Selasa, 24 September 2019

Kehidupan ke Tiga


Satu sisi kehadiran seseorang secara private tidak bisa di pungkiri. Kehadiran tersebuat adalah suatu keharusan dalam mengisi kehidupan yang lebih rasional untuk melengkapi hidup. Di sisi lain terdapat kebimbangan bahwa tidak mudah mencintai dan dicintai. Eros dalam istilah Yunani mencintai lawan jenis tanpa latar apapun. Namun cinta dalam bahasa Indonesia terlalu umum sehingga tidak ada perbedaan ketertarikan karena dorongan insting atau dorongan akal yang mengarah pada jenjang kesepahaman untuk hidup bersama.
Hal ini saya coba uraikan bahwa dorongan secara insting tentu sejak awal saya tolak. Karena istilah tersebut lebih cocok diperkenan bukan pada manusia. Dorongan akallah yang membuat saya memiliki ketertarikan pada lawan jenis hingga ketingkat lebih serius. Akal memproduksi ide dan ide yang benar adalah bagaimana seorang individu memahami jati dirinya sebagai hamba Tuhan. Dia terikat dan Tuan nya tidak hanya sebatas kata atau pengetahuan rasional. Tapi dia memahami eksisnya dia di bumi memiliki keterhubungan dengan kekuatan gaib yang sulit dipahami.
Sejak SMA saya dilema menghadapi semua ini. Dimana ada pemahaman salah yang terus diikuti dan menurut mereka benar. Tentu saja saya jawab tidak, namun tidak itu tidak pula berjalan dengan konsisten. Berlandaskan pengalaman dan penyeidikan secara intensive dan harian terdapat sebuah kriteria untuk memahami kecintaan kepada dorongan akal.
Seorang individu yang taat pada Tuhan, individu yang terlepas dari kepentingan dunia, dan individu yang memiliki visi dan misinya dalam hidup. Adapun bentuk lain yang secara fisik tampakk itu hanya fantasi. Berdasarkan penelitian tahun 2010 yang dlakukan oleh mahasiswa psikologi mempraktekan hubungan random antara pria wanita, pria pria, dan wanita wanita. Hasilnya adalah sama. Oleh karena itu bentuk fisik yang membuat ketertarikan itu meningkat berlandaskan fantasi dan dorongan alimiah dari proses interaksi lawan jenis.
Untuk kriteria diatas bagaimana pun fisik dan hal-hal yang melekat padanya adalah urusan kesekian. Dimana Tuhan juga mengingatkan bahwa agama atau bangaimana dia menggunakan akalnya untuk menerjemahkan agama adalah hal yang menjadi fundmental untuk dapat menerima kehidupan.
Dan disinilah aku berdiri jika hal itu ada maka keniscayaan jika tidak ada adalah realitas. Tapi tidak sebuah catalis, karena banyak ternyata seseorang dengan kriteria tersebut. Hanya saja kita belum dipertemukan. Ingin rasanya dipertemukan dikala ruang tertentu. Atau sebenarnya beberapa orang pun saya kenal dan tidak memiliki awal yang baik untuk memulainya.


Sabtu, 21 September 2019

Memorandum of education of Me




Tepat 10 tahun silam saya  sudah memplaningkan untuk tinggal jauh dari tampat lahir. Mencari suatu bentuk perubahan yang bisa saya lakukan. Ngak tanggung-tanggu saya ingin menjadi politisi. Langkah awal tidak semanis cerita sinetron yang popular kala itu. Pendek kata saya gagal masuk kampus UI. Saking pede-nya dengan kemampuan diri, saya mencantumkan dua pilihan ke kampus tersebut. Al hasil, sulit untuk diterima kala itu.

Meski begitu niatan untuk melakukannya tahun depan menjadi suatu keharusan. Sementara menghabiskan waktu satu tahun ke depan tidak begitu mudah. Saya memutuskan ke kota Batam untuk mencari pekerjaan. Alhamdulillah, bukan hal yang sulit mencari pekerjaan saat itu ditahun 2009.

Saya diterima di PT Kemet/Evok Rifa. Sebuah perusahaan kapasitor miliki AS. Pendek kata jika dilihat gaji cukup memumpuni bahkan saya di kontrak dua tahun. Karena sangat butuh uang tidak ada jawaban tidak kali itu. Namun hasrat untuk ke kampus tidak bisa dilupakan. Akhir kata saya memutuskan untuk pergi dari perusahaan tersebut dengan meninggalkan ijazah SMA yang disimpan oleh perusahaan.
Meski pengorbanan itu saya lakukan untuk masuk UI ternyata tidak mudah juga. Tahun 2010 itu ada ujian D3 atau SIMAK 2 dan saya lulusa masuk UI disitu. Kalau dipikir-pikir itu bukan kelulusan yang pertama tapi pertama untuk kampus UI. Karena sebelumnya saya lulus sastra China di USU (sangat bangus sekali prodi ini ketika saya seaching di internet, tingkat kepopulerannya hampir sama dengan sastra China UI). Namun teman-teman dan tutor bimbel ketawa dan memandang rendah jurusan tersebut ditambah sepertinya pihak keluarga tidak punya biaya untuk hidup di Medan.

Saya juga pernah lulus di UNPAD dengan jurusan sastra Jepang 2010. Lagi-lagi pilihan ini berseberangan dengan pilihan saya dengan D3 UI yaitu Manajemen Informasi dan Dokumen. Al hasil tidak saya ambil juga dan lebih memilih kuliah di UI dengan bantuan suntikan dana dari kaka yang tidak mungkin bisa saya lupa pengorbanannya.

Namun berjalan setahun saya mencoba untuk terakhir kalinya dan kali ini lulus di UI program S1 dengan mulus. Ya, jurusan Ilmu Sejarah. Akhirnya saya bisa bernafas lega karena biaya kuliah D3 lumayan tinggi. Dan kemudahannya di S1 bisa mendapatkan BOPB, semacam peringanan biaya kuliah. Cuma yang datang tidak tanggung-tanggung. Saya di kasih kuota Bidik Misi. Jadilah kuliah gratis 4 tahun.

Setelah lulus dari S1 tepatnya tahun 2015. Saya menemukan kegalauan tentang bidang pekerjaan apa yang saya suka dan cocok dengan passion saya. Mungkin mengajar, padahal pengalaman mengajar sangat minim. Saya cobalah untuk mengajar di SD dengan latar pernah ngisi forum-forum kajian maba.

Ada hasrat yang tersisa bagi saya untuk melanjutkan pendidikan S2. Awalnya saya ikut simak S2 namun tidak lulus. Mungkin karena jurusannya populer, ilmu Ekonomi. Semester selanjutkan saya coba lagi dengan jurusan ilmu politik dan masuk tahun 2016. Karena masalah administrasi dan lain hal pihak UI menyatakan mengundur akademik dengan mahasiswa S2 baru ini.
Saya baru masuk UI lagi sebagai mahasiswa s2 tahun 2017 dengan jurusan ilmu politik yang sejak SMA telah saya incar.

Namun kehendak Allah berkata lain. Tengah berusahan untuk mengumpulkan uang untuk semester 2 nya saya diserang penyakit TBC. Dunia terasa kelam dan kelam dimana tubuh ini mengalami kesulitan dalam bergerak dan lemah terkulai.
Pihak keluarga tidak mau ambil resiko akhirnya saya dipulangkan untuk mendapatkan pengobatan secara intesive. Kurang lebih 9 bulan saya melakukan pengobatan di rumah. Ketika itu melanjutkan pendidikan s2 suatu kerumitan yang semakin bertambah.
Ketika saya kembali ke Depok tahun 2018, tentu saja tekat saya untuk melanjutkan pendidikan s2. Hingga saat ini September 2019 belum tampak tanda-tanda itu. Sulitnya cari pekerjaan dan rendahnya mobilitas pendanaan yang saya miliki. Tuhan, tolong kasih saya jalan.

Disinilah saya saat ini menunggu pertolongan Tuhan disaat saya juga harus menikah dikala umur udah lanjut namun bimbang bukan hanya tidak ada pilihan namun juga tidak ada kestabilan ekonomi (ngak ada duit bro). Jadi bagaimana ini, saya bener-benar titik terendah dari kehidupan ini.

Senin, 16 September 2019

Catatan Pengajar Bimbel

Untuk kali ini saya sepertinya agak iri dengan anak-anak bimbel yang saya ajar. Gimana seusia mereka saya tidak pernah sesibuk ini. Pulang sekolah trus belajar di bimbel dengan dibimbing oleh tentor yang sudah lulusan PTN langsung. Sedangkan saya dulu jangankan uang untuk bimbel, kelas 9 SMP saya hidup sendiri di Bukittinggi. Jauh dari saudara, jauh dari orang tua, dan jauh dari kata layak. 
Pulang sekolah satu-satunya cara untuk menghibur diri hanyalah pergi ke Pasar Putih di Kota itu. Dimana saya mendapat cerita fantasi dari komik-komik yang saya baca. Lepas dari itu tidak jarang saya menghabiskan waktu untuk main Playstation yang saat itu termasuk mainan mewah dan mahal. Belajar? tentu awalnya tidak terfikir oleh saya untuk itu, namun demi melanjutkan pendidikan terinshaf juga.
Tanpa bimbel tanpa orag tua, tanpa saudara, tanpa dukungan yang cukup saya dapat meraih nilai memuaskan. Seingat saya nilai matematika waktu itu 100 untuk UN. it's not big problem. Matematika sudah menjadi bagian hidup saat itu, saat ini juga.
Tapi saya generasi saat ini tidak terlalu banyak yang menyukainya atau mungkin soalnya rada sulit. Pernah saya coba agak susah juga :D

Tadi sebenarnya saya hanya mengawas. Anak2 kelas 9 023 cukup bersahabat sehingga lebih enjoy menegur mereka untuk fokus dalam mengerjakan pekerjaan sendiri.
harusnya saya tampilin foto untuk kegiatan saat ini, lain kali deh :D

Sabtu, 07 September 2019

Ide dan Konstruktifitas Peradaban: Indonesia dalam Pertarungan Sentimen bukan Ide


“tidak ada penemu yang lebih mengganggu daripada penemu ide-ide”
Lord Acton
Seperti quote diataslah apa permasalahan sosial yang tengah dihadapi dunia, pertarung ide. Sekilas memang sangat menarik namun, tidak semudah itu. Karena banyak diantara nyawa manusia harus menjadi korban demi mempertahankan idenya dan kemurnian ide tersebut.
Hanya saja tentu sebagai akar positif, ide yang seharusnya berkembang tidak merugikan diri sendiri apalagi orang lain. Pada faktanya beberapa ide yang dikedepankan justru kepentingan sendiri bahkan ada roh materialistis yang merugikan pihak lain. Contoh sederhananya dalam pemilihan anggota dewan, pemilihan eksekutif, atau pemilihan jabatan penting di tengah masyarakat tidak jarang membawa aroma-aroma kepentingan tertentu.
Ide tidak lagi menjadi roh yang membangun peradaban karena telah adanya sesuatu yang urgent, jumlah suara. Demi mendapatkan posisi yang aman dalam pemilihan tidak jarang ide adalah nomor sekian, dan colaborasi lebih dikedepankan walau bermuatan material. Dampaknya tentu dirasa oleh individu dimana idenya kemudian berubah jadi sekelumit skenario yang harus dijalankan ketika suatu jabatan sudah ditangan. Dan akhirnya ide tinggallah mimpi dan yang timbul adalah idealis pribadi demi manjaga zona aman bagi kehidupannya.
Padahal pertarungan ide masa lalu itu sangat dinamis dan yang penting tidak egois komunal serta jauh dari kepentingan materi. Beberapa kelompok tokoh bangsa rela di buang ke Digul, ke Belanda, bahkan tidak diperkenankan pulang ke tanah air. Walau sangat menyiksa, di satu sisi mereka-mereka itu tetap solid dengan ide-nya hingga tidak ada bangsa Barat ataupun Timur yang mampu mengdikte negeri ini.
Coba saat ini kita refleksikan dalam kehidupan saat ini, dimana ide hanyalah suatu pelajaran emas disaat bercerita, berdebat, atau membangun opini publik. Demi suatu “text” untuk citra elektabilitas menuju kultus dan proyek ketika terpilih. Tidak heran jika keberhasilan seseorang dalam mendapatkan jabatan diiringi dengan proyek pembangunan, kenaikan pajak, cabut subsidi, bahkan naikan asuransi BPJS. Jika ide materialistik itu tinggal di negeri ini, kehidupan bangsa tidak akan berubah dan hanya akan melanjutkan penderitaan seperti yang sudah-sudah.
Sayangnya upaya seseorang yang mungkin memiliki ide yang lurus tidak mampu berkopetisi dengan tingginya harga jabatan bahkan lebih daripada itu sulit beradaptasi dengan gaya politik yang busuk, curang, intimidasi, teror, bahkan serangan fisik. Tidak hanya sulit tetapi juga terlalu keji untuk diikuti. Bangsa kita adalah bangsa yang menghargai kebebasan manusia, tapi untuk kebebasan itu sendiri tidak akan sampai hati hingga harus tega mengkorbankan darah demi jabatan 5 tahun.
Kesulitan terberat bagi masyarakat Indonesia tidak terletak pada sumber dari niat baik yang berasal dari ide. Tapi bagaimana konsisten dan yakin pada ide tersebut dapat menciptakan keteraturan. Antropologinya bangsa ini tergiur dengan citra-citra kepemimpinan namun tidak memahami social text yang sedang dibangun (bodoh). Mereka sulit membedakan mana bajingan dan mana malaikat karena kesalahan dalam berfikir yang dipengaruhi sumber yang tidak relevan.

Contoh sederhana banyak social text tentang bahaya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), namun tidak ada fakta tentang ide destruktifnya terhadap peradaban. Justru yang mereka usung adalah ide konstruktif peradaban lebih baik dengan beropini diluar sistem demokrasi. Namun social text yang dibangun mengimajinasikan bahaya besar dari ide tersebut. Sedangkan imaginasi tentang ide konstruktif yang mereka bagikan kurang dapat dicernah dengan baik sehingga yang tersisa adalah sentimen. Sentimen dalam kerangka nasionalis hanya menjadikan kebekuan akal dalam berfikir untuk mendapatkan pendekatan ide-ide yang lebih konstruktif. Akhirnya yang yang terjadi adalah bukan upaya membangun peradaban tapi menyibukkan diri, membenturkan diri, bahkan menfitnah untuk memuaskan hasrat sentimen yang mereka bangun sendiri.
Tepat tanggal 29 Agustus kemaren, salah satu aktifis yang mengaku mantan HTI meluncurkan buku ke dua dalam mengdeskreditkan ide HTI. Seolah-olah selama ini dia berupaya mencari dalil untuk membungkam organisasi ini. Namun disisi lain, dalil tentang konstruktifnya HTI terhadap pemerintahan tidak satu pun yang dibahasnya. Pikiran yang pernah didengungkan HTI ketika masih legal tampaknya kurang menjadi perhatian bagi baliau, Ainur Rofiq.
Inilah contoh kerusakan pola berfikir masyarakat dalam membedakan ide destruktif dan ide konstruktif. Setidaknya ide itu tidak hanya rusak dikalangan kiri saja bahkan juga dikalangan kanan. Kalangan kanan tidak henti-hentinya sentimen dengan hal-hal berbau liberal seperti kebebasan berpendapat bahkan kebebasan bernarasi dengan objektif dan ilmiah.
Isu-isu baru ini, Abdul Aziz seorang akademia dibuat viral oleh disertasinya yang kontroversi. Setidaknya hampir seluruh tokoh haluan kanan bersuara tanpa klarifikasi lebih dalam membaca tesis tersebut. Saya masih ingat betul bagaimana seorang tokoh MUI mencaci penulis lewat saluran TV stasta. Padahal jika dilihat tingkat relevansi tesisnya dengan Indonesia mungkin tidak ada, namun bukan berarti di negara lain memiliki tingkat relevansi yang sama (jika tesis telah direvisi).
Secara isi dan hukum, menurut promotor dan ketua sidang masih perlu pendekatan lain dan penelitian lebih lanjut. Namun menariknya bukan pada hasil tesis yang mungkin dianggap tabu atau belum sempurna, tapi ide dirinya sendiri yang secara individu ingin merelevankan beberapa ayat dalam al Qur’an yang dianggap “nganggur”. Dimana harapannya muatan dalam kitab suci itu relevan saat ini bahkan selamanya dalam kerangkan yang bisa diukur dengan obyektif. Hal itulah yang mendasari penelitiannya yang kemudian menerjemahkan pandangan muhammad Syahrur dalam hubungan non-marital.

Buruknya, golongan kanan paling ambisius menggelorakan emosi sehingga membuat social text yang tidak hanya merendahkan bahkan menghina penulis. Tidaknya sampai disitu, dari social text yang terbangun terjadilah teror bahkan intimidasi yang merusak reputasi bahkan keluarga seorang akademisi. Fenomena ini menjadi phobia bagi akademisi lainnya untuk membahas hal yang dianggap tabu dalam masyarakat. Bahkan lebih buruknya, akademia enggan membahas hal-hal yang dianggap tabu dalam masyarakat namun tersurat dan tersirat dalam kitab suci. Asalkan golongan kanan tau, kejayaan Ustmani jatuh didasari peradabannya gagal membahas hal yang tabu dan ketika mendapat serangan ide peradaban lain, mereka sudah terlambat untuk bergerak.
Ide menjadi polar dalam kehidupan manusia, apapun ide itu akan menjadi roh yang akan hidup selamanya. Hanya orang-orang yang bodoh mengorbankan ide untuk materi sesaat. Tapi itulah yang terjadi, ide tentang pembangunan peradaban bangsa seharusnya lepas dari kepentingan materi. Sebagaimana negara ini dibangun dengan berimpikan peradaban besar namun gagal karena ide materi menyusup disetiap hati kecil manusia.
Peradaban yang besar berawal dari ide, ide yang lurus dan murni untuk kehidupan sosial bukan ide yang berisi social text sentimen. Dikit2 teriak “NKRI Harga mati” atau “aku pancasila” atau semacamnya hanya akan menghambat ide tentang konstruktifitas. Jargon tidak dibutuhkan dalam membangun peradaban tapi ide adalah tiang utama dari peradaban. Ide hidup harmonis dan beragam telah hidup dalam setiap ingatan individu bangsa namun egoisme membuat hubungan antara individu berantakan. Jika sudah begitu kembalilah ke dasar awal ide dimana tujuan kita adalam melahirkan peradaban lebih baik bukan hanya memperbaiki peradaban saat ini tapi juga mewariskan untuk generasi setelahnya.
Tentu harapan ini dapat dirasakan oleh genarasi selanjutnya dengan tetap mempertahankan ide bangsa untuk hidup harmonis berdampingan tanpa melihat perbedaan. Oleh karena itu ide ini wajib untuk kita hidupkan walau harus menerima kekurangan atau menerima ide lain secara objektif. Itulah bagian tersulit dari kehidupan sosial ini, menerima kelemahan dan mengakui keunggulan. Semoga apa-apa ide yang dilanjutkan adalah ide-ide yang benar-benar berisikan roh terhadap pembangunan peradaban demi keberlanjutan kehidupan dan kemanusian.