Sabtu, 20 April 2013


1. Teori Pers Otoritarian
Teori ini muncul di iklim otoritarian, akhir jaman Renaisans pada abad 16 dan 17, setelah ditemukannya mesin cetak. Teori ini menganggap bahwa raja atau penguasa adalah pemilik kebenaran karena mereka memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan. Kebenaran bukan berasal dari masyarakat, melainkan dari orang-orang bijak yang membimbing dan mengarahkan pengikutnya. Oleh karena itu, setiap orang yang menentang atau pun meragukan ideologi dari penguasa dapat dikenai hukuman. Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengontrol pers ada tiga, yaitu menyensor materi yang akan dicetak atau disiarkan, menyuap editor agar mau mengikuti kemauan pemerintah, dan mengancam pers dengan hukuman penjara.
Pers di jaman ini pun menjadi sangat pasif. Mereka hanya digunakan sebagai alat untuk menyampaikan informasi tentang kebijakan pemerintah untuk mendukung posisi kepemimpinannya sendiri. Sehingga pers kehilangan fungsinya sebagai pengawas pemerintahan dan hanya mengabdi pada kepentingan penguasa. Dan yang boleh memiliki pers hanyalah kelompok atau orang tertentu yang mendapat ijin khusus dari penguasa itu sendiri.
2. Teori Pers Libertarian
Teori ini disebut juga teori kebebasan pers, di mana pers menuntut kebebasan yang sepenuhnya. Teori ini mengungkapkan bahwa manusia sudah dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan yang buruk. Kebenaran bukan lagi milik penguasa, melainkan merupakan hak asasi manusia untuk mencarinya. Oleh karena itu, di sini pers berfungsi sebagai mitra untuk mencari kebenaran dengan cara memberikan bukti dan argumen untuk landasan dalam mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap. Sehingga pers sendiri memiliki tujuan untuk menemukan kebenaran, memberi informasi, menafsirkan, dan menghibur masyarakat.
Munculnya teori ini pun didasari oleh asumsi-asumsi dasar filosofis sebagai berikut :
- Hakikat manusia
Manusia memiliki pemikiran yang rasional dan memiliki tujuan sendiri, serta mampu membuat keputusan. Kemampuannya digunakan untuk berpikir dan mengingat, sedangkan pengalamannya digunakan untuk membuat keputusan.
- Hakikat masyarakat
Masyarakat memiliki tujuan untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan fungsinya adalah untuk memajukan kepentingan anggota dan menciptakan perlindungan agar masyarakat tidak mengambil alih peran utama dan menjadi tujuan itu sendiri.
- Hakikat negara
Negara menyediakan lingkungan bagi masyarakat dan individu agar mereka dapat menggunakan kemampuannya untuk mencapai tujuan.
- Hakikat pengetahuan dan kebenaran
Manusia diberi kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah untuk memperoleh kebenaran. Sedangkan, kebenaran itu sendiri adalah sesuatu yang dapat ditemukan dan diperlihatkan kepada manusia lain untuk diperdebatkan dan melalui musyawarah akan dapat mengakhiri perdebatan dan hasilnya dapat diterima oleh akal.
Ada tiga hal yang menyebabkan pers sangat menentang adanya proses penyensoran, yaitu :
- Sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi dengan bebas.
- Sensor bisa menguntungkan salah satu pihak dengan mengorbankan kepentingan masyarakat.
- Sensor menghalangi masyarakat untuk mencari kebenaran.
3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial
Teori ini muncul pada abad ke-20 di Amerika Serikat. Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa kebebasan itu juga mengandung tanggung jawab yang sepadan, di mana pers memiliki tanggung jawab untuk menginformasikan, mendidik, dan memajukan masyarakat. Dan di sini, media berperan dalam mengindikasikan sebuah cerminan tentang keanekaragaman dalam masyarakat dan juga sebagai akses untuk melihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga, opini masyarakat, etika, dan reaksi konsumen lah yang menjadi kontrol atas kinerja pers. Selain itu, tak jarang terjadi munculnya konflik yang dapat membawa masyarakat ke forum diskusi untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Di Amerika Serikat, amandemen pertama dalam konstitusi AS tahun 1774 telah melarang pemerintah atau negara untuk membuat aturan yang membatasi atau menghalangi kebebasan pers. Dan komisi kebebasan pers yang dimiliki oleh AS telah memberikan daftar materi yang harus diperhatikan sebagai kewajiban pers terhadap masyarakat, yaitu adanya berita yang bersifat informatif, mengandung kebenaran, keakuratan, objektifitas, dan memiliki komposisi yang seimbang atau proporsional.
Ada enam tugas pokok yang harus dilakukan oleh pers dalam teori tanggung jawab sosial ini, yaitu :
- Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi, dan perdebatan dalam masyarakat.
- Memberi penerangan agar masyarakat dapat mengambil sikap atas fenomena yang terjadi di sekelilingnya.
- Menjaga hak perorangan dengan cara mengawasi jalannya pemerintahan.
- Melayani sistem ekonomi melalui penayangan iklan untuk mempertemukan penjual dengan pembeli secara tidak langsung.
- Hiburan
- Mengupayakan biaya sendiri agar tidak tergantung terhadap orang atau kelompok tertentu.
4. Teori Pers Soviet Komunis
Teori ini muncul saat Uni Soviet masih berdiri, disertai dengan tradisi Marxis. Teori ini menganggap bahwa dalam suatu masyarakat, orang-orang seharusnya tidak berbeda pandangan, musyawarah tanda kelemahan, dan hanya ada satu pandangan yang benar yang dapat dipertemukan dan dipertahankan, disebarkan, dan digalakkan.
Sesungguhnya kekuasaan bersifat sosial dan berada pada pribadi tiap orang, tersembunyi di lembaga sosial, dan dipancarkan dalam tindakan masyarakat. Namun, pers sendiri hanya digunakan sebagai alat propaganda dan agitasi yang selalu terkait dengan kekuasaan dan pengaruh partai. Sehingga tidak dimungkinkan adanya kepemilikan pers yang bersifat privat.
Selain empat teori pers yang diungkapkan oleh Fred. S. Siebert, Theodore B. Peterson, dan Wilbur Schram dalam karangannya yang berjudul “Four Theories of The Press”, yang terbit pada tahun 1965, ada pula Willian A.Hachten yang mengungkapkan adanya lima sistem pers yang berlaku di dunia. Hal ini diungkapkannya dalam bukunya yang berjudul “The World News Prism”, yang terbit pada tahun 1981. Lima sistem pers tersebut adalah sebagai berikut :
1. Otoritarian
2. Komunis
3. Revolusioner
4. Konsep Barat : Merupakan gabungan dari sistem libetarian dan tanggung jawab sosial
  5. Pembangunan : Merupakan gabungan dari sistem otoritarian, komunis, dan tanggung jawab sosial.





Dimensi realita, yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut bersumber pada nilai-nilai riil dalam masyarakat. Dilihat dari dimensi ini Ideologi Pancasila mengandung dimensi realita karena nilai-nilai dasar Pancasila bersumber dari budaya dan pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri, bahkan kelima nilai dasar Pancasila dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
Dimensi idealisme, yaitu bahwa ideologi tersebut harus memberikan harapan, cita-cita tentang masa depan yang lebih baik. Dilihat dari dimensi ini ideologi Pancasila mengandung dimensi Idealisme karena mengandung cita-cita tentang masa depan yang lebih baik.
Dimensi fleksibilitas, yaitu bahwa ideologi mengandung atau memiliki keluwesan yang memungkinkan adanya berbagai pengembangan pemikiran baru tanpa khawatir meninggalkan jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya. Disini ideologi Pancasila memenuhi syarat, dibuktikan dengan perjalanan sejarah bahwa Pancasila masih berdiri tegar dan kokoh serta selalu menerima berbagai pembaharuan-pembaharuan tanpa khawatir meninggalkan jati dirinya.



1. Ideologi adalah suatu ilmu tentang idea atau gagasan manusia.
2. Ideologi Pancasila tentunya. Telah dirumuskan oleh BPUPK sebelum Indonesia merdeka.
3. Pancasila digunakan di Indonesia sebagai dasar negara dan pandangan hidup (weltanschauung [istilah Jerman, bukan bahasanya Tukul Arwana]).
4. Nama Pancasila ditimbulkan oleh Ir. Soekarno (namun dia mengakui bahwa istilah ini bukan berasal dari dirinya sendiri melainkan dari seorang teman yang ahli bahasa. Siapa orang itu? Belum diketahui, namun beberapa sarjana mengatakan: Mr. Muhammad Yamin).
5. Arti kata Pancasila berasal dari istilah bahasa Sansekerta, Panca=lima, Syila atau Sila=Dasar, Basis.
6. ideologi suatu negara dapat berfungsi sebagai Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara; ini istilah Prof. Notonagoro).
7. Manfaat ideologi bagi kelangsungan hidup bangsa maksudnya ideologi bukan untuk ideologi itu sendiri, melainkan berguna bagi praktik kebangsaan dan kenegaraaan. Pancasila sebagai ideologi jelas bermanfaat bagi praktik berbangsa dan bernegara yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
8. Ideologi Pancasila bukanlah sesuatu yang asal jadi, melainkan hasil kristalisasi nilai-nilai ideal yang berasal dari alam dan kultur bangsa Indonesia sendiri.


Ideologi tertutup:
- Bersifat mutlak
- Bersifat totaliter, artinya ideologi tsb mencakup semua bidang kehidupan.
- Pluralisme pandangan dan kebudayaan ditiadakan, hak asasi tidak dihormati.
- Menuntut tindakan konkret dan operasional yang keras, mutlak, dan total.
- Merupakan cita-cita kelompok (bukan rakyatnya)yg digunakan sbg dasar utk mengubah masyarakat.

Ideologi terbuka:
- Merupakan kekayaan rohani, moral, dan budaya seluruh masyarakat.
- Isinya tidak langsung operasional.
- Tidak pernah membatasi kebebasan dan tanggung jawab masyarakat.
- Menghargai pluralitas/perbedaan yg ada, sehingga dpt diterima oleh berbagai latar belakang budaya dan agama.
- Tidak diciptakan oleh negara ataupun penguasa melainkan ditemukan dlm masyarakat itu sendiri.


 Pengertian Ideologi
Orang yang pertama kali menggunakan istilah ideologi adalah Antoine Destult, filosof Perancis yang hidup pada masa Revolusi Perancis. Secara Etimologi, istilah ideologi erasal dari kata idea dan logos. Idea berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita; sedangkan logos berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi, ideologi adalah ilmu pengetahuan tentang ide-ide tentang gagasan atau keyakinan.
Dalam bahasa Yunani yang dikemukakan oleh A. Destult de Tracy (1836), ideologi berasal dari kata eidos dan logia atau logos. Eidos berarti bentuk atau melihat, sedangkan logos berarti kata atau ajaran. Menurutnya, ideologi berarti ilmu tentang terjadinya cita-cita, gagasan atau buah pikiran. dari beberapa makna tersebut, makna kata ideologi secara harafiah adalah kumpulan gagasan, cita-cita yang harus dicapai, pandangan, atau paham secara menyeluruh dan sistematis yang dijadikan dasar bagi perubahan suatu institusi kepentingan golongan kelas sosial. Jadi, mungkin saja ideologi seseorang berbeda dengan orang atau kelompok lain.
B. Perbedaan Ideologi Terbuka dan Tertutup
Ideologi terbuka adalah ideologi yang bersifat aktual, dinamis, antisifasif dan senantiasa beradaptasi sesuai perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta dinamika perkembagan aspirasi masyarakat. keterbukaan ideologi ini bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang ada di dalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya lebih konkrit, sehingga memilik kemampuan yang reformatif untuk menyelesaikan masalah-masalah aktual yang senantiasa berkembang seiring dengan aspirasi masyarakat, perkembangan iptek dan zaman.

Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve.

Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.
Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.

C. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Seperti kita ketahui, budaya masyarakat Indonesia dalam mencapai kata sepakat ditentukan melalui musyawarah dan konsensus dari masyarakat. oleh karena itu, bentuk dari proses pemikiran dari suatu masyarakat terbuka menjadi suatu dasar kepribadian bangsa Indonesia sekaligus bagian dari konsep perumusan pancasila sebagai dasar negara. Sistem pemikiran terbuka inilah yang disebut dengan ideologi terbuka.
Pancasila sebagai ideologi terbuka sama halnya dengan bangsa Indoensia yang senantiasa terbuka dalam setiap dimensi kehidupan. Menurut Dr. Alfian, kekuatan ideologi bergantung pada tiga dimensi yang dikandungnya, yaitu sebagai berikut.
1. Dimensi Realita
Perkembangan aspirasi dan pemikiran masyarakat Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya untuk hidup berbangsa dan bernegara secara nyata dan hidup dalam masyarakat atau bangsanya. Misalnya, munculnya ideologi Pancasila pertama kali hingga kini.
2. Dimensi Fleksibilitas
Pancasil memiliki keluwesan, baik untuk menjawab tantangan zaman di masa kini maupun masa depan tanpa harus kehilangan kepribadian dan arah kehidupan.
3. Dimensi Idealisme
Keterbukaan untuk menerima kemajuan zaman yang lebih baik yang sesuai dengan nilai-nilai idealisme. Pancasila tumbuh seiring dengan gerak perkembangan bangsa melalui perwujudan dan pengalaman di kehidupan sehari-hari.
D. Perbandingan Ideologi Pancasila dengan Ideologi lain
Istilah ideologi negara mulai banyak digunakan bersamaan dengan perkembangan pemikiran Karl Marx yang dijadikan sebagai ideologi beberapa negara pada abad ke-18. Namun sesungguhnya konsepsi ideologi sebagai cara pandang atau sistem berpikir suatu bangsa berdasarkan nilai dan prinsip dasar tertentu telah ada sebelum kelahiran Marx sendiri. Bahkan awal dan inti dari ajaran Marx adalah kritik dan gugatan terhadap sistem dan struktur sosial yang eksploitatif berdasarkan ideologi kapitalis.

Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan Lenin kemudian disebut sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivisme dengan titik ekstrem menghapuskan hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak sipil dan politik individu. Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis yang menekankan pada individualisme baik dari sisi politik maupun ekonomi.
Kedua ideologi besar tersebut menjadi ideologi utama negara-negara dunia pasca perang dunia kedua hingga berakhirnya era perang dingin. Walaupun demikian baik komunisme maupun kapitalisme memiliki warna yang berbeda-beda dalam penerapannya di tiap wilayah. Ideologi selalu menyesuaikan dengan medan pengalaman dari suatu bangsa dan masyarakat. Komunisme Uni Soviet berbeda dengan komunisme di Yugoslavia, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara Amerika Latin. Demikian pula dengan kapitalisme yang memiliki perbedaan antara yang berkembang di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Asia.

Walaupun negara-negara yang menganut kedua besaran ideologi tersebut saling berhadap-hadapan, namun proses penyesuaian diantara kedua ideologi tersebut tidak dapat dihindarkan. Kapitalisme, dalam perkembangannya banyak menyerap unsur-unsur dari sosialisme. Setelah mengalami krisis besar pada tahun 1920-an (the great depression) Amerika Serikat banyak mengadopsi kebijakan-kebijakan intervensi negara di bidang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian berkembang menjadi konsep negara tersendiri, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ideologi, yaitu negara kesejahteraan (welfare state) yang berbeda dengan ideologi kapitalisme klasik.
Di sisi lain, beberapa negara komunis yang semula sangat tertutup lambat-laun membuka diri, terutama dalam bentuk pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik. Proses demokratisasi terjadi secara bertahap hingga keruntuhan negara-negara komunis yang ditandai dengan tercerai-berainya Uni Soviet dan Yugoslavia pada dekade 1990-an.

Ada yang menafsirkan bahwa keruntuhan Uni Soviet dan Yugoslavia sebagai pilar utama adalah tanda kekalahan komunisme berhadapan dengan kapitalisme. Bahkan Fukuyama pernah mendalilkan hal ini sebagai berakhirnya sejarah yang selama ini merupakan panggung pertentangan antara kedua ideologi besar tersebut. Namun kesimpulan tersebut tampaknya terlalu premature. Keruntuhan komunisme, tidak dapat dikatakatan sebagai kemenangan kapitalisme karena dua alasan, yaitu (a) ide-ide komunisme, dan juga kapitalisme tidak pernah mati; dan (b) ideologi kapitalisme yang ada sekarang telah menyerap unsur-unsur sosialisme dan komunisme.

Ide-ide komunisme tetap hidup, dan memang perlu dipelajari sebagai sarana mengkritisi sistem sosial dan kebijakan yang berkembang. Ide-ide tersebut juga dapat hidup kembali menjadi suatu gerakan jika kapitalisme yang saat ini mulai kembali ke arah libertarian berada di titik ekstrim sehingga menimbulkan krisis sosial. Demikian pula halnya dengan gerakan-gerakan demokratisasi dan perjuangan atas hak-hak individu akan muncul pada sistem yang terlalu menonjolkan komunalisme.

Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem sosiali-komunis, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya.


Hasil – hasil Sidang PPKI

Hasil-Hasil Sidang PPKI Secara Lengkap

Berikut ini beberapa keputusan penting dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
1. Mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang telah
dipersiapkan oleh Dokuritsu Junbi Coosakai (BPUPKI), yang kemudian dikenal dengan
Undang-Undang Dasar 1945.
2. Memilih Ir. Soekarno sebagai presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil
presiden. Pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara aklamasi atas usul
dari Otto Iskandardinata.
3. Membentuk sebuah Komite Nasional untuk membantu presiden selama Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum terbentuk.
Pada hari berikutnya, tanggal 19 Agustus 1945 PPKI melanjutkan sidangnya dan berhasil
memutuskan beberapa hal berikut.
1. Pembagian wilayah, terdiri atas 8 provinsi.
a. Jawa Barat, gubernurnya Sutarjo Kartohadikusumo
b. Jawa Tengah, gubernurnya R. Panji Suroso
c. Jawa Timur, gubernurnya R.A. Suryo
d. Borneo (Kalimantan), gubernurnya Ir. Pangeran Muhammad Noor
e. Sulawesi, gubernurnya Dr. G.S.S.J. Sam Ratulangi
f. Maluku, gubernurnya Mr. J. Latuharhary
g. Sunda Kecil (Nusa Tenggara), gubernurnya Mr. I. Gusti Ktut Pudja
h. Sumatra, gubernurnya Mr. Teuku Mohammad Hassan
2. Membentuk Komite Nasional (Daerah).
3. Menetapkan 12 departemen dengan menterinya yang mengepalai departemen dan 4
menteri negara. Berikut ini 12 departemen tersebut.
a. Departemen Dalam Negeri dikepalai R.A.A. Wiranata Kusumah
b. Departemen Luar Negeri dikepalai Mr. Ahmad Subardjo
c. Departemen Kehakiman dikepalai Prof. Dr. Mr. Supomo
d. Departemen Keuangan dikepalai Mr. A.A Maramis
e. Departemen Kemakmuran dikepalai Surachman Cokroadisurjo
f. Departemen Kesehatan dikepalai Dr. Buntaran Martoatmojo
g. Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan dikepalai Ki Hajar Dewantara
h. Departemen Sosial dikepalai Iwa Kusumasumantri
i. Departemen Pertahanan dikepalai Supriyadi
j. Departemen Perhubungan dikepalai Abikusno Tjokrosuyoso
k. Departemen Pekerjaan Umum dikepalai Abikusno Tjokrosuyoso
l. Departemen Penerangan dikepalai Mr. Amir Syarifudin
Sedangkan 4 menteri negara yaitu:
1. Menteri negara Wachid Hasyim
2. Menteri negara M. Amir
3. Menteri negara R. Otto Iskandardinata
4. Menteri negara R.M Sartono
Di samping itu diangkat pula beberapa pejabat tinggi negara yaitu:
1. Ketua Mahkamah Agung, Dr. Mr. Kusumaatmaja
2. Jaksa Agung, Mr. Gatot Tarunamihardja
3. Sekretaris negara, Mr. A.G. Pringgodigdo
4. Juru bicara negara, Soekarjo Wirjopranoto
Sidang PPKI yang ketiga tanggal 22 Agustus 1945 memutuskan:
1. Pembentukan Komite Nasional
2. Membentuk Partai Nasional Indonesia
3. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat




Pascaproklamasi, dibutuhkan upaya pemulihan keamanan yang masih rawan. Karena itu pada 22 Agustus 1945 sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), sebuah korps pejuang bersenjata, dengan tujuan untuk menjamin ketenteraman umum, yang pada mulanya merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang.

Pada pidato 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno menyerukan supaya para pemuda memasuki BKR sampai tiba waktunya mereka dipanggil untuk memasuki tentara kebangsaan. Dalam perjalanan sejarahnya BKR menjadi badan yang menduduki peranan yang penting dalam masyarakat.

Sekalipun BKR itu bukan tentara, dalam bulan-bulan pertama sesudah proklamasi, BKR lah yang memelopori, mendorong, memutar roda revolusi dengan melakukan perebutan kekuasaan dan perebuatan senjata dari tangan jepang. Orang-orang yang tergabung di dalamnya berasal dari bekas prajurit PETA, Heiho, Polisi, Seinendan, Keibodan, KNIL, dan lain-lain.

Namun kedatangan tentara Sekutu di akhir September 1945 membuat pemerintah memutuskan pembubaran Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menggantinya dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melalui maklumat pemerintah tanggal 5 Oktober 1945.


Soekarno atau Yamin
Sekretariat Negara, pekan lalu, kembali menerbitkan sebuah buku
penting. Judulnya Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebagaimana judulnya, buku ini
memang kumpulan risalah, pidato, para ''Bapak Bangsa'' di sidang
BPUPKI, 28 Mei sampai 1 Juni 1945, kemudian 10 sampai 17 Juli
1945. Lalu di dalam sidang PPKI, 18 sampai 22 Agustus 1945.
Sungguh, itu momentum yang terpenting dalam proses berdirinya
republik ini. Dalam sidang-sidang itulah dilahirkan UUD 1945 dan
Pancasila. Di situ pula dirumuskan bentuk dan struktur negara
ini. Malah, sidang itu pula yang kemudian memilih Soekarno dan
Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang
pertama.
Tapi sidang-sidang itu pulalah yang sampai sekarang menjadi bahan
perdebatan sengit yang sifatnya akademis ataupun politis.
Soalnya, sekalipun jarak peristiwa itu baru sekitar 50 tahun,
dokumen-dokumen peristiwa penting itu tak lagi lengkap.
Akibatnya, perdebatan -- terutama yang berbau politis -- yang
terjadi terlihat lebih menonjolkan emosi. Misalnya, siapa
sebenarnya penggali Pancasila? Ada yang menyebut Bung Karno. Ada
yang menyebut Muhammad Yamin. Ada pula yang berpendapat, itu
kerja kolektif para ''Bapak Bangsa''. Karena Bung Karno seorang
besar yang banyak punya pengagum, selain juga para pengecam, maka
perdebatan soal ini sulit berlangsung dengan dingin. Apalagi
dokumen untuk dijadikan pijakan tak pula lengkap.
Menariknya, buku Setneg yang baru terbit ini -- sebenarnya ini
edisi ketiga, revisi dari dua edisi sebelumnya -- dilengkapi
dengan sejumlah dokumen temuan baru yang disebut Koleksi
Pringgodidgo dan Koleksi Yamin. Yang pertama diperoleh dari
Negeri Belanda, yang terakhir dari Perpustakaan Pura
Mangkunegaran, Solo. Karena itu, buku ini jadi menarik, walau tak
semua temuan baru itu sudah dimuat di sini. Misalnya, ditemukan
daftar acara rapat-rapat tadi, serta siapa saja pembicaranya,
berapa lama ia berbicara, dan sebagainya. Dengan temuan itu, kini
bisa dipastikan bahwa pada 29 Mei 1945 memang benar Muhammad
Yamin menyampaikan pidato di depan sidang BPUPKI untuk membahas
soal dasar negara. Artinya, tuduhan selama ini terhadap Yamin --
ada yang menuduh tak benar ia berbicara pada hari itu -- bisa
dikurangi. Tapi debat dalam soal ini belum akan berakhir.
Maka peristiwa penting ini kami jadikan sebuah Laporan Utama.
Bagian pertama berupa rangkuman cerita tentang terbitnya buku
baru itu, temuan dokumen tadi, serta dampaknya. Bagian ini
dilengkapi dengan sebuah boks: kisah penemuan kedua koleksi itu.
Bagian kedua memuat wawancara dengan Menteri Sekretaris Negara
Moerdiono, di sekitar penerbitan buku baru itu.
Di bagian ketiga, kami menulis kontroversi tentang negara
integralistik Soepomo. Sejumlah ahli menuding bahwa sistem itu
antidemokrasi dan HAM. Lantas bagaimana tuduhan itu, setelah
penemuan dokumen tadi? Lantas di bagian keempat, terakhir, cerita
sekitar kontroversi penggali Pancasila. Salah satu temuan baru
tadi, berupa catatan tentang ringkasan pidato Yamin pada waktu
itu, yang ternyata mengandung unsur dari lima sila itu. Nah,
Yamin atau Soekarnokah penggali Pancasila?
(Amran Nasution)
--------
Debat Panjang Tentang Penggali Pancasila
Setneg menerbitkan buku tentang proses lahirnya Pancasila dan UUD
45. Ada dokumen menunjukkan, Muhammad Yamin mengajukan konsep
lima dasar. Autentikkah?
ADA peristiwa simbolis dan penting di Istana Negara pada 29 Mei
1995. Waktu itu Menteri Sekretaris Negara Moerdiono menyerahkan
sebuah buku berjudul Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) edisi ke-3, terbitan Sekretariat
Negara, kepada Presiden Soeharto.
Moerdiono didampingi oleh Sejarawan Dr. Taufik Abdullah,
Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati. Taufik
adalah pemberi pengantar buku. Sedangkan tiga nama lainnya adalah
tim penyunting buku itu.
Disebut peristiwa simbolis karena penyerahan buku itu bertepatan
dengan hari dimulainya pencarian dasar-dasar negara oleh para
pendiri republik dalam sidang BPUPKI 50 tahun silam. Pada hari
itu beberapa orang berpidato, antara lain Muhammad Yamin. Dari
segi kesejarahan, buku itu juga penting karena dilengkapi dokumen
yang belum dipublikasikan. Yakni risalah (catatan-catatan)
peristiwa Koleksi Muhammad Yamin dan Koleksi Abdoel Gafar
Pringgodigdo -- keduanya anggota BPUPKI. Isinya berupa sebagian
catatan hasil-hasil sidang BPUPKI pada 29 Mei -1 Juni 1945 dan
tanggal 10 Juli-17 Juli 1945. Juga bersisi catatan siapa saja
yang berpidato ketika itu. Sidang BPUPKI sendiri dibuka resmi
pada 28 Mei 1945.
Di samping itu, masih dilengkapi pula dengan biodata para anggota
BPUPKI yang belum termuat pada edisi tahun 1980 dan 1992. Juga
belum ada pada Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 susunan
Muhammad Yamin yang terbit tahun 1959, dan menjadi sumber
berbagai penulis sejarah, termasuk buku terbitan Sekretariat
Negara itu.
Koleksi Pringgodigdo semula berada di Yogyakarta. Namun setelah
Yogya diduduki tentara Belanda pada 19 Desember 1948, koleksi
tersebut dirampas dan dibawa ke Negeri Belanda. Di sana, arsip
itu disimpan oleh Algemeene Secretarie Nederlandsch Indie pada
Algemeene Rijksarchief di Den Haag. Pada awal 1994 bundel ini
diserahkan kembali kepada pemerintah Indonesia (Arsip Nasional).
Dari sejarawan Belanda Dr. R.J. Drooglever, tim penyunting juga
menerima tambahan 20 halaman copy risalah BPUPKI dari Koleksi
Pringgodigdo, yang selama ini tersimpan di Negeri Belanda, yang
juga belum termuat dalam buku-buku sebelumnya.
Sedangkan Koleksi Muhammad Yamin ditemukan petugas Arsip Nasional
di perpustakaan Puri Mangkunegaran, Solo. Risalah Yamin bisa
berada di keraton itu dibawa oleh Rahadian Yamin (almarhum),
putra tunggal Yamin, yang menjadi menantu Mangkoenagoro VIII.
Isi kedua berkas tersebut secara keseluruhan hampir sama, yakni
catatan rapat Panitia Perancang UUD 1945 pada tanggal 11 Juli
1945. Khusus dalam risalah Koleksi Pringgodigdo pemberian
Drooglever terdapat catatan lengkap nama anggota BPUPKI yang
berpidato, serta lamanya pidato mereka pada tanggal 29, 30, dan
31 Mei 1945, yang selama ini dianggap misterius.
Berkas tersebut telah ditelaah dengan teliti oleh tim penyunting,
dibantu oleh para sejarawan, antara lain Dr. Taufik Abdullah,
Abdulrachman Surjomihardjo (almarhum), dan sejumlah ahli
kearsipan lainnya. Hasilnya, ditemukan persamaan dan perbedaan
materi antara kedua koleksi tersebut dengan buku Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945 Muhammad Yamin. ''Dengan demikian, kedua
koleksi itu bersifat melengkapi buku sejenis yang telah
diterbitkan sebelumnya,'' ujar Saafroedin Bahar, staf ahli
Menteri Sekretatis Negara. Saafroedin adalah ketua penyunting
Risalah Sidang BPUPKI PPKI edisi terbaru.
Sebagaimana tercatat dalam berbagai buku sejarah, ketika pada
awal 1945 Jepang makin terdesak dalam Perang Pasifik, tentara
Dai-Nippon berusaha memobilisasikan dukungan rakyat Indonesia
dengan janji akan memberikan kemerdekaan di kelak kemudian hari.
Sebagai tahap awal, untuk merealisasikan janji tersebut, pada 29
April 1945 Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
yang beranggota inti 62 plus 6 anggota tambahan (jadi seluruhnya
68 orang). Badan ini diketuai Dr. Kanjeng Raden Tumenggung
Radjiman Wedyodiningrat, dengan wakil ketua Hibangase Yosio
(orang Jepang) dan R.P. Soeroso. Di luar anggota BPUPKI yang akan
berunding, ada Badan Tata Usaha (semacam sekretariat) yang
beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha dipimpin oleh R.P.
Soeroso, wakilnya Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda (Jepang).
Di bawah bayang-bayang kekuasaan Jepang, BPUPKI mulai bersidang
pada 28 Mei 1945 di Gedung Tyuuoo Sangiin -- semacam Dewan
Perwakilan Rakyat -- di Jalan Pejambon, Jakarta. Di zaman
Belanda, gedung itu menjadi kantor Volskraad (DPR bentukan
Belanda). Sekarang namanya Gedung Pancasila.
Sidang yang resmi tersebut dibagi menjadi dua termin. Sidang
resmi pertama berlangsung lima hari, tanggal 28 Mei sampai 1 Juni
1945. Yang dibahas dalam termin ini adalah dasar negara, yang
sering disebut-sebut sebagai detik-detik lahirnya Pancasila. Pada
termin ini seluruh anggota BPUPKI yang berjumlah 62 orang
ditambah 6 anggota tambahan berkumpul dalam satu ruangan sidang.
Sidang resmi kedua berlangsung tanggal 10 -- 17 Juli 1945,
membahas bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan,
rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan
negara, pendidikan dan pengajaran. Pada termin ini anggota BPUPKI
dipilah-pilah menjadi Panitia Perancang Undang-Undang Dasar
(diketuai Soekarno), Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai
Abikoesno Tjokrosoejoso), dan Panitia Ekonomi dan Keuangan
(diketuai Mohamad Hatta).
Di antara dua sidang resmi itu berlangsung pula sidang tak resmi
yang dihadiri 38 orang. Sidang yang dipimpin Bung Karno ini
membahas rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang
kemudian dibahas pada sidang resmi kedua BPUPKI (10 - 17 Juli
1945).
Setelah BPUPKI menyelesaikan tugas-tugasnya, pada 7 Agustus 1945
dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun
panitia ini baru bersidang pada 18 - 22 Agustus 1945, atau sehari
setelah Proklamasi Kemerdekaan, yang antara lain berhasil
mengesahkan UUD 1945 dan memilih Presiden Pertama RI.
Mengenai sidang-sidang PPKI, sampai sekarang boleh dikatakan tak
mengundang perdebatan. Sebab, risalah atau catatan-catatan
tentang itu cukup lengkap dan autentik. Berbeda dengan tulisan
mengenai sidang BPUPKI yang menimbulkan perdebatan. Sebab,
notulen selama sidang hilang entah ke mana. ''Sampai sekarang
kami masih mencari notulen stenografi yang dibuat oleh Karundeng,
seorang pencatat dari badan tata usaha, bukan anggota perunding
BPUPKI,'' kata Saafroedin Bahar.
Untunglah, selain Karundeng, di antara yang menghadiri sidang ada
yang mencatat apa yang berlangsung dalam sidang tersebut.
Misalnya, Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Muhammad Yamin. ''Namun
catatan para tokoh ini tentu tak bersifat notulen (mencatat apa
adanya). Boleh jadi, hanya berupa resume dan waktu pembuatannya
pun mungkin jauh hari kemudian. ''Bisa juga sudah dipengaruhi
atau ditambah dengan kesan pribadi pembuatnya, meskipun dibuat
ketika peristiwa berlangsung,'' ujar Ananda B. Kusuma, anggota
tim penyunting yang melakukan pengejaran dokumen.
Risalah Koleksi Yamin dan Koleksi Pringgodigdo yang dipakai untuk
melengkapi buku Risalah Sidang BPUPKI PPKI edisi ke-3 ini masuk
dalam kelompok itu, bukan notulen buatan Karundeng (selanjutnya
disebut Notulen Karundeng) yang belum ditemukan itu. Ada yang
menduga notulen tersebut semula berada di tangan Abdoel Gafar
Pringgodigdo.
Pringgodigdo kemudian meminjamkannya kepada Prof. Dr. A. Toynbee,
ahli sejarah asal Inggris, yang ingin menyusun buku. Setelah
selesai, notulen tadi akan dikembalikan Indonesia. Kebetulan
waktu itu Yamin berkunjung ke London. Dan Toynbee menitipkan
notulen yang ia pinjam kepada Yamin. Rupanya, kemudian Yamin
menyimpannya sendiri, tak mengembalikan kepada Pringgodigdo. Oleh
Yamin, notulen itu kemudian dipakai untuk menyusun Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.
Jika Yamin memang orang yang sering disebut sebagai peminjam
dokumen, lalu di manakah benda berharga itu sekarang? Mungkinkah
masih masih berada di tangan pewarisnya. Yang pasti, sebagian di
antaranya pernah disimpan di Puri Mangkunegaran dan kemudian
diserahkan ke Arsip Nasional. Dan yang ini bukan Notulen
Karundeng.
Bagi kepentingan studi sejarah, dokumen merupakan bahan utama.
Seperti kata Sejarawan Taufik Abdullah, sejarah merupakan
rekonstruksi masa lalu. Tujuan penulisan sejarah adalah
mendekatkan diri sedekat mungkin dengan peristiwa sesungguhnya.
Secara sederhana mungkin dapat dikatakan, apa yang tertulis dalam
karya sejarah memang pernah terjadi dan bukan rekayasa
kepentingan di luar kepentingan ilmu, misalnya untuk kepentingan
politik.
Maka yang terpenting adalah tersedianya dokumen. Makin lengkap
dan autentik dokumen yang ada, maka penelusuran ke masa silam
tentu akan makin akurat. Sebaliknya, bila dokumen yang tersedia
tak lengkap atau diragukan keautentikannya, maka akan muncul
perdebatan sengit.
Di kalangan sejarawan, perdebatan adalah hal biasa dan biasanya
tak menimbulkan kerawanan. Sebab, tulis Taufik dalam kata
pengantar buku Risalah Sidang BPUPKI PPKI, perdebatan kesejarahan
adalah bagian dari usaha untuk menempatkan bangsa dalam konteks
perubahan zaman.
Namun sejarah bukan hanya milik sejarawan atau cendekiawan,
melainkan juga milik masyarakat : Bagi masyarakat luas,
perdebatan itu bisa menjadi sensitif dan berpotensi menimbulkan
desintegrasi bila dianggap merusak gambaran masa lalu yang telah
mereka anggap benar.
Terjadinya polemik hangat pada awal 1981 tentang siapa
sesungguhnya penggali Pancasila adalah karena kurangnya dokumen
autentik. Ketika itu Sejarawan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto
meluncurkan buku tipis 68 halaman berjudul Proses Perumusan
Pancasila Dasar Negara terbitan Balai Pustaka. Di situ Nugroho --
kini almarhum -- menyimpulkan bahwa penggali utama Pancasila tak
hanya Bung Karno, melainkan juga Muhammad Yamin dan Soepomo.
Nugroho juga mengatakan, tanggal 1 Juni hanyalah hari lahir
Pancasila-nya Bung Karno, bukan Pancasila yang dikenal sekarang.
Pernyataan ini segera saja mengundang kritik. Beberapa sejarawan
meragukan metodologi sejarah dan prosedur ilmiah yang dipakai
untuk membuktikan kesimpulannya. Abdulrachman Surjomihardjo,
misalnya, bahkan menilai tulisan Nugroho tak lebih dari sekadar
pamflet politik.
Keberatan para penyanggah terutama karena Nugroho hanya memakai
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 susunan Yamin sebagai
sumber primer. Padahal, Yamin dicurigai telah menyaring notulen
rapat BPUPKI, dan hanya memuat bagian-bagian yang memperkuat dan
menonjolkan posisinya.
Polemik tentang siapa penggali Pancasila memang melibatkan
perasaan terhadap peran Bung Karno dalam sejarah. Dan itu bisa
menjadi debat sengit serta panjang. Apalagi bila belum ada bukti
tertulis lain yang betul-betul bisa menyanggah atau memperkuat
buku Yamin.
Di antara Koleksi Pringgodigdo terdapat dua halaman risalah yang
berisi inti pidato Yamin, yang tak secara jelas disebut dalam
buku Risalah Sidang BPUPKI PPKI. Di situ tercatat bahwa Yamin
mengemukakan lima konsep dasar negara (filosofische grondslag):
Negara Kebangsaan, Kemanusiaan, Ketuhanan, Kedaulatan,
Kesejahteraan Rakyat. Sedangkan Bung Karno baru mengucapkan
pidatonya yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai hari
lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945.
Konsep Yamin memang tak diberi judul ''Pancasila'' (sementara
Bung Karno sudah memakai istilah itu). Namun ide tentang
Pancasila sudah terkandung dalam pidato Yamin. Lembaran itu tak
menyebutkan tanggal pembuatan. ''Yang pasti ditulis antara
tanggal 29 Mei dan 31 Mei 1945,'' kata sebuah sumber. Kalau kelak
bisa dibuktikan bahwa risalah itu autentik, berarti Yamin memang
lebih dulu mengungkapkan gagasan lima dasar itu ketimbang Bung
Karno.
Namun apalah artinya seorang pribadi bagi kepentingan yang lebih
luas: bangsa. Sebagaimana kata Sejarawan Taufik Abdullah,
Pancasila sebagai ideologi telah menjadi milik publik. Dalam
kaitan ini tak penting lagi siapa yang menggali atau siapa yang
pertama-tama merumuskannya. ''Kalau kita menyenangi sebuah lagu
dan ingin menyanyikannya, apakah kita berpikir siapa yang
menciptakannya,'' Taufik bertamsil.
Begitu pula dengan ideologi. Bila sebuah gagasan telah diterima
oleh masyarakat, mestinya tak penting lagi siapa yang pertama
mengajukannya. Masalahnya seperti disebut Taufik sebelumnya,
sejarah adalah milik masyarakat. Manakala ''siapa'' tersebut
dipakai sebagai aset politik oleh kelompok tertentu, nama menjadi
penting untuk memperoleh keuntungan politik. ''Dalam memahami
sejarah bagi kepentingan bangsa, kita seharusnya tak berpikir
seperti itu,'' kata Taufik kepada Mauluddin Anwar dari Gatra.
Menurut Taufik, rumusan Pancasila yang kita kenal sekarang
dihasilkan dalam sidang tak resmi BPUPKI (Panitia Kecil) pada 22
Juni 1945, yang kemudian menghasilkan Piagam Jakarta.
Selanjutnya, piagam ini disempurnakan pada 18 Agustus 1945,
sehingga menjadi pembukaan UUD 1945.
Polemik lain yang juga muncul karena kelangkaan dokumen adalah
mengenai paham negara integralistik yang oleh sebagian anggota
masyarakat dianggap ''masih menjiwai'' Undang-Undang Dasar 1945.
Kata ''masih menjiwai'' perlu diberi tanda kutip karena paham
negara integralistik memang pernah diutarakan oleh Prof. Dr.
Soepomo pada 31 Mei 1945 di tengah anggota BPUPKI. Dalam sidang
BPUPKI kedua (10 -- 17 Juli) ide itu ditentang oleh anggota
sidang, terutama oleh Mohammad Hatta.
Belasan tahun Soepomo menjadi bulan-bulanan kecaman, seakan-akan
ia telah melakukan dosa tak terampunkan. Sementara itu,
kecurigaan terhadap UUD 1945 pun belum sepenuhnya pudar. Tahun
1985, jauh setelah Soepomo berpidato, Adnan Buyung Nasution
menganggap UUD 1945 cenderung melahirkan pemimpin otoriter dan
tak menjamin hak asasi manusia. Pernyataan ini termuat dalam
disertasi Adnan yang berjudul The Aspiration for Constitutional
Goverment: A Social-Legal Study of Indonesia Konstituante
1956-1959, yang dibuat di Belanda pada 1985.
Tampaknya, ada satu hal yang dilupakan atau barangkali tak
diketahui, yaitu bahwa pada sidang-sidang BPUPKI selanjutnya
Soepomo berubah sikap. Dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945 karya Yamin, misalnya, jalannya perdebatan tentang paham
integralistik tak dicantumkan secara lengkap.
Yamin telah meringkas risalah yang ada. ''Dalam buku Risalah
Sidang BPUPKI PPKI edisi ke-3 ini, risalah itu kami muat lengkap
sehingga pembaca dapat melihat bahwa Soepomo telah berubah
sikap,'' kata Ananda B. Kusuma.
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 karya Muhammad Yamin
dijadikan rujukan utama buku edisi ke-1 dan ke-2. Padahal, Yamin
hanya meringkas jalannya perdebatan sehingga dialog-dialog yang
terjadi tak tercantum seluruhnya.
Jadi, buku baru itu telah maju selangkah. Itu diakui oleh Manai
Sophiaan, bekas Sekretaris Jenderal Partai Nasional Indonesia
(PNI) yang dikenal sebagai pembela Bung Karno. ''Sebagai bahan
pembahasan sejarah, risalah itu merupakan bukti autentik. Tapi
jangan digunakan untuk menghapus nama Bung Karno sebagai pencetus
dan penggali Pancasila. Itu yang tak bisa kita terima,'' katanya
kepada Nur Hidayat dari Gatra.
Agaknya, tim penyusun telah menyadari kemungkinan munculnya
anggapan seperti itu. Makanya, selain mengakui berbagai
kekurangan -- umpamanya belum ditemukannya Notulen Karundeng --
tim penyusun menegaskan bahwa buku itu semata-mata untuk
mengungkapkan fakta. ''Tak ada niat untuk menaikkan atau
menjatuhkan seseorang,'' ujar Saafroedin Bahar. Saafroedin juga
mengatakan bahwa tak lama lagi Setneg akan menerbitkan
risalah-risalah yang ditemukan sebagaimana adanya. Mereka
menyebutnya edisi ilmiah.
Ketika menerima buku tersebut pada 29 Mei lalu, Presiden pun
menyadari kemungkinan adanya perdebatan. ''Kita boleh saja
berbeda pendapat. Tapi, bagaimanapun, fakta ini harus dipegang.
Sejarah memang perdebatan. Namun naskah yang dijadikan sumbernya
harus autentik,'' Saafroedin menirukan ucapan Presiden.
(Priyono B. Sumbogo)


1. Masa Demokrasi Liberal
Periode 1950 -1959 merupakan masa berkiprahnya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI dan Masyumi) silih berganti memimpin kabinet. Hampir setiap tahun terjadi pergantian kabinet. Masa pemerintahan kabinet tidak ada yang berumur panjang, sehingga masing-masing kabinet yang berkuasa tidak dapat melaksanakan seluruh programnya. Keadaan ini menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Kabinet-kabinet yang pemah berkuasa setelah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda adalah sebagai berikut.
Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951). Setelah bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan, kabinet pertama yang memerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Kabinet Natsir. Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi. PNI sebagai partai kedua terbesar lebih memilih kedudukan sebagai oposisi. PNI menolak ikut serta dalam kabinet, karena merasa tidak diberi kedudukan yang sesuai dengan kekuatan yang dimilikinya.
Kabinet Natsir mendapat dukungan dari tokoh-tokoh terkenal yang memiliki keahlian dan reputasi tinggi seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Asaat, Mr. Moh. Roem, Ir. Djuanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
·       Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
·       Konsolidasi dan menyempurnakan pemerintahan.
·       Menyempurnakan organisasi angkatan perang.
·       Mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan.
·       Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat
Pada masa pemerintahan dan kekuasaan Kabinet Natsir terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Masalah dalam keamanan negeri, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS. Perundingan-perundingan masalah Irian Barat juga mulai dirintis, namun mengalami jalan buntu. Oleh karena itu, muncul mosi tidak percaya terhadap Kabinet Natsir. PNI juga tidak menyetujui berlakunya Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950 tentang DPRD yang dianggap menguntungkan Masyumi. Mosi itu disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Perdana Menteri Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden.
Kabinet Sukiman (27 April 1951-3 April 1952). Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dengan Masyumi. Namun usahanya itu mengalami kegagalan, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret - 18 April 1951).
Presiden kemudian menunjuk Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai formatur. Walaupun mengalami sedikit kesulitan, namun akhirnya mereka berhasil membentuk kabinet koalisi antara Masyumi dengan PNI dan sejumlah partai kecil. Kabinet koalisi itu dipimpin oleh Sukiman dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kabinet Sukiman. Kabinet Sukiman memiliki program 7 pasal, dan di antaranya mirip dengan program dari kabinet Natsir, hanya beberapa hal mengalami perubahan dalam skala prioritas. Misalnya, mengenai pemulihan keamanan dan ketertiban. Usia kabinet ini tidak jauh berbeda dengan kabinet Natsir, karena pada masa kabinet ini banyak menghadapi masalah-masalah seperti krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah. Kabinet Sukiman juga memprogram-kan untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda, walaupun belum juga membawa hasil.
Kedudukan Kabinet Sukiman semakin tidak stabil, karena hubungan dengan militer yang kurang baik, terutama terlihat dari sikap pemerintah menghadapi pemberontakan yang terjadi di Jawa Barat, Jawa tengah, dan Sulawesi Selatan yang kurang tegas. Selanjutnya kedudukan Kabine Sukiman semakin bertambah goyah sebagai akibat terjadinya pertukaran nota antara Menteri Luar Negeri Subardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran mengenai bantuan ekonomi dan militer berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA) atau Undang-undang Kerja Sama Keamanan. Kerja sama itu dinilai sangat merugikan politik luar negeri bebas-aktif yang dianut Indonesia, karena Indonesia harus lebih memerhatikan kepentingan Amerika Serikat. Bahkan lebih dari itu, Kabinet Sukiman dituduh telah memasukkan Indonesia ke dalam Blok Barat. Oleh karena itu, DPR menggugat kebijakan Kabinet Sukiman. Akhirnya Kabinet Sukiman pun menemui nasib yang sama, mengalami kejatuhan dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953). Setelah Kabinet Sukiman jatuh, digantikan oleh Kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI. Wilopo sendiri adalah tokoh PNI. Program kerja kabinet ini ada 6 pasal, dan yang paling penting dari keenam program itu adalah mempersiapkan pelaksanaan pemilihan umum. Kabinet ini juga mem-programkan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan menciptakan keamanan dalam negeri. Program luar negerinya ditekankan kepada per-juangan pengembalian Irian Barat serta melaksanakan politik luar negeri yang bebas-aktif. Namun demikian, kabinet Wilopo ini juga tidak luput dari masalah-masalah yang menggoyahkan kedudukannya.
Masalah yang cukup berat dihadapi oleh Kabinet Wilopo adalah masalah Angkatan Darat yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952. Latar belakang peristiwa itu terkait dengan masalah ekonomi, reorganisasi atau profesi-onalisasi tentara dan campur tangan parlemen atas permasalahan militer.
Sementara itu, perkembangan ekonomi dunia kurang menguntungkan pemasaran hasil ekspor Indonesia. Penerimaan negara menjadi menurun. Dengan keadaan ekonomi yang sulit dan upaya pembentukan militer yang memenuhi standar profesional, maka anggota militer yang tidak memenuhi syarat (berpendidikan rendah) perlu dikembalikan kepada masyarakat. Hal ini menimbulkan protes di kalangan militer. Kalangan yang terdesak dipimpin oleh Kolonel Bambang Sugeng menghadap presiden dan mengajukan petisi peng-gantian KSAD Kolonel A.H. Nasution. Tentu saja hal ini menimbulkan kericuhan di kalangan militer yang menjurus ke arah perpecahan.
Parlemen mengecam tindakan peme rintah, khususnya Menteri Pertahanan dan Pimpinan Angkatan Perang dan Darat. Beberapa anggota parlemen mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah. Mereka menilai bahwa parlemen terlalu ikut campur dalam tubuh tentara. Bahkan pada tanggal 17 Oktober 1952 muncul demonstrasi rakyat terhadap presiden. Para demonstran itu menuntut kepada presiden agar membubarkan parlemen serta meminta presiden memimpin langsung pemerintahan sampai diselenggarakannya pemilu. Namun presiden menolak, dengan alasan bahwa ia tidak mau menjadi diktator, tetapi mungkin pula khawatir apabila tuntutan tentara dipenuhi ia akan ditunggangi oleh mereka.
Dalam perkembangan selanjutnya muncul golongan yang anti Peristiwa 17 Oktober 1952 dari kalangan Angkatan Darat sendiri. Menteri Pertahanan, Sekretaris Jenderal Ali Budihardjo dan sejumlah perwira yang merasa bertanggung jawab atas Peristiwa 17 Oktober 1952 di antaranya KSAP T.B. Simatupang dan KSAD A.H. Nasution mengundurkan diri dari jabatannya. Kedudukan Nasution digantikan oleh Bambang Sugeng. Walaupun Peristiwa 17 Oktober 1952 tidak menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo, tetapi berakibat menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Masalah lain yang menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo adalah masa-lah tanah di Tanjung Morawa, satu kecamatan di Sumatera Timur. Di keca-matan itu terdapat perkebunan asing, antara lain perkebunan kelapa sawit, teh, dan tembakau. Atas dasar persetujuan KMB, para pengusaha asing itu menuntut pengembalian lahan per kebunan mereka, padahal perkebunan itu telah digarap oleh rakyat sejak zaman pendudukan Jepang. Ternyata peme­rintah menyetujui tuntutan dari para pengusaha asing itu dengan alasan akan menghasilkan devisa dan akan menarik modal asing lainnya masuk ke Indonesia. Di sisi lain, rakyat tidak mau meninggal-kan tanah-tanah yang telah digarapnya itu. Maka pada tanggal 16 Maret 1953 terjadilah pentraktoran tanah tersebut. Hal ini menimbulkan protes dari rakyat. Namun protes rakyat itu disambut tem-bakan oleh polisi, sehingga jatuh korban di kalangan rakyat.
Peristiwa itu dijadikan sarana oleh kelompok yang anti kabinet dan pihak oposisi lainnya untuk mencela pemerintah. Kemudian mosi tidak percaya muncul di parlemen. Akibatnya Kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden pada tanggal 2 Juni 1953 tanpa menunggu mosi itu diterima oleh parlemen.
Kabinet All Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955). Dua bulan setelah mundurnya Kabinet Wilopo terbentuk kabinet baru yaitu Kabinet Ali Sastroamidjojo. Kabinet Ali mendapat dukungan dari PNI dan NU, sedangkan Masyumi memilih sebagai oposisi. Kabinet Ali mempunyai program 4 pasal:
Program dalam negeri antara lain meningkatkan keamanan dan kemakmuran dan segera diselenggarakan pemilihan urnum.
Pembebasan Irian Barat secepatnya.
Program luar negeri antara lain pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali Persetujuan KMB.
Penyelesaian pertikaian politik.
Meskipun keamanan dan kemakmuran menjadi program utama, realisasi-nya memang sangat sulit. Kabinet Ali juga mendapatkan kesulitan dari





. MASA DEMOKRASI LIBERAL

1. Kurun Waktu 6 September 1950 – 10 Juli 1959

Pada periode ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal dan diberlakukan UUDS 1950. Perlulah diketahui bahwa demokrasi ini yang dibahas oleh kelompok kami berbeda dengan demokrasi selama kurun waktu 1949 – 1950. Pada periode itu berlaku Konstitusi RIS. Indonesia dibagi dalam beberapa negara bagian. Sistem pemerintahan yang dianut ialah Demokrasi Parlementer (Sistem Demokrasi Liberal). Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Presiden hanya sebagai lambang. Karena pada umumnya rakyat menolak RIS, sehingga tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950.

2. Pandangan Umum :

Karena Kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar,

masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.

Faktor Yang Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal: Pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.

Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.

Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.

Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen.

Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.

Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami

rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS

1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan

jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan

ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan

negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai

masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan

dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta

tidak berlakunya UUDS 1950.

3. Seputar Dekrit Presiden

Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun tidaklah serta merta bahwa setalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Demokrasi Terpimpin dilaksanakan karena telah disebutkan di atas bahwa Demokrasi Liberal berakhir pada tanggal 10 Juli 1959.

Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :

# Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.

# Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.

# Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.

# Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.

# Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional

# Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk

# Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.

Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara.

Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.

a.      Pembubaran konstituante

b.      Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.

c.       Pembentukan MPRS dan DPAS

Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:

#Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang telah goyah selama masa Liberal.

# Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.

# KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit Presiden.

# DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melakanakan UUD 1945.

Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.

# Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.

# Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.

# Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.

Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.

# Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.

# Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.

# Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.


PEMIKIRAN AHLUSSUNNAH WALJAMAAH NU (1926) DANPOLITIK NU (1945,1970,2001)



PEMIKIRAN AHLUSSUNNAH WALJAMAAH NU (1926)
DANPOLITIK NU (1945,1970,2001)








Airlangga Risnu / 1106056850
Galuh Fathim Az Zahra’ / 1106008574
Ilhamdi / 1106056964






APRIL 2013
A. GambaranSingkat  Tentang Islam Tradisional (Jawa)
            A.1. Sinkretisme Antara Islam dan Budaya Jawa
Menurut Geertz[1], Islam masuk ke Indonesia secara sistematis baru abad ke-14, berpapasan dengan suatu kebudayaan besar yang telah menciptakan suatu sistem politik, nilai-nilai estetika, dan kehidupan sosial keagamaan yang maju. Islam menyebar di Jawa melalui proses yang tidak mudah, penuh tantangan dan melalui dua tahapan. Tahap pertama adalah proses islamisasi orang Jawa saja dan tahap kedua adalah saat dimana mereka menjadi muslim yang taat. Islamisasi di Jawa dilakukan secara damai sehingga Islam tidak kaku ajarannya. Hal tersebut kemudian membuat adat-adat tradisional masih bisa bersanding bersama islam.Meskipun begitu, syariat Islam tidak selalu menjadikan keraton (pada waktu itu) bercorak Islam karena para wali dan raja saling bekerjasama untuk menghasilkan suatu corak Islam yang sesuai dengan masyarakatnya.[2]
Islam di Indonesia dinilai Geertz begitu lemah, tak berakar dan bersifat sementara, sinkretis, dan berwajah majemuk.Banyak pihak yang juga berpendapat bahwa Islam tradisional itu seringkali melakukan ritual-ritual syirik.Islam tradisional sendiri adalah Islam yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para “ulama” ahli fiqh (hukum islam), hadist, tafsir, tauhid (teologi islam) dan tasawuf yang hidup antara abad ke-7 hingga abad ke-13.[3] Menurut Snouck Hugronje, Islam tradisional (Jawa) yang terlihat statis dan terbelenggu oleh pikiran ulama “abad pertengahan” sebenarnya mengalami perubahan secara fundamental, namun tidak terlihat. Islam tradisional yang dianggap statis masih dominan di Indonesia meskipun harus bersaing dengan arus Islam moderen.Keberhasilan Islam tradisional dalam menghimpun kekuatan yang besar di Jawa bukan karena memiliki pengikut yang banyak, melainkan solidaritas dan integritas penganutnya.[4]Beberapa ciri dari Islam tradisional di Jawa menurut Geertz adalah:
Pertama, seorang muslim kolot (tradisional) cenderung menganut pandangan yang agak menyerah kepada nasib yaitu bahwa perjalanan hidup perseorangan seluruhnya ditakdirkan oleh kehendak Tuhan. Kedua, seorang kolot cenderung menyangkal perbedaan antara kehidupan sekuler (keduniaan) dan kehidupan beragama, dan berkeras bahwa agama merasuk ke dalam semua bagian kehidupan.Ketiga, terhadap kepercayaan dan upacara pra-Islam yang ada, seorang kolot cenderung lebih bersedia menerima baik semacam kebijaksanaan.Keempat, seorang kolot cenderung menekankan penghayatan religi.Kelima, seorang kolot cenderung lebih bersikap tradisional dan lebih berpegang pada ajaran dalam menghalalkan amal dan tafsir agama.[5]

Islam di Jawa pada masa pertumbuhannya sangat diwarnai oleh kebudayaan Jawa.Hal ini dikarenakan unsur-unsur para bangsawan Jawa melestarikan tradisi Jawa-Hindu, dan juga karena para wali, sebagian angkatan pertama mubalig Islam dididik dalam lingkungan Jawa.[6]Pada masa awal tersebut Islam didakwahkan dengan jalan menyesuaikan diri dengan kebiasaan setempat dan membuatnya menjadi sesuatu yang memenuhi kebutuhan orang Jawa.Islam juga menggunakan adat kebiasaan Jawa sebagai salah satu bagian ibadah Islam.Islam di Jawa tidak berusaha untuk memisahkan antara budaya Hindu yang sudah ada dari datangnya pengaruh Islam, namun Islam di Jawa terpaksa berpaling ke dalam dan bertindak dalam rangka kepercayaan agama tradisional Jawa.
Kelonggaran yang diberikan  Islam membuatnya mampu berinteraksi dengan tradisi Jawa sehingga terjadi sintesis antara Islam dan tradisi Jawa lama yang memiliki peninggalan seperti Het Boek van Bonang (Kitab Bonang), Een Javaansche Primbon uit de Zestiende Eeuw (Sebuah Primbon Jawa dari Abad keenambelas), Suluk Sukarso, Suluk Wijil, Cabolek, Centini, Hidayat Jati, Serat Wirid (Kitab ajaran suci yang mengumumkan ajaran Islam yang banyak memasukkan unsur Jawa tradisional). Upacara-upacara pokok dalam agama Jawa tradisional adalah Slametan (selamatan, kenduri).Selain itu orang Jawa juga melakukan perayaan kehamilan, kelahiran, pengkhitanan, perkawinan, kematian, hari raya Islam resmi, seperti Lebaran (Id al-fitr), Muludan (Maulid Nabi Muhammad SAW), dsb.Selain itu dikenal juga ritual ziarah kubur ke makam para wali dan ruwah yaitu penghormatan kepada orang mati dengan mengadakan kenduri.
Pesantren, pusat pendidikan dan dakwah juga memiliki peran penting pada perkembangan Islam di pulau Jawa. Biasanya pesantren-pesantren ini hidup dari hasil pengolahan tanah mereka sendiri atau juga dari sumbangan-sumbangan yang datang, bukan dari uang para santri. Kiai memiliki peran sentral dalam sebuah pesantren. Pada zaman sebelum kemerdekaan, mungkin hingga sekarang, peran kiai ini juga memiliki peran yang sangat banyak dalam masyarakat desa. Mereka biasanya menjadi seorang panutan, juga memimpin upacara-upacara adat dan keagamaan yang diselenggarakan di desa tersebut.

            A.2. Faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah (ASWAJA)
Pada umumnya para kiai dibesarkan dan dididik dalam lingkungan pesantren yang memegang teguh dan membela dengan tangguh faham Islam tradisional ahlussunnah wal jama’ah.Ahlussunnah wal jama’ahdapat diartikan “para pengikut Nabi Muhammad dan ijma’ ulama”.Ahlusssunnah waljamaah pada hakikatnya adalah ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.Oleh karena itu, secara embrional, ahlusssunnah waljamaah sudah muncul sejak munculnya Islam itu sendiri. Hanya saja penamaan ahlusssunnah waljamaah sebagai sebuah nama kelompok tidaklah lahir pada masa Rasulullah, tetapi baru muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah.
Ketegasan para kiai memilih faham Islam tradisional ini secara jelas dapat dibuktikan dari kitab-kitab yang diajarkan di pesantren, yang selain berisi berbagai cabang pengetahuan bahasa Arab juga mengutamakan ajaran-ajaran dan pendekatan tentang hukum-hukum Islam yang dikembangkan oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan kitab-kitab mengenai tasawuf.[7]Menurut K.H. Bisyri Musthafa[8], secara eksplisit faham ahlusunnah wal jama’ah adalah faham yang berpegang pada tradisi sebagai berikut:
·         Dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu mazhab empat. Dalam praktek, para kyai adalah penganut kuat dari mazhab Syafi’i.
·         Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hassan Al-Asyari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi
·         Dalam bidang tasawwuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaid.
Dengan menganut faham tersebut para kiai menganggap bahwa tarekat merupakan salah satu inti ajaran-ajaran dan praktek-praktek Islam.para kiai setuju bahwa asetisme dan praktek-praktek dzikir, sebaiknya dilakukan oleh orang yang sudah lanjut usia. Dengan digunakannya kitab-kitab tafsir selain Al-Quran dan Hadist oleh para kiai tidak berarti mereka meninggalkannya.Para kiai berpendapat bahwa kitab-kitab yang berisi ulasan-ulasan dan tafsiran-tafsiran isi Al-Qur’an dan Hadist yang telah ditulis oleh imam-imam tertentu dan para ulama terkenal pengikut imam-imam tersebut dari sejak Nabi meninggal sampai sekarang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam.[9]Bagi para kiai, sangat berbahaya menfasirkan Al-Quran dan Hadist hanya menurut pendapatnya sendiri.[10]




B.Kaum Modernis dan Latar Belakang Terbentuknya NU
B.1. Kemunculan Islam Modernis dan Pertentangan dengan Islam Tradisional
Pada abad ke-19, dunia Islam, terutama Mesir, terjadi pembaruan pola pikir strategi perjuangan dan pemahaman keagamaan oleh para mujadid (yang memperbaharui ajaran agama) dan (beberapa kasus) oleh penguasa.Gerakan pembaharuan atau revivalisme agama pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 ini kemudian mewujudkan pemikiran-pemikiran abstrak kedalam usaha yang konkret.Beberapa pemikiran seperti pemikiran tentang emansipasi (tahrir al-mar’ah) oleh Rifa’ah Badawi Pafi ‘Al Tatahwi, Pan Islamisme Jamal Al-Din Al-Afghani, pemikiran tentang ijtihad dan liberalisme pemikiran milik Muhammad Abduh serta Rasyid Ridha yang mengungkapkan tentang pandangan salaf.[11]
Beberapa gagasan pembaharuan tersebut mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia.Gagasan yang berpengaruh seperti milik Muhammad Abduh yang mampu memengaruhi kebangkitan umat Islam di Indonesia.[12]Itulah zaman masuknya dan diterimanya gagasan-gagasan baru, sementara tradisi-tradisi asli sedang berubah atau membela diri dengan cara baru, dan penyebaran gaya-gaya fikiran baru dirangsang oleh pertumbuhan media massa pribumi.[13] Akibat situasi tersebut kemudian muncul organisasi-organisasi Islam seperti Syarikat Islam (1912) dan Muhammadiyah (1912) bersamaan dengan organisasi lain seperti Budi Utomo (1908), Partai Komunis Indonesia (1914), dan Taman Siswa (1922). Karel A. Steenbrik menyebut gambaran perubahan Islam di Indonesia sebagai   kebangkitan, pembaruan, dan bahkan pencerahan (renaissance).[14]
Menurut Andree Feillard, reformasi Islam di Nusantara dimulai pada abad ke-19 di Sumatera Barat. Reformasi ini bertujuan untuk menarik kaum-kaum yang masih mempercayai aliran-aliran mistis kebatinan untuk menjalankan ibadah Islam yang sesuai. Kaum reformis di Sumatra Barat ini menganut puritanisme mirip dengan kaum wahabi yang menerapkannya melalui kekerasan sehingga nantinya muncullah Perang Padri.
Di Jawa sendiri arus reformis ini baru terjadi pada awalan abad ke-20, dengan berdirinya organisasi-organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Para Reformis-reformis ini menentang upacara-upacara tertentu, seperti tahlilan, sesajen, selamatan, dan ziarah ke makam. Mereka menganggap bahwa hal-hal semacam ini adalah syirik dan bid’ah. Mereka juga menganjurkan umat Islam untuk melakukan penghapusan Usalli (mengucapkan niat ketika mulai salat) serta meninggalkan kebiasaan lama yang bersandar kepada kitab-kitab mazhab, untuk melakukan Ijtihad dengan menggali dari sumber pokok agama Islam yaitu Qur’an dan hadis. Kemudian perbedaan-perbedaan tersebut  disebut sebagai perbedaan antara kaum muda (reformis) dan kaum tua ( tradisionalis, para ulama-ulama).

B.2. Terbentuknya Nahdlatul Ulama
            Bisa dikatakan pada abad ke-20 adalah kurun sengit dimana banyak bermunculan organisasi baik yang bersifat sosial maupun politik yang bercorak suku, daerah, dan keagamaan.Perbedaan pandangan antara kaum modernis dan tradisionalis berujung pada konflik diantara keduanya dimana kaum modernis menilai mahzab yang dianut oleh kaum tradisionalis merupakan bid’ah dan kurafat yang mendekati syirik. Keadaan semakin diperparah dengan adanya peristiwa politik religious di tanah suci pada tahun 1924 dimana terjadi penaklukkan Mekah oleh Abdul Aziz Ibn Saud sehingga pemerintahan kemudian dikuasai oleh Kaum Wahabi. Penghapusan Khalifah oleh nasionalis Turki dan penyerangan kaum Ibn Saud terhadap Syarif Husin di Mekah mendapatkan perhatian dari dunia muslim, termasuk di Nusantara.
            Kemenangan Ibn Saud di Mekah membuat kaum tradisionalis di Nusantara merasa perlu bereaksi, terutama dengan kenyataan bahwa Kaum Wahabi memerintah Mekah[15]. Kaum Wahabi menyerang tradisi keagamaan dan pada era ini terjadi reformasi ajaran Islam dimana falsafah yang digunakan adalah Al-Quran dan Hadist serta memunculkan kabar untuk menghilangkan mazhab-mazhab yang ada. Keadaan tersebut kemudian membuat resah para ulama pesantren di Indonesia yang kemudian membuat Kiai Wahab Hasbullah mempunyai gagasan untuk mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama dimana kemudian usul ini diberitahukan kepada Kiai Hasyim Asy’ari.
Ibn Saud menyelenggarakan pertemuan Mekah, “Muktamar Khilafah”, yang mengundang umat Islam di seluruh dunia. Kaum tradisionalis di Nusantara merasa perlu untuk mengirimkan delegasi mereka ke “Tanah Hijaz” guna membawa usul mereka. Sehingga kaum tradisionalis menganggap perlu untuk medirikan sebuah persatuan untuk menghimpun kekuatan dan kegiatan mereka dengan membentuk Komite Hijaz yang nantinya melahirkan Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini juga diakibatkan oleh dicoretnya Kiai Wahab Hasbullah dari undangan untuk mendatangi “Muktamar Khilafah” dikarenakan pada waktu itu dirinya tidak mewakili suatu organisasi. Kaum tradisionalis merasa perlu untuk bersatu demi menjaga eksistensi mereka ditengah naiknya kaum reformis di Nusantara.Melalui “Muktamar Khilafah” tersebut kaum ulama pesantren yang seharusnya diwakili oleh Kiai Wahab Hasbullah berpesan agar menghentikan tindakan-tindakan kebebasan anti bermazhab, ziarah kubur, membaca kitab barzanji, dsb.[16]Namun usulan tersebut ditolak dengan alasan politik formalistik.
Komite Hijaz dibentuk untuk mengakomodasi aspirasi para ulama yang tidak tertampung namun kemudian muncul usulan untuk mengembangkan komite tersebut dalam bentuk organisasi.Akhirnya usul tersebut disambut dengan suara bulat oleh para ulama yang hadir dalam pertemuan itu.Kemudian dibentuklah “Jam’iyah Nahdlatul Ulama” pada Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M di Surabaya.[17]Setelah NU terbentuk tugas yang kemudian dilakukan adalah mengirimkan delegasinya mengikuti Kongres Dunia Islam di Mekah.Ada empat hal yang dibawa delegasi NU dalam kongres di Mekah tersebut, yaitu kebebasan menjalankan praktek keagamaan menurut empat mazhab, perawatan tempat pusaka yang bernilai sejarah dan merupakan tanah wakaf agar tidak dihancurkan, perbaikan tata pelaksanaan haji dan meminta kepastian tarif naik haji , serta penjelasan tulis mengenai hukum yang berlaku di negeri Hijaz.
Permintaan kaum tradisionalis ini, hanya tentang empat mazhab yang mendapat jawaban, sedangkan permintaan yang lain tidak ditanggapi sama sekali. Sedangkan tentang tempat-tempat bersejarah, beberapa tanah wakaf seperti tempat kelahiran Fatimah telah dihancurkan dan Dar Khaizuran telah ditutup. NU lantas menganggap bahwa tindakan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi terebut telah betindak semena-mena tanpa memperhatikan opini-opini lain dari umat muslim sedunia yang juga memiliki hak.
Saat kepulangan utusan dari Mekah, mereka disambut oleh para anggota NU di Jawa. Mereka didampingi oleh rombongan yang mengantar dari Jakarta hingga perjalanannya menuju Surabaya. Puncaknya adalah saat diadakan upacara resmi di masjid Ampel Surabaya untuk menyampaikan hasil yang dari utusan Mekah tersebut. Dan acara ini dihadiri oleh ribuan pengunjung. Hal ini menandakan betapa pentingnya untuk memperjuangkan paham keagamaan yang dilaksanakan oleh NU.

C. Nahdlatul Ulama Masa Awal
            Lahirnya NU bisa dikatakan merupakan reaksi terhadap peristiwa naiknya Hijaz yang baru dimana paham yang dianut adalah Wahabi yang melarang sistem bermazhab, barzanji, melakukan pembongkaran makam-makam, memberantas bid’ah, khufarat, taklid, ziarah kubur dan tradisi keagamaan lainnya. Tindakan tersebut kemudian mengancam kaum tradisional (ulama) yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah yang bahkan sudah mengakar di Indonesia semenjak zaman Wali Sanga.Disamping itu, munculnya gerakan pembaharu Islam seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam yang mengancam keberadaan ahlussunnah wal jamaah yang mereka anggap menyesatkan.Sikap kalangan pembaharu tersebut semakin berlebihan dengan tindakan pelecehan dan merendahkan ulama pesantren.Oleh karena itu, muncullah keinginan untuk melembagakan tradisi sosial dan kultural yang telah hidup di masyarakat.
            Secara etimologis nama NU berarti kebangkitan para ulama atau gerakan yang dimainkan para ulama secara aktif, kemudian diikuti oleh umat pengikutnya dan diharapkan menjadi “kekuatan raksasa Islam di Indonesia”.[18]Tujuan didirikannya NU semata-mata adalah untuk melindungi bentuk-bentuk sosial keagamaan tradisional dengan ciri pokok ahlussunnah wal jamaah yang menjadi patri persatuan dan integritas bagi NU. Secara formal NU didirikan oleh 46 orang namun tokoh kuncinya adalah Kiai Wahab Hasbullah sebagai pencetus ide, Hadratusyaikh Kiai Hasyim Asy’ari sebagai pemegang kunci, dan Kiai Kahlil sebagai penentu berdirinya.[19]Oleh karena itu, jika membicarakan NU dari perspektif jam’iyah (organisasi), dari ide sampai realisasinya, Kiai Wahab Hasbullah adalah yang terkemuka.Jika dilihat dari sudut pandang isiyang merefleksikan tradisi pemikiran adalah Kiai Hasyim Asy’ari.
Sifat keberadaan NU merupakan upaya peneguhan kembali sebuah tradisi keagamaan dan sosial yang sebenarnya telah melembaga dalam jaringan struktur dan pola kepemimpinan yang mapan. Lembaga-lembaga pesantren, kyai, santri dan jemaah mereka yang tersebar di tanah air sebagai unit-unit komunitas sosial budaya masyarakat Islam, menjadikan NU tanpa kesulitan menyebarkan sayap organisasinya.[20] Dengan menggunakan basis-basis pesantren, keulamaan, kyai dan santri iniliah yang menurut saya memudahkan NU untuk masuk kekalangan masyarakat, apalagi mereka yang tradisionalis. Peran dari Kyai Hasjim Asj’ari dan Kyai Wahab sangat kuat dalam lingkungan pesantren. Saat NU pertama kali diperkenalkan, begitu mudah menarik perhatian dari para kyai di Jawa yang memimpin pesantren. Hubungan kekerabatan dari para kyai juga ikut andil dalam pelebaran sayap NU di Jawa. Karena pesantren ini memiliki basis yang relatif besar, sehingga tidak sulit nantinya bagi NU untuk mendapat dukungan.
            Namun nantinya, NU malah lebih sibuk mengurusi keanggotaanya ketimbang masalah-masalah perjuangan paham keagamaan tadi. Seperti dijelaskan oleh M. Ali Haidar dalam bukunya bahwa NU seakan terlena oleh kuatnya dukungan-dukungan dari bawah sehingga merasa terpuaskan. Dukungan yang kuat dari bawah ini juga sebenarnya sebuah beban bagi NU, karena ada kewajiban disitu bagi NU untuk mengontrolnya. Dan NU akhirnya seakan kehilangan kontrol dalam memikul beban tersebut.
            Bahkan K.H Idham Chalid mengemukakan, bahwa NU sebenarnya adalah sebuah isme , suatu faham yang telah menyatu dalam budaya dan tradisi. Masih menurut K.H Idham Chalid, bahwa NU sebagai organisasi nantinya bisa saja bubar atau dibubarkan, namun NU sebagai isme, sebagai paham yang telah melembagan dalam budaya dan tradisi tidak mungkin dibubarkan, karena isme yang telah menyatu dalam masyarakat tidak mementingkan struktur dan organisasi formal.

C.1. Nahdatul Ulama Pengemban Ahlussunnah Waljamaah (ASWAJA)
Setelah terbentuknya NU pada awal tahun 1926 di Surabaya, telah dirintis untuk menyelenggarakan muktamar pertamanya. Namun pada waktu itu NU sendiri belum memiliki lambang sehingga Kyai Abdul Wahab meminta pada Kyai Ridwan untuk menciptakan lambang NU dengan syarat harus original, tidak meniru lambang lain, dan melambangkan sifat ulama.
Kyai Ridwan pun tidak serta merta mendapatkan lambang tersebut. Empat bulan berlalu dan lambang tersebut belum tercipta. Lambang tersebut baru dapat diciptakan beberapa minggu menjelang Muktamar pertama NU tersebut. Dan dengan berbagai macam usaha akhirnya lambang tersebut sudah ada diatas sebuah kain warna hijau yang akan digunakan pada mukatamar pertama NU pada 21 Oktober 1926. Sempat terjadi peristiwa dimana salah seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda menanyakan filsafah dari lambang tersebut. Kyai Ridwan yang sedang sibuk dengan tugasnya sebagai panitia pada muktamar tersebut tadinya enggan untuk menjawab. Namun karena desakan berbagai pihak akhirnya dijelaskan.

·         Gambar bola dunia dan tali melingkar melambangkan asas persatuan dan perdamaian
·         Sembilan bintang salah satu yang paling besar diatas melambangkan Nabi Muhammad sebagai panutan umat
·         Empat bintang dibawahnya melambangkan khulafa rasyidun
·         Empat dibawahnya lagi melambangkan empat imam mazhab
·         Dan sembilan bintang melambangkan wali songo  sebuah mitologi Islam yang populer di Nusantara.

Filsafah lambang NU ini diyakini oleh sebagian anggota NU memiliki arti mistis dikarenakan mereka melihat dari Kyai Ridwan yang sebelumnya kesulitan dalam menemukan lambang, namun tiba-tiba dapat menciptakan dan menjelaskannya secara gamblang sehingga hal tersebut diyakini sebuah petunjuk dari Allah. Lambang tersebut seolah ingin menegaskan bahwa NU adalah organisasi yang menjadikan Ahlussunnah waljamaah sebagai dasarnya. Ini diperlihatkan dengan pengakuan terhadap khulafa rasyidun , dan empat imam mazhab. Khulafa rasyidun adalah pemimpin umat pengganti Nabi Muhammad yang benar dan lurus, yang diterima oleh umat. Para khalifah yang mendapat sebutan khulafa rasyidun adalah empat khalifah yang secara berturut-turut menggantikan kedudukan dan tugas Rasulullah.
Kerangka pemahaman ASWAJA yang dikembangkan NU memiliki karateristik yang khusus dan juga mungkin membedakannya dengan kelompok muslim yang lain. Ajaran ASWAJA yang dikembangkan berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Pada bidang Aqidah, NU menganut pemikiran-pemikiran Aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Pada bidang Fikih, NU menganut konsep empat imam mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan dibidang Tasawwuf mengikuti model yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dan Al-Juwaini al-Baghdadi.
Mazhab Ahlusssunnah waljamaah dalam pandangan NU merupakan pendekatan yang multidimensional dari sebuah gagasan konfigurasi aspek aqidah, fiqh dan tasawwuf. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh, masing-masing tidak terpilah dalam trikotomi yang berlawanan. Namun tidak seluruh perilaku NU mampu mengapresiasikan kesatuan itu. Dalam praktiknya sering kali aspek fikih lebih menonjol ketimbang aspek yang lain. Mungkin karena keberagaman pemahaman keagamaan jemaah NU yang membuat sulit untuk mengembangkan wawasan pemahaman yang komprehensif.

D. Pemikiran dan Jalan Politik Islam NU (1945, 1970, dan 2001)
Sebuah konsep politik demokrasi Indonesia menyiratkan bahwa adanya peran ulama dalam perpolitikan dengan posisi yang berbeda dari para politikus dari masa ke masa.Ulama dimaksud adalah kalangan kiai dari NU yang sebenarnya bukan dalam bidang elit politik tetapi lebih pada golongan santri yang hidup melepaskan permasalahan politik pada pihak yang berkuasa.Hal itu dipandang sebelumnya karena tidak adanya pelajaran mengenai peran Islam dalam negara didunia pesantren NU. Pesantren NU cendrung lebih mempelajari pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah atau lebih dikenal dengan Aswaja yang berpegang pada teologi al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah, fikih pada empat imam mazhab  (syafi’i, Malik, Hambali, dan Hanafi), dan dalam tasawuf bersandar pada imam al-Gazali dan imam al-Baghdadi.  
Pada masa Belanda NU bersikap kooperatif bahkan NU sendiri memandang bahwa pemerintahan Belanda harus dipertahankan. Pada masa pemerintahan belanda Ini telah terjalin hubungan NU dengan para antek-antek Hindia Belanda dan Hindia Belanda pun tidak mengusik-usik permasalahan ibadah NU. Bahkan Mbah Hasyim menyatakan bahwa pemerintahan Hindia Belanda adalah Dar al Islam pada muktamar NU di Palembang pada 1936 dikarenakan kebebasan menjalankan yang dijamin oleh pemerintahan Belanda (pragmatism religious). Namun ketika pihak belanda diserang oleh Jepang tidak ada himbauan untuk membantu atau mempertahankan kekuasaan Belanda.
Pada masa pemerintahan Jepang ada suatu kehormatan dari pemerintahan Jepang kepada NU dalam hal mendapat simpati dari gologan nahdiyin ini yaitu dengan diangkatnya Hasyim Asy’ari sebagai pimpinan Shumubu.Shumubu yaitu semacam kantor urusan agama tingkat national yang berada di Jakarta. Ketika sidang BPUPKI dan PPKI adanya upaya dari K.H.A. Wahid Hasyim sebagai perwakilan dari NU untuk menjadikan Islam sebagai landasan negara Indonesia.Namun hal itu menjadi pertentangan rumit baik dalam sidang formal maupun non-formal sehingga terciptanya piagam Jakarta sebagai suatu kompromi antara pendukung pancasila dan nasionalis Islam.
Saat berdirinya negara Indonesia Hasyim Asy’ari sangat mendukung hal itu termasuk terpilihnya Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakit presidennya.Bahkan lebih dari itu NU juga mengeluarkan seruan jihad untuk melawan penjajah pada tanggal 22 Oktober 1945.[21] Pada muktamar NU ke-17 di Madiun 1947, Kiai Hasyim pernah mewanti-wanti bahwa ketakutan atas melemahnya politik Islam di Indonesia dan juga sangat ditakutkan jika seseorang menggunakan Islam untuk mencapai ambisi politiknya ataupun keuntungan pribadi karena mengfikurkan dirinya sebagai tokoh Islam.
Terjun atau tidaknya ulama dalam ranah politik membuat dilema bagi ulama dalam bidang politik Indonesia. Karena jumlah massa NU yang banyak dan bisa dibilang pengikut ajaran Islam yang mayoritas adalah NU maka kesulitannya adalah apakah jumlah massa ini mau digunakan dalam bidang politik oleh NU sendiri atau digunakan oleh para elit politik dari golongan yang bukan NU. Apalagi ketika massa pemilu kaum NU yang lebih dikenal dengan golongan nahdiyin justru menjadi obyek terbesar dalam perebutan suara pada saat pemilu itu.[22]
NU lewat suara elitnya yaitu Said Agiel lewat wawancara oleh MS. Alfais, Media Nusantara, sangat tidak menginginkan pengembalian piagam Jakarta karena sangat berdampak pada perpecahan. Seharusnya islam membuka diri dan mengutamakan keutuhan bangsa dengan menjaga persatuan dan kesatuan. Lebih tepatnya Gus Said menyatakan bahwa tidak perlu mendirikan negara Islam berdiri karena secara historis Indonesia berbeda dengan orang arab. Indonesia mempunyai historis yang mempunyai nilai yaitu nilai universal dan nilai kebangsaan (nasionalisme).Islam tidak harus menjadi sebuah negara asalkan nilai Islam dijadikan nilai universal yang harus kita amalkan.
            Perkembangan pandangan NU terhadap masalah sosial lebih bersikap pertimbangan nasionalisme bangsa. Dimana NU secara terang-terangan menentang kecenderungan pengislaman yang terjadi di Indonesia karena akan berdampak pada usaha perpecahan persatuan dan kesatuan bangsa. Lewat elit NU ini, Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, menambahkan bahwa ummat muslim sebagai ummat mayoritas harus lebih demokratis dengan menerima ummat non-muslim sebagai bangsa yang majemuk. Hal itu juga tidak tertutup kemungkinan nantinya ummat muslim juga harus siap jika suatu ketika dipimpin oleh non-muslim baik dalam konteks kesatuan kecil maupun kesatuan bernegara.[23]
Perjalanan Politik NU sangat erat kaitannya dengan kittah NU pada awal berdirinya yaitu pada tahun 1926 dimana pada saat itu NU adalah organisasi masyarakat keagamaan (jam’iyah diniyah).Pada pasal 4 anggaran dasar NU bertujuan “berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Waljama’ah serta mengikuti salah satu mazhab dari empat mazhab besar”.Namun pada jalan sejarahnya NU pernah masuk dalam partai politik dengan bergabung dengan Masyumi, kemudian keluar dan menjadi partai politik.

D.1.NU dalam Masyumi
Masuknya NU ke ranah politik sebenarnya suatu hal yang sangat delematis dimana mayoritas penduduk di Indonesia adalah pengikut NU dan dalam politik apakah NU mau bermain politik atau sekedar dimanfaatkan oleh politik. Karena dengan jumlah massa yang banyak NU dapat menjadi dominasi suara Islam dalam pemilu. Walaupun pada awalnya NU bukanlah sebuah organisasi bertujuan politik namun di tengah jalan masuk ke ranah politik agar tidak dimanfaatkan melainkan memanfaatkan. Pada Awalnya NU berintegrasi dengan Masyumi dimana status NU menjadi anggota istimewa dan K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Wahab Hasbullah mendapat tempat-tempat penting dalam organisasi seperti ketua Majelis Syuro oleh Asy’ari.Serangan yang paling memalukan sehingga menjadi puncak kekecewaan NU pada Masyumi adalah ketika Muhammad Soleh mengatakan:

“… Politik itu saudara-saudara, tidak bisa dibicarakan sambil memegang tasbih, urusan politik ini cukup luas, tidak hanya berada disekeliling pondok pesantren.Politik itu luas menyebar ke seluruh dunia”.

Muktamar NU ke 19 di Palembang berisikan saat itu NU butuh ruang politik yang lebih luas dari Masyumi maka NU menyatakan keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik.Banyak pertimbangan NU buat sampai pada ketekatan bulat meninggalakn Masyumi seperti berkurangnya wewenang Dewan Syuro’, dualisme dalam keanggotaan Masyumi, serta kekecewaan-kekecewaan lainnya.keputusan ini telah difikirkan masak-masak oleh ulama NU sampai ketika peninjauan ulang pun tokoh-tokoh ulama NU tetap tidak bergeming meskipun di dalam tubuh NU sendiri ada pro dan kontra.

D.2. NU Sebagai Partai Politik
Ketidakharmonisan kaum tradisional dengan kaum modernis, telah memaksa Nahdlatul Ulama untuk menentukan sikap sendiri yaitu mendirikan partai sendiri, sehingga pada tanggal 28 April – 1 Mei 1952 Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke sembilan belas  bertempat di Palembang. Muktamarnya di Palembang tahun 1952, menegaskan Asas dan tujuan Partai Nahdlatul Ulama, dimana dalam pembahasan Asas dan tujuan Partai Nahdlatul Ulama  adalah “menegakkan Syari’at Islam, dengan berhaluan salah satu dari pada empat mazhab: Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali” (Anam, 1999) serta melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat. Dengan penegasan Asas dan tujuan partai, memperjelas arah dan tujuan perjuangan Nahdlatul Ulama dalam berbangsa dan bernegara. Pada bulan Juli 1953, Nahdlatul Ulama masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo, disini Nahdlatul Ulama memainkan perannya, bukan saja Mentri Agama yang dipegang orang Nahdlatul Ulama, juga Mentri Pertanian, dan bahkan Wakil Perdana Mentri, dengan demikian peran dan fungsi Nahdlatul Ulama dalam membangun bangsa ini bukan sekedar pada segmen agama saja melainkan pada berbagai hal yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, terutama yang berkait erat dengan kekuasaan Negara. Pada tahun 1954, Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Konferensi Alim Ulama yang diselenggarakan di Cipanas Jawa Barat dengan keputusan mengangkat Soekarno dan pemerintahannya sebagai “Walyyul Amri ad-daruri bisy-syaukah”, gelar ini menjadikan Soekarno menjadi kepala negara yang sah. Penganugrahan gelar kepada Soekarno, disamping sebagai sebuah bentuk legalisasi terhadap khalifah (penguasa), hal lain juga merupakan pengakuan bahwa keberadaan Soekarno sebagai pemimpin negara (Presiden), hanya sebatas dalam keadaan darurat. 
Pemilu 1955 merupakan suatu puncak kejayaan bagi kaum Ulama ini dimana NU masuk tiga besar dari 4 partai besar yang lolos.NU berada di bawah PNI dan Masyumi.Pada saat itu suatu pemahaman yang dikembangkan bagi kalangan NU dan masyarakat luas dengan mengkaitkan antara Masyumi dengan DII/TII dan PKI dengan pemberontakan madiun 1948.Sehingga PNI dan NU lah yang benar-benar memperjuangkan bangsa dan negara.Isu-isu seperti itu hidup pada saat itu sehingga berdampak pada NU dimana kepercayaan pada NU mulai terbangun.
Sejak itu kekuatan basis politik Islam terpilah menjadi dua kelompok, yakni Masyumi termasuk dalam kelompok yang menolak dan mendukung demokrasi terpimpin, yaitu NU, PSII, dan Perti yang bergabung dalam Liga Muslimin. Di dalam tokoh-tokoh NU juga ada yang menentang demokrasi terpimpin akan tetapi jumlahnya relatif sedikit (Jonaedi, 2008).

D.3. NU dalam Partai Persatuan Pembangunan(PPP)
Saat jatuhnya Rezim Soekarno dan digantikan oleh Soeharto, pada saat itu partai politik difusi menjadi 3 partai sesuai dengan ideologi masing-masing.Pada akhirnya NU bergabung dengan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sebagai basis politik.Penyederhanaan partai dengan pengelompokan pengelompokan partai menjadi 3 partai bertujuan untuk stabilitas nasional.Hal ini telah mulai diseruka oleh presiden Soeharto pada 7 Februari 1970 dan kemudian berdialog langsung dengan partai-partai politik pada 27 Februari 1970. Setelah melalui forum dialog itulah akhirnya disepakati penyederhanaan partai dengan NU, Parmusi, PSII, dan Perti berfusi kedalam Partai Persatuan Pembangunan.
Pada Tahun 1970-an sebagian banyak masyarakat NU masih memiliki keyakinan bahwa politik tidak bisa dipisahkan dengan agama. Muslim dianjurkan untuk memilih atau memenangkan partai Islam yaitu PPP demi kepentingan Islam dan sebagai satu-satunya partai yang berideologi Islam saat itu. Namun hal itu ditanggapi beda oleh beberapa tokoh muslim seperti Kiai Mustain Ramli, Nurcholish Madjid, dkk. Mereka menyatakan bahwa tidak perlu seorang muslim berafiliasi kepartai Islam karena itu Cuma alat baik itu lembaga (pondok pesantren, universitas, dl) ataupun organisasi (NU, PPP, Golkar, dll).[24]
Namun hubungan internal di tubuh PPP juga tidak begitu baik, pertentangan antara  NU dan MI sulit untuk dielakkan. Karena power sharing yang dilakukan kurang memuaskan, kalangan NU yang memiliki jumlah massa paling banyak. Hal ini terbukti dengan perolehan suara PPP pada pemilu 1977 meskipun meningkat dari 27,11% menjadi 29,29 % (bertambah 5 kursi di DPR), namun yang menjadi jatah NU diberikan pada golongan Islam yang lainnya (Jonaedi, 2008).
Problema antara NU dan PPP terjadi karena terbentuknya suatu sikap diskriminasi terhadap kalangan NU di badan partai ini terkait dengan daftar calon legislatif yang calon dari NU terdapat pada daftar paling bawah yang memiliki kemungkinan kecil untuk terpilih. Itulah yang terjadi pada pemilu 1982 dengan PPP dibawah kepemimpinan Djaelani Naro. Pada masa inilah peran NU diperlemah dan hanya sedikit mendapatkan peran penting ditubuh partai padahal NU memiliki massa yang banyak untuk memberikan dukungannya.
Permasalahan ini sebenarnya memuncak ketika tokoh NU menolak akan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) untuk disahkan dalam sebuah sidang. K.H. Yusuf Hasyim, dkk lebih memilih hengkang pada sidang tersebut, sayangnya sidang tetap berlanjut dan P4 di sahkan dengan dominasi para kelompok sekuler yaitu Golkar, PDI, dan ABRI. Tidak hanya selesai di sidang itu saja, Soeharto dengan lantang dan tegas meyatakan bahwa akan “menyerang” setiap kelompok di Tanah Air yang mencoba berseberangan ideologi Pancasila.
Itulah sebabnya NU keluar dari PPP, dan mengkhittahkan diri untuk kembali berdakwah di pesantren-pesantren. Sesuai dengan Khittah NU dari Muktamarnya 1983 di Situbondo mengeluarkan 2 pernyataan yaitu keluar dari PPP dan menerima asas tunggal Pancasila. Hingga reformasi pun aspirasi NU diabaikan oleh pemerintah, hingga akhirnya NU membentuk partai, yang bernama Partai kebangkitan Bangsa (PKB), yang ketika itu K.H  Abdurachman Wahid (Gus Dur) menjadi Dewan Syuro PKB. PKB yang dinilai memiki tempat naungan warga nahdiyyin ternyata malah terjadi perpecahan dalam hal ini sistem feodal terlihat dalam partai ini dewan syuro juga bertempat sebagai dewan mustasyar sehingga sistem birokrasi partai ini tumpang tindih, dan banyak pemecatan-pemecatan para Deklarator PKB, seperti almarhum K.H Mathori Abdul Djalil.

D.4. Politik NU dalam Era 2001
Perlu untuk diingat bahwa NU selalu mengadakan muktamar NU yang biasanya dilakukan setahun sekali guna mempertegas kembali prinsip dasar NU didirikan. Pada awal NU berdiri hingga sekarang NU telah melewati beberapa kali Muktamar NU dan paling menarik dari Muktamar-muktamar yang pernah dilakukan NU adalah pada tahun 2002 jatuh pada tanggal 25-28 Juli. Muktamar ini secara resmi NU masuk dunia perpolitikan sehingga beberapa partai dari golongan NU seperti PKB, PNU, SUNI, PKU.
Namun jika dilihat sebelumnya, NU telah berkiprah di dunia politik sejak dulu pada awalnya di tubuh Masyumi.Keluarnya NU dari Masyumi kemudian menjadi partai politik namun walaupun demikian kursi menteri keagamaan selalu menjadi wilayah NU.Tetapi pada pemilu 1971 NU tidak hanya kehilangan kursi di parlemen tetapi juga tidak mendapatkan jabatan menteri keagamaan dan lebih parahnya lagi fungsi dewan syuro’ dimana majelis itu dipimpin oleh ulama NU namun tidak mempunyai peran eksekutif melainkan hanya sebatas memberikan nasihat.
Partai NU seperti PKB berdiri pada 23 Juli 1988 memberikan jawaban baru terhadap kebutuhan kuam santri ini untuk berpolitik.Diawali dengan berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) oleh Abdurahman Wahid, hal ini diikuti oleh partai-partai lainnya termasuk beberapa kerabat Gus Dur yang ikut berkiprah dalam partai politik NU.Tak jarang terdapat isu saling menjatuhkan antara partai NU, malahan ada isu yang berkembang PKB bukanlah NU lagi atau PBNU tidak adil dalam memberikan sorotan yang cendrung lebih mengutamakan PKB.
Walaupun NU terpisah dalam beberapa partai tetapi tidak NU memberikan kebebasan bagi mereka untuk menyalurkan aspirasi politiknya ke partai apa saja termasuk partai PPP dimana NU sebelumnya tergabung. Hingga April 1987 dimana NU menarik ucapannya dengan tidak memberikan dukungan pada PPP tetapi malahan pada golkar dan PDI.Hal ini dinyatakan juga dalam Muktamar NU 1987 dimana masyarakat NU wajib mensukseskan pemilu tapi tidak mengkampanyekan PPP.Hal ini juga erat kaitannya untuk menjantuhkan Naro sebagai ketua pimpinan PPP.
Dalam politik kedepannya sangat banyak berkembang partai politik Islam yaitu 11 partai, hal itu terjadi pada saat setelah tumbangnya rezim Soeharto dengan dibukanya “liberalisasi politik” dimana masyarakat mecobamengekspresikannya hak-hak politik dan kebebasannya yang telah lama direnggut. Partai-partai itu adalah PUI, PKU, PMB, PPP, PSII, PSII 1905, PPIM, PBB, PK, PNU, dan PPP.Belum lagi partai lainnya yang diluar kelompok Islam terpecah beberapa partai lagi.Ketajaman melihat politik sebagai arena memperebutkan kekuasaan sangat terlihat dengan banyaknya partai yang berdiri berarti semakin banyak kepentingan dalam negara ini.Namun pertanyaannya adalah “apakah kepentingan rakyat yang mereka bawa atau kepentingan individu atau kelompoknya?”.
Finalnya dari 148 parpol hanya 48 parpol yang berhak masuk pada kancah pemilu 1999 diamana menjadi pemenang adalah PDI dan Golkar sedangkan partai Islam jauh merosot menjadi kelompok-kelompok kecil dalam beberapa partai. Kemenangan dua partai itu maka sudah dapat dipastikan bahwa Megawati atau Habibie yang akan menjadi Presiden selanjutnya. Hal ini terjadi pro dan kontra dimana masing-masing pendukung sama-sama kuat.Bagi kalangan Ulama saat itu lebih condong pada Megawati termasuk itu beberapa elite NU atau sebut saja Gus Dur walaupun tidak secara terang-terangan.Namun dengan adanya poros tengah untuk memecahkan tegangan itu dimana Habibie memajukan Gus Dur sebagai calon presiden selanjutnya.Dimana Amien Rais mendukung Gus Dur sebagai presiden sebagai pencetus dari poros tengah.Banyak yang curiga dengan keputusan pencalonan ini, justru kelihatan seperti adanya sikap pribadinya.
Wacana ini menjadi serius dan menjadi pemikiran umum dimana wajah seorang Abdurahman Wahid saat itu sangat dikenal dengan kontroversional dan liberal.Disamping itu Habibie malah mengundurkan dirinya dari pencalonan presiden dan membuat makin kuatnya PDI dan poros tengah yaitu Abdurahman Wahid.
Ulil Abshar Abdalla mengeluarkan pendapat tentang pemikiran yang berkembang pada kalangan NU saat itu dimana telah jauh dari kittah 1926. NU terbagi menjadi tiga golongan pemahaman yaitu:
1.      Golongan elit politik yang rindu akan kekuasaan politiknya yang telah dibungkam pada era orde Baru
2.      Golongan kiai yang bersifat tidak pro juga tidak kontra dengan permasalahan politik yang terpenting adalah kepengurusan NU sebagai organisasi ummat.
3.      Golongan pemuda yang berfikir mengembangkan pemikiran Gus Dur
Terangkatnya Gus Dur sebagai presiden menjadi kemenangan bagi semua kalangan santri.Namun hal itu tidak berlangsung lama dimana DPR menganggap pernyataan yang dikeluarkan Gus Dur sering membuat “heboh” dimana kurangnya komitmen Gus Dur dalam agenda reformasi. Demikian juga dengan ketua PBNU yang mewanti-wanti Gus Dur, demikian juga dengan Amien Rais sebagai promotor mengusungkan Gus Dur sebagai presiden mencabut dukungannya dengan pernyataan penebusan dosa atas kekeliruannya tempo lalu.Hal ini semakin membesar dimana golongan NU semakin panas dengan ucapan Amien Rais yang secara terang-terangan meminta Gus Dur mundur dari bangku kepresidenan.
Hasyim Muzadi sebagai pihak yang tidak ingin terlibat dengan politik terpaksa turun keranah politik untuk menyelamatkan Gus Dur dan perpecahan ummat.Dimana banyaknya para pendukung Gus Dur dari kalangan Jawa Tengah dan Jawa Timur siap berdatangan ke Jakarta untuk demonstrasi agar Gus Dur tidak dilengserkan.Keprihatinan itu lebih mendalam lagi karena mereka tidak hanya mempersiapkan spanduk atau baliho tetapi juga mempersiapkan golok dan pisau.
Berkecamuknya isu tantang hal ini membawa NU memandang kebencian pula pada Muhammadiyah karena dari Muhammadiyah Amien Rais yang paling menuntut kemunduran Gus Dur. Kuatnya arus desakan pada penurunan Gus Dur akan berdampak pada NU secara umum apalagi dengan cara yang tidak terhormat. Dengan ini semua terlihat bahwa NU selalu mendapatkan posisi yang tidak di untungkan dalam politik atau lebih terlihat dipermainkan dalam perpolitikan.Seperti halnya yang sudah sudah ketika NU masuk ke tubuh Masyumi, PP, hingga menjadikan Gus Dur presiden seakan-akan semua penuh dengan permainan.

E. Kesimpulan
Ciri NU pada masa awal atau masakolonial adalah kebijakannya yang masih abstain dalam politik. Lebih kepada sosial dan keagamaan. NU menetapkan dirinya menjadi pengawas tradisi dengan mempertahankan ajaran keempat mazhab, meskipun pada kenyataannya mazhab Syafi’i lah yang dianut oleh kebanyakan umat Islam diseluruh Nusantara. NU mempertahankan ilmu dan hak para ulama untuk menafsirkan ayat-ayat suci dan hadis dari kaum reformis yang mempertanyakan kembali ajaran ulama-ulama besar pada abad ke-9 dan secara tidak langsung, para penerusnya sekarang ini. Namun NU juga menyerap beberapa tujuan kaum reformis yang dianggap baik.
NU masuk pada dunia politik sejak Indonesia merdeka dengan bersemayam di tubuh Masyumi sebagai partai himpunan Islam. Posisi yang sangat besar di miliki oleh orang NU tidak  memberikan pengaruh yang besar terhadap partai ini karena NU cenderung dijadikan anggota istimewa. “NU tidak pandai dalam berpolitik” itulah kesimpulan dari para elit saat itu sehingga posisi NU baik strategis di parpol ataupun dikenegaraan ditanggap sebelah mata.
            NU ditubuh PPP mendapat pertentangan atau kasus yang hampir sama dengan ketika di Masyumi dimana NU tetap mendapat posisi strategis di partai namun berbeda di perlemen. NU kemudian dipaksa untuk mensahkan P4 pada masa Soeharto ini.NU memilih keluar dari parpol yang dinyatakan dalam kittahnya.
            Politik NU saat diturunkannya Gus Dur mendapat pertentangan keras dari warga NU hingga menaruh kebencian pada Amien Rais sebagai orang yang menuntut kemunduran Gus Dur.


           







Daftar Pustaka


Alafsana, S. (2002).Bodohnya NU” Apa “NU dibodohi?.Yogyakarta : Ar-ruzz Press.

Asy-Syurbasi, Dr.Ahmad. (1991). Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab. Jakarta: Bumi Aksara.

Dofier, Z. (1990). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Cet. Ke-5.Jakarta: LP3ES.

Feillard, A. (1999).  NU vis-a-vis Negara. Yogyakarta: LKiS.

Haidar, M. A. (1994).  Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hidayat, K, dan Haryono, M.Y. (2004). Manuver Politik Ulama.Yogyakarta : Jalasutra.

Mastuki.(1999).Kiai Menggugat.Jakarta : Pustaka Ciganjur.

Misrawi, Z. (2010).Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaaan.Jakarta : Buku Kompas.

Muchtarom, Z. (1988). Santri dan Abangan di Jawa. Jilid II. Jakarta: INIS.

Noer, D. (1980).Gerakan Moderen Islam Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES Press.
Qomar, M. (2002).NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan.
           
Romli, L. (2006).  Islam Yes Partai Islam Yes.  Jakarta: Pustaka Pelajar.

Sodik, Mochamad. (2000).  Gejolak Santri Kota. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

Sujuhuti, M. (2001).Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiah Jombang. Yogyakarta: Galang Press.
           


[1]Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, Jilid II,  (Jakarta: INIS, 1988), 10.
[2]Ibid.,24.
[3]Zamakhsyari Dofier. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Cet ke-5. (Jakarta: LP3ES, 1990),
[4]Ibid.,.
[5] Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, Jilid II,  (Jakarta: INIS, 1988), 12.
[6]Ibid.,23.
[7] Zamakhsyari Dofier. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Cet ke-5. (Jakarta: LP3ES, 1990), 149.
[8]Lihat, Zamakhsyari Dofier. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Cet ke-5. (Jakarta: LP3ES, 1990), 149.
[9]Ibid.,151.
[10]Ibid.
[11] Mujamil Qomar, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), 29.
[12]Ibid.,30.
[13] Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, Jilid II,  (Jakarta: INIS, 1988), 37.
[14] Mujamil Qomar, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), 30.
[15]Ibid.,32.
[16]Ibid.,33.
[17]Ibid.
[18]Ibid.,37.
[19]Ibid.,41.
[20]M. Ali Haidar,Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta:, 1994), 83.
[21] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaaan, (Jakarta : Buku Kompas, 2010), 58.
[22] Komarudding Hidayat dan M. Yudie Haryono, Manuer Politik Ulama(Yogyakarta : Jalasutra, 2004), 167.
[23] Mastuki, Kiai menggugat, (Jakarta : Pustaka Juganjur, 2002), 203.
[24] Mahmud Sujuthi, Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiah Jombang, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 90.