Selasa, 19 November 2013

Sepenggal Kisah Pergerakan Islam di Istitut Pertanian Bogor



Khilafah Islamiyah merupakan suatu bentuk sistem pemerintahan Islam yang dahulu pernah diterapkan oleh Rasulullah. Awal berdirinya sistem ini terlaksana di Madinah dan berakhir pada abad ke-20 M dengan berakhirnya kekhilafahan Turki Usmani atau Ottoman. Berakhirnya sistem pemerintahan Islam ini membuat kosong kekepmimpinan Islam di dunia dan umat Islam terpecah belah dalam bentuk negara-negara dan rasa nasionalismenya masing-masing. Hingga sampai saat ini sistem kekhilafahan menjadi suatu hal yang asing dimata masyarakat muslim.
            Menurut Sa’id Hawwa, Salah seorang dari tokoh penggerak Ihwanul al-Muslimin, sistem khilafah berbeda dengan sistem pemerintahan lain di dunia. Khalifah adalah pemimpin dalam sistem ini dan secara langsung memimpin seluruh umat muslim serta menyelesaikan berbagai konflik umat muslim. Umat muslim yang dimaksud di sini adalah umat muslim di dunia tanpa terkecuali. Sebagaimana sesuai dengan firman Allah An Nissa : 59 yaitu :
“wahai orang-orang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri diantara kamu…”
Selain itu juga terdapat hadist :
“barang siapa mati dan dipundaknya tidak membai’at seorang imam (khalifah), maka matinya seperti mati dalam keadaan Jahilliyah.”(HR Muslim)
Hizbut Tahrir adalah partai politik yang berideologikan Islam dan memiliki visi untuk mewujudkan berdirinya khilafah. Pendiri Hizbut Tahrir adalah Taqiyuddin An-Nabhani pada tahun 1953terpusat di Yordania, Suriah, dan Libanon. Sejak itu Hizib menyebarkan pemikiran politiknya keseluruh dunia hingga sampai ke Indonsia pada tahun 1982. Masuknya pemikiran politik Islam dibawah oleh Abdurahman Al Baqdadi dari Suriah.
Pemikiran Hizib kemudian berkembang di kampus-kampus dimana Abdurahman mengajarkan ilmu agama diantaranya yaitu kampus Istitut Pertanian Bogor (IPB). IPB menjadi pusat awal penyebaran pemikiran politik Islam serta menjawab semua permasalahan politik yang berkembang pada saat itu. Banyaknya mahasiswa yang mengikuti halaqah-halaqah hizib membuat berubahnya pandangan mahasiswa terhadap perpolitikan.
Mahasiswa yang memiliki pemikiran politik hizib aktif diberbagai organisasi seperti BEM, LDK, dan lainnya. Keaktifan mahasiswa membawa mereka menyampaikan pemikiran politik hizib serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dan teraplikasi dalam kehidupan kampus. Pengaruh mahasiswa hizib mulai meresahkan mahasiswa lainnya terutama yang tidak menyukai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan BKIM tentang acara music hanya boleh sampai jam 21.00 wib dan berhenti ketika azan dikumandangkan.
Selain dalam organisasi mahasiswa hizib juga berdiskusi dengan dosen-dosen agama tentang pemikiran politik Islam Hizbut Tahrir. Pemikiran politik tersebut masuk kelapisan dosen dan menjadi perbincangan dimana-mana. Badan  Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) sebagai lembaga yang menangani asisten dosen Agama Islam pada saat itu di cabut. Asisten dosen Agama Islam diberikan pada mahasiswa yang nilainya tinggi dalam mata kuliah tersebut.
Pergerakan BKIM sebagai suatu lembaga dakwah kampus IPB berhasil dipegang oleh mahasiswa hizib. Dakwah mahasiswa hizib semakin gencar dan meluas tidak hanyak di kampus IPB bahkan kekampus-kampus lainnya seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universita Negeri Jakarta, dan lain sebagainya. Lewat jaringan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) mewadahi kampus-kampus lain untuk saling berkomunikasi dan menyampaikan pemikiran politik Islam hizib.
Mahasiswa hizib tidak hanya berdakwah sendiri akan tetapi ada seperti mahasiswa Tarbiyah (GMNI) atau mahasiswa HMI. Hanya saja dalam bentuk pemikiran politik Islam mareka merselisih paham.
Pada tahun 2000/2001, mahasiswa hizib meramaikan pemilihan presiden mahasiswa (presma). Keikutsertaan mahasiswa hizib pada pemilihan presma ini selain bertujuan untuk mendapat dominasi mahasiswa IPB juga untuk memperkokoh dan mempertegas pandangan politik mahasiswa hizib tentang demokrasi, kapitalisme, sekularisme, dan isme-isme lainnya yang bersumber dari barat sebagai salah satu faktor kemunduran kaum muslimin. Solusi yang mereka usungkan tiada lain adalah kembali kepada pedoman yang telah disampaikan rasulullah yaitu Al quran dan Hadist serta ijma’ sahabat serta mencontoh sistem pemerintahan Islam yaitu kekhilafahan.
Tahun 2005/2006, bursa pencalonan presma hanya diwarnai oleh dua kandidat dari dua latar belakang. Mahasiswa hizib IPB diwakili oleh pasangan Felix Yanuar Siauw dan Deni Ejar Irmawan. Pasangan calon presma ini berlatar belakang dari organisasi BKIM sebelumnya. Dasar visi mereka sebagai calon presma adalah menjadikan Islam sebagai satu-satunya sumber pemahaman, standar yang diyakini oleh civitas akademika IPB. Sedangkan Misi dari calon tersebut diantaranya adalah Menyelenggarakan pendidikan politis bernbasis Islam secara berkala pada masyarakat IPB, Menyelenggarakan secara rutin syi’ar-syi’ar Islam, dan lain sebaginya.

Sumber : Nur Hanifah, Pergerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) : Studi Kasus Aktivitas HTI di Institut Pertanian Bogor (IPB), skripsi, (Depok : 2007), Universitas Indonesia.

Senin, 28 Oktober 2013

Motivation to be Action

Pengalaman saya banyak menemukan berbagai seminat motivasi dimana saya termasuk salah seorang yang tertarik dengan seminar-seminar tersebut. Meraja lelanya seminar motivasi membuat saya mengambil analisis bahwa saat ini banyak diantara masyarakat yang jenuh dengan rutinitasnya sehingga membutuhkan motivasi untuk dapat kejenuhan itu teratasi. ternyata saya timbang-timbang analisis itu salah. Rata-rata orang banyak mengikuti seminar motivasi karena mereka ingin sukses dalam pekerjaan dan usaha.

Ini problem, Saya memandang motivasi bukan suatu acuan penting dalam mencapai kesuksesan karena motivasi itu kerap muncul dari dalam diri sendiri yaitu "alasan". Mungkin teman-teman masih ingat dengan apa itu Emosional Question (EQ) ? ya, itu adalah faktor paling besar yang memicu seseorang untuk sukses. Kecerdasan emosional dalam bahasa indonesianya merupakan kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, dan mengelola perasaan serta mengontrol diri dan orang lain disekitarnya.

Jadi apapun tujuan atau keinginan seseorang tidak akan tercapai kecuali dia memiliki alasan untuk mencapainya. alasan membuahkan motivasi dalam diri sendiri atau EQ yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. Namun apakah setiap orang dapat mudah untuk meraih sukses tersebut? belum tentu karena dalam sebuah alasan terdapat cabang penting yaitu faktor ama yang membuat dia untuk bergerak. jika tidak ada dorongan makan seringan apapun kapas tidak akan bergerak. coba bayangkan sebuah media tanpa atmosfer dimana tidak ada dorongan gravitasi. Bergerak itu harus, namun apa yang membuat kita bergerak itu harus diketahui.

Keinginan setiap oarang itu bermacam-macam namun dari beberapa orang ada yang telah berkomitmen dan mengatur strategi sedangkan yang satu hanya bentuk keinginan dalam kata lisan. Sebut saja itu suatu tindakan yang membuang-buang waktu saja. Orang yang berkomitmen jika terucap kata ingin dia akan bergerak mencapainya sedangkan orang yang tidak berkomitmen hanya membayangkan dan berangan-angan. Oleh karena itu jauhnya perbedaan motivasi yang berkomitmen dan motivasi tidak berkomitmen itu ada disini.

Trus langkah apa yang harus kita lakukan agar sukses? langkahnya adalah bergerak kearah mana arak yang kita idamkan. begitulah kita dalam memutuskan suatu keputusan harus sepenuhnya tidak setengah-setengah. dan FOKUS. orang yang tidak fokus sering tidak sampai atau lama dalam mencapai tujuannya. Pastikan setiap langkah yang anda jalani meniti jalan yang mengarah pada tujuan.

Jumat, 19 Juli 2013

Leadership Sustainable



Efektivitas Seleksi Pemilihan Pemimpin dan Keberlanjutan Pemimpin untuk Pembangunan Yang Berkelanjutan






Abstrak :
            Kepemimpinan dari beberapa pemimpin tidak sebaik dari pemimpin sebelumnya dan juga tidak bisa menjadi jaminan bahwa kepemimpinan yang kemudian akan lebih baik. Pemimpin adalah manusia biasa butuh yang namanya belajar, pengalaman, aplikasi, berkenalan dengan masalah, hingga pemecahan dalam suatu perkara. Itu semua adalah pembelajaran dari seorang pemimpin karena tidak ada seorangpun yang dapat langsung memimpin tanpa proses belajar dan pengenalan tentang apa yang akan dia pimpin. Begitu juga halnya dengan pemimpin yang ada di indonesia atau sebut saja presiden. Seorang presiden membutuhkan waktu dan orientasi terhadap apa yang dia pimpin.













            Indonesia sebuah negeri besar dan mayoritas adalah masyarakat menengah kebawah, tidak bisa dipungkiri ada yang salah dalam negara ini. Keadaan mayoritas masyarakat miskin adalah sebuah keadaan yang tidak normal untuk negara yang kaya raya seperti Indonesia.
            Masyarakat Indonesia seharusnya dapat menikmati kekayaan alam yang berada di tanah airnya sendiri, tidak dengan pergi kerantau negeri seberang hanya untuk sesuap nasi. Labih-lebih bagi masyarakat Indonesia yang jatuh mati kelaparan ditanah yang subur dan berlimpah ini. Pertanyaannya : “Dimana pemimpin Indonesia yang seharusnya melindungi tumpah darah rakyatnya?”. Sangat ironis sekali Indonesia tidak mampu melindungi rakyatnya sendiri yang berada dinegaranya apalagi yang ada di negara orang. Sebagai seorang yang memiliki jiwa pemimpin ini merupakan cambukan keras terhadap kepemimpinannya.
Pemimpin harusnya bertahan hingga sampai akhir hayatnya atau hingga dia dirasa tidak mampu lagi untuk mengemban tugas kepemimpinan. Adapun beberapa hal menjadi jalan keluar dari permasalahan untuk menetapkan pemimpin dan memimpin secara berkelanjutan sebagai berikut:
1)      Pemimpin diangkat seumur hidup
Pergantian pemimpin silih berganti dan rakyat hanya dijadikan mainan belaka, selepas puas bermain kemudian ditinggalkan. sebut saja masa-masanya pemilu dimana setiap pemimpin berlomba untuk mendapatkan suara terbanyak. kemudian disaat telah menjabat mereka lupa akan janji-janji dan harapan maupun komitmen yang dahulu saat kampanye mereka lontarkan. Padahal kalau kita berfikir secara logika saja tidak akan mungkin ada manusia sehebat apapun dapat merubah Indonesia ini secara cepat dan singkat. Walaupun dia pemimpin terhebat sekalipun tetap saja dia adalah manusia biasa yang harus belajar dalam memimpin. jangka waktu lima tahun hanya cukup untuk proses pembelajaran.Proses ini sama sekali tidak kita harapkan oleh karena itu perlu adanya perubahan mendasar yaitu sistem pemilihan itu sendiri. Bagaimana upaya kita agar seorang pemimpin yang awalnya perhatian pada rakyat untuk jangka waktu sementara menjadi perhatian untuk selamanya? Bagaimana menjadikan pemimpin belajar dari kepemimpinannya hingga matang dalam masalah kepemimpinan negara?
            Berdasarka teori kehalifahan yang dulu pernah jaya diatas bumi ini sampai 14 abad lamanya ada yang menarik dari lama jabatan seorang pemimpin disana, yaitu pemimpin bagaikan raja yang dapat memerintah hingga dia meninggal dunia. Kemudian setelah pemimpin negara tersebut meninggal maka barulah diangkat pemimpin baru oleh wali ummat yang langsung dipilih oleh ummatnya.
            Berdasarkan sejarah perkembangan perpolitikan dan kestabilan negara membuktikan bahwa Indonesia tidak melakukan kemajuan kedepan akan tetapi kemajuan kebelakan atau kemunduran. Bermula dari masanya Soekarno, Indonesia sangat anti dengan kapitalis terutama dengan ikut campur Amerika Serikat dalam ekonomi Indonesia. Kemudian naiknya Soeharto, Indonesia justru digandeng oleh AS dan berhasil memasarkan produknya yang menancap erat di seperti sekarang. Naiknya beberapa presiden kmudian hingga bapak Susilo Bambang Yudoyono saat ini masih tidak bisa dikatakan Indonesia mampu mengalahkan kepemimpinan yang dulu pernah dibuat Soekarno atau Soeharto.
            Kepemimpinan di Indonesia telah diwarnai dengan sistem demokrasi dari barat, tapi bukan berarti itu merupakan sistem yang bisa dan baik diterapkan terhadap jalannya kepemimpinan di Indonesia. Indonesia harus lebih bisa memiliah bagaimana terbaik untuk mengembangkan potensi kepemimpinan dari seorang pemimpin. 
            lima tahun masa jabatan seorang presiden sangatlah pendek dan perubahan sosial ekonomi tidak bisa menjadi acuan keberhasilan ataupun kegagalan dari kepemimpinannya. Seperti halnya yang pernah dituturkan oleh Marzuki Ali dalam pernyataannya menyatakan bahwa Indonesia butuh kepemimpinan berkelanjutan untuk melanjutkan pembangunan negara. Marzuki Ali menyatakan bahwa sistem demokrasi menjadi penghalang dalam hal ini karena harus ada pemilihan presiden setiap lima tahun sekali.
            Saya memandang bahwa orientasi Indonesia terlalu condong pada sistem demokrasi dari barat itu padahal dahulu ditanah ini telah banyak kerajaan yang jaya tanpa menggunakan sistem demokrasi. Seharusnya Indonesia dapat menggunakan lokal genius dalam menerapkannya sebagai sistem yang fundamental bagi perkembangan bangsa ini. hanya karena sistem demokrasi dianut oleh beberapa negara maju maka Indonesia juga harus menerapkan hal yang sama, saya rasa itu jalan yang salah. Indonesia tidak harus mengikuti sistem demokrasi yang di-adaptasi-kan dengan negara maju. Indonesia bisa  merombak demokrasi sesuai dengan kebutuhan negara dan kondisi yang ada.
2)      Proses seleksi terbuka untuk seluruh kalangan dan seleksi ketat hingga tingkat provinsi dan nasional
            Sudah seharusnya kepemimpinan Indonesia tidak hanya dipegang oleh orang dari pulau Jawa seperti beberapa dekade yang telah lewat ini. Bukan karena dari daerah lain tidak bisa atau tidak mampu, tapi tidak ada kesempatan yang adil sehingga pengangkatan presiden atau pemimpin hanya berasal dari kalangan orang-orang pulau Jawa.
            Seleksi adil dan terbuka adalah seleksi berasal dari seluruh rakyat tanpa syarat-syarat yang memberatkan. Misalnya seperti ujian seleksi masuk perguruan tinggi dimana setiap calon mahasiswa harus memiliki bekal potensi akademik dan informasi agar mengetahui ladang tempur dan musuh.  Memang saya memandang seorang pemimpin haruslah cerdas yang menjadi kunci untuk kemampuannya dalam mengambil keputusan dan bertindak.
            Proses seleksi saat ini dilihat hanyalah dari banyaknya pendukung tanpa mempedulikan apa arti dari kwalitas yang mendukungan maupun yang didukung. Manusia itu memiliki kelebihan otak bukan kelebihan suara yang dari mulut jadi ada baiknya dalam  seleksi untuk uji kemampuan potensial sebagai acuan kwalitas dari calon pemimpin.
            Lewat seleksi yang ketat ditingkat provinsi menyisakan 10 orang yang akan dibekali materi tentang kepemimpinan dan diasah jiwa kepemimpinan dari 10 calon pemimpin tersebut. Setiap daerah atau provinsi menerapkan kurukulum yang sama dan pengajar yang sama-sama handal dibidangnya. Hal ini diharapkan dapat membuka persaingan secara sempurna hingga pada akhirnya tersisa hanya satu orang yaitu figure pemimpin yang diharapkan.
            Jadi tidak hanya lewat karir kepartainya sehingga pangkatnya meloncat-loncat sampai menjadi tokoh tapi belum tentu mampu dalam akademik maupun tidak bisa bersaing secara sempurna. Banyak faktor-faktor yang membedakan antara sistem pemilihan ini dengan sistem pemilu yang menggunakan suara tapi membungkam otak.
3)      Seleksi diawasi oleh pihak independen
Indonesia telah terbiasa dengan hal suap-menyuap maka sangat dibutuhkannya suatu lembaga independen untuk melakukan pengurusan seleksi calon pemimpin bangsa ini. proses seleksi yang ketat juga harus dipenuhi oleh pengurus yang solid dan patriot sehingga tidak mudah goyah seperti halnya pimpinan-pimpinan KPK saat ini.
Petugas harus bebas dari kepartainya atau tidak mendukung partai apapun dengan sikap netral. Petugas pastinya harus terstruktur jelas yang terdiri dari ketua hingga staffnya. Petugas memiliki dedikasi yang tinggi pada negara sehingga tidak menginginkan kecurangan sedikitpun karena salah dalam sistem pemilihan berarti memilih yang salah.
Sanksi bagi petugas yang melanggar aturan atau kode etik maka harus dimutasi hingga diberhentikan secara tidak hormat. Disamping itu petugas tidak boleh cacat dari catatan kriminal sebagai jaminan dari kejujuran proses seleksi.
Demikian maka terciptanya seorang pemimpin yang mampu dan kuat dalam memimpin telah menjadi terealisasi. Walaupun ini baru hanya konsep tapi tidak tertutup kemungkinan dapat terlaksana dengan baik sehingga tidak perlu lagi adanya kasus marak sampai saat ini seperti korupsi atau permasalahan-permasalahan partai.




Jumat, 24 Mei 2013



DITINJAU PENELITIAN VAN NIEL DAN R. ELSON : TANAM PAKSA (1830-1860)


Description: D:\cats.jpg



Kelas Sejarah Agraria
Kelompok IV:

Ilhamdi / 1106056964
Dwiki
Fahmi
Ketut
Lamria
Aushop









PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2013


BAB I
Pendahuluan
1.     Latar Belakang
Masa tanam paksa meyisakan banyak pro kontra masalah kesejahteraan masyarakat Jawa pada khususnya. Ada yang mengatakan masyrakat Jawa hidup dalam kemelaratan sesuai dengan history of java yang dikarang oleh multatuli, namun ada juga yang mengatakan masyarakat Jawa mendapat kesejahteraan dengan penghasilan lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya. Pernyataan-pernyataan bertentangan itu ditulis masing-masing masing oleh dua sejarawan terkenal yaitu Van Niel dan R. Elson.
            Istilah tanam paksa atau culture stelsel merupakan program dari pemerintahan Hindia Belanda untuk mengumpulkan sumber pendanaan kerajaan yang saat itu kosong. Program ini dalam bahasa belanda berarti pembudidayaan tanaman ekspor yang berarti penanaman tumbuhan ekspor untuk menjadi komoditi perdagangan yang nantinya akan sangat menguntungan bagi pemerintah.
            Pada masa sebelum diadakan culture stelsel pemerintah telah menerapkan beberapa kebijakan terkait dengan haknya sebagai pengganti raja jika kita lihat dari hirarkies secara objektif.  Namun memasuki 1830 terjadi pergeseran keras dimana masyrakat muncul golongan buruh yang bekerja dengan upah yang rendah di pabrik-pabrik pengusaha baik swasta maupun pemerintah.
            Van Neil dan R. Elson adalah dua sejarawan memiliki padangan dalam melihat kesejahteraan yang tercipta dari kultur stelsel. Keduanya memiliki sumber data yang mendukung pernyataannya berdasarkan penelitianya terkait dengan tanam paksa ini.
            Rumusan masalah dari makalah ini akan menjawab beberapa aspek terkait dengan faktor-faktor pendukung pernyataan Van Neil dan R. Elson. Pernyataan kedua sejarawan itu berkaitan erat dengan aspek bidang ekonomi masyarakat dengan faktor-faktor seperti sistem upah, permodalan, hingga kenaikan kesejahteraan masyarakat.
            Makalah ini akan menjabarkan beberapak aspek yang ditinjau dan mendukung masing-masing pernyataan dari peneliti ini dalam makalah ini. Ruang lingkup peneliti dalam makalah ini berkisar pada tahun 1830-1860 sesuai dengan lamanya culture stelsel diterapkan di Hindia Belanda.
            Secara umum makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata kuliah sejarah agrarian dari presentasi minggu lalu. Disamping itu makalah ini juga bertujuan untuk memperbaiki beberapa pernyataan yang kami dapat koreksi baik itu dari dosen mata kuliah maupun dari audiens yang bertanya dan menyampaikan pernyataan.
















BAB II
Kemiskinan dan Kemakmuran Kaum Petani pada Masa Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa
A.    (judul kecil ketut)
Kalau dilihat sepintas, bukti-bukti penyebab kemiskinan petani dalam masa Tanam Paksa tampak cukup ampuh untuk dipercaya. Namun, menurut Elson segala bukti-bukti tersebut masih terlalu lemah untuk menyatakan bahwa tanam paksa memiskinkan petani. Elson berpandangan bahwa bukti-bukti yang diberikan masih lemah secara logika dan struktural. Selain itu, juga terdapat bukti-bukti yang mengatakan sebaliknya, bukti-bukti yang menyatakan bahwa Tanam Paksa justru mensejahterakan petani. Tanam paksa memang membuat kesengsaraan pada waktu dan di daerah tertentu, tapi tidak menyebabkan kemiskinan secara merata.
Elson mengemukakan tiga alasan bahwa pernyataan Tanam Paksa menyebabkan kemiskinan itu lemah. Pertama,kebanyakan bukti dan alasan yang dikemukakan berjenis “agaknya masuk akal” – misalnya masuk akal kiranya jika petani harus menghabiskan banyak waktu menggarap tanaman ekspor, maka tanam pangannya terabaikan. Argumentasi macam ini memperlihatkan kelemahan pembuktian. Kedua, alasan yang diutarakan mengenai kemiskinan itu tidak dilihat sesuai konteks kesejahteraan. Kurang adanya perhatian terhadap kehidupan di Jawa sebelum tahun 1830, yang akan dijadikan patokan untuk menilai taraf kehidupan selanjutnya yang berlaku selama masa Tanam Paksa. Bagaimana pun juga, jika hendak mengemukakan alasan mengenai munculnya kemiskinan, perlu didasarkan pemahaman terhadapa kehidupan masyarakat sebelum sistem Tanam Paksa diterapkan. Ketiga, petani digambarkan seakan-akan sebagai korban yang tak berdayadan bersikap pasif menghadapi kekuatan yang diluar kekuasaann mereka. Jika kehidupan kaum petani dilukiskan semacam itu, maka bukti-bukti mengenai pemiskinan petani cukup adanya. Namun , jika dilihat dari persepektif petani sebagai pengelola dan pelaku, maka bukti alasan mengenai penyebab kemiskinan menjadi lemah.
Beralih dari keterbatasan alasan mengenai kemisikinan, mari lihat bukti-bukti yang beralawanan. Elson mengelompokan bukti-bukti ini kedalam tiga kelompok, yaitu keterangan dan penilaian deskriptif, bukti-bukti statistik, dan bukti-bukti yang justru mengarah pada perluasaan radikal ekonomi dalam negeri.
Kelompok pertama dari bukti-bukti mencakup berbagai kesan dan keterangan yang menunjukan adanya perbaikan dari materai petani di Jawa selama sistem Tanam Paksa. Kebanyakan bukti-bukti teresebut berasal dari Jawa Timur yang mengalami Tanam Paksa paling intensif. Dari keresidenan Pasuruan misalnya, laporan-laporan dari residen mengacu pada peningkatan perdagangan lokal. Banya tercatat keterangan yang membenarkan laporan tersebut, bahkan dari tokoh-tokoh yang mengecam Tanam Paksa. Selain dari Pasuruan, terdapat juga keterangan-keterangan positif yang datang dari daerah Kedu, Begalen, Kediri, Madiun bahkan Cirebon. Ada yang kurang diperhatikan mengneai laporan mengenai kesejahteraan, khususnya yang mengacu bertambahnya luas tanah yang digarap dan pertambahan hasil yang dikirim. Harus hait-hati pula terhadap laporan positif yang diajukan oleh residen yang mengajukan bukti positif yang palsu hanya untuk mempertahankan karirnya.
Bukti yang kedua adalah angka-angka statistik. Perangkaian yang ada pada abad ke-19 cukup cocok dan memberikan dasar untuk menarik berbagai kesimpulan. Elson memberikan tiga tabel mengenai hasil budidaya selama Tanam Paksa, yaitu tebu, nila dan kopi. Berkenan dari hasi budidaya tebu, pembayaran hasil budidaya itu, semenjak 1838, selalu melebihi pajak yang dibebankan. Dari segi regional, petani dikebanyakan keresiden dapat membayar pajak mereka dari hasil lahan mereka. Dari angka rata-rata bagi petani yang melaksanakan tanam paksa, selisih antara hasil budidaya dan pajak makin mensejahterakan petani. Sebaliknya, budidaya nila tak terlalu menguntungkan. Baru menjelan 1845 saja , pembayaran untuk budidaya jatuh dibawah pembayaran pajak. Walaupun nilai nila jatuh, separuh dari penggarap di keresidenan masih mampu memenuhi kewajiban pembayaran pajaknya dan mengambil sedikit untung. Mengnai budidaya kopi tabel yang diajukan Elson mengacu pada masuknya sejumlah besar uang yang bagi petani sebagai hasil mereka dalam industri kopi. Di Pasuruan saja setengah dari keluarga petani disana adalah penanam kopi. Uang yang dihasilkan petani kopi bahkan dua kali lipat dari pajak yang harus mereka bayar. Dari daerah lain memang dari angkanya kurang mencolok, namun cenderung kearah positif.
Angka-angka statistik yang diterangkan mengindikasikan bahwa telah tersedia jumlah uang yang besar di tangan petani, yang mana tak terajd sebelum 1830. Tabel alin yang ditampilkan Elson adalah pola konsumsi dan belanja daerah Jawa-Madura. Dari angka-angka tersbut dinyatakan bahwa walaupun pertumbuhan penduduk Jawa meningkat, tapi daya belanja petani semakin meningkat. Memang dapt dipertanyakan apakah angkaa-angka tersebut melukiskan kesejahteraan yang sebenarnya. Namun, dilihat dari angka-angkanya, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa daya beli petani telah meningkat semenjak adanya Tanam Paksa.
Tabel yang diajukan Elson selanjutnya membuat terjadinya keraguan pernyataan bahwa Tanam Paksa memiskinkan petani. Salah satu dasar dari argumen bahwa petani miskin karena Tanam Paksa adalah lahan padinya dirampas untuk tanaman ekspor. Namun, landasan ini goyah ketika angka dari tabel ini menunjukan bahwa petani tidak hanya dapat mempertahankan produksi padinya, tapi juga dapat meningkatkan produksinya.
            Bukti yang terakhir adalah mengenai perluasan ekonomi. Ada dua faktor yang di tonjolkan Elson yang diabaikan oleh orang lain. Pertama,perubahan radikal yang berlangsung dalam perekonomian desa yang diagairahkan dan dimungkinkan oleh Tanam Paksa. Kedua,kemampuan dan kecakapan dari kaum petani untuk memberi tanggapan serta menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan kesempatan baru.
Johannes van den Bosc, selaku penggagas Tanam Paksa, menegasakn bahwa faedah dari Tanam Paksa adalah untuk memupuk daya kerja petani. Hal tersebut dinilai benar dapat dilihat dari contoh, daerah yang mendapat intensifikasi tanam paksa paling besar sering kali mendapat masalah kekurangan pangan. Namun, kekurangan pangan tersebut dapat ditutupi oleh hasil padi dari daerah yang beban tanam paksanya tidak terlalu besar. Hal tersebut memunculkan daerah-daerah pinggiran penghasil padi. Secara lebih luas di Jawa aliran uang, perbaikan sistem irigasi dan transportasi, menggairahkan kegiataan ekonomi petani.
Kesimpulan akhir dari penelitian Elson ini adalah bahwa bukti-bukti dan pernyataan bahwa Tanam Paksa telah memiskinkan dan menyengsarakan petani sangatlah lemah. Sebaliknya, Tanam Paksa justru memperluas ekonomi petani, sehingga petani pada umumnya menjadi sejahtera. Daya kerja dan belanja petani juga meningkat dan terbukanya peluang-peluang dalam meningkatakna ekonomi petani yang sebelum Tanam Paksa datang tidak memungkinkan terjadi.
B.   (judul kecil dwiki)
BAB III

Pembentukan modal
            Sebelum diperkenalkan tanam paksa adanya suatu usaha untuk meninggalkan kebiasaan penyerahan paksa dan ongkos paksa yang pada saat itu telah membudaya sebagai ciri khas VOC. Ada pun orang-orang yang terlibat dalam produksi atau sebagai prodosen dari barang-barang yang laku di perdagangan international di Hindia Belanda saat itu adalah :
1.     Penduduk desa Jawa
2.     Pengusaha swasta bangsa eropa (kerjasama dengan pemerintahan)
3.     Pengusaha swasta bangsa eropa (kerjasama dengan kesultanan)
4.     Pemiliki tanah partikelir (orang eropa/pribumi yang diberi kuasa atas suatu luasan tanah beserta isi dan penduduknya)
Masing-masing produsen itu mengaku sulit mengembangkan produksinya terutama masalah keamanan yang masih berkendala. Selain itu untuk mendapatkan modal dari pemerintahan, hanya pengusaha bangsa eropa-lah yang berpotensi besar mendapatkan modal dari pemerintah. Apalagi jika kita kaji struktur geografisnya daerah Jawa hamper sebagaian besar masih desa sehingga diluar jangkauan dan tidak menunjukan minat pada bidang budi daya. Sehingga dipedesaan lebih diperhatikan pada mata pencaharian individu dan bersifat longgar karena secara resmi dari pemerintahan Belanda tidak adanya pengawasan ketat dan pemerintahan pun lemah di pedesaan. Hal inilah membuat keamanan para enggan untuk menanam modalnya disana.
Pada periode tahun 1815-1830, produk-produk untuk ekspor justru banyak berasal dari pengusaha yang bekerjasama dengan pemerintah. Namun dilain pihak sistem pemodalan itu menghambat pertumbuhan ekonomi karena tidak mampu menarik banyak modal dikarenakan tanah itu bukan miliki mereka. Berbada dengan pengusaha dari swasta yang bekerjasama dengan kesultanan lebih berpotensi untuk berkembang. Namun adanya kebijakan traditional seperti membatasi perluasan lahan, beban atas tanah dan kewajiban-kewajiban traditional terhadap buruh yang membatasi mereka sehingga sulit juga untuk berkembang. Akhirnya para pemilik tanah perkebunan tidak tertarik dengan pengusahaan ekspor dalam operasi ekonomi mereka. Tanah malah menjadi permasalahan soal gengsi daripada soal ekonomi.
Pada periode tanam paksa ini pemerintah merasa perlunya ada suatu upaya untuk mengembangkan produk-produk ekspor yang kemudian berdampak pada pinjaman modal dari pemerintah. Pinjaman modal itu diperuntukan bagi pengusaha yang mengadakan perjanjian untuk mendirikan pubrik/penggilingan. Hal ini dinilai tepat sekali karena tingkat produksi tebu yang besar disamping itu para kontraktor yang terlibat dalam peminjaman dapat menjual hasil tebunya secara bebas setelah menyerahkan pembayaran dari pinjaman sebelumnya.
Perkembangan antara pengusahan swasta dan pengusahan pemerintah memperlihatkan persaingan dalam produksi ekspor. Lahan kedua jenis pengusaha ini berdekatan sehingga perlunya ikut campur pemerintahan dalam menentukan kebijakan untuk membatasi ruang gerak dari pengusaha swasta. Kebijakan itu antaranya yaitu penanaman komoditi yang kurang menguntungkan diberikan pada pengusaha swasta seperti the, tembakau, dan nopal.
Pegawai sipil belanda di pulau jawa erat hubungannya dalam bentuk kekeluargaan sehingga selama sistem tanam paksa adanya ikatan antara keluarga dengan mengangkat orang-orang dari gologan kerabat (nepotime). Pengarunya dari hal seperti ini adalah hak-hak atas tanah sebagai kepemilikan pribadi.
Tanam paksa melalui suntikan modal  dapat mendorong pembentukan modal swasta lebih besar untuk komoditi pertanian ekspor. Masalah timbul ketika adanya rasa keistimewaan terhadap sekelompok orang dalam. Petani jawa terasa sangat dirugikan ketika mereka justru harus bersaing dengan pemerintah yang ikut dalam sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa dinilai bertentangan dengan sistem partikelir dan sebagai penghalang pembentukan modal. Akibatnya modal luar Jawa (1850-1860) meningkat pesat sehingga mendorong kehancuran sistem tanam paksa.

Tenaga Buruh Murah
            Sistem tanam paksa menanggulangi maslah tenaga buruh murah dengan beradaptasi dengan kultur traditional Jawa. Kultur tersebuat adalah dalam upaya kerja wajib sebagai bentuk pengabdian pada jabatan yang lebih tinggi dan beberapa kali dalam setahun ada diminta melakukan pekerjaan yang ditugasi oleh atasan. Hal itu dianggap wajib karena sebagai upaya solidaritas sosial dan mendukung tata tertib sosial yang hirarkis. Pekerjaan ini tidak dibayar sehingga cocok dengan sistem tanam paksa yang akan diterapkan.
            Masuknya pemerintah Belanda dalam hirarki masyarakat jawa memposisikan dirinya sebagai pengganti raja dengan menuntut atas haknya yang harus didapat berupa pelayanan wajib dari rakyatnya maupun upeti. Pelayanan wajib diberlakukan untuk membangun prasaraa jalan, perbentengan, saluran air, proyek irigasi, dan bangunan-bangunan umum. Bagi pengusaha swasta mereka harus memenuhi tenaga kerjanya dengan adminitrasi tersendiri serta membayar upah.
            Permasalahan terjadi ketika pemerintah melokasikan sistem kerja paksa tidak hanya di hutan-hutan namun seperlima tanah masyarakat harus diberlakukan sistem tanam paksa. Disegi upah dianggap sepadan dengan pajak sebayak dua perlima dari lahan. Nilai hasil yang tumbuh di seperlima tanah terkenan sistem tanam paksan sepadan dengan pajak.
            Pelayanan tanam paksa ini bukanlah sebagai pengganti dari rodi akan tetapi sebagai tambahannya. Adanya perubahan sosial terjadi pada 1830 dimana adanya masayarakat yang bekerja tetap di perkebunan-perkebunan pemerintah dan ada pula sebagai buruh harian disamping sebagai penyewa untuk para penduduk desa lainnya. adapun pembayaran sistem upah sangatlah terlalu kecil sehingga dinilai tidak cukup untuk bertahan hidup. Sistem upah berjalan namun karena dari upah tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat maka tidak adanya rasa keinginan dari masyarakat berharap dari upah tersebut. Pada dasawarsa 1850 ada penolakan dari buruh tani ketika diminta untuk mengerjakan pekerjaan buruh rodi. Namun hal itu ditolak karena tidak adanya buruh yang mau digaji dengan tingkat upah yang dijanjikan pemerintah.
            Pada tahun 1860-1870 pengusaha swasta mulai menagdakan perjanjian perburuhan dan tanah baik dengan perorangan maupun dengan desa-desa. Nyatalah bahwa sistem tanam paksa tidak berbuat banyak dalam pembentukan pasar buruh yang bebas dan sukarela. Sebaliknya tanam paksa membuat nilai negatif bagi pekerja karena member kompensasi serendah mungkin dengan menggunakan polo-pola traditional.




















BAB IV
Kesimpulan
Sistem tanam paksa di Jawa mengubah 3 bidang yang mengalami penafsiran kembali , yaitu :
1. Pembentukan modal
2. tenaga buruh
3. ekonomi pedesaan
Pada pokoknya sistem tanam paksa adalah penghisapan dan pemerasan secara brutal dan dikelola oleh orang-orang yg tamak dan haus akan kekuasaan yg nilai-nilainya dibentuk oleh latar belakang kebudayaan masing-masing. Tanam paksa menjadi lebih baik setelah mendapatkan sokongan swasta , karena sistem pemerintah yang berbelit . Setelah tahun 1880 masukan modal besar ke Jawa terjadi setelah proses pembubaran tanam paksa .
Akibat dari tanam paksa adalah memperlihatkan secara Jelas , bahwa Jawa dapat menghasilkan komoditi-komoditi pertanian tertentu dengan cara yang cukup murah untuk dapat bersaing di pasaran dunia.
Tenaga buruh yang murah adalah sesuatu yang menandai kehidupan di Jawa, lama sebelum sistem tanam paksa muncul.
Masyarakat Jawa tingkat menengah dan tinggi sebenarnya mengetahui betul2 bagaimana cara mengeksploitir tenaga buruh ini dan bagaimana cara menangani produk-produk2 yg tersedia bagi mereka.
Beberapa golongan  masyarakat Jawa mendapatkan keuntungan dari sistem tanam paksa, golongan2 yg lebih rendah menjadi lebih tergantung pada penguasaan tradisional , dan mereka mendapatkan keuntungan yang sangat kecil .
Desa-desa di Jawa sebagai kesatuan-kesatuan pemukiman selalu mengandung perbedaan2 sosial . Desa merupakan sumber dari mana tenaga buruh dan hasil pertanian ditarik , walaupun hanya dari beberapa penduduk desa pada awal abad ke-19.
Untuk mendapatkan kerja sama dari semua pihak yang bersangkutan dan supaya sistem tanam paksa berjalan secara wajar , desa menjadi kesatuan yang lebih akrab sehingga pengaturan lahan yang semakin kompleks dan pembagian tugas yg semakin rumit dapat melibatkan jumlah penduduk desa yang semakin banyak.
Sistem itu mempengaruhi pertumbuhan sosio-ekonomi dan perkembagan semua kelompok sosial di Jawa (tentative) . Oleh karena pola perubahan ini sudah ada sebelum sistem itu didirikan pada tahun 1830 dan berlanjut terus setelah pembubarannya pada tahun 1870.

Sabtu, 11 Mei 2013

Pelatihan Penulisan Ilmiah Mahasiswa BM di FTUI

Dikti melalui programnya beasiswa Bidik Misi (selanjutnya disingkat BM) berusaha meningkatkan taraf hidup mahasiswa untuk dapat menikmati masa kuliahnya. kali ini dikti melakukan upaya memperbaharui dan menekankan pada penerima BM untuk mengikuti pelatihan penulisan ilmiah. hal ini tentu berlaku bagi penerima BM di seluruh perguruan tinggi negeri Indonesia. termasuk saya, kampus saya UI tercinta melakukannya pada hari ini 11 Mei 2013. kegiatan ini berlangsung di Fakutas Teknik di kelas K301.

Saya sebagai mahasiswa penerima BM merasakan tanggungjawab yang berat untuk membangun negeri ini. sebab apa yang diberikan negara pada saya sungguh suatu hal yang diluar kemampuan saya. bukan hanya uang kuliah tetapi juga belanja bulanan saya juga dikasih, oleh karena itu tidak ada suatu alasan bagi saya untuk tidak mengikuti pelatihan ini.

pagi tadi tepat sebelum jam 8 saya telah berada di FT dan langsung menuju ruangan. suatu keteguhan hati saya menyimak apa-apa yang ada dalam pelatihan itu. akhir kata saya mengatakan "ini sebuah workshop yang penting bagi saya". ini menjadi batu loncatan saya untuk dapat menulis dan menulis ide saya.
materi yang diberikan mulai dari niat sampai permasalahan teknis dalam presentasi saya ketahui disini. ingin rasanya langsung terjun kedunia ide yang akan saya curahkan pada proposal dan meraih tantangan yang saya impikan.


Sabtu, 20 April 2013


1. Teori Pers Otoritarian
Teori ini muncul di iklim otoritarian, akhir jaman Renaisans pada abad 16 dan 17, setelah ditemukannya mesin cetak. Teori ini menganggap bahwa raja atau penguasa adalah pemilik kebenaran karena mereka memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan. Kebenaran bukan berasal dari masyarakat, melainkan dari orang-orang bijak yang membimbing dan mengarahkan pengikutnya. Oleh karena itu, setiap orang yang menentang atau pun meragukan ideologi dari penguasa dapat dikenai hukuman. Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengontrol pers ada tiga, yaitu menyensor materi yang akan dicetak atau disiarkan, menyuap editor agar mau mengikuti kemauan pemerintah, dan mengancam pers dengan hukuman penjara.
Pers di jaman ini pun menjadi sangat pasif. Mereka hanya digunakan sebagai alat untuk menyampaikan informasi tentang kebijakan pemerintah untuk mendukung posisi kepemimpinannya sendiri. Sehingga pers kehilangan fungsinya sebagai pengawas pemerintahan dan hanya mengabdi pada kepentingan penguasa. Dan yang boleh memiliki pers hanyalah kelompok atau orang tertentu yang mendapat ijin khusus dari penguasa itu sendiri.
2. Teori Pers Libertarian
Teori ini disebut juga teori kebebasan pers, di mana pers menuntut kebebasan yang sepenuhnya. Teori ini mengungkapkan bahwa manusia sudah dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan yang buruk. Kebenaran bukan lagi milik penguasa, melainkan merupakan hak asasi manusia untuk mencarinya. Oleh karena itu, di sini pers berfungsi sebagai mitra untuk mencari kebenaran dengan cara memberikan bukti dan argumen untuk landasan dalam mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap. Sehingga pers sendiri memiliki tujuan untuk menemukan kebenaran, memberi informasi, menafsirkan, dan menghibur masyarakat.
Munculnya teori ini pun didasari oleh asumsi-asumsi dasar filosofis sebagai berikut :
- Hakikat manusia
Manusia memiliki pemikiran yang rasional dan memiliki tujuan sendiri, serta mampu membuat keputusan. Kemampuannya digunakan untuk berpikir dan mengingat, sedangkan pengalamannya digunakan untuk membuat keputusan.
- Hakikat masyarakat
Masyarakat memiliki tujuan untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan fungsinya adalah untuk memajukan kepentingan anggota dan menciptakan perlindungan agar masyarakat tidak mengambil alih peran utama dan menjadi tujuan itu sendiri.
- Hakikat negara
Negara menyediakan lingkungan bagi masyarakat dan individu agar mereka dapat menggunakan kemampuannya untuk mencapai tujuan.
- Hakikat pengetahuan dan kebenaran
Manusia diberi kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah untuk memperoleh kebenaran. Sedangkan, kebenaran itu sendiri adalah sesuatu yang dapat ditemukan dan diperlihatkan kepada manusia lain untuk diperdebatkan dan melalui musyawarah akan dapat mengakhiri perdebatan dan hasilnya dapat diterima oleh akal.
Ada tiga hal yang menyebabkan pers sangat menentang adanya proses penyensoran, yaitu :
- Sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi dengan bebas.
- Sensor bisa menguntungkan salah satu pihak dengan mengorbankan kepentingan masyarakat.
- Sensor menghalangi masyarakat untuk mencari kebenaran.
3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial
Teori ini muncul pada abad ke-20 di Amerika Serikat. Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa kebebasan itu juga mengandung tanggung jawab yang sepadan, di mana pers memiliki tanggung jawab untuk menginformasikan, mendidik, dan memajukan masyarakat. Dan di sini, media berperan dalam mengindikasikan sebuah cerminan tentang keanekaragaman dalam masyarakat dan juga sebagai akses untuk melihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga, opini masyarakat, etika, dan reaksi konsumen lah yang menjadi kontrol atas kinerja pers. Selain itu, tak jarang terjadi munculnya konflik yang dapat membawa masyarakat ke forum diskusi untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Di Amerika Serikat, amandemen pertama dalam konstitusi AS tahun 1774 telah melarang pemerintah atau negara untuk membuat aturan yang membatasi atau menghalangi kebebasan pers. Dan komisi kebebasan pers yang dimiliki oleh AS telah memberikan daftar materi yang harus diperhatikan sebagai kewajiban pers terhadap masyarakat, yaitu adanya berita yang bersifat informatif, mengandung kebenaran, keakuratan, objektifitas, dan memiliki komposisi yang seimbang atau proporsional.
Ada enam tugas pokok yang harus dilakukan oleh pers dalam teori tanggung jawab sosial ini, yaitu :
- Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi, dan perdebatan dalam masyarakat.
- Memberi penerangan agar masyarakat dapat mengambil sikap atas fenomena yang terjadi di sekelilingnya.
- Menjaga hak perorangan dengan cara mengawasi jalannya pemerintahan.
- Melayani sistem ekonomi melalui penayangan iklan untuk mempertemukan penjual dengan pembeli secara tidak langsung.
- Hiburan
- Mengupayakan biaya sendiri agar tidak tergantung terhadap orang atau kelompok tertentu.
4. Teori Pers Soviet Komunis
Teori ini muncul saat Uni Soviet masih berdiri, disertai dengan tradisi Marxis. Teori ini menganggap bahwa dalam suatu masyarakat, orang-orang seharusnya tidak berbeda pandangan, musyawarah tanda kelemahan, dan hanya ada satu pandangan yang benar yang dapat dipertemukan dan dipertahankan, disebarkan, dan digalakkan.
Sesungguhnya kekuasaan bersifat sosial dan berada pada pribadi tiap orang, tersembunyi di lembaga sosial, dan dipancarkan dalam tindakan masyarakat. Namun, pers sendiri hanya digunakan sebagai alat propaganda dan agitasi yang selalu terkait dengan kekuasaan dan pengaruh partai. Sehingga tidak dimungkinkan adanya kepemilikan pers yang bersifat privat.
Selain empat teori pers yang diungkapkan oleh Fred. S. Siebert, Theodore B. Peterson, dan Wilbur Schram dalam karangannya yang berjudul “Four Theories of The Press”, yang terbit pada tahun 1965, ada pula Willian A.Hachten yang mengungkapkan adanya lima sistem pers yang berlaku di dunia. Hal ini diungkapkannya dalam bukunya yang berjudul “The World News Prism”, yang terbit pada tahun 1981. Lima sistem pers tersebut adalah sebagai berikut :
1. Otoritarian
2. Komunis
3. Revolusioner
4. Konsep Barat : Merupakan gabungan dari sistem libetarian dan tanggung jawab sosial
  5. Pembangunan : Merupakan gabungan dari sistem otoritarian, komunis, dan tanggung jawab sosial.





Dimensi realita, yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut bersumber pada nilai-nilai riil dalam masyarakat. Dilihat dari dimensi ini Ideologi Pancasila mengandung dimensi realita karena nilai-nilai dasar Pancasila bersumber dari budaya dan pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri, bahkan kelima nilai dasar Pancasila dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
Dimensi idealisme, yaitu bahwa ideologi tersebut harus memberikan harapan, cita-cita tentang masa depan yang lebih baik. Dilihat dari dimensi ini ideologi Pancasila mengandung dimensi Idealisme karena mengandung cita-cita tentang masa depan yang lebih baik.
Dimensi fleksibilitas, yaitu bahwa ideologi mengandung atau memiliki keluwesan yang memungkinkan adanya berbagai pengembangan pemikiran baru tanpa khawatir meninggalkan jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya. Disini ideologi Pancasila memenuhi syarat, dibuktikan dengan perjalanan sejarah bahwa Pancasila masih berdiri tegar dan kokoh serta selalu menerima berbagai pembaharuan-pembaharuan tanpa khawatir meninggalkan jati dirinya.



1. Ideologi adalah suatu ilmu tentang idea atau gagasan manusia.
2. Ideologi Pancasila tentunya. Telah dirumuskan oleh BPUPK sebelum Indonesia merdeka.
3. Pancasila digunakan di Indonesia sebagai dasar negara dan pandangan hidup (weltanschauung [istilah Jerman, bukan bahasanya Tukul Arwana]).
4. Nama Pancasila ditimbulkan oleh Ir. Soekarno (namun dia mengakui bahwa istilah ini bukan berasal dari dirinya sendiri melainkan dari seorang teman yang ahli bahasa. Siapa orang itu? Belum diketahui, namun beberapa sarjana mengatakan: Mr. Muhammad Yamin).
5. Arti kata Pancasila berasal dari istilah bahasa Sansekerta, Panca=lima, Syila atau Sila=Dasar, Basis.
6. ideologi suatu negara dapat berfungsi sebagai Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara; ini istilah Prof. Notonagoro).
7. Manfaat ideologi bagi kelangsungan hidup bangsa maksudnya ideologi bukan untuk ideologi itu sendiri, melainkan berguna bagi praktik kebangsaan dan kenegaraaan. Pancasila sebagai ideologi jelas bermanfaat bagi praktik berbangsa dan bernegara yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
8. Ideologi Pancasila bukanlah sesuatu yang asal jadi, melainkan hasil kristalisasi nilai-nilai ideal yang berasal dari alam dan kultur bangsa Indonesia sendiri.


Ideologi tertutup:
- Bersifat mutlak
- Bersifat totaliter, artinya ideologi tsb mencakup semua bidang kehidupan.
- Pluralisme pandangan dan kebudayaan ditiadakan, hak asasi tidak dihormati.
- Menuntut tindakan konkret dan operasional yang keras, mutlak, dan total.
- Merupakan cita-cita kelompok (bukan rakyatnya)yg digunakan sbg dasar utk mengubah masyarakat.

Ideologi terbuka:
- Merupakan kekayaan rohani, moral, dan budaya seluruh masyarakat.
- Isinya tidak langsung operasional.
- Tidak pernah membatasi kebebasan dan tanggung jawab masyarakat.
- Menghargai pluralitas/perbedaan yg ada, sehingga dpt diterima oleh berbagai latar belakang budaya dan agama.
- Tidak diciptakan oleh negara ataupun penguasa melainkan ditemukan dlm masyarakat itu sendiri.


 Pengertian Ideologi
Orang yang pertama kali menggunakan istilah ideologi adalah Antoine Destult, filosof Perancis yang hidup pada masa Revolusi Perancis. Secara Etimologi, istilah ideologi erasal dari kata idea dan logos. Idea berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita; sedangkan logos berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi, ideologi adalah ilmu pengetahuan tentang ide-ide tentang gagasan atau keyakinan.
Dalam bahasa Yunani yang dikemukakan oleh A. Destult de Tracy (1836), ideologi berasal dari kata eidos dan logia atau logos. Eidos berarti bentuk atau melihat, sedangkan logos berarti kata atau ajaran. Menurutnya, ideologi berarti ilmu tentang terjadinya cita-cita, gagasan atau buah pikiran. dari beberapa makna tersebut, makna kata ideologi secara harafiah adalah kumpulan gagasan, cita-cita yang harus dicapai, pandangan, atau paham secara menyeluruh dan sistematis yang dijadikan dasar bagi perubahan suatu institusi kepentingan golongan kelas sosial. Jadi, mungkin saja ideologi seseorang berbeda dengan orang atau kelompok lain.
B. Perbedaan Ideologi Terbuka dan Tertutup
Ideologi terbuka adalah ideologi yang bersifat aktual, dinamis, antisifasif dan senantiasa beradaptasi sesuai perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta dinamika perkembagan aspirasi masyarakat. keterbukaan ideologi ini bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang ada di dalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya lebih konkrit, sehingga memilik kemampuan yang reformatif untuk menyelesaikan masalah-masalah aktual yang senantiasa berkembang seiring dengan aspirasi masyarakat, perkembangan iptek dan zaman.

Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve.

Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.
Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.

C. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Seperti kita ketahui, budaya masyarakat Indonesia dalam mencapai kata sepakat ditentukan melalui musyawarah dan konsensus dari masyarakat. oleh karena itu, bentuk dari proses pemikiran dari suatu masyarakat terbuka menjadi suatu dasar kepribadian bangsa Indonesia sekaligus bagian dari konsep perumusan pancasila sebagai dasar negara. Sistem pemikiran terbuka inilah yang disebut dengan ideologi terbuka.
Pancasila sebagai ideologi terbuka sama halnya dengan bangsa Indoensia yang senantiasa terbuka dalam setiap dimensi kehidupan. Menurut Dr. Alfian, kekuatan ideologi bergantung pada tiga dimensi yang dikandungnya, yaitu sebagai berikut.
1. Dimensi Realita
Perkembangan aspirasi dan pemikiran masyarakat Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya untuk hidup berbangsa dan bernegara secara nyata dan hidup dalam masyarakat atau bangsanya. Misalnya, munculnya ideologi Pancasila pertama kali hingga kini.
2. Dimensi Fleksibilitas
Pancasil memiliki keluwesan, baik untuk menjawab tantangan zaman di masa kini maupun masa depan tanpa harus kehilangan kepribadian dan arah kehidupan.
3. Dimensi Idealisme
Keterbukaan untuk menerima kemajuan zaman yang lebih baik yang sesuai dengan nilai-nilai idealisme. Pancasila tumbuh seiring dengan gerak perkembangan bangsa melalui perwujudan dan pengalaman di kehidupan sehari-hari.
D. Perbandingan Ideologi Pancasila dengan Ideologi lain
Istilah ideologi negara mulai banyak digunakan bersamaan dengan perkembangan pemikiran Karl Marx yang dijadikan sebagai ideologi beberapa negara pada abad ke-18. Namun sesungguhnya konsepsi ideologi sebagai cara pandang atau sistem berpikir suatu bangsa berdasarkan nilai dan prinsip dasar tertentu telah ada sebelum kelahiran Marx sendiri. Bahkan awal dan inti dari ajaran Marx adalah kritik dan gugatan terhadap sistem dan struktur sosial yang eksploitatif berdasarkan ideologi kapitalis.

Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan Lenin kemudian disebut sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivisme dengan titik ekstrem menghapuskan hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak sipil dan politik individu. Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis yang menekankan pada individualisme baik dari sisi politik maupun ekonomi.
Kedua ideologi besar tersebut menjadi ideologi utama negara-negara dunia pasca perang dunia kedua hingga berakhirnya era perang dingin. Walaupun demikian baik komunisme maupun kapitalisme memiliki warna yang berbeda-beda dalam penerapannya di tiap wilayah. Ideologi selalu menyesuaikan dengan medan pengalaman dari suatu bangsa dan masyarakat. Komunisme Uni Soviet berbeda dengan komunisme di Yugoslavia, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara Amerika Latin. Demikian pula dengan kapitalisme yang memiliki perbedaan antara yang berkembang di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Asia.

Walaupun negara-negara yang menganut kedua besaran ideologi tersebut saling berhadap-hadapan, namun proses penyesuaian diantara kedua ideologi tersebut tidak dapat dihindarkan. Kapitalisme, dalam perkembangannya banyak menyerap unsur-unsur dari sosialisme. Setelah mengalami krisis besar pada tahun 1920-an (the great depression) Amerika Serikat banyak mengadopsi kebijakan-kebijakan intervensi negara di bidang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian berkembang menjadi konsep negara tersendiri, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ideologi, yaitu negara kesejahteraan (welfare state) yang berbeda dengan ideologi kapitalisme klasik.
Di sisi lain, beberapa negara komunis yang semula sangat tertutup lambat-laun membuka diri, terutama dalam bentuk pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik. Proses demokratisasi terjadi secara bertahap hingga keruntuhan negara-negara komunis yang ditandai dengan tercerai-berainya Uni Soviet dan Yugoslavia pada dekade 1990-an.

Ada yang menafsirkan bahwa keruntuhan Uni Soviet dan Yugoslavia sebagai pilar utama adalah tanda kekalahan komunisme berhadapan dengan kapitalisme. Bahkan Fukuyama pernah mendalilkan hal ini sebagai berakhirnya sejarah yang selama ini merupakan panggung pertentangan antara kedua ideologi besar tersebut. Namun kesimpulan tersebut tampaknya terlalu premature. Keruntuhan komunisme, tidak dapat dikatakatan sebagai kemenangan kapitalisme karena dua alasan, yaitu (a) ide-ide komunisme, dan juga kapitalisme tidak pernah mati; dan (b) ideologi kapitalisme yang ada sekarang telah menyerap unsur-unsur sosialisme dan komunisme.

Ide-ide komunisme tetap hidup, dan memang perlu dipelajari sebagai sarana mengkritisi sistem sosial dan kebijakan yang berkembang. Ide-ide tersebut juga dapat hidup kembali menjadi suatu gerakan jika kapitalisme yang saat ini mulai kembali ke arah libertarian berada di titik ekstrim sehingga menimbulkan krisis sosial. Demikian pula halnya dengan gerakan-gerakan demokratisasi dan perjuangan atas hak-hak individu akan muncul pada sistem yang terlalu menonjolkan komunalisme.

Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem sosiali-komunis, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya.


Hasil – hasil Sidang PPKI

Hasil-Hasil Sidang PPKI Secara Lengkap

Berikut ini beberapa keputusan penting dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
1. Mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang telah
dipersiapkan oleh Dokuritsu Junbi Coosakai (BPUPKI), yang kemudian dikenal dengan
Undang-Undang Dasar 1945.
2. Memilih Ir. Soekarno sebagai presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil
presiden. Pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara aklamasi atas usul
dari Otto Iskandardinata.
3. Membentuk sebuah Komite Nasional untuk membantu presiden selama Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum terbentuk.
Pada hari berikutnya, tanggal 19 Agustus 1945 PPKI melanjutkan sidangnya dan berhasil
memutuskan beberapa hal berikut.
1. Pembagian wilayah, terdiri atas 8 provinsi.
a. Jawa Barat, gubernurnya Sutarjo Kartohadikusumo
b. Jawa Tengah, gubernurnya R. Panji Suroso
c. Jawa Timur, gubernurnya R.A. Suryo
d. Borneo (Kalimantan), gubernurnya Ir. Pangeran Muhammad Noor
e. Sulawesi, gubernurnya Dr. G.S.S.J. Sam Ratulangi
f. Maluku, gubernurnya Mr. J. Latuharhary
g. Sunda Kecil (Nusa Tenggara), gubernurnya Mr. I. Gusti Ktut Pudja
h. Sumatra, gubernurnya Mr. Teuku Mohammad Hassan
2. Membentuk Komite Nasional (Daerah).
3. Menetapkan 12 departemen dengan menterinya yang mengepalai departemen dan 4
menteri negara. Berikut ini 12 departemen tersebut.
a. Departemen Dalam Negeri dikepalai R.A.A. Wiranata Kusumah
b. Departemen Luar Negeri dikepalai Mr. Ahmad Subardjo
c. Departemen Kehakiman dikepalai Prof. Dr. Mr. Supomo
d. Departemen Keuangan dikepalai Mr. A.A Maramis
e. Departemen Kemakmuran dikepalai Surachman Cokroadisurjo
f. Departemen Kesehatan dikepalai Dr. Buntaran Martoatmojo
g. Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan dikepalai Ki Hajar Dewantara
h. Departemen Sosial dikepalai Iwa Kusumasumantri
i. Departemen Pertahanan dikepalai Supriyadi
j. Departemen Perhubungan dikepalai Abikusno Tjokrosuyoso
k. Departemen Pekerjaan Umum dikepalai Abikusno Tjokrosuyoso
l. Departemen Penerangan dikepalai Mr. Amir Syarifudin
Sedangkan 4 menteri negara yaitu:
1. Menteri negara Wachid Hasyim
2. Menteri negara M. Amir
3. Menteri negara R. Otto Iskandardinata
4. Menteri negara R.M Sartono
Di samping itu diangkat pula beberapa pejabat tinggi negara yaitu:
1. Ketua Mahkamah Agung, Dr. Mr. Kusumaatmaja
2. Jaksa Agung, Mr. Gatot Tarunamihardja
3. Sekretaris negara, Mr. A.G. Pringgodigdo
4. Juru bicara negara, Soekarjo Wirjopranoto
Sidang PPKI yang ketiga tanggal 22 Agustus 1945 memutuskan:
1. Pembentukan Komite Nasional
2. Membentuk Partai Nasional Indonesia
3. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat




Pascaproklamasi, dibutuhkan upaya pemulihan keamanan yang masih rawan. Karena itu pada 22 Agustus 1945 sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), sebuah korps pejuang bersenjata, dengan tujuan untuk menjamin ketenteraman umum, yang pada mulanya merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang.

Pada pidato 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno menyerukan supaya para pemuda memasuki BKR sampai tiba waktunya mereka dipanggil untuk memasuki tentara kebangsaan. Dalam perjalanan sejarahnya BKR menjadi badan yang menduduki peranan yang penting dalam masyarakat.

Sekalipun BKR itu bukan tentara, dalam bulan-bulan pertama sesudah proklamasi, BKR lah yang memelopori, mendorong, memutar roda revolusi dengan melakukan perebutan kekuasaan dan perebuatan senjata dari tangan jepang. Orang-orang yang tergabung di dalamnya berasal dari bekas prajurit PETA, Heiho, Polisi, Seinendan, Keibodan, KNIL, dan lain-lain.

Namun kedatangan tentara Sekutu di akhir September 1945 membuat pemerintah memutuskan pembubaran Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menggantinya dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melalui maklumat pemerintah tanggal 5 Oktober 1945.


Soekarno atau Yamin
Sekretariat Negara, pekan lalu, kembali menerbitkan sebuah buku
penting. Judulnya Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebagaimana judulnya, buku ini
memang kumpulan risalah, pidato, para ''Bapak Bangsa'' di sidang
BPUPKI, 28 Mei sampai 1 Juni 1945, kemudian 10 sampai 17 Juli
1945. Lalu di dalam sidang PPKI, 18 sampai 22 Agustus 1945.
Sungguh, itu momentum yang terpenting dalam proses berdirinya
republik ini. Dalam sidang-sidang itulah dilahirkan UUD 1945 dan
Pancasila. Di situ pula dirumuskan bentuk dan struktur negara
ini. Malah, sidang itu pula yang kemudian memilih Soekarno dan
Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang
pertama.
Tapi sidang-sidang itu pulalah yang sampai sekarang menjadi bahan
perdebatan sengit yang sifatnya akademis ataupun politis.
Soalnya, sekalipun jarak peristiwa itu baru sekitar 50 tahun,
dokumen-dokumen peristiwa penting itu tak lagi lengkap.
Akibatnya, perdebatan -- terutama yang berbau politis -- yang
terjadi terlihat lebih menonjolkan emosi. Misalnya, siapa
sebenarnya penggali Pancasila? Ada yang menyebut Bung Karno. Ada
yang menyebut Muhammad Yamin. Ada pula yang berpendapat, itu
kerja kolektif para ''Bapak Bangsa''. Karena Bung Karno seorang
besar yang banyak punya pengagum, selain juga para pengecam, maka
perdebatan soal ini sulit berlangsung dengan dingin. Apalagi
dokumen untuk dijadikan pijakan tak pula lengkap.
Menariknya, buku Setneg yang baru terbit ini -- sebenarnya ini
edisi ketiga, revisi dari dua edisi sebelumnya -- dilengkapi
dengan sejumlah dokumen temuan baru yang disebut Koleksi
Pringgodidgo dan Koleksi Yamin. Yang pertama diperoleh dari
Negeri Belanda, yang terakhir dari Perpustakaan Pura
Mangkunegaran, Solo. Karena itu, buku ini jadi menarik, walau tak
semua temuan baru itu sudah dimuat di sini. Misalnya, ditemukan
daftar acara rapat-rapat tadi, serta siapa saja pembicaranya,
berapa lama ia berbicara, dan sebagainya. Dengan temuan itu, kini
bisa dipastikan bahwa pada 29 Mei 1945 memang benar Muhammad
Yamin menyampaikan pidato di depan sidang BPUPKI untuk membahas
soal dasar negara. Artinya, tuduhan selama ini terhadap Yamin --
ada yang menuduh tak benar ia berbicara pada hari itu -- bisa
dikurangi. Tapi debat dalam soal ini belum akan berakhir.
Maka peristiwa penting ini kami jadikan sebuah Laporan Utama.
Bagian pertama berupa rangkuman cerita tentang terbitnya buku
baru itu, temuan dokumen tadi, serta dampaknya. Bagian ini
dilengkapi dengan sebuah boks: kisah penemuan kedua koleksi itu.
Bagian kedua memuat wawancara dengan Menteri Sekretaris Negara
Moerdiono, di sekitar penerbitan buku baru itu.
Di bagian ketiga, kami menulis kontroversi tentang negara
integralistik Soepomo. Sejumlah ahli menuding bahwa sistem itu
antidemokrasi dan HAM. Lantas bagaimana tuduhan itu, setelah
penemuan dokumen tadi? Lantas di bagian keempat, terakhir, cerita
sekitar kontroversi penggali Pancasila. Salah satu temuan baru
tadi, berupa catatan tentang ringkasan pidato Yamin pada waktu
itu, yang ternyata mengandung unsur dari lima sila itu. Nah,
Yamin atau Soekarnokah penggali Pancasila?
(Amran Nasution)
--------
Debat Panjang Tentang Penggali Pancasila
Setneg menerbitkan buku tentang proses lahirnya Pancasila dan UUD
45. Ada dokumen menunjukkan, Muhammad Yamin mengajukan konsep
lima dasar. Autentikkah?
ADA peristiwa simbolis dan penting di Istana Negara pada 29 Mei
1995. Waktu itu Menteri Sekretaris Negara Moerdiono menyerahkan
sebuah buku berjudul Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) edisi ke-3, terbitan Sekretariat
Negara, kepada Presiden Soeharto.
Moerdiono didampingi oleh Sejarawan Dr. Taufik Abdullah,
Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati. Taufik
adalah pemberi pengantar buku. Sedangkan tiga nama lainnya adalah
tim penyunting buku itu.
Disebut peristiwa simbolis karena penyerahan buku itu bertepatan
dengan hari dimulainya pencarian dasar-dasar negara oleh para
pendiri republik dalam sidang BPUPKI 50 tahun silam. Pada hari
itu beberapa orang berpidato, antara lain Muhammad Yamin. Dari
segi kesejarahan, buku itu juga penting karena dilengkapi dokumen
yang belum dipublikasikan. Yakni risalah (catatan-catatan)
peristiwa Koleksi Muhammad Yamin dan Koleksi Abdoel Gafar
Pringgodigdo -- keduanya anggota BPUPKI. Isinya berupa sebagian
catatan hasil-hasil sidang BPUPKI pada 29 Mei -1 Juni 1945 dan
tanggal 10 Juli-17 Juli 1945. Juga bersisi catatan siapa saja
yang berpidato ketika itu. Sidang BPUPKI sendiri dibuka resmi
pada 28 Mei 1945.
Di samping itu, masih dilengkapi pula dengan biodata para anggota
BPUPKI yang belum termuat pada edisi tahun 1980 dan 1992. Juga
belum ada pada Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 susunan
Muhammad Yamin yang terbit tahun 1959, dan menjadi sumber
berbagai penulis sejarah, termasuk buku terbitan Sekretariat
Negara itu.
Koleksi Pringgodigdo semula berada di Yogyakarta. Namun setelah
Yogya diduduki tentara Belanda pada 19 Desember 1948, koleksi
tersebut dirampas dan dibawa ke Negeri Belanda. Di sana, arsip
itu disimpan oleh Algemeene Secretarie Nederlandsch Indie pada
Algemeene Rijksarchief di Den Haag. Pada awal 1994 bundel ini
diserahkan kembali kepada pemerintah Indonesia (Arsip Nasional).
Dari sejarawan Belanda Dr. R.J. Drooglever, tim penyunting juga
menerima tambahan 20 halaman copy risalah BPUPKI dari Koleksi
Pringgodigdo, yang selama ini tersimpan di Negeri Belanda, yang
juga belum termuat dalam buku-buku sebelumnya.
Sedangkan Koleksi Muhammad Yamin ditemukan petugas Arsip Nasional
di perpustakaan Puri Mangkunegaran, Solo. Risalah Yamin bisa
berada di keraton itu dibawa oleh Rahadian Yamin (almarhum),
putra tunggal Yamin, yang menjadi menantu Mangkoenagoro VIII.
Isi kedua berkas tersebut secara keseluruhan hampir sama, yakni
catatan rapat Panitia Perancang UUD 1945 pada tanggal 11 Juli
1945. Khusus dalam risalah Koleksi Pringgodigdo pemberian
Drooglever terdapat catatan lengkap nama anggota BPUPKI yang
berpidato, serta lamanya pidato mereka pada tanggal 29, 30, dan
31 Mei 1945, yang selama ini dianggap misterius.
Berkas tersebut telah ditelaah dengan teliti oleh tim penyunting,
dibantu oleh para sejarawan, antara lain Dr. Taufik Abdullah,
Abdulrachman Surjomihardjo (almarhum), dan sejumlah ahli
kearsipan lainnya. Hasilnya, ditemukan persamaan dan perbedaan
materi antara kedua koleksi tersebut dengan buku Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945 Muhammad Yamin. ''Dengan demikian, kedua
koleksi itu bersifat melengkapi buku sejenis yang telah
diterbitkan sebelumnya,'' ujar Saafroedin Bahar, staf ahli
Menteri Sekretatis Negara. Saafroedin adalah ketua penyunting
Risalah Sidang BPUPKI PPKI edisi terbaru.
Sebagaimana tercatat dalam berbagai buku sejarah, ketika pada
awal 1945 Jepang makin terdesak dalam Perang Pasifik, tentara
Dai-Nippon berusaha memobilisasikan dukungan rakyat Indonesia
dengan janji akan memberikan kemerdekaan di kelak kemudian hari.
Sebagai tahap awal, untuk merealisasikan janji tersebut, pada 29
April 1945 Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
yang beranggota inti 62 plus 6 anggota tambahan (jadi seluruhnya
68 orang). Badan ini diketuai Dr. Kanjeng Raden Tumenggung
Radjiman Wedyodiningrat, dengan wakil ketua Hibangase Yosio
(orang Jepang) dan R.P. Soeroso. Di luar anggota BPUPKI yang akan
berunding, ada Badan Tata Usaha (semacam sekretariat) yang
beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha dipimpin oleh R.P.
Soeroso, wakilnya Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda (Jepang).
Di bawah bayang-bayang kekuasaan Jepang, BPUPKI mulai bersidang
pada 28 Mei 1945 di Gedung Tyuuoo Sangiin -- semacam Dewan
Perwakilan Rakyat -- di Jalan Pejambon, Jakarta. Di zaman
Belanda, gedung itu menjadi kantor Volskraad (DPR bentukan
Belanda). Sekarang namanya Gedung Pancasila.
Sidang yang resmi tersebut dibagi menjadi dua termin. Sidang
resmi pertama berlangsung lima hari, tanggal 28 Mei sampai 1 Juni
1945. Yang dibahas dalam termin ini adalah dasar negara, yang
sering disebut-sebut sebagai detik-detik lahirnya Pancasila. Pada
termin ini seluruh anggota BPUPKI yang berjumlah 62 orang
ditambah 6 anggota tambahan berkumpul dalam satu ruangan sidang.
Sidang resmi kedua berlangsung tanggal 10 -- 17 Juli 1945,
membahas bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan,
rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan
negara, pendidikan dan pengajaran. Pada termin ini anggota BPUPKI
dipilah-pilah menjadi Panitia Perancang Undang-Undang Dasar
(diketuai Soekarno), Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai
Abikoesno Tjokrosoejoso), dan Panitia Ekonomi dan Keuangan
(diketuai Mohamad Hatta).
Di antara dua sidang resmi itu berlangsung pula sidang tak resmi
yang dihadiri 38 orang. Sidang yang dipimpin Bung Karno ini
membahas rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang
kemudian dibahas pada sidang resmi kedua BPUPKI (10 - 17 Juli
1945).
Setelah BPUPKI menyelesaikan tugas-tugasnya, pada 7 Agustus 1945
dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun
panitia ini baru bersidang pada 18 - 22 Agustus 1945, atau sehari
setelah Proklamasi Kemerdekaan, yang antara lain berhasil
mengesahkan UUD 1945 dan memilih Presiden Pertama RI.
Mengenai sidang-sidang PPKI, sampai sekarang boleh dikatakan tak
mengundang perdebatan. Sebab, risalah atau catatan-catatan
tentang itu cukup lengkap dan autentik. Berbeda dengan tulisan
mengenai sidang BPUPKI yang menimbulkan perdebatan. Sebab,
notulen selama sidang hilang entah ke mana. ''Sampai sekarang
kami masih mencari notulen stenografi yang dibuat oleh Karundeng,
seorang pencatat dari badan tata usaha, bukan anggota perunding
BPUPKI,'' kata Saafroedin Bahar.
Untunglah, selain Karundeng, di antara yang menghadiri sidang ada
yang mencatat apa yang berlangsung dalam sidang tersebut.
Misalnya, Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Muhammad Yamin. ''Namun
catatan para tokoh ini tentu tak bersifat notulen (mencatat apa
adanya). Boleh jadi, hanya berupa resume dan waktu pembuatannya
pun mungkin jauh hari kemudian. ''Bisa juga sudah dipengaruhi
atau ditambah dengan kesan pribadi pembuatnya, meskipun dibuat
ketika peristiwa berlangsung,'' ujar Ananda B. Kusuma, anggota
tim penyunting yang melakukan pengejaran dokumen.
Risalah Koleksi Yamin dan Koleksi Pringgodigdo yang dipakai untuk
melengkapi buku Risalah Sidang BPUPKI PPKI edisi ke-3 ini masuk
dalam kelompok itu, bukan notulen buatan Karundeng (selanjutnya
disebut Notulen Karundeng) yang belum ditemukan itu. Ada yang
menduga notulen tersebut semula berada di tangan Abdoel Gafar
Pringgodigdo.
Pringgodigdo kemudian meminjamkannya kepada Prof. Dr. A. Toynbee,
ahli sejarah asal Inggris, yang ingin menyusun buku. Setelah
selesai, notulen tadi akan dikembalikan Indonesia. Kebetulan
waktu itu Yamin berkunjung ke London. Dan Toynbee menitipkan
notulen yang ia pinjam kepada Yamin. Rupanya, kemudian Yamin
menyimpannya sendiri, tak mengembalikan kepada Pringgodigdo. Oleh
Yamin, notulen itu kemudian dipakai untuk menyusun Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.
Jika Yamin memang orang yang sering disebut sebagai peminjam
dokumen, lalu di manakah benda berharga itu sekarang? Mungkinkah
masih masih berada di tangan pewarisnya. Yang pasti, sebagian di
antaranya pernah disimpan di Puri Mangkunegaran dan kemudian
diserahkan ke Arsip Nasional. Dan yang ini bukan Notulen
Karundeng.
Bagi kepentingan studi sejarah, dokumen merupakan bahan utama.
Seperti kata Sejarawan Taufik Abdullah, sejarah merupakan
rekonstruksi masa lalu. Tujuan penulisan sejarah adalah
mendekatkan diri sedekat mungkin dengan peristiwa sesungguhnya.
Secara sederhana mungkin dapat dikatakan, apa yang tertulis dalam
karya sejarah memang pernah terjadi dan bukan rekayasa
kepentingan di luar kepentingan ilmu, misalnya untuk kepentingan
politik.
Maka yang terpenting adalah tersedianya dokumen. Makin lengkap
dan autentik dokumen yang ada, maka penelusuran ke masa silam
tentu akan makin akurat. Sebaliknya, bila dokumen yang tersedia
tak lengkap atau diragukan keautentikannya, maka akan muncul
perdebatan sengit.
Di kalangan sejarawan, perdebatan adalah hal biasa dan biasanya
tak menimbulkan kerawanan. Sebab, tulis Taufik dalam kata
pengantar buku Risalah Sidang BPUPKI PPKI, perdebatan kesejarahan
adalah bagian dari usaha untuk menempatkan bangsa dalam konteks
perubahan zaman.
Namun sejarah bukan hanya milik sejarawan atau cendekiawan,
melainkan juga milik masyarakat : Bagi masyarakat luas,
perdebatan itu bisa menjadi sensitif dan berpotensi menimbulkan
desintegrasi bila dianggap merusak gambaran masa lalu yang telah
mereka anggap benar.
Terjadinya polemik hangat pada awal 1981 tentang siapa
sesungguhnya penggali Pancasila adalah karena kurangnya dokumen
autentik. Ketika itu Sejarawan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto
meluncurkan buku tipis 68 halaman berjudul Proses Perumusan
Pancasila Dasar Negara terbitan Balai Pustaka. Di situ Nugroho --
kini almarhum -- menyimpulkan bahwa penggali utama Pancasila tak
hanya Bung Karno, melainkan juga Muhammad Yamin dan Soepomo.
Nugroho juga mengatakan, tanggal 1 Juni hanyalah hari lahir
Pancasila-nya Bung Karno, bukan Pancasila yang dikenal sekarang.
Pernyataan ini segera saja mengundang kritik. Beberapa sejarawan
meragukan metodologi sejarah dan prosedur ilmiah yang dipakai
untuk membuktikan kesimpulannya. Abdulrachman Surjomihardjo,
misalnya, bahkan menilai tulisan Nugroho tak lebih dari sekadar
pamflet politik.
Keberatan para penyanggah terutama karena Nugroho hanya memakai
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 susunan Yamin sebagai
sumber primer. Padahal, Yamin dicurigai telah menyaring notulen
rapat BPUPKI, dan hanya memuat bagian-bagian yang memperkuat dan
menonjolkan posisinya.
Polemik tentang siapa penggali Pancasila memang melibatkan
perasaan terhadap peran Bung Karno dalam sejarah. Dan itu bisa
menjadi debat sengit serta panjang. Apalagi bila belum ada bukti
tertulis lain yang betul-betul bisa menyanggah atau memperkuat
buku Yamin.
Di antara Koleksi Pringgodigdo terdapat dua halaman risalah yang
berisi inti pidato Yamin, yang tak secara jelas disebut dalam
buku Risalah Sidang BPUPKI PPKI. Di situ tercatat bahwa Yamin
mengemukakan lima konsep dasar negara (filosofische grondslag):
Negara Kebangsaan, Kemanusiaan, Ketuhanan, Kedaulatan,
Kesejahteraan Rakyat. Sedangkan Bung Karno baru mengucapkan
pidatonya yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai hari
lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945.
Konsep Yamin memang tak diberi judul ''Pancasila'' (sementara
Bung Karno sudah memakai istilah itu). Namun ide tentang
Pancasila sudah terkandung dalam pidato Yamin. Lembaran itu tak
menyebutkan tanggal pembuatan. ''Yang pasti ditulis antara
tanggal 29 Mei dan 31 Mei 1945,'' kata sebuah sumber. Kalau kelak
bisa dibuktikan bahwa risalah itu autentik, berarti Yamin memang
lebih dulu mengungkapkan gagasan lima dasar itu ketimbang Bung
Karno.
Namun apalah artinya seorang pribadi bagi kepentingan yang lebih
luas: bangsa. Sebagaimana kata Sejarawan Taufik Abdullah,
Pancasila sebagai ideologi telah menjadi milik publik. Dalam
kaitan ini tak penting lagi siapa yang menggali atau siapa yang
pertama-tama merumuskannya. ''Kalau kita menyenangi sebuah lagu
dan ingin menyanyikannya, apakah kita berpikir siapa yang
menciptakannya,'' Taufik bertamsil.
Begitu pula dengan ideologi. Bila sebuah gagasan telah diterima
oleh masyarakat, mestinya tak penting lagi siapa yang pertama
mengajukannya. Masalahnya seperti disebut Taufik sebelumnya,
sejarah adalah milik masyarakat. Manakala ''siapa'' tersebut
dipakai sebagai aset politik oleh kelompok tertentu, nama menjadi
penting untuk memperoleh keuntungan politik. ''Dalam memahami
sejarah bagi kepentingan bangsa, kita seharusnya tak berpikir
seperti itu,'' kata Taufik kepada Mauluddin Anwar dari Gatra.
Menurut Taufik, rumusan Pancasila yang kita kenal sekarang
dihasilkan dalam sidang tak resmi BPUPKI (Panitia Kecil) pada 22
Juni 1945, yang kemudian menghasilkan Piagam Jakarta.
Selanjutnya, piagam ini disempurnakan pada 18 Agustus 1945,
sehingga menjadi pembukaan UUD 1945.
Polemik lain yang juga muncul karena kelangkaan dokumen adalah
mengenai paham negara integralistik yang oleh sebagian anggota
masyarakat dianggap ''masih menjiwai'' Undang-Undang Dasar 1945.
Kata ''masih menjiwai'' perlu diberi tanda kutip karena paham
negara integralistik memang pernah diutarakan oleh Prof. Dr.
Soepomo pada 31 Mei 1945 di tengah anggota BPUPKI. Dalam sidang
BPUPKI kedua (10 -- 17 Juli) ide itu ditentang oleh anggota
sidang, terutama oleh Mohammad Hatta.
Belasan tahun Soepomo menjadi bulan-bulanan kecaman, seakan-akan
ia telah melakukan dosa tak terampunkan. Sementara itu,
kecurigaan terhadap UUD 1945 pun belum sepenuhnya pudar. Tahun
1985, jauh setelah Soepomo berpidato, Adnan Buyung Nasution
menganggap UUD 1945 cenderung melahirkan pemimpin otoriter dan
tak menjamin hak asasi manusia. Pernyataan ini termuat dalam
disertasi Adnan yang berjudul The Aspiration for Constitutional
Goverment: A Social-Legal Study of Indonesia Konstituante
1956-1959, yang dibuat di Belanda pada 1985.
Tampaknya, ada satu hal yang dilupakan atau barangkali tak
diketahui, yaitu bahwa pada sidang-sidang BPUPKI selanjutnya
Soepomo berubah sikap. Dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945 karya Yamin, misalnya, jalannya perdebatan tentang paham
integralistik tak dicantumkan secara lengkap.
Yamin telah meringkas risalah yang ada. ''Dalam buku Risalah
Sidang BPUPKI PPKI edisi ke-3 ini, risalah itu kami muat lengkap
sehingga pembaca dapat melihat bahwa Soepomo telah berubah
sikap,'' kata Ananda B. Kusuma.
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 karya Muhammad Yamin
dijadikan rujukan utama buku edisi ke-1 dan ke-2. Padahal, Yamin
hanya meringkas jalannya perdebatan sehingga dialog-dialog yang
terjadi tak tercantum seluruhnya.
Jadi, buku baru itu telah maju selangkah. Itu diakui oleh Manai
Sophiaan, bekas Sekretaris Jenderal Partai Nasional Indonesia
(PNI) yang dikenal sebagai pembela Bung Karno. ''Sebagai bahan
pembahasan sejarah, risalah itu merupakan bukti autentik. Tapi
jangan digunakan untuk menghapus nama Bung Karno sebagai pencetus
dan penggali Pancasila. Itu yang tak bisa kita terima,'' katanya
kepada Nur Hidayat dari Gatra.
Agaknya, tim penyusun telah menyadari kemungkinan munculnya
anggapan seperti itu. Makanya, selain mengakui berbagai
kekurangan -- umpamanya belum ditemukannya Notulen Karundeng --
tim penyusun menegaskan bahwa buku itu semata-mata untuk
mengungkapkan fakta. ''Tak ada niat untuk menaikkan atau
menjatuhkan seseorang,'' ujar Saafroedin Bahar. Saafroedin juga
mengatakan bahwa tak lama lagi Setneg akan menerbitkan
risalah-risalah yang ditemukan sebagaimana adanya. Mereka
menyebutnya edisi ilmiah.
Ketika menerima buku tersebut pada 29 Mei lalu, Presiden pun
menyadari kemungkinan adanya perdebatan. ''Kita boleh saja
berbeda pendapat. Tapi, bagaimanapun, fakta ini harus dipegang.
Sejarah memang perdebatan. Namun naskah yang dijadikan sumbernya
harus autentik,'' Saafroedin menirukan ucapan Presiden.
(Priyono B. Sumbogo)


1. Masa Demokrasi Liberal
Periode 1950 -1959 merupakan masa berkiprahnya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI dan Masyumi) silih berganti memimpin kabinet. Hampir setiap tahun terjadi pergantian kabinet. Masa pemerintahan kabinet tidak ada yang berumur panjang, sehingga masing-masing kabinet yang berkuasa tidak dapat melaksanakan seluruh programnya. Keadaan ini menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Kabinet-kabinet yang pemah berkuasa setelah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda adalah sebagai berikut.
Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951). Setelah bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan, kabinet pertama yang memerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Kabinet Natsir. Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi. PNI sebagai partai kedua terbesar lebih memilih kedudukan sebagai oposisi. PNI menolak ikut serta dalam kabinet, karena merasa tidak diberi kedudukan yang sesuai dengan kekuatan yang dimilikinya.
Kabinet Natsir mendapat dukungan dari tokoh-tokoh terkenal yang memiliki keahlian dan reputasi tinggi seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Asaat, Mr. Moh. Roem, Ir. Djuanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
·       Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
·       Konsolidasi dan menyempurnakan pemerintahan.
·       Menyempurnakan organisasi angkatan perang.
·       Mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan.
·       Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat
Pada masa pemerintahan dan kekuasaan Kabinet Natsir terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Masalah dalam keamanan negeri, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS. Perundingan-perundingan masalah Irian Barat juga mulai dirintis, namun mengalami jalan buntu. Oleh karena itu, muncul mosi tidak percaya terhadap Kabinet Natsir. PNI juga tidak menyetujui berlakunya Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950 tentang DPRD yang dianggap menguntungkan Masyumi. Mosi itu disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Perdana Menteri Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden.
Kabinet Sukiman (27 April 1951-3 April 1952). Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dengan Masyumi. Namun usahanya itu mengalami kegagalan, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret - 18 April 1951).
Presiden kemudian menunjuk Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai formatur. Walaupun mengalami sedikit kesulitan, namun akhirnya mereka berhasil membentuk kabinet koalisi antara Masyumi dengan PNI dan sejumlah partai kecil. Kabinet koalisi itu dipimpin oleh Sukiman dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kabinet Sukiman. Kabinet Sukiman memiliki program 7 pasal, dan di antaranya mirip dengan program dari kabinet Natsir, hanya beberapa hal mengalami perubahan dalam skala prioritas. Misalnya, mengenai pemulihan keamanan dan ketertiban. Usia kabinet ini tidak jauh berbeda dengan kabinet Natsir, karena pada masa kabinet ini banyak menghadapi masalah-masalah seperti krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah. Kabinet Sukiman juga memprogram-kan untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda, walaupun belum juga membawa hasil.
Kedudukan Kabinet Sukiman semakin tidak stabil, karena hubungan dengan militer yang kurang baik, terutama terlihat dari sikap pemerintah menghadapi pemberontakan yang terjadi di Jawa Barat, Jawa tengah, dan Sulawesi Selatan yang kurang tegas. Selanjutnya kedudukan Kabine Sukiman semakin bertambah goyah sebagai akibat terjadinya pertukaran nota antara Menteri Luar Negeri Subardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran mengenai bantuan ekonomi dan militer berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA) atau Undang-undang Kerja Sama Keamanan. Kerja sama itu dinilai sangat merugikan politik luar negeri bebas-aktif yang dianut Indonesia, karena Indonesia harus lebih memerhatikan kepentingan Amerika Serikat. Bahkan lebih dari itu, Kabinet Sukiman dituduh telah memasukkan Indonesia ke dalam Blok Barat. Oleh karena itu, DPR menggugat kebijakan Kabinet Sukiman. Akhirnya Kabinet Sukiman pun menemui nasib yang sama, mengalami kejatuhan dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953). Setelah Kabinet Sukiman jatuh, digantikan oleh Kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI. Wilopo sendiri adalah tokoh PNI. Program kerja kabinet ini ada 6 pasal, dan yang paling penting dari keenam program itu adalah mempersiapkan pelaksanaan pemilihan umum. Kabinet ini juga mem-programkan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan menciptakan keamanan dalam negeri. Program luar negerinya ditekankan kepada per-juangan pengembalian Irian Barat serta melaksanakan politik luar negeri yang bebas-aktif. Namun demikian, kabinet Wilopo ini juga tidak luput dari masalah-masalah yang menggoyahkan kedudukannya.
Masalah yang cukup berat dihadapi oleh Kabinet Wilopo adalah masalah Angkatan Darat yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952. Latar belakang peristiwa itu terkait dengan masalah ekonomi, reorganisasi atau profesi-onalisasi tentara dan campur tangan parlemen atas permasalahan militer.
Sementara itu, perkembangan ekonomi dunia kurang menguntungkan pemasaran hasil ekspor Indonesia. Penerimaan negara menjadi menurun. Dengan keadaan ekonomi yang sulit dan upaya pembentukan militer yang memenuhi standar profesional, maka anggota militer yang tidak memenuhi syarat (berpendidikan rendah) perlu dikembalikan kepada masyarakat. Hal ini menimbulkan protes di kalangan militer. Kalangan yang terdesak dipimpin oleh Kolonel Bambang Sugeng menghadap presiden dan mengajukan petisi peng-gantian KSAD Kolonel A.H. Nasution. Tentu saja hal ini menimbulkan kericuhan di kalangan militer yang menjurus ke arah perpecahan.
Parlemen mengecam tindakan peme rintah, khususnya Menteri Pertahanan dan Pimpinan Angkatan Perang dan Darat. Beberapa anggota parlemen mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah. Mereka menilai bahwa parlemen terlalu ikut campur dalam tubuh tentara. Bahkan pada tanggal 17 Oktober 1952 muncul demonstrasi rakyat terhadap presiden. Para demonstran itu menuntut kepada presiden agar membubarkan parlemen serta meminta presiden memimpin langsung pemerintahan sampai diselenggarakannya pemilu. Namun presiden menolak, dengan alasan bahwa ia tidak mau menjadi diktator, tetapi mungkin pula khawatir apabila tuntutan tentara dipenuhi ia akan ditunggangi oleh mereka.
Dalam perkembangan selanjutnya muncul golongan yang anti Peristiwa 17 Oktober 1952 dari kalangan Angkatan Darat sendiri. Menteri Pertahanan, Sekretaris Jenderal Ali Budihardjo dan sejumlah perwira yang merasa bertanggung jawab atas Peristiwa 17 Oktober 1952 di antaranya KSAP T.B. Simatupang dan KSAD A.H. Nasution mengundurkan diri dari jabatannya. Kedudukan Nasution digantikan oleh Bambang Sugeng. Walaupun Peristiwa 17 Oktober 1952 tidak menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo, tetapi berakibat menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Masalah lain yang menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo adalah masa-lah tanah di Tanjung Morawa, satu kecamatan di Sumatera Timur. Di keca-matan itu terdapat perkebunan asing, antara lain perkebunan kelapa sawit, teh, dan tembakau. Atas dasar persetujuan KMB, para pengusaha asing itu menuntut pengembalian lahan per kebunan mereka, padahal perkebunan itu telah digarap oleh rakyat sejak zaman pendudukan Jepang. Ternyata peme­rintah menyetujui tuntutan dari para pengusaha asing itu dengan alasan akan menghasilkan devisa dan akan menarik modal asing lainnya masuk ke Indonesia. Di sisi lain, rakyat tidak mau meninggal-kan tanah-tanah yang telah digarapnya itu. Maka pada tanggal 16 Maret 1953 terjadilah pentraktoran tanah tersebut. Hal ini menimbulkan protes dari rakyat. Namun protes rakyat itu disambut tem-bakan oleh polisi, sehingga jatuh korban di kalangan rakyat.
Peristiwa itu dijadikan sarana oleh kelompok yang anti kabinet dan pihak oposisi lainnya untuk mencela pemerintah. Kemudian mosi tidak percaya muncul di parlemen. Akibatnya Kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden pada tanggal 2 Juni 1953 tanpa menunggu mosi itu diterima oleh parlemen.
Kabinet All Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955). Dua bulan setelah mundurnya Kabinet Wilopo terbentuk kabinet baru yaitu Kabinet Ali Sastroamidjojo. Kabinet Ali mendapat dukungan dari PNI dan NU, sedangkan Masyumi memilih sebagai oposisi. Kabinet Ali mempunyai program 4 pasal:
Program dalam negeri antara lain meningkatkan keamanan dan kemakmuran dan segera diselenggarakan pemilihan urnum.
Pembebasan Irian Barat secepatnya.
Program luar negeri antara lain pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali Persetujuan KMB.
Penyelesaian pertikaian politik.
Meskipun keamanan dan kemakmuran menjadi program utama, realisasi-nya memang sangat sulit. Kabinet Ali juga mendapatkan kesulitan dari





. MASA DEMOKRASI LIBERAL

1. Kurun Waktu 6 September 1950 – 10 Juli 1959

Pada periode ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal dan diberlakukan UUDS 1950. Perlulah diketahui bahwa demokrasi ini yang dibahas oleh kelompok kami berbeda dengan demokrasi selama kurun waktu 1949 – 1950. Pada periode itu berlaku Konstitusi RIS. Indonesia dibagi dalam beberapa negara bagian. Sistem pemerintahan yang dianut ialah Demokrasi Parlementer (Sistem Demokrasi Liberal). Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Presiden hanya sebagai lambang. Karena pada umumnya rakyat menolak RIS, sehingga tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950.

2. Pandangan Umum :

Karena Kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar,

masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.

Faktor Yang Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal: Pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.

Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.

Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.

Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen.

Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.

Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami

rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS

1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan

jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan

ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan

negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai

masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan

dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta

tidak berlakunya UUDS 1950.

3. Seputar Dekrit Presiden

Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun tidaklah serta merta bahwa setalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Demokrasi Terpimpin dilaksanakan karena telah disebutkan di atas bahwa Demokrasi Liberal berakhir pada tanggal 10 Juli 1959.

Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :

# Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.

# Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.

# Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.

# Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.

# Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional

# Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk

# Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.

Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara.

Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.

a.      Pembubaran konstituante

b.      Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.

c.       Pembentukan MPRS dan DPAS

Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:

#Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang telah goyah selama masa Liberal.

# Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.

# KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit Presiden.

# DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melakanakan UUD 1945.

Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.

# Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.

# Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.

# Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.

Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.

# Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.

# Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.

# Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.