Selasa, 19 Oktober 2021

Pendekatan Militer di Papua: Menyelesaikan Masalah dengan Masalah

Beberapa minggu dulu terdapat somasi yang dilayangkan oleh Luhut Binsar Panjaitan (selanjutnya disingkat LBP) kapada seorang aktivis kemanusiaan, Haris Azhar. Somasi ini mempertanyakan maksud dari tuduhan Haris terhadap LBP yang dikatakan ‘bermain’ di Papua. Somasi ini merupakan reaksi dari sebuah video rekaman youtube yang membahas tentang ekonomi – politik militer di Timika, Papua. Dalam rekaman video tersebut, Haris beberapa kali menyebut nama LBP sebagai ‘lord Luhut’ yang diduga terlibat dalam bisnis ekonomi-politik militer di Papua. 

            Bisa saja delik yang dimaksud LBP ada benarnya, namun ada fakta yang jelas secara tidak langsung diakui oleh dirinya, yaitu keterlibatan militer dalam bisnis di Papua yang berlarut-larut. Meskipun bukan Luhut yang ‘bermain’, namun menghadapi rakyat sipil dengan militer itu suatu upaya yang jelas menciptakan kondisi aman dengan senjata. Tidak mengherankan kedepan akan terjadi perlawanan oleh rakyat Papua.

 

Peristiwa penyerangan Posramil Kisor

            Pada kamis malam (2/9) sekelompok orang tak dikenal menyerang Posramil Kisor, kabupaten Maybrat, yang menyebabkan menewaskan 4 personil tantara. Penyerangan dilakukan secara brutal dan tiba-tiba sekitar pukul 4 dini hari oleh puluhan orang tak dikenal. Posramil Kisor lumpuh dan 5 orang dari anggotanya berhasil menyelamatkan diri. Diperkirakan oknum yang melakukan penyerang sekitar 30 orang dengan senjata tajam dan langsung menyerang beberapa aparat yang sedang bertugas.[1] 

Peristiwa tersebut ditanggapi oleh Pangdam Kasuari, Mayor Jenderal TNI I Nyoman Cantiasa, dengan keterangannya marah-marah saat konferensi pers siang harinya di Markas Kodam Kasuari XVIII, Manokwari. Dalam tanggapannya, beliau memerintahkan komandan Korem Sorong untuk melakukan pengejaran pelaku yang masuk ke hutan. [2]  Status pelaku yang disematkan pada kelompok tersebut adalah Kelompok Separatis Teroris (KST) yang menjadi adil bagi TNI untuk terlibat.  

Anggota komisi I DPR, Bobby Adhityo Rizaldi, berkomentar meminta pemerintah untuk serius dalam menghadapi KST. Perlu evaluasi dan kiranya perlu dilakukan penambahan personel setiap pos keamanan. Karena kedepannya akan diselenggarakan PON XX di Papua.[3] Maka sangat diperlukan kondisi aman di sana agar pesta olahraga dapat berjalan dengan lancar.

            Gubernur Papua barat, Dominggus Mandacan, mendukung sepenuhnya upaya aparat dalam pengejaran dan penangkapan KST. Dalam hal ini dilakukan oleh Pangdam dan Kapolda Papua Barat. Beliau mengharapkan masyarakat Maybrat dan sekitarnya untuk tidak cemas dan tidak terprovokasi. 

            Setidaknya tiga lembaga negara mendesak untuk segera menuntaskan masalah papua dengan pendekatan militer. Sedangkan di sisi lain, pihak yang disebut KST atau Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB)[4] oleh TNI atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)[5] oleh Polri menamakan dirinya Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang justru meminta pemerintah bertindak sebaliknya. Dalam Video yang beredar, Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, mengaku bertanggung jawab atas peristiwa Kisor. Dan menghimbau agar pendatang segera meninggalkan wilayah Perang terutama di Sorong. Sebby juga meminta pemerintah untuk menghentikan operasi militer di pemukiman warga. Karena terdapat kasus pasukan TNI maupun Polri terlibat dalam pembakaran rumah-rumah warga.[6]

 

Masalah Pemdekatan Militer Papua

            Tampak tidak adil jika kita menerima begitu saja menerima informasi dari pemerintah maupun dari TPNPB tanpa melihat kondisi dilapangan. Beberapa Lembaga independent mencatat bahwa memang terjadi pendekatan militer dan juga terjadi pelanggaran kemanusiaan. Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Papua, mencatat sepanjang Januari hingga Desember 2020 terjadi 63 peristiwa kekerasan militer yang melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang mengakibatkan 304 warga sipil Provinsi Papua maupun Papua Barat menjadi korban.[7]

            Laporan dari lembaga independen seperti konstras menuliskan banyak terjadi pelanggaran HAM. Berdasarkan laporan kontras, pelanggaran kemanusia oleh TNI tercatat sebanyak 63 kasus, Polri 70 kasus, dan operasi gabungan TNI – Polri sebanyak 8 kasus. Namun jarang terdapat tanggapan media maenstream dalam membela rakyat Papua yang mengalami penindasan oleh TNI-Polri.

Dalih pemerintah Republik Indonesia mengirim pasukan dalam pendekatan militer ke tanah Papua merupakan bagian dari upaya menciptakan rasa aman untuk rakyat Papua. Namun, hal itu perlu diuji kembali. Karena justru yang terjadi dilapangan adalah kondisi yang semakin mencekam antara aparat dengan TPNPB. Tidak jarang terjadi praktek-praktek pelanggaran HAM pada masyarakat local. Kondisi ini malah menyebabkan Papua menjadi tempat yang tidak aman terutama dibeberapa lokasi pos militer. Kondisi baku tembak yang diciptakan menyebabkan warga perlu mengungsi seperti warga Maybrat baru-baru ini. Dalam penumpas TPNPB kenyataannya banyak warga sipil yang kemudian menjadi korban atas tindakan aparat militer.

Anehnya informasi berapa jumlah aparat di Papua dirahasiakan. Beberapa Lembaga pemerintah mengaku tidak mengetahui angka pasti banyaknya aparat. Hal itu karena sturktur militer miliki komando khusus dari markas militer pusat. Baik lembaga independen, pemerintah daerah, ataupun DPRD tidak mendapat keterangan dari Pangdam Kasuari terkait jumlah pastinya. Sehingga banyak spekulasi lembaga berasumsi terkait jumlah aparat.

            Dalam catatan Tempo & KontraS, pada tahun ini saja, paling tidak ada 2.032 aparat (TNI & POLRI) yang sudah dan akan ditempatkan di beberapa penjuru Papua untuk berbagai tujuan. Sebagian besar personil (TNI & POLRI) tersebut tergabung dalam Operasi Nemangkawi[8] periode 01 Januari-30 Juni 2021. Sebagian lain tergabung dalam pasukan pengamanan Polsek, pengamanan konflik sosial, pengamanan PT Freeport Indonesia, dan pengamanan Pilkada. Jumlah tersebut belum termasuk sekian banyak prajurit TNI yang dikirim ke Papua untuk berbagai keperluan. Misalnya, dalam satu keberangkatan saja, ada 1.350 prajurit yang sengaja dikirim untuk mengamankan perbatasan RI-Papua Nugini. [9]

Anomie

Tindakan Negara terhadap Rakyat Papua disinyalir bertentangan dengan hukum. Karena tidak berdasarkan prosedur sebagaimana yang tertulis di UU. UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI terkait pengerahan kekuatan TNI Pasal 17 menyatakan:

(1) Kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden.

(2) Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

Pasal 18:

 (1) Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI.

(2) Dalam hal pengerahan langsung kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam waktu 2 X 24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan, Presiden harus melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui pengerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Presiden harus menghentikan

            Sampai saat ini, Presiden Republik Indonesia belum menerbitkan Keputusan Presiden yang disetujui oleh DPR RI.[10] Oleh karena itu kondisi pengerahan pasukan militer di Papua merupakan kondisi yang Anomie. Meskipun begitu presiden tetap tidak menghentikan pengiriman militer di Papua.

Klimaks

            TPNPB, OPM, dan aktifis ikut dalam memberikan perlawanan pada negara Republik Indonesia. OPM mendapat dukungan dari masyarakat luar negeri. OPM justru mendapatkan tempat di negara seperti Australia contohnya. OPM tidak disandingkan dengan kelompok pemberontak tetapi sebagai freedom fighter atau pejuang kemerdekaan. TPNPB tidak lagi main-main dalam gerakannya. Tentara Papua ini menantang TNI untuk perang yang kerap kali disampaikan. Seorang aktifis Indonesai mendukung Gerakan ini menjadi orang yang di cari oleh pemerintah, sebagaimana yang terjadi pada Veronika Koman.

 

Islam Menjaga Keadilan dan Keamanan Bernegara

            Kehidupan bernegara dalam Islam menyiratkan penegakan hukum yang tegas dan adil. Sebagaimana dapat kita cermati dalam carita seorang Yahudi dengan Gubernur Mesir, Amr bin Ash. Ketika rumah si Yahudi berupa gubuk reot diusik, gubernur ditegurlah oleh khalifah dengan sepotong tulang dengan huruf alif diatasnya. Hal itu menyiratkan bahwa keadilan harus ditegakkan meskipun hanya untuk seorang non-muslim miskin yang sudah renta. 

            Jika pun terjadi pergolakan dalam negeri seperti Papua, kekhalifaan memiliki Departemen Keamanan Dalam Negeri atau Da’irah al Amni ad Dakhili. Sebagaimana Namanya, departemen ini memiliki fungsi dalam menciptakan keamana dalam negara. Jika diibaratkan Indonesia perannya adalah seperti Polisi. Hanya saja bedanya, tidak diperkenankan departemen keamanan memiliki binaan atau ormas, tidak juga dibenarkan anggota departemen memiliki DL atau dinas luar. Serta pelayanan keamanan yang diberikan oleh departemen sifatnya gratis atau tidak dibenarkan memungut biaya. Hal itu karena sudah menjadi tugas negara dalam memberikan keamanan dalam negeri.

            Ancaman melawan negara dalam upaya separatisme seperti Papua, sudah tentu menjadi bidang tugas dari Departemen Keamanan Dalam Negeri. Depertemen bertindak selama hal tersebut bisa ditangani, yaitu Ketika ancaman sifatnya kecil. Namun jika ancaman sudah berskala besar, departemen meminta bantuan pada khalifah untuk menurunkan militer. Jika masih kurang departemen bisa meminta khalifah untuk menurunkan pasukan yang lebih besar lagi. Oleh karena itu peran departemen ini dalam menciptaan keamanan dalam negeri harus mendapat mandate seizin dan sepengetahuan khalifah.   

           

Kesimpulan

Pengiriman militer ilegal di Papua tidak hanya mengusik satu orang saja tapi juga beberapa masyarakat adat Papua. pemerintah sudah lama melakukan pendekatan militer di Papua. Dan tidak ada itikat untuk membuka ruang diskusi dengan masyarakat adat. Menurut warga Papua yang umum terjadi dalam pertambangan karena adanya ‘tipu-tipu’ antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang menyebabkan tanah adat mereka ada dalam surat HGU, WIUPK, HTI dan lain sebagainya. Seabagaimana yang terjadi hari ini terhadap izin terhadap Blok WABU dan izin lahan sawit Korindo yang jelas merusak tanah adat dan lingkungan.

           



[1] Tempo, “Keonologi Penyerangan Pos Koramis Kisor dikeroyok saat Gelap” diakses pada 12 September 2021 dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210902210730-20-689091/kronologi-penyerangan-pos-koramil-kisor-dikeroyok-saat-gelap

[2] Jpnn.com, Hans Arnold Kapisa, “Pangdam Kasuari Posramil Kisor di serang KST”, diakses pada 12 September 2021, https://www.antaranews.com/berita/2366734/pangdam-kasuari-posramil-kisor-diserang-kst

[3] “4 Anggota TNI AD Gugur, Bobby: Perlu Peningkatan Personel tempur di Pos Militer”, diakses pada 12 September 2021, https://www.jpnn.com/news/4-anggota-tni-ad-gugur-bobby-perlu-peningkatan-personel-tempur-di-pos-militer

[4] Lihat Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 1, Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.

[5] Lihat pada pasal 13 huruf a dan huruf b UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia

[6] Agung Sandy Lesmana, “TPNPB-OPM: Kami Peringatkan Pendatang Segera Tinggalkan  Wilayah Perang di Sorong”, diakses pada 12 September 2021, https://www.suara.com/news/2021/09/07/133419/tpnpb-opm-kami-peringatkan-pendatang-segera-tinggalkan-wilayah-perang-di-sorong

[7] Belau, Arnold, “Victor Yeimo: Dalam Tiga Tahun Negara Sudah Kirim 21 Ribu Anggota ke Papua”, diakses pada 12 September 2021 dari https://suarapapua.com/2021/03/14/victor-yeimo-dalam-tiga-tahun-negara-sudah-kirim-21-ribu-anggota-kepapua/

[8] Satuan tugas Nemangkawi merupakan operasi gabungan personel TNI-Polri yang bertugas untuk memberangus Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.

[9] Belau, Arnold, “Victor Yeimo: Dalam Tiga Tahun Negara Sudah Kirim 21 Ribu

Anggota ke Papua”, diakses pada 22 Juni 2021 dari https://suarapapua.com/2021

/03/14/victor-yeimo-dalam-tiga-tahun-negara-sudah-kirim-21-ribu-anggota-kepapua/

[10] Emanuel Gobay & Johnny T. Wakum, Pendokumentasian Kasus Pelanggaran HAM Berat dari Tahun 2018-2020, (LBH Papua-YLBHI, 2020).