Jumat, 16 November 2018

Yusril dan Narasi Politik PBB Menuju Pilpres 2019

source: Nusantara.news


Profesional idealisme menjadi pandangan yang dapat menggambarkan keputusan Yusril
untuk menjadi kuasa hukum dari capres petahana Jokowi dan cawapres Makruf Amin. Pasalnya
Yusril bukan hanya seorang politisi tetapi juga berprofesi sebagai lawyer. Keprofesionalan dalam
profesi menuntutnya untuk berlaku adil. Namun dibalik keberpihakannya pada kubu Jokowi
ternyata terdapat sedikit kekecewaan dan perdebatan internal terhadap posisi partai menghadapi
pelpres 2019.
Pada awalnya banyak yang sangkaan bahwa Yusril akan memperkuat capres kubu
Prabowo. Namun sangkaan tersebut hanya hingga keputusan ijma’ ulama pertama. Ketika ijma’
ulama pertama diabaikan oleh Prabowo, Yusril cendrung menunggu ijma’ ulama selanjutnya.
Pada ijma’ ulama kedua meridhoi pilihan Prabowo, Sandiaga, sebagai cawapresnya. Namun, di
sisi lain PBB belum memberikan signal bakal merapat pada kubu Prabowo di tengah perubahan
ijma’ ulama.
Bisa dikatakan perubahan pilihan Prabowo secara tiba-tiba cukup memberi effek pada
simpatisannya. Bukan karena pilihan itu buruk tetapi lebih pada komitmen seorang pemimpin.
Jika sedikit melihat kebelakang, Prabowo pernah meniatkan maju bersama cawapres dari PKS.
Selain PKS Prabowo juga pernah merapat ke kubu Demokrat sehingga isu cawapres dari
demokrast, Agus Yudhoyono, sangat kuat sebelum pendaftaran ke KPU.
Berbeda dengan pandangan politik Yusril yang lebih melihat kredibilitas dari Prabowo
tidak seperti yang diharapkan. Parameternya adalah Ijma’ ulama yang sempat diabaikan. Selain
itu keberadaan PBB ataupun Yusril tidak mendapat perhatian dari kubu Prabowo. Sampai akhir
dirinya memutuskan menjadi kuasa hokum Jokowi membuat kaget publik termasuk beberapa
simpatisan Prabowo.
Keputusan Yusril tentu menghasilkan pro dan kontra dalam tubuh partai apalagi beberapa
diantara anggota partai yang lebih condong pada Prabowo. Namun, tampaknya Yusril sudah siap
dengan semua itu dan akan dibahas pada Musyawarah Besar PBB beberapa hari mendatang. Dia
juga menegaskan bahwa dirinya berkuasa penuh sebagai penentu arah kebijakan partai dengan
posisi sebagai ketua umum.
Konsep gerakan partai politik menjadi kajian yang selaras dari peribahan manuver politik
Yusril di tanah air. Sesuai dengan konteksnya setidaknya ada dua analisis yang menggambarkan
gerakan partai politik PBB dalam kubu Jokowi. Analisis pertama adalah keberadaan Yusril
membuka kecendrungan hukum yang sehat. Sebagaimana profesi Yusril sebagai praktisi hokum
tidak diragukan lagi sehingga menghindari penyalah gunaan hokum dalam pemilu baik yang
dipakai oleh Jokowi maupun Prabowo.
Analisis kedua adalah seperti apa yang beliau sampaikan bahwa kehadirannya ditengah
pendukung Jokowi akan menjadi trigger untuk memperbaharui citra Jokowi yang selama ini
dianggap anti Islam. Sebagaimana secara empiris Yusril pernah membawa Suharto untuk lebih
dekat dengan umat Islam pada akhir kepemimpinannya.

Adapun analisis diatas tidak terpisah dari tujuan Yusril membawa PBB sebagai pemain
dalam pentas pilpres 2019. Gaya politik ini menggambarkan YUsril sebagai seorang negarawan
yang komit dan konsisten dengan jalan idealis yang dia ambil atas perubahan politik yang terjadi
dilapangan.
Sebagai masyarakat kaget dengan keputusan Yusril yang tidak disangka, namun
sebenarnya justru merupakan jalan bagi Yusril dan partainya untuk memulai bergerak sebagai
partai yang memiliki idealis tertentu. Yusril justru meninggalkan citra PBB yang selama ini
seperti pelengkap bahkan citranya cendrung merosot.
Adapun secara mekanisme partai, PBB akan bergerak sesuai keputusan ketua umum
dalam ini Yusril. Tidak tertutup kemungkinan Yusril akan mendukung penuh di pihak capres
petahana Jokowi dan Makruf Amin. Namun resiko yang dihadapi yaitu kemungkinan partai akan
mengalami pergolakan internal dimana dinamika ini dapat membelah tubuh partai.
Talenta politis Yusril sangat dibutuhkan pada kondisi seperti ini. Pada teorinya seorang
politisi dapat meyakinkan orang lain pada visi yang ingin dia capai. Hal ini tergambar dari
wawancara Yusril dengan reporter Kompastv (9/11). Yusril memiliki alasan tertentu dan bukan
hal yang serta merta balik berada di kubu Jokowi Makruf. Alasan itu telah matang dan sejak
awal memang tidak ada keputusan partai terkait dengan keberpihakan PBB pada kubu Prabowo.
Pada kesempatan itu Yusril mengaku bahwa kekecewaannya pada kubu Prabowo terlihat
dari terabaikannya hasil ijtima’ ulama pertama. Ijtima’ ulama menjadi landasan cara fikir politik
islam terbuka yang secara kekuatan penting untuk dipertimbangkan. Dalam hal ini, Yusril
berharap gaya politik Prabowo bisa berkomitmen dan konsisten sehingga dapat menjadi basis
kepercayaan bagi pendukungnya.
Tentu saja komitmen yang diharapkan tidak hanya menjaga kepercayaan para
pendukungnya tetapi juga menyampaikan konsistensi atas idealis yang dianut sehingga
perubahan arah politis rasional dengan visi yang ingin dicapai. Hal ini tidak terlihat dari
pendekatan gaya politik Prabowo yang tiba-tiba cendrung berubah dan tidak memberi penjelasan
yang memuaskan bagi calon partner politiknya diantaranya PBB.
Prabowo dengan gaya politiknya patut untuk mendapat pujian karena memilih pasangan
yang tepat walau berbeda dengan komitmen awal. Pada saat yang sama, dampak dari
inkonsistensi tersebut membuat kekecewaan bagi calon partner yang akan memegang komitmen
beliau. Namun beberapa pihak menerima perubahan tersebut, sebut saja PKS yang sebelumnya
telah menyepakati kesepakatan politik bersama. Berbeda dengan PBB yang menjadi sanksi
pembelotan Prabowo dari keputusan Ijma’ulama.

Kamis, 25 Oktober 2018

KEKELIRUAN MENKOPOLHUKAM MENDIAGNOSIS MASALAH

[Catatan Hukum Tragedi Pembakaran Bendera Tauhid]

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT


Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menggelar rapat khusus membahas kasus pembakaran bendera Tauhid. Rapat khusus ini berlangsung di Kantor Menteri Koordinator Polhukam, Selasa, 23 Oktober 2018. Hadir antara lain Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, Jaksa Agung AM Prasetyo, perwakilan MUI, perwakilan Pengurus Besar NU dan Kementerian Dalam Negeri.

Berapa substansi rapat penting yang menjadi hasil rapat, di antaranya:

Pertama, Wiranto menyebut Alasan bendera tersebut dibakar, karena pelakunya menganggap sebagai simbul Hizbut Tahrir Indonesia atau HTl.

Kedua, Ormas HTI dinyatakan terlarang karena dianggap mengusung paham syariah dan khilafah yang tidak sesuai dengan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila dan UUD 1945. Menurutnya, HTl adalah ormas yang sudah dilarang keberadaannya di Indonesia berdasarkan keputusan pengadilan.

Ketiga, Wiranto menekankan bahwa peristiwa pembakaran bendera itu telah meluas dengan berbagai pendapat yang cenderung mengadu domba antar Ormas. Bahkan, hubungan antarumat beragama diklaim sudah terjadi pro dan kontra. Karenanya, Pemerintah memandang perlu untuk mengambil langkah-langkah menjaga stabilitas di tengah masyarakat.

Keempat, Pemerintah meminta masyarakat tetap tenang dan tidak terprovokasi terkait kasus pembakaran bendera saat peringatan Hari Santri Nasional di Limbangan, Garut, Jawa Barat. Wiranto meminta kepada masyarakat agar tetap tenang, tidak terpengaruh berita-berita yang tidak benar (hoax).


FRAMING OPINI SESAT

Bidang tugas Kementrian Politik Hukum dan Keamanan adalah Menyinkronkan dan mengkoordinasikan perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan. Tugas ini mewajibkan Kemenkopolhukam melakukan mitigasi masalah dan pendalaman fakta secara benar.

Kekeliruan memahami masalah (fakta), dapat berakibat fatal. Alih-alih Menyinkronkan dan mengkoordinasikan perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan, kesalahan memetakan dan memahami masalah justru memicu kekeliruan sinkronisasi, mispersepsi dalam perencanaan, dan kesalahan eksekusi kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan.

Wiranto, tidak jujur dan menyampaikan persoalan secara benar. Fungsi koordinasi masih menyisipkan misi 'Framing Koordinasi' dengan mencoba membangun narasi publik pada arah dan tujuan lain yang justru berpotensi memecah belah bangsa dan mengganggu stabilitas keamanan negara.

Pertama, ketidakjujuran Wiranto adalah ketika mengulang pernyataan bahwa bendera yang dibakar adalah bendera HTI. Meskipun mengutip pengakuan anggota Banser, namun seharusnya Kemenkopolhukam membuat kajian mitigasi hukum tersendiri untuk memberi pemahaman ditengah masyarakat, tentang realitas dan hakekat bendera yang dibakar.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyatakan bendera yang dibakar dalam insiden bertuliskan lafadz Tauhid bukan merupakan bendera HTI atau Hizbut Tahrir Indonesia. "Memang itu tidak ada HTI-nya, jadi itu kalimat tauhid. Kami melihat yang dibakar kalimat tauhid karena tidak ada simbol HTI," kata Wakil Ketua Umum MUI Yunahar Ilyas di gedung MUI Pusat, Jakarta Pusat, pada Selasa, 23 Oktober 2018.

Secar faktual bendera dengan lafadz tauhid tidak mencirikan atau dapat dianggap sebagai atribut ormas tertentu. Secara hukum, ciri identik lambang atau simbol ormas, termasuk atribut ormas dapat dibaca melalui penjelasan dalam AD dan ART ormas.

Jika bendera dengan Lafadz tauhid ini dianggap bendera HTI, Kemenkopolhukam dapat dengan mudah mengecek data di kemenkumham pada arsip lampiran penerbitan SK Badan Hukum Perkumpulan Ormas HTI. Didalam AD ART HTI, tidak pernah memuat satupun pasal yang mengklaim dan menjelaskan bahwa bendera dengan lafadz 'LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADDUR ROSULULLAH' merupakan atribut atau bendera HTI. Juru bicara HTI Ismail Yusanto sendiri, telah mengklarifikasi bahwa Al Liwa dan Ar Roya atau dikenal umum sebagai bendera tauhid adalah bendera Rasulullah, bendera kaum muslimin, bukan bendera HTI. HTI sendiri menyatakan tidak memiliki bendera organisasi.

Jika Wiranto kurang yakin, Kemenkopolhukam juga dapat meminta Kemenkumham untuk meminta data pada Ditjen HAKI untuk memastikan apakah bendera dengan lagadz tauhid ini telah didaftarkan menjadi hak paten ormas tertentu. Dan bagi Kemenkopolhukam, pekerjaan ini sangat mudah karena kemenkumham berada dibawah koordinasi Kemenkopolhukam.

Mengulang-ulang pernyataan bendera tauhid adalah bendera HTI tentu akan sangat meyakini hati kaum muslimin. Kaum muslimin merasa direndahkan karena ketika membawa bendera Rasul, bendera yang menjadi simbol kemuliaan Islam dan kaum muslimin, dianggap membawa pesan ashobiyah, karena dituding membawa bendera HTI.

Pernyataan keliru ini, jika diteruskan bukan meredam suasana justru sebaliknya. Rasa marah kaum muslimin atas pembakaran bendera tauhid, semakin memuncak karena adanya tudingan-tudingan jahat yang membatasi Lafadz tauhid dan benderanya hanya milik ormas tertentu.

Kedua, Wiranto juga kembali melakukan Framing jahat kepada ormas HTI sebagaimana ketika awal pengumuman rencana pembubaran HTI yang kemudian dipahami secara keliru dan dianggap telah dibubarkan. Saat itu, barulah Wiranto menyebut proses pembubaran akan dilakukan melalui pengadilan -meskipun pada faktanya- pencabutan SK BHP HTI justru dilakukan melalui penerbitan Perppu ormas yang memberi wewenang sepihak kepada Pemerintah (Kemenkopolhukam) untuk mencabut SK BHP HTI. Sebelumnya, pencabutan SK badan hukum ormas harus berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Dalan pernyataannya, Wiranto mengulang tudingan HTI sebagai ormas terlarang berdasarkan putusan pengadilan. Pernyataan ini jelas keliru dan tidak berkesesuaian dengan fakta hukum.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta baik pada tingkat Pertama maupun Banding, dalam amarnya hanya menyebut Mencabut Keputusan Menteri Hukum Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tanggal 02 Juli tahun 2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, berkedudukan di Jakarta Selatan.

Tidak ada satupun amar putusan, yang menyebutkan HTI sebagai ormas terlarang atau dengan redaksi lain HTI sebagai ormas yang dilarang oleh pengadilan. HTI Berbeda dengan PKI yang tegas dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Dalam TAP MPRS No. XXV/1966, jelas menyebutkan bahwa PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Tidak sebatas itu, dalam ketentuan pasal 2 ditegaskan pula larangan mengembangkan ajaran atau paham komunisme, atheisme, marxisme dan leninisme yang menjadi atribut ideologi PKI.

Penyesatan opini oleh Wiranto ini dapat menyebabkan publik mempersonifikasikan HTI seperti PKI. Padahal, landas perjuangan, tujuan hingga cara berjuang HTI jauh berbeda dengan PKI. HTI berjuang berdasarkan Islam, dengan dakwah Islam, dan untuk menerapkan Islam agar menjadi rahmat bagi semesta alam. Sementara PKI berakidah atheis, berjuang dengan metode revolusi berdarah, terbukti memberontak dengan membantai sipil dan militer, dan ingin mengubah negeri ini menjadi negeri komunis.

Ketiga, Pemerintah melihat adanya potensi adu domba dan pecah belah akibat insiden pembakaran bendera tauhid, namun tidak mengambil upaya kongkrit untuk mengatasinya. Upaya kongkrit itu, tentu menindak pelaku pembakaran dan tidak melindunginya dengan berbagai dalih.

Bukannya menindak pelaku, Pemerintah justru membangun narasi baru untuk mengkriminalisasi pihak yang menyebarkan video. Polda Jabar juga masuk pada ruang narasi jahat melalui Framing hukum, dengan kembali mengulang pernyataan bendera yang dibakar adalah bendera HTI.

Ini sangat berbahaya, Pemerintah sedang mempersoalkan ribuan bahkan ratusan ribu akun yang turut serta menyebarkan video pembakaran atas dasar pembelaan pada akidah Islam. Jika dibiarkan, bisa saja Pemerintah mempersoalkan yang mengunggah dan menyebarkan video dengan dalih menyebarkan kebencian dan SARA berdasarkan pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Belum lagi, kepolisian juga terus memburu pembawa bendera tauhid di acara peringatan hari santri. Astaghfirullah, yang dipersoalkan umat itu pembakaran bendera tauhid, bukan yang membawa bendera tauhid. Kenapa polisi justru memburu pembawa bendera tauhid ?

Apakah pelaku pembakar bendera tauhid ujungnya akan dilepaskan karena telah meminta maaf ? dan apakah motif dilakukan bukan karena niat membakar bendera tauhid akan tetapi karena menganggap bendera HTI menjadi alasan pembenar dan pemaaf ? Apakah polisi akan mengikuti jejak KPK yang tidak memproses kasus Ahok pada korupsi RS sumber waras karena tidak ada niat jahat ?

Lantas analoginya, kalau ada orang membunuh dengan pisau dapur lalu telah meminta maaf karena dikira yang dibunuh bukan orang tetapi dianggap babi, apakah kasus bisa dianggap selesai ? Lantas kemudian polisi sibuk mencari penjual pisau dapur di pasar karena dianggap memicu terjadinya peristiwa pembunuhan ? Janganlah negara mempertontonkan kedunguan dengan membuat hoax - hoax yang menyesatkan.

Keempat, publik tentu dapat mencerna himbauan Kemenkopolhukam untuk tidak menyebar hoax dan tidak mempercayai kabar bohong itu sebagai lips service semata. Faktanya, dalam keterangan resmi Wiranto mengandung banyak hoax politik.

Hoax yang ditebarkan Kemenkopolhukam ini mengulang hoax yang dikeluarkan Presiden Jokowi yang meminta menghentikan politik kebohongan. Padahal, publik paham benar justru di rezim Jokowi inilah kebohongan diternak dan dikembangbiakkan oleh penguasa.


HIMBAUAN KEPADA UMAT ISLAM

Sakit dan sedih sekali menjadi warga negara muslim di negeri ini. Negara yang dikelola oleh pemimpin yang juga muslim, tapi tidak juga memberikan keberpihakan kepada umat Islam.

Meskipun demikian umat Islam tetap harus bangkit, membela bendera tauhid, membela agama Allah SWT. Dunia ini hanya sekedar ladang bercocok tanam, kita hanya menebar benih dan merawatnya, persoalan hasil  kita serahkan kepada Allah SWT. Umat Islam harus terus bergerak, dengan berbagai sarana dan ikhtiar untuk memuliakan bendera tauhid, menyucikannya dari mulut dan tangan jahat yang menodainya.

Jika penguasa memaksa umat untuk menjadikan persoalan bendera tauhid ini seperti kasus Ahok, umat wajib siap sedia. Zaman akhir yang penuh tipu daya ini, membuat umat harus semakin yakin para pertolongan Allah SWT dan hanya bersandar kepada-Nya.

Toh, kehidupan yang sesungguhnya ada di kampung akherat. Saat peradilan di yaumul hisab kelak, mulut-mulut penguasa zalim akan dikunci, berbicara lah tangan dan kaki mereka tentang apa yang telah mereka lakukan. Dan kita umat Islam, akan menjadi saksi atas kezaliman yang mereka ditimpakan. [].

Kamis, 27 September 2018

Kedaulatan Rakyat Pintu Menuju Politik Teokrasi


Ratusan tahun yang silam, teokrasi sempat menjadi solusi dalam permasalahan politik. Hal itu kembali muncul di tengah masayarakat dunia saat ini. Pada intinya teokrasi mendaulatkan sabda tuhan dalam negara. Hal itu dianggap mampu menyelesaikan berbagai kerumitan masayarakat. Agustinus of Hippo, seorang filsuf yunani, sangat mendukung bentuk pemerintahan agama atau teokrasi ini. Meskipun pada masanya, Agustinus sering mendapat tanggapan atas runtuhnya emporium Romawi yang telah menerapkan sistem pemerintahan agama itu. Salah satu hal yang memberatkan pendapat Agustinus ini adalah kelalaian rohib, pemuka agama, yang sering kali melanggar ketentuan agama untuk memenuhi hasrat materialnya.
Indonesia tengah dibayangi oleh fenomena sosial yang kembali untuk mempercayai rohib/pemuka agama sebagai pemimpin negara. Sekitar dua decade sebalumnya, Indonesia pernah dipimpin oleh sosok ulama. Besarnya harapan pada saat itu tak berlangsung lama. Rasa ketidak-percayaan karena banyaknya pandangan negatif yang ditujukan pada figur ulama sebagai pemimpin Negara. Beberapa pendapat mengatakan ulama tidak cakap dan tidak pantas dalam berpolitik karena politik itu penuh tipu daya yang dianggap kotor untuk manusia mulia pembina umat seperti ulama.
Tahun ini kembali mencuat kembali isu ulama dalam kancah politik. Tidak hanya ulama sebagai pemimpin tapi juga suara ulama dalam kontestasi politik tanah air. Bukan hanya isapan jempol, pengaruh ulama yang mencuat akhir-akhir ini mendapat dukungan rakyat yang sangat massif seperti terjadinya 411 dan 212. Dr. Mulyadi, dosen politik Universitas Indonesia, menyimpulkan bahwa dalam demokrasi suara rakyat adalah suara Tuhan oleh karena itu rakyatnya pun harus bertuhan sesuai dengan pengamalan pancasila. Fenomena ulama dalam politik dan berjalannya demokrasi pancasila menuai bibit teokrasi dalam perubahan politik di Indonesia.
sumber foto: merdeka.com

Bagaimana tidak, rakyat mulai kembali mempercayai ulama sebagi figure dalam penyelesaian masalah politik saat ini. Terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai bakal calon wakil presiden merupakan bentuk upaya menarik kepercayaan rakyat saat ini. Tidak hanya itu, beberapa golongan ulama mulai membentuk koalisi politik dalam hal mendukung calon presiden. Kejadian ini memperlihatkan bahwa demokrasi yang tidak menutup suara rakyat menjadi peluang munculnya paham Negara agama yang saat ini dihegemoni oleh kalangan ulama.