Sabtu, 07 September 2019

Ide dan Konstruktifitas Peradaban: Indonesia dalam Pertarungan Sentimen bukan Ide


“tidak ada penemu yang lebih mengganggu daripada penemu ide-ide”
Lord Acton
Seperti quote diataslah apa permasalahan sosial yang tengah dihadapi dunia, pertarung ide. Sekilas memang sangat menarik namun, tidak semudah itu. Karena banyak diantara nyawa manusia harus menjadi korban demi mempertahankan idenya dan kemurnian ide tersebut.
Hanya saja tentu sebagai akar positif, ide yang seharusnya berkembang tidak merugikan diri sendiri apalagi orang lain. Pada faktanya beberapa ide yang dikedepankan justru kepentingan sendiri bahkan ada roh materialistis yang merugikan pihak lain. Contoh sederhananya dalam pemilihan anggota dewan, pemilihan eksekutif, atau pemilihan jabatan penting di tengah masyarakat tidak jarang membawa aroma-aroma kepentingan tertentu.
Ide tidak lagi menjadi roh yang membangun peradaban karena telah adanya sesuatu yang urgent, jumlah suara. Demi mendapatkan posisi yang aman dalam pemilihan tidak jarang ide adalah nomor sekian, dan colaborasi lebih dikedepankan walau bermuatan material. Dampaknya tentu dirasa oleh individu dimana idenya kemudian berubah jadi sekelumit skenario yang harus dijalankan ketika suatu jabatan sudah ditangan. Dan akhirnya ide tinggallah mimpi dan yang timbul adalah idealis pribadi demi manjaga zona aman bagi kehidupannya.
Padahal pertarungan ide masa lalu itu sangat dinamis dan yang penting tidak egois komunal serta jauh dari kepentingan materi. Beberapa kelompok tokoh bangsa rela di buang ke Digul, ke Belanda, bahkan tidak diperkenankan pulang ke tanah air. Walau sangat menyiksa, di satu sisi mereka-mereka itu tetap solid dengan ide-nya hingga tidak ada bangsa Barat ataupun Timur yang mampu mengdikte negeri ini.
Coba saat ini kita refleksikan dalam kehidupan saat ini, dimana ide hanyalah suatu pelajaran emas disaat bercerita, berdebat, atau membangun opini publik. Demi suatu “text” untuk citra elektabilitas menuju kultus dan proyek ketika terpilih. Tidak heran jika keberhasilan seseorang dalam mendapatkan jabatan diiringi dengan proyek pembangunan, kenaikan pajak, cabut subsidi, bahkan naikan asuransi BPJS. Jika ide materialistik itu tinggal di negeri ini, kehidupan bangsa tidak akan berubah dan hanya akan melanjutkan penderitaan seperti yang sudah-sudah.
Sayangnya upaya seseorang yang mungkin memiliki ide yang lurus tidak mampu berkopetisi dengan tingginya harga jabatan bahkan lebih daripada itu sulit beradaptasi dengan gaya politik yang busuk, curang, intimidasi, teror, bahkan serangan fisik. Tidak hanya sulit tetapi juga terlalu keji untuk diikuti. Bangsa kita adalah bangsa yang menghargai kebebasan manusia, tapi untuk kebebasan itu sendiri tidak akan sampai hati hingga harus tega mengkorbankan darah demi jabatan 5 tahun.
Kesulitan terberat bagi masyarakat Indonesia tidak terletak pada sumber dari niat baik yang berasal dari ide. Tapi bagaimana konsisten dan yakin pada ide tersebut dapat menciptakan keteraturan. Antropologinya bangsa ini tergiur dengan citra-citra kepemimpinan namun tidak memahami social text yang sedang dibangun (bodoh). Mereka sulit membedakan mana bajingan dan mana malaikat karena kesalahan dalam berfikir yang dipengaruhi sumber yang tidak relevan.

Contoh sederhana banyak social text tentang bahaya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), namun tidak ada fakta tentang ide destruktifnya terhadap peradaban. Justru yang mereka usung adalah ide konstruktif peradaban lebih baik dengan beropini diluar sistem demokrasi. Namun social text yang dibangun mengimajinasikan bahaya besar dari ide tersebut. Sedangkan imaginasi tentang ide konstruktif yang mereka bagikan kurang dapat dicernah dengan baik sehingga yang tersisa adalah sentimen. Sentimen dalam kerangka nasionalis hanya menjadikan kebekuan akal dalam berfikir untuk mendapatkan pendekatan ide-ide yang lebih konstruktif. Akhirnya yang yang terjadi adalah bukan upaya membangun peradaban tapi menyibukkan diri, membenturkan diri, bahkan menfitnah untuk memuaskan hasrat sentimen yang mereka bangun sendiri.
Tepat tanggal 29 Agustus kemaren, salah satu aktifis yang mengaku mantan HTI meluncurkan buku ke dua dalam mengdeskreditkan ide HTI. Seolah-olah selama ini dia berupaya mencari dalil untuk membungkam organisasi ini. Namun disisi lain, dalil tentang konstruktifnya HTI terhadap pemerintahan tidak satu pun yang dibahasnya. Pikiran yang pernah didengungkan HTI ketika masih legal tampaknya kurang menjadi perhatian bagi baliau, Ainur Rofiq.
Inilah contoh kerusakan pola berfikir masyarakat dalam membedakan ide destruktif dan ide konstruktif. Setidaknya ide itu tidak hanya rusak dikalangan kiri saja bahkan juga dikalangan kanan. Kalangan kanan tidak henti-hentinya sentimen dengan hal-hal berbau liberal seperti kebebasan berpendapat bahkan kebebasan bernarasi dengan objektif dan ilmiah.
Isu-isu baru ini, Abdul Aziz seorang akademia dibuat viral oleh disertasinya yang kontroversi. Setidaknya hampir seluruh tokoh haluan kanan bersuara tanpa klarifikasi lebih dalam membaca tesis tersebut. Saya masih ingat betul bagaimana seorang tokoh MUI mencaci penulis lewat saluran TV stasta. Padahal jika dilihat tingkat relevansi tesisnya dengan Indonesia mungkin tidak ada, namun bukan berarti di negara lain memiliki tingkat relevansi yang sama (jika tesis telah direvisi).
Secara isi dan hukum, menurut promotor dan ketua sidang masih perlu pendekatan lain dan penelitian lebih lanjut. Namun menariknya bukan pada hasil tesis yang mungkin dianggap tabu atau belum sempurna, tapi ide dirinya sendiri yang secara individu ingin merelevankan beberapa ayat dalam al Qur’an yang dianggap “nganggur”. Dimana harapannya muatan dalam kitab suci itu relevan saat ini bahkan selamanya dalam kerangkan yang bisa diukur dengan obyektif. Hal itulah yang mendasari penelitiannya yang kemudian menerjemahkan pandangan muhammad Syahrur dalam hubungan non-marital.

Buruknya, golongan kanan paling ambisius menggelorakan emosi sehingga membuat social text yang tidak hanya merendahkan bahkan menghina penulis. Tidaknya sampai disitu, dari social text yang terbangun terjadilah teror bahkan intimidasi yang merusak reputasi bahkan keluarga seorang akademisi. Fenomena ini menjadi phobia bagi akademisi lainnya untuk membahas hal yang dianggap tabu dalam masyarakat. Bahkan lebih buruknya, akademia enggan membahas hal-hal yang dianggap tabu dalam masyarakat namun tersurat dan tersirat dalam kitab suci. Asalkan golongan kanan tau, kejayaan Ustmani jatuh didasari peradabannya gagal membahas hal yang tabu dan ketika mendapat serangan ide peradaban lain, mereka sudah terlambat untuk bergerak.
Ide menjadi polar dalam kehidupan manusia, apapun ide itu akan menjadi roh yang akan hidup selamanya. Hanya orang-orang yang bodoh mengorbankan ide untuk materi sesaat. Tapi itulah yang terjadi, ide tentang pembangunan peradaban bangsa seharusnya lepas dari kepentingan materi. Sebagaimana negara ini dibangun dengan berimpikan peradaban besar namun gagal karena ide materi menyusup disetiap hati kecil manusia.
Peradaban yang besar berawal dari ide, ide yang lurus dan murni untuk kehidupan sosial bukan ide yang berisi social text sentimen. Dikit2 teriak “NKRI Harga mati” atau “aku pancasila” atau semacamnya hanya akan menghambat ide tentang konstruktifitas. Jargon tidak dibutuhkan dalam membangun peradaban tapi ide adalah tiang utama dari peradaban. Ide hidup harmonis dan beragam telah hidup dalam setiap ingatan individu bangsa namun egoisme membuat hubungan antara individu berantakan. Jika sudah begitu kembalilah ke dasar awal ide dimana tujuan kita adalam melahirkan peradaban lebih baik bukan hanya memperbaiki peradaban saat ini tapi juga mewariskan untuk generasi setelahnya.
Tentu harapan ini dapat dirasakan oleh genarasi selanjutnya dengan tetap mempertahankan ide bangsa untuk hidup harmonis berdampingan tanpa melihat perbedaan. Oleh karena itu ide ini wajib untuk kita hidupkan walau harus menerima kekurangan atau menerima ide lain secara objektif. Itulah bagian tersulit dari kehidupan sosial ini, menerima kelemahan dan mengakui keunggulan. Semoga apa-apa ide yang dilanjutkan adalah ide-ide yang benar-benar berisikan roh terhadap pembangunan peradaban demi keberlanjutan kehidupan dan kemanusian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar