pulangnya mendekati jam 3.
Ada banyak hal yang menarik saya ambil dari diskusi kita. Di antaranya adalah politik Aceh dan peradaban ilmu di Mesir. Akhirnya kita berdialektika sangat panjang lebar. Saya cukup miris dari diksi-diksi dari anak lulusan politik UI tentang Aceh yang notabene adalah kampung halamannya. Secara politik banyak yang sulit untuk kita pahami. Seperti terdapat elit-elit lokal yang segaja konfliknya dihendaki pemerintah agar terbentuk yang namanya kepercayaan pada lapisan terakhir yaitu pada pemerintahan pusat. Sehingga banyak aliansi elit di Aceh yang digambarkan satu dan lain saling berkonflik. Akhirnya kesatuan Aceh terpecah menjadi beberapa bahagian.
Saling berkonflik tentu ada ambisi yang ingin dipertahankan diantaranya adalah proyek-proyek daerah yang harus dikuasai dari anggaran yang telah ditentukan. Anggaran APBD Aceh sekitar 30an Trilliun per tahun agak sayang klo tidak dapat jatah dari sana bagi pandangan seorang elit. Kurang lebih adanya kepentingan itu membuat tidak harmonisnya anak-anak bangsa Aceh yang paling sulit ketika ditaklukan oleh Hindia Belanda ini.
Jika berkaca pada peradaban Islam suatu wujud yang pragmatis religius nampaknya Aceh tidak cukup mampu untuk menjaga gengsinya. Soalnya baru-baru ini tokoh pentolan dibidang hukum Syariat Aceh tengah terjerat dengan kasus perzinahan pada anak usia dini. Tentu ini aib yang sangat mencoreng rakyat Aceh terutama visinya dalam mewujudkan iklim syariah. Jadi peradaban yang ingin dibangun nampaknya tidak secara kuat dipegang oleh para stickholder. (ada break sekitar 1 jam lamanya, aku hanya bosan)
Jika dilihat dari suatu sisi teradapat kekalutan dalam membangun daerah dengan otoritas Islam dengan ditunggangi oleh adminitrasi dari pusat. Maka terdapat cabang influesi yang membuat pecahnya pragmanis religius ke arah pragmatis materialistis. Untuk mengobatinya dari perpecahan total tidak lain adalah mengikuti alur yang sudah ada atau malah memutuskan urusan dengan pusat karena ada kala kita harus menjatuhkan buah-buah yang busuk dan masih terikat dengan pohon. Buah itu sudah tidak ada faedahnya lagi, bahkan jika ada angin yang beriak sendikit buah itu sudah lebih dulu terhempas.
Menurut saya Aceh bukan sekedar memiliki roh yang nomenklaturnya lurus terhadap syariat tapi juga butuh strategis membagun peradaban Islam yang lebih fundamental. Oleh karena itu tindakan yang lebih radik perlu untuk diuji keabsahannya. Karena mereka dahulu sudah cukup makmur hidup hingga dikuasa oleh Hindia Belanda pada awal abad 20 ini. Sejarah-sejarah Aceh memiliki jiwa yang tidak mau ditindas.
*****
Dialektika kedua saya berhadapan dengan salah seorang alumni al Azhar. Walau agak kecewa dengan beberapa alumni al Azhar dari pengalaman sebelumnya namun saya masih yakin akan kedalaman ilmu yang tinggi di Universitas tersebut. Hanya saja yang membuat ragu adalah pandangan rasio terhadap ilmu sosial yang seolah menjadi tabu untuk dibahas dikalangan akademisi al Azhar.
Diskusi kami diawali dengan keindahan aksara dan bahasa arab yang menjadi pengantar dalam bahasa al Qur'an. 
Rasa yang kuat sekali keyakinan alumni ini terhadap dalamnya ilmu Islam yang dia dapat dari kata-kata kalam Allah dalam kitab al Qur'an. Contoh sederhana bismi dan terjemahan pelengkap bagi kaum hawa yang saat ini lebih berdiksi agak menyimpang. Bismi dibahas secara detail dalam buku yang tipis namun memiliki rincian dalam buku tebal, dan buku tebal itu memiliki rincian dibuku tebal lainnya. Buku tebal lainnya itu di tafsirkan lagi oleh ulama saat ini kebuku yang lebih tebal. Ada aliran ilmu yang deras dari buku kitab kecil yang perbah ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya. Bisa saya abstraksikan apa yang sebenarnya dia bayangkan tentang begitu luasnya ilmu dalam agama Islam.


Pada kesimpulannya kenapa adanya "bismi" karena ada value dan nilai yang luas di dalamnya. Setidaknya memiliki arak bijak yang menjadikan manusia tidak sombong dan menyadari posisi dari sang Khalik. Mendapat pemahaman seperti itu tidak mudah tanpa narasi ilmu yang cukup. Kadang bagi orang semisal saya merasa nyaman-nyaman saja dengan ilmu dari Tuhan yang sedikit. Memang sampai saat ini aku malu kenapa sebagai manusia tidak banyak yang bisa aku lakukan. Padahal aku hamba Tuhan, aku manusia yang seharusnya bertindak bersikap sebagai kedudukan manusia yang diberi kelebihan akal oleh Tuhan, Allah.
Sebagai pendalam ilmu bidang ideologi, peradabanm, dan sosial liberal, saya tidak menyianyiakan kesempatan untuk mencoba men-convert dengan relitas. Ilmu di Mesir memang bisa dikatakan maju namun apakah ada korelasinya pada kehidupan?

oh ya saya ada tugas nanti saya sambung lagi bye bye ^_^



Dialektika dan Hidupnya Peradaban II


Tadi ada kajian Nafsyiah (nanti aku buat coret-coret terkait itu)

Ok kita lanjut dulu pembahasaannya....

Nah jika dilihat korelasi antara ilmu dan peradaban suatu bangsa seharusnya berjalan lurus. Namun apakah semulus itu? Ternyata tidak. Si Alumni Mesir menyadari bahwa dalam bidang-bidang tertentu tidak di bahas bahkan diterapkan. Ilmu agama contohnya. Ilmu yang berkaitan dengan Islam seperti syariah, fiqih, tafsir dan lainnya tetap didorong untuk dimajukan, namun dalam penerapan sosial hampir dikatakan dilarang. Sama seperti informasi yang saya tahu bahwa masa Hussein tidak ada kebebasan dalam berdiskusi tentang sosial politik. Bagi mahasiswa mana saja yang mencoba untuk membahasa masalah politik baik itu mengevaluasi atau mengkoreksi tindakan penguasa bisa terkenal finalty berupa di DO bahkan di penjara. Sehingga terdapat juga kisah beberapa mahasiswa asing yang sempat di penjara karena tindakanya yang mencoba untuk mengkritik penguasa.
Namun masa Mursi dikabarkan kondisi cukup kondisif terhadap diskusi ditengah masyarakat tentang politik. Namun tidak berubah lama karena munculnya el Sisi yang mengkudeta. Kondisi yang dicoba untuk dirubah oleh partai Ihwan ini terpaksa surut.
Namun kita berhenti dulu dalam meromakan politik Mesir. Saya melihat ada peradaban yang tidak didorong oleh ulama atau para cendikiawan di sana. Mendalami al Qur'an dari sisi akademis mungkin menjadi hal yang sangat indah namun tidak dibarengi dengan kebangkitan ummat dan hanya berkutat dikebangkitan akhlak. Saya rasa di sana masalah yang sangat mendasar dimana dalamnya ilmu di mercusuak menara gading Universitas bergengsi al Azhar tidak menopang bengkitnya peradaban. Satu sisi memang ilmu yang mereka dalami bukan ilmu sosial dan ilmu yang dipelajari lebih pada mengarah pada kebangkita ahklak. Sehingga ketika mereka terjun ditengah masyarakat fatwa-fatwanya tentang masalah sosial apalagi politik terlalu dangkal dan dapat dibantah dengan mudah (yah saya mengalami beberapa kali). Banyak lulusan al Azhar tidak paham kondisi gerak sosial dan politik namun cukup jumud dengan membahas kalam Allah dengan harapan terjadi perubahan secara strukturan dalam masyarakat. Itu salah.

Cara pandang ini yang menurut saya tidak akan masuk akal dimana gerakan ahklak akan berdampak positif hingga pada kebangkitan ummat. Karena ahklak dan panggilan untuk kebangkitan ummat berasal dari referensi pembelajaran yang berbeda. 

Jadi beberapa alumni yang lulusan al Ahzar sangat jarang saya lihat berkecimpung dalam politik praktif maupun politik ekstra-parlementer (DPR jalanan). Mereka mungkin cukup akan senang dan nyaman hidup di Indonesia sebagai pendo'a. Orang yang memiuliki posisi akademik tinggi di masyarakat namun tidak memiliki kekuatan untuk membangkit ummat/masyarakat. Yang bisa dilakukan adalah menyentuh ahklak seseorang dengan ahklaknya yang tidak bertentangan secara umum.

Namun bagaimanapun hingga saat ini peradaban memang sesuatu yang luas untuk dibahas. Peradaban liberal yang tengah kita nikmati saat ini terlalu rusak untuk diwariskan pada generasi selanjutnya. Ada kekangan pandangan materialistis yang buruk tentang cara hidup di dunia. Dilihat dari materialistis, jabatan, dan bentuk fisik. Itu kenapa aku benci dunia ini, aku benci cara pandang yang kolot dan kepongahan yang tercipta secara sistem, dan terglobalkan. Aku manusia dan aku ingin mati dengan rasio tetap sebagai manusia dalam definisi Tuhan.
Oh ya diskusi kita (antara saya dan alumni al Ahzar) terpaksa saya potong karena takut akan memakan waktunya. Soalnya dia katanya ingin pulang cepat-cepat karena ada perlu dengan istri. Setidaknya banyak informasi yang saya petik sebelum kita berpisah dibelakang masjid UI/parkiran perpus.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar