Jumat, 19 Juli 2013

Leadership Sustainable



Efektivitas Seleksi Pemilihan Pemimpin dan Keberlanjutan Pemimpin untuk Pembangunan Yang Berkelanjutan






Abstrak :
            Kepemimpinan dari beberapa pemimpin tidak sebaik dari pemimpin sebelumnya dan juga tidak bisa menjadi jaminan bahwa kepemimpinan yang kemudian akan lebih baik. Pemimpin adalah manusia biasa butuh yang namanya belajar, pengalaman, aplikasi, berkenalan dengan masalah, hingga pemecahan dalam suatu perkara. Itu semua adalah pembelajaran dari seorang pemimpin karena tidak ada seorangpun yang dapat langsung memimpin tanpa proses belajar dan pengenalan tentang apa yang akan dia pimpin. Begitu juga halnya dengan pemimpin yang ada di indonesia atau sebut saja presiden. Seorang presiden membutuhkan waktu dan orientasi terhadap apa yang dia pimpin.













            Indonesia sebuah negeri besar dan mayoritas adalah masyarakat menengah kebawah, tidak bisa dipungkiri ada yang salah dalam negara ini. Keadaan mayoritas masyarakat miskin adalah sebuah keadaan yang tidak normal untuk negara yang kaya raya seperti Indonesia.
            Masyarakat Indonesia seharusnya dapat menikmati kekayaan alam yang berada di tanah airnya sendiri, tidak dengan pergi kerantau negeri seberang hanya untuk sesuap nasi. Labih-lebih bagi masyarakat Indonesia yang jatuh mati kelaparan ditanah yang subur dan berlimpah ini. Pertanyaannya : “Dimana pemimpin Indonesia yang seharusnya melindungi tumpah darah rakyatnya?”. Sangat ironis sekali Indonesia tidak mampu melindungi rakyatnya sendiri yang berada dinegaranya apalagi yang ada di negara orang. Sebagai seorang yang memiliki jiwa pemimpin ini merupakan cambukan keras terhadap kepemimpinannya.
Pemimpin harusnya bertahan hingga sampai akhir hayatnya atau hingga dia dirasa tidak mampu lagi untuk mengemban tugas kepemimpinan. Adapun beberapa hal menjadi jalan keluar dari permasalahan untuk menetapkan pemimpin dan memimpin secara berkelanjutan sebagai berikut:
1)      Pemimpin diangkat seumur hidup
Pergantian pemimpin silih berganti dan rakyat hanya dijadikan mainan belaka, selepas puas bermain kemudian ditinggalkan. sebut saja masa-masanya pemilu dimana setiap pemimpin berlomba untuk mendapatkan suara terbanyak. kemudian disaat telah menjabat mereka lupa akan janji-janji dan harapan maupun komitmen yang dahulu saat kampanye mereka lontarkan. Padahal kalau kita berfikir secara logika saja tidak akan mungkin ada manusia sehebat apapun dapat merubah Indonesia ini secara cepat dan singkat. Walaupun dia pemimpin terhebat sekalipun tetap saja dia adalah manusia biasa yang harus belajar dalam memimpin. jangka waktu lima tahun hanya cukup untuk proses pembelajaran.Proses ini sama sekali tidak kita harapkan oleh karena itu perlu adanya perubahan mendasar yaitu sistem pemilihan itu sendiri. Bagaimana upaya kita agar seorang pemimpin yang awalnya perhatian pada rakyat untuk jangka waktu sementara menjadi perhatian untuk selamanya? Bagaimana menjadikan pemimpin belajar dari kepemimpinannya hingga matang dalam masalah kepemimpinan negara?
            Berdasarka teori kehalifahan yang dulu pernah jaya diatas bumi ini sampai 14 abad lamanya ada yang menarik dari lama jabatan seorang pemimpin disana, yaitu pemimpin bagaikan raja yang dapat memerintah hingga dia meninggal dunia. Kemudian setelah pemimpin negara tersebut meninggal maka barulah diangkat pemimpin baru oleh wali ummat yang langsung dipilih oleh ummatnya.
            Berdasarkan sejarah perkembangan perpolitikan dan kestabilan negara membuktikan bahwa Indonesia tidak melakukan kemajuan kedepan akan tetapi kemajuan kebelakan atau kemunduran. Bermula dari masanya Soekarno, Indonesia sangat anti dengan kapitalis terutama dengan ikut campur Amerika Serikat dalam ekonomi Indonesia. Kemudian naiknya Soeharto, Indonesia justru digandeng oleh AS dan berhasil memasarkan produknya yang menancap erat di seperti sekarang. Naiknya beberapa presiden kmudian hingga bapak Susilo Bambang Yudoyono saat ini masih tidak bisa dikatakan Indonesia mampu mengalahkan kepemimpinan yang dulu pernah dibuat Soekarno atau Soeharto.
            Kepemimpinan di Indonesia telah diwarnai dengan sistem demokrasi dari barat, tapi bukan berarti itu merupakan sistem yang bisa dan baik diterapkan terhadap jalannya kepemimpinan di Indonesia. Indonesia harus lebih bisa memiliah bagaimana terbaik untuk mengembangkan potensi kepemimpinan dari seorang pemimpin. 
            lima tahun masa jabatan seorang presiden sangatlah pendek dan perubahan sosial ekonomi tidak bisa menjadi acuan keberhasilan ataupun kegagalan dari kepemimpinannya. Seperti halnya yang pernah dituturkan oleh Marzuki Ali dalam pernyataannya menyatakan bahwa Indonesia butuh kepemimpinan berkelanjutan untuk melanjutkan pembangunan negara. Marzuki Ali menyatakan bahwa sistem demokrasi menjadi penghalang dalam hal ini karena harus ada pemilihan presiden setiap lima tahun sekali.
            Saya memandang bahwa orientasi Indonesia terlalu condong pada sistem demokrasi dari barat itu padahal dahulu ditanah ini telah banyak kerajaan yang jaya tanpa menggunakan sistem demokrasi. Seharusnya Indonesia dapat menggunakan lokal genius dalam menerapkannya sebagai sistem yang fundamental bagi perkembangan bangsa ini. hanya karena sistem demokrasi dianut oleh beberapa negara maju maka Indonesia juga harus menerapkan hal yang sama, saya rasa itu jalan yang salah. Indonesia tidak harus mengikuti sistem demokrasi yang di-adaptasi-kan dengan negara maju. Indonesia bisa  merombak demokrasi sesuai dengan kebutuhan negara dan kondisi yang ada.
2)      Proses seleksi terbuka untuk seluruh kalangan dan seleksi ketat hingga tingkat provinsi dan nasional
            Sudah seharusnya kepemimpinan Indonesia tidak hanya dipegang oleh orang dari pulau Jawa seperti beberapa dekade yang telah lewat ini. Bukan karena dari daerah lain tidak bisa atau tidak mampu, tapi tidak ada kesempatan yang adil sehingga pengangkatan presiden atau pemimpin hanya berasal dari kalangan orang-orang pulau Jawa.
            Seleksi adil dan terbuka adalah seleksi berasal dari seluruh rakyat tanpa syarat-syarat yang memberatkan. Misalnya seperti ujian seleksi masuk perguruan tinggi dimana setiap calon mahasiswa harus memiliki bekal potensi akademik dan informasi agar mengetahui ladang tempur dan musuh.  Memang saya memandang seorang pemimpin haruslah cerdas yang menjadi kunci untuk kemampuannya dalam mengambil keputusan dan bertindak.
            Proses seleksi saat ini dilihat hanyalah dari banyaknya pendukung tanpa mempedulikan apa arti dari kwalitas yang mendukungan maupun yang didukung. Manusia itu memiliki kelebihan otak bukan kelebihan suara yang dari mulut jadi ada baiknya dalam  seleksi untuk uji kemampuan potensial sebagai acuan kwalitas dari calon pemimpin.
            Lewat seleksi yang ketat ditingkat provinsi menyisakan 10 orang yang akan dibekali materi tentang kepemimpinan dan diasah jiwa kepemimpinan dari 10 calon pemimpin tersebut. Setiap daerah atau provinsi menerapkan kurukulum yang sama dan pengajar yang sama-sama handal dibidangnya. Hal ini diharapkan dapat membuka persaingan secara sempurna hingga pada akhirnya tersisa hanya satu orang yaitu figure pemimpin yang diharapkan.
            Jadi tidak hanya lewat karir kepartainya sehingga pangkatnya meloncat-loncat sampai menjadi tokoh tapi belum tentu mampu dalam akademik maupun tidak bisa bersaing secara sempurna. Banyak faktor-faktor yang membedakan antara sistem pemilihan ini dengan sistem pemilu yang menggunakan suara tapi membungkam otak.
3)      Seleksi diawasi oleh pihak independen
Indonesia telah terbiasa dengan hal suap-menyuap maka sangat dibutuhkannya suatu lembaga independen untuk melakukan pengurusan seleksi calon pemimpin bangsa ini. proses seleksi yang ketat juga harus dipenuhi oleh pengurus yang solid dan patriot sehingga tidak mudah goyah seperti halnya pimpinan-pimpinan KPK saat ini.
Petugas harus bebas dari kepartainya atau tidak mendukung partai apapun dengan sikap netral. Petugas pastinya harus terstruktur jelas yang terdiri dari ketua hingga staffnya. Petugas memiliki dedikasi yang tinggi pada negara sehingga tidak menginginkan kecurangan sedikitpun karena salah dalam sistem pemilihan berarti memilih yang salah.
Sanksi bagi petugas yang melanggar aturan atau kode etik maka harus dimutasi hingga diberhentikan secara tidak hormat. Disamping itu petugas tidak boleh cacat dari catatan kriminal sebagai jaminan dari kejujuran proses seleksi.
Demikian maka terciptanya seorang pemimpin yang mampu dan kuat dalam memimpin telah menjadi terealisasi. Walaupun ini baru hanya konsep tapi tidak tertutup kemungkinan dapat terlaksana dengan baik sehingga tidak perlu lagi adanya kasus marak sampai saat ini seperti korupsi atau permasalahan-permasalahan partai.