Jumat, 21 September 2012

Tiada Perlindungan untuk Rohingya





         Tidak ada seorangpun yang meninginkan hidup dalam keadaan tidak aman, begitu juga dengan masyarakat yang ada di Myanmar. Walaupun terjadi konflik berdarah tetapi pasti maksudnya adalah untuk menciptakan situasi yang aman. Etnis muslim rohingya yang menjadi korban dalam tragedi ini dipaksa untuk pergi oleh masyarakat mayoritas budha di Myanmar. Cara paksa yang mereka lakukan sangatberlebihan sehingga membuat perhatian dunia melirik pada kasus ini.
          Menurut salah satu pemuka agama di Myanmar yang bernama Wirathu menyatakan bahwa biar dunia tahu kalau kaum muslim rohingya bukanlah salah satu etnis di Myanmar. Pernyataan itu di kutip oleh AFP senin (3/9/2012). Sepertinya kepergian kaum muslim rohingya merupakan satu-satunya solusi yang dapat mereka terima dari kaum mayoritas budha di Myanmar.
          Karena keadaan yang makin memanas dan pemuka agama budha di Myanmar makin berani mengusir rohingya dari pemukimannya maka tak jarang kaum rohingya pergi mencari tempat perlindungan ke negara tetangga seperti banglades, malaysia, dan thailand. Akan tetapi tak jarang juga mereka mendapat penolakan dari negara tersebut dengan berbagai alasan.
          Menjadi pertanyaan besar adalah “apakah begitu egoisnya negara tetangga sehingga tidak memberikan bantuan keamanan sementara bagi kaum rohingya?”. Seperti bangladesh yang telah menolak beberapa perahu kaum rohingya yang akan mendarat di perairan mereka. tindakan mereka menolak kaum rohingya itu sama saja membunuh karena di lihat dari keadaan negara Myanmar yang sudah tidak aman lagi untuk kaum ini.
Bungkam semua negara tetanga tentang peristiwa ini seolah-olah meraka tidak megetahuinya termasuk itu negara Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yodoyono (SBY) ternyata diam terhadap masalah ini. Tidak seperti tokoh aktifis Ham dan aktifis muslim yang terus berjuang mengecam tindakan kaum budha dan pemerintahan Myanmar yang di anggap tidak manusiawi ini.
          Dalam konteks ini tidak ada alasan bagi Indonesia untuk memberikan tempat sementara bagi kaum rohingya seperti halnya pernah dilakukan Indonesia pada rakyat vietnam pada saat negaranya mendapat musibah perang saudara. Indonesia dapat melakukan kembali politik bebas aktifnya sepertiyang pernah di terapkan oleh Soekarno pada zamannya. Jika perlu adanya campurtanya Indonesia di negara Myanmar untuk mengamankan daerah tersebut demi kepentingan tidak terjadinya diskriminasi etnis ditempat lain.
          Indonesia sebagai negara yang dimungkinkan sangat rentan terjadi perselisihan antar etnis seharusnya melihat Myanmar sebagai pelajaran dan mengambil hikmahnya. Tidak tertutup kemungkinan kejadian di Myanmar dapat terjadi di Indonesia oleh karena itu Indonesia harus memperlihatkan kemampuannya dalam membina kerukunan umat beragama dengan menyelamatkan kaum etnis muslim rohingya demi kepentingan semua umat beragama.
          Kejadian di Myanmar sangat kuat memicu tumbuhnya pemisah antara umat beragama dan antara etnis. Hal ini dapat berdampak ke beberapa negara terutama Indonesia yang terdiri dari multi etnis dan multi agama. Hal yang sangat diharapkan dari pemeritahan Indonesia adalah keikutannya dalam menyelesaikan masalah ini.

Selasa, 08 Mei 2012

Peran Kota Bukittinggi 1945 Hingga Sekarang




       I.            Peran Pemerintahan Bukittinggi
Pada awalnya Bukittinggi dalam nagari minagkabau merupakan kesatuan wilayah adat yang otonom, Minangkabau merupakan republik mini dengan teritorial yang jelas anggota-anggotanya, mempunyai pemerintahan sendiri yang mengatur tata kehidupan anggotanya.[1] Oleh sebab itu Bukittinggi dalam Minangkabau merupakan suatu kesatuan nagari pemerintahan karena Bukittinggi berdiri di atas tanah Minankabau.
Perkembangan kota Bukittinggi setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia kembali mengalami perubahan fungsi, Bukittingi daerah administratif kembali menjadi Stadsgemeente Fort De kock atau disebut juga sebagai kota benteng pertahanan. Berdasarkan ketetapan Gurbernur Provinsi Sumatra No.391 tanggal 9 juni 1947, dilakukan pembentukan kota Bukittinggi sebagai kota yang berhak mengatur dirinya sendiri.
Bukittinggi menjadi kota menjadi kota semakin penting ketika mengandung kejadian sejarah atau nilai histories yang terjadi di kota ini. Kejadian sejarah yang terjadi di Bukittinggi saat berakhirnya pemerintahan jepang di Indonesia dapat saya bagi sebagai berikut:
    II.            Peran pemerintahan Bukittinggi saat PDRI 22 Desember 1948 - 13 Juli 1949
Awal PDRI dimulai saat kunjungan M.Hatta selaku wakil president dengan Mr Syafruddin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran ke Bukittinggi, singkat cerita M. Hatta terpaksa kembali sesegera mungkin ke Yogyakarta untuk mengikuti rapat kabinet menghadapi kemelut serangan Belanda dengan Agresi militer II-nya. Di Yogyakarta terjadi persidangan kabinet terhadap serangan Belanda yang semena-mena telah melangar perjanjian renville menghasil keputusan rapat berupa perintah mandat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia kepada Mr Syafriddin Prawiranegara.
Sebelum yogyakarta di kuasai oleh Belanda letnan jendral Sudirman telah membujuk President dan Wakil President untuk ikut dengannya agar tidak di tangkap oleh Belanda, tetapi mereka menolak ajakan itu. Kemudian agresi militer Belanda ini berhasil menguasai Yogyakarta dan menagkap President dan Wakilnya serta beberapa pejabat kementerian RI. Tetapi sebelum itu telah dikirim surat perintah melalui telegraf berisi keputusan sidang kabinet oleh Mr Juanda selaku menteri perhubungan kepada Mr Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi. Singkat kata pada tanggal 22 Desember 1948 di Halaban, sebuah desa dekat Payakumbuh, sekitar 45 km dari Bukittinggi, Mr Syafruddin Prawiranegara mengumumkan pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).[2]
Susunan Kabinet PDRI[3]
·         Ketua PDRI, Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan, dan Menteri Luar Negri
: Mr Syafrudding Prawiranegara
·         Wakil Ketua PDRI, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, dan Menteri Agama                                           : Mr TM Hasan
·         Menteri Keamanan, Menteri Sosial, Menteri Pembangunan, Menteri Pemuda, dan Menteri Pemburuhan                                        : Mr SM Rasjid
·         Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman         : MR Lukman Hakim
·         Menteri Pekerjaan Umum, Menteri kesehatan: Ir Mananti Sitompul
·         Menteri Perhubungan, Menteri Kemakmuran: Ir Indracahya
·         Sekretaris PDRI                                              : Mardjo Danubroto
·         Panglima Besar Angkatan Perang                   : Letnan Jendral Sudirman
·         Panglima Tentara Teritorial Djawa                 : Kolonel A H Nasution
·         Panglima Tentara Teritorial Sumatera : Kolonel R Hidayat
Bukittinggi merupakan pusat penggalangan seluruh kekuatan perjuangan di Sumatera, sebelum pada bulan November 1945 Dr AK Gani yang diangkat oleh Markas Besar TKR di Jawa sebagai organisator dan Koordinator TKR di seluruh Sumatera, mengangkat Suhardjo Hardjo Wardojo menjadi Kepala Staf Umum Markas Besar TKR untuk Sumatera dengan pangkat Mayor Jendral. Upaya yang dilakukan Suhardjo di Sumatera ialah dibentuknya tiga divisi: Divisi Gajah di Sumatera Utara, Divisi Banteng di Sumatera tengah, dan Divisi Sumatera selatan.  Setelah itu Suhardjo membentuk Komandemen Tentara Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi dengan dia sendiri sebagai Panglima.[4]
Pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini di Bukittinggi mengalami kegoncangan dimana seluruh armada belanda mencari pusat PDRI yang dianggap sebagai pengganti dari pemerintahan Soekarno di Yogyakarta. Belanda selalu beranggapan bahwa untuk menguasai pulau jawa maka mereka cukup menyerang Yogyakarta sedangkan untuk menguasai Sumatera mareka menyerang Bukittinggi sebagai basis penting. Tak heran karena benteng Belanda terdapat di Bukittinggi karena memang merupakan tempat strategis dalam mementau daerah sekitar dari atas bukit itu. Bukittingg menjadi kota yang mencekam karena belanda melakukan pembunuhan masal di berbagai tempat, terutama di tempat-tempat yang dianggap pusat pergerakan pemerintah Indonesia. Sedangkan pemerintahan PDRI dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah sehingga sulit untuk dilacak oleh belanda dan antek-anteknya. Perpindahan ini dilakukan secara bergerilya di sumatera barat dimana mereka melakukan perpindahan antar kampung pada malam hari oleh sebab itulah belanda mustahil untuk menemukan mereka karena selain dari strategi yang mereka lakukan pemerintahan PDRI ini didukung sepenuhnya oleh rakyat Indonesia.
Bukittinggi menjadi kota besar bersamaan dengan munculnya kota besar lainnya, Bukittinggi menjadi kota besar diatur dalam Undang-Undang No.22 tahun 1948 dengan keluarnya Undang-Undang No.9 tahun1956.
 III.            Peran pemerintahan Bukittinggi saat PRRI 1958-1962
Bentuk pergerakan heroik dari daerah sumatera yang kritis terhadap sistem pemerintahan yaitu satu dari konflik yang jalin menjalin sebagai manifestasi kekecewaan terhadap sistem demokrasi parlementer yang berlangsung pada tahun 1958. Kritik itu tertuju pada sistem birokratis negara yang tidak efisien dan korup yang terjadi pada pemerintahan pusat sehingga sudah menjadi rahasia umum di mata masyarakat. Para pemimpin daerah yang menentang Soekarno secara terang-terangan agar menghentikan pemborosan demi kepentingan politik luar negerinya. Tetapi Soekarno secara konsisten tetap mempertahankan pendiriannya sehingga memuncak dalam bentuk perlawanan terhadap pemerintahan pusat yang dikenal dengan PRRI-SEMESTA. Hal ini tentu tidak membuat diam pemerintahan di luar Indonesia terutama Australia yang merasa Indonesia diambang berkembangnya paham komunis yang berdominasi di Djawa, maka Australia membantu Sumatera untuk menghalau paham komunis yang berkembang di Djawa dengan cara meruntuhkan pemerintahan pusat.[5]
Saat itu bukitinggi merupakan Bukittinggi menjadi pusat pemerintahan untuk pulau Sumatera atau disebut dengan kotapraja Bukittinggi di bawah pengaturan Undang-Undang Pemerintahan Daerah No 1 tahun 1957 dan penetapan Presiden No 6 Tahun 1957.
10 Pebruari 1958 melalui radio Bukittinggi diumumkanlah pemerintahan baru oleh kolonel Achmad Husein selaku komando pembebasan Sumatera tengah dalam arti lain telah terjadi Proklamasi di Bukittinggi sebagai suatu pemerintahan.[6] Hal ini mendapat tanggapan buruk dari pemerintahan pusat dimana mereka menyebut telah terjadi kebandelan dari pihak daerah secara semena-mena. Menurut pandangan Muhammad Roem, hal ini bukan bentuk proklamasi yang memisahkan negara Sumatera namun merupakan pemerintahan baru bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan maksud Sumatera memproklamirkan suatu pemerintahan baru adalam untung mengultimatum agar pemerintaha di Jakarta dihentikan.[7]
Pemerintahan pusat bukannya mengintropeksi terhadap kebijakan politik yang dilakukan malah melakukan suatu bentuk pemaksaan berupa kekerasan fisik terhadap propisi yang menyetujui proklamir itu, karena secara de fakto bentuk pemerintahan di Sumatera akan berdampak buruk terhadap perekonomian di Jawa.
Sumatera menjadi Pemerintahan baru selain dari Jawa maka dalam hal ini sering Bukittinggi di pakai sebagai tempat admintrasi bahkan pusat dari pergerakan politik yang sedang berkecamuk antara pemerintahan pusat yaitu Jawa dan pemerintahan Sumatera. Fasilitas radio yang terdapat di Bukittinggi sering menyiarkan informasi-informasi tentang kelangsungan dari pemerintahan Sumatera. Proklamasi PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur. Tanggal 17 Februari 1958 Somba memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini jelas melawan pemerintah pusat dan menentang tentara sehingga harus ditumpas. Untuk menumpas gerakan Permesta, pemerintah melancarkan operasi militer beberapa kali. Berikut ini operasi-operasi militer tersebut.
  1. Komando operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat.
  2. Operasi Saptamarga I dipimpin Letkol Sumarsono, menumpas Permesta di Sulawesi Utara bagian Tengah.
  3. Operasi Saptamarga II dipimpin Letkol Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan.
  4. Operasi Saptamarga III dipimpin Letkol Magenda dengan sasaran kepulauan sebelah Utara Manado.
  5. Operasi Saptamarga IV dipimpin Letkol Rukminto Hendraningrat, menumpas Permesta di Sulawesi Utara.
  6. Operasi Mena I dipimpin Letkol Pieters dengan sasaran Jailolo.
  7. Operasi Mena II dipimpin Letkol Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai.

 IV.            Peran pemerintahan Bukittinggi sekarang
Kota bukittinggi sampai sekarang mempunyai status sebagai kotamadya berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Akan tetapi sampai tahun 1979 secara de yure Bukittinggi tetap menjadi ibu kota propinsi Sumatera Barat. Namun secara de fakto sejak tahun 1958 Ibukota Propinsi Sumatera Barat dipindahkan ke Padang dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1979.
Walaupun Kota Bukitting bukan lagi sebagai Ibukota tetapi Kota bukittinggi telah mengalami berbagai kemajuan baik dibidang ekonomi maupun dibidang pelayanan umum dan pendidikan. Menurut M. Nur Idris (ketua komisi A DPRD kota Bukittinggi) “sekarang kota bukittinggi telah menjadi kota multinama seperti Kota Pendidikan, Kota Perjuangan, Kota Jam Gadang, Kota Tri Arga, Kota Wisata, Kota Pelayanan Kesehatan, Kota Jasa, dan Perdangangan, Kota Bunga Dahlia (yang baru dicanangkan saat ini).
Berkembangnya kota bukittinggi tidak lepas dari peran penting masyarakat bukittinggi yang mendukung kemajuan pemerintahan kota di berbagai bidang seperti pendidikan dan perawatan benda-benda bernilai sejarah di Bukittinggi itu. Sehingga bukittinggi sekarang telah berkembang menjadi kota pariwisata terpenting di Sumatra Barat. Selanjutnya, bukittinggi mempunyai fasilitas mendukung dalam bidang kesehatan seperti adanya Rumah Sakit Stroke Nasional yang termasuk terbesar di Indonesia.
Sebagaimana halnya secara umum kota-kota di Indonesia, sebuah kota daerah tingkat II di perintah oleh seorang Walikota. Begitu juga dengan Bukittinggi yang sejak awal kemerdekaan dipimpin oleh seorang walikota. Struktur dan perangkat pemerintahannya beberapa kali mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan situasi. Namun struktur dan perangkat tersebut sedikit agak berbeda dari kota-kota lain seperti pada tanggal 21 maret 1946 Residen Sumatra Barat mengeluarkan maklumat tentang sistem pemerintahan nagari yang otonom dan berlangsung hingga tahun 1950. Dari sana terbentuk struktur kepimpinan terdiri dari Wali Nagari dan wakilnya, Dewan Harian Nagari, dan Dewan Perwakilan Nagari. Sistem itu menempatkan kembali Wali Nagari sebagai penguasa tertinggi di Nagari Kurai Limo Jorong.
Kota Bukittinggi yang sejak semula telah berbeda pola struktur pemerintahannya dari kota-kota lain tentu harus menyesuaikan dengan struktur baru tersebut. Akhirnya DPRD dan Niniak Mamak membuat kesepakatan tampa menghilangkan kepemimpinan traditional secara drastis.[8] Melaksanakan UU No. 5 tahun 1979 dalam rangka mengganti sistem lima jorong dengan pola struktur pemerintahan baru Kota Bukittinggi dan membagi kota Bukittingi menjadi tiga kecamatan, terlaksana efektif pada tahun 1981, yaitu:
1.      Kecamatan Guguk Panjang.
2.      Kecamatan Mandiangin Koto Selayan.
3.      Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh57.





Tabel Struktur Organisasi Pemerintahan Kotamadya/daerah Tk. II Bukittinggi Berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1974


Walikota
DPRD
Badan Pengembangan Daerah
Sekretaris Daerah
Sub Direktorat
Kelompok Pembantu Pribadi
Sub Direktorat
 













Bagian-Bagian
Umum
Personalia
Hukum

Dinas-Dinas
Pendataan Daerah
Teknik Kota
Usaha
Perlindungan masyarakat



Bidang Otonom
Instansi-instansi vertikal
Sub Bahagian Humas
 





Sub Bahagian
Sandi Telekomunikasi
Bendahara



Jorong-Jorong Kampung
 




Sumber: Monografi kotamadya Dati II Bukittinggi, 1977


    V.            Peran Pemerintahan Kota Bukittinggi Menentukan Identitas Kota
Seiring dengan perkembangan zaman Bukittinggi menetapkan hari jadinya dengan beberapa tujuan antara lain:
  1. Mengetahui landasan histories kehidupan kota bagi memahami nilai-nilai ideal yang terkandung dalam pengalaman sejarahnya.
  2. Memperoleh identitas kehadiran kota di pentas sejarah perkembangan bangsa secara keseluruhatn.
  3. Memperoleh landasan ideal dalam merintis perkembangan kota selanjutnya.
Berdasarkan hal-hal di atas, Pemerintah Kota Bukittinggi mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat baik yang berada di daerah maupun di perantauan, dan terakhir meminta pendapat DPRD memberikan alternative tanggal yang dapat ditetapkan sebagai hari jadi Kota Bukittinggi, setelah meminta pula pendapat beberapa Tokoh masayarakat baik yang berada di Kerapatan Adat Nagari (KAN) maupun Kerapatan Adat Kurai (KAK) dengan disertai harapan, hendaknya Pemerintah Daerah untuk penetapan tanggalnya yang pasti menunjuk suatu Badan atau Lembaga yang professional di bidangnya untuk menseminarkannya.
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan  di atas, Pemerintah Kota Bukittinggi, bekerjasama  dengan Universitas Andalas dan beberapa pakar sejarah baik di daerah maupun di tingkat nasional telah menseminarkannya.
Hasil seminar tersebut mendapat persetujuan DPRD Kota Bukittinggi dengan Surat Keputusan No.10/SK-II/DPRD/1988 tanggal 15 Desember 1988, akhirnya Pemerinath Daerah dengan Surat Keputusan walikota Kepala Daerah Kota Bukittinggi No. 188.45-177-1988 tanggal 17 Desember 1988 menetapkan Hari Jadi Kota Bukittinggi tanggal 22 Desember 1784.


Sejarah perkembangan phisik Bukittinggi dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. Pasar Atas
    Pasar Atas didirikan di atas bukit Kandang Kabau pada tahun 1858, bangunan pertama los Galung dengan kontruksi kerangka besi berbentuk atap melengkung.
  2. Kebun Binatang
    Kebun Binatang ini dulunya dengan nama Kebun Bungo kemudian berubah nama menjadi Taman Puti Bungsu. Dengan Perda No. 2 tahun 1995 diberi nama Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan. Dibangun pada tahun 1900 dengan nama Stormpark di atas Bukit Cubadak Bungkuak oleh Conteleur Gravenzande. Pada tahun 1929 dilengkapi menjadi kebun binatang dengan pimpinan dokter hewan J.Ock.
  3. Jenjang 40
    Untuk menghubungi Pasar Atas ke Pasar Banto dan Pasar Bawah dinagunlah jejang 40. sebetulnya anak tangga yang ada pada jenjang tersebut berjumlah 100 buah, namun dinamai jenjang 40 karena jumlah anak tangga yang kecil pada sisi yang curam sebelah atas berjumlah 40 buah. Didirikan pada tahun 1898 masa Westeenek menjadi Asisten Agam.
  4. Benteng
    Benteng ini didirikan oleh Kapten Baeur pada tahun 1825 di atas Bukit Jirek, yaitu semasa Baron Hendrick Markus de Kock menjadi Komandan de Roepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dari sinilah asal nama Fort de Kock.
  5. Jam Gadang
    Jam Gadang ini menjadi lambang kota Bukittinggi sehingga Bukittinggi sering juga disebut kota Jam Gadang, didirikan pada tahun 1926 oleh Countorleur Rookmaker.
  6. Jenjang Gantuang
    Jenjang gantuang ini didirikan pada tahun1932 sewaktu Cator Countoleur Agam Tuo yang dimanfaatkan sebagai jembatan penyebarangan dari Pasar lereng ke Pasar bawah.
  7. Rumah Adat Baanjuang
    Rumah adat ini didirikan pada tahun 1935 diatas Bukit Cubadak Bungkuak yaitu di dalam Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan sekarang pada masa J. Mandelaar Countroleur Agam Tuo. Dalam rumah adat ini banyak tersimpan benda-benda peninggalan sejarah bauk Bukittinggi maupun Minangkabau.
  8. Sekolah-sekolah
    Semenjak zaman penjajahan Belanda, di Bukittinggi sudah banyak didirikan sekolah yang merupakan satu-satunya untuk Sumatera, didukung cuaca yang sejuk Bukittinggi cocok untuk pendidikan.

    Sekolah-sekolah yang didirikan adalah sebagai berikut :

    a. Kweek School, satu-satunya untuk pulau Sumatera dan sekolah ini disebut juga sekolah Raja. Disinilah didik calon-calon guru untukl Bumiputra.
    b. MOSVLA yang juga satu-satunya di Sumatera tempat calon-calon Pamong praja dan Kepolisian.
    c. MULO terdapat 2 buah milik Pemerintah di Minang kabau dan 1 milik swasta yang dikelola oleh IVOORSA.
    d. HIS milik Pemerintah 2 Buah dan 3 buah dikelola oleh swasta, yaitu 1 oleh PGI, 1 oleh VSM ( sekarang PSM ) dan 2 lagi didirikan oleh Zainuddin Sutan Kerajaan yang bernama VORSA, cabangnya di Medan dengan Nama IVORNO.
  9. Rumah Sakit
    Rumah Sakit Ahmad Mochtar yang sekarang, semula dibangun oleh Pemerintah Belanda untuk kepentingan Militernya, YARSI, Rumah sakit TNI- AD IV, Rumah sakit Pusat Pengembangan Penaggulangan Strok Nasioanal ( P3SN ) RSUP Bukittinggi dan Rumah Sakit Madina.
Sumber
cat kaki:
28. Imran Manan, Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau : Nagari dan Desa di Minangkabau (Padang: Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau, 1995) hlm. 23-24.
56. Harian Singgalang, 17 Desember dan 28 Desember 1977.
57. Bukittinggi dalam angkat 1981, op. Cit.,hlm 12-13
40. SM Rasjid, sekitar PDRI (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 17-18
10. Audrey R Kahim, pergolakan daerah pada awal kemerdekaan, terjemahan Satyagraha Hoerip (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989) hal. 169
123. Australia Archives, Series, A. 1209/64, Item, 60/983, 16 Januari 1958, hlm. 9-10.
126. Ibid, 8 Pebruari1958. Lihat juga pernyataan Ganis Harsono dalam Recollections of an Indonesian Diplomat in the Sukarno Era, University of Queensland Press, St Lucia , Queensland, 1977, hlm.1-2.
128. Australia Archives, Series, A. 1838/283; Item, /3034/10/1Pt6, 25 Pebruari 1958. Surat Dubes Australia di Jakarta, Mclntyre kepada Pemerintahan Canberra.
106. Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hal.4.

Kesimpulan
Bukittinggi menjadi ibukota berarti juga menjadi pusat dari pemerintahan dan tidak terlepas juga pada pusat pangkalan militer saat terjadi beberapa konflik baik konflik internal maupun eksternal. Tak bisa di pungkiri keberada an bukittinggi sangat penting bagi Indonesia karena bukittinggi merupakan jalur penerimaan informasi teraktual dari belahan dunia melalui radio yang sekarang kita kenal RRI Bukittinggi. Bukittinggi kota yang pernah memimpin penentangan terhadap rezim Soekarno yang semena-mena terhadap politik negara sehingga berakibat pertumbuan daerah di luar jawa menjadi lambat. Bukittinggi sekarang menjadi kota yang damai dengan menyandang beberapa nama besar sehingga menjadi kota yang penting disinggahi ketika kenegeri minang atau sumatera barat ini.


[1] Imran Manan, Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau : Nagari dan Desa di Minangkabau (Padang: Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau, 1995) hlm. 23-24.
[2] Audrey R Kahim, pergolakan daerah pada awal kemerdekaan, terjemahan Satyagraha Hoerip (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989) hal. 169.
[3] SM Rasjid, sekitar PDRI (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 17-18.
[4] Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hal.4.
[5] Australia Archives, Series, A. 1209/64, Item, 60/983, 16 Januari 1958, hlm. 9-10.
[6] Ibid, 8 Pebruari1958. Lihat juga pernyataan Ganis Harsono dalam Recollections of an Indonesian Diplomat in the Sukarno Era, University of Queensland Press, St Lucia , Queensland, 1977, hlm.1-2.
[7] Australia Archives, Series, A. 1838/283; Item, /3034/10/1Pt6, 25 Pebruari 1958. Surat Dubes Australia di Jakarta, Mclntyre kepada Pemerintahan Canberra.
[8] Harian Singgalang, 17 Desember dan 28 Desember 1977.