Kamis, 27 Maret 2014

ANALISIS PERAN ELIT MENGGUNAKAN TEORI ELIT PADA UNDANG-UNDANG NO 4 TAHUN 2009 STUDI DENGAN STUDI KASUS GUGATAN ISRAN NOOR TERHADAP UU TERSEBUT



Kebijakan otonomi daerah keluar pada tahun 2001 memiliki harapan masing-masing daerah dapat berkembang dalam pertumbuhan ekonomi sesuai dengan harapan keluarnya kebijakan tersebut. Daerah berpotensi memiliki sumber daya alam yang melimpah sudah sepatutnya lebih mendapati kemajuan atau tidak boleh mengalami ketinggalan dalam pembangunan. Atas dasar inilah kemudian sumber daya daerah banyak yang diakuisisi oleh pemerintahan daerah tanpa melibatkan pemerintahan pusat. 

Akibat dari keluarnya otonomi daerah banyak diantara pemegang saham menanamkan sahamnya dibeberapa daerah di Indonesia. Penanaman saham dalam bentuk menggalian atau penggambilan sumber daya alam tentu membawa dampak pada lingkungan sekitar. Dampak bahaya lingkungan yang sampai dirasakan oleh masyarakat dapat menjadikan gugatan terhadap perusahaan yang melakukan aktifitas pengolahan. Tidak jarang dari semua dampak yang diakibatkan oleh perusahaan penambang menjadi kerusuhan di tengah masyarakat.
Nampaknya kerusuhan demi kerusuhan tidak membuat pengaruh bagi pemerintah daerah dalam memberikan hal pengolahan/penambangan di daerahnya. Terjadinya penambangan berarti mendatangkan investasi dan menguntungkan pemerintahan daerah. Dampak yang diterima oleh masyarakat tidak menjadi persoalan dan dikalahkan oleh investasi yang masuk ke kas daerah. Kasus kerusuhan yang pernah terjadi sebut saja daerah Bima, Nusa Tenggara Barat. Begitu besar dampak sosial yang ditimbulkan oleh pertambangan di sana sehingga menjadi kasus yang serius.
Tulisan kali ini saya menggunakan teori elite dalam studi kasus gugatan Isran Noor, Bupati Kutai Timur, terhadap UU no 4 tahun 2009 tentang minerba. Gugatan ini bertujuan untuk menyesuaikan antara UU no 4 tahun 2009 tentang minerba dengan UU 1945 yang dianggap saling bertentangan. Isran Noor mengajukan judicial review pasal 1 angka 29, angka 30, angka31, pasal 6 ayat (1) huruf e, dan ayat (2). Ditambah lahi pasal 10 hurup b dan c, pasal 11-19, termasuk penjelasan pasal 15, yang dimohonkan untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Isran Noor pasal tersebut menghambat kepala daerah dalam mengelola kekayaan sumberdaya mineral dan batubara di wilayahnya.
Elit politik memiliki pengaruh dalam mendapatkan peluang pemdapatan asli daerah (PAD) terutama setelah ditetapkannya otonomi daerah. Wilayah kekuasaan pusat menjadi terbatas di daerah dan elit politik daerah mendapatkan keuntungan dari sumberdaya yang mereka miliki. Hal inilah yang dibahas oleh Isran Noor dimana dia merasa bahwa UU no 4 tahun 2009 akan menghambatnya dalam mengelola sumber daya alam daerahnya.
Penulis menganalisis bahwa ada upaya dari elit daerah dalam mempermudah upaya Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dengan maksud tertentu. UU no 4 tahun 2009 dinyatakan menghambat usaha pertambangan atau hanya mempersulit terjadinya penambangan di daerah tersebut. Isran Noor selaku bupati daerah tidak seharusnya menjadikan mempermasalahkan UU no 4 tahun 2009. Bahaya jika dalam pengurusan WUP dipermudah akan membawa dampak negative bagi lingkungan terutama bagi masyarakat. Setidaknya sedikit mempersulit dengan beberapa indikasi yang diperhatikan dapat membuat pertambangan yang ramah lingkungan juga tidak berdampak pada masyarakat.
            Pasal 11-19 menjadi gugatan oleh Isran Noor adalah masalah perizinan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan WUP. Pemerintah berhak memberikan wewenang maupun mensyahkan daerah tersebut boleh atau tidaknya di jadikan pertambangan. Gugatan dari Isran Noor menjadi hal yang tidak beralasan bagus dalam menggugat UU tersebut apalagi membawa-bawa UUD 1945 pasal 18A ayat (2) dimana menjelaskan bahwa pemerintahan daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan asas otonomi daerah masing-masing.
            Tampaknya dengan berlakunya otonomi daerah menyebabkan masing-masing daerah atau elit daerah semakin berusaha bebas dalam mengatur dan pemanfaatan sumber daya alam tanpa kontrol dari pusat. Hal ini menjadi masalah jika suatu ketika penyebaran pertumbuhan ekonomi tidak merata dan hanya berkembang pada daerah yang memiliki sumber daya alam yang strategis. Kasus gugatan Isran Noor merupakan suatu bukti bahwa adanya permainan pasar daerah tetapi berurusan dengan asing. Bahayanya adalah jika hubungan ini tidak melibatkan pemerintahan pusat kemudian pemerintahan dikenai gugatan maka pemerintahlah yang akan mengalami kerugian seperti gugatan Churchill terhadap Indonesia melalui Pengadilan Arbitrase Internasional (International Centre for Settlement of Invesment Dispute, Washington/ICSID). Indonesia dikenai gugatan $ 20 milliyar atau Rp 20 trilliun karena kerugian yang dialami oleh Churchill.
            Untuk meminimalisir dari dampak kecurangan atau keamanan dari pembukaan WUP maka sudah seharusnya pemerintah ikut campur serta memberi wewenang dalam keberlangsungannya pertambangan tersebut. Pemerintahan daerah harus bekerjasama serta berkoordinasi dengan pemerintahan pusat terkait dengan izin WUP. Pemerintahan pusat harus selalu mengkontrol WUP agar tidak terjadi pelanggaran atau pemalsuan dokumen yang membuat kerugian negara. 

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar