Minggu, 17 Agustus 2025

Nasionalisme Einstein


Nasionalisme Einstein atau pandangan Albert Einstein terhadap nasionalisme cenderung negatif dan sering ia ungkapkan secara keras. Beberapa poin penting:

  1. Menolak Nasionalisme Sempit (chauvinisme):
    Einstein melihat nasionalisme yang berlebihan sebagai bentuk “penyakit” dalam kehidupan sosial dan politik. Ia pernah menyebut nasionalisme sebagai penyakit masa kanak-kanak umat manusia, seperti cacar. Menurutnya, terlalu mengagungkan bangsa sendiri sambil merendahkan bangsa lain akan berujung pada konflik dan perang.

  2. Pendukung Internasionalisme & Kemanusiaan:
    Einstein lebih mendukung semangat internasionalisme, yakni persaudaraan umat manusia di atas batas-batas negara. Ia percaya bahwa ilmu pengetahuan dan kemanusiaan seharusnya bersifat universal, tidak dibatasi oleh kebangsaan.

  3. Kritik terhadap Militerisme:
    Baginya, nasionalisme seringkali menjadi alasan untuk memobilisasi militer dan memicu peperangan. Sebagai seorang pasifis (terutama di periode awal hidupnya), Einstein menolak gagasan bahwa pengorbanan demi “bangsa” harus dibayar dengan nyawa dalam perang.

  4. Tetap Mendukung Identitas Budaya (Konteks Yahudi):
    Meski kritis terhadap nasionalisme secara umum, Einstein tetap mendukung perjuangan komunitas Yahudi, terutama dalam konteks penindasan. Ia mendukung berdirinya Universitas Ibrani di Yerusalem dan gerakan Zionisme kultural (bukan politik atau militeristik). Baginya, itu lebih kepada pelestarian budaya dan pendidikan, bukan nasionalisme agresif.

  5. Visi Dunia:
    Einstein sering menyerukan perlunya pemerintahan dunia atau sistem internasional yang lebih kuat agar manusia tidak terus-menerus terjebak dalam konflik antarnegara akibat nasionalisme sempit.

Einstein menilai nasionalisme adalah sumber perpecahan, peperangan, dan kebodohan kolektif, namun ia masih mengakui pentingnya identitas budaya selama tidak berubah menjadi fanatisme.



Beberapa kutipan asli Albert Einstein yang cukup tajam tentang nasionalisme


  1. “Nationalism is an infantile disease. It is the measles of mankind.”
    Albert Einstein, 1921

    ๐Ÿ‘‰ “Nasionalisme adalah penyakit masa kanak-kanak. Ia seperti penyakit campak bagi umat manusia.”


  1. Heroism on command, senseless violence, and all the loathsome nonsense that goes by the name of patriotism — how passionately I hate them!”
    Einstein, dalam surat tahun 1931

    ๐Ÿ‘‰ “Kepahlawanan yang diperintahkan, kekerasan tanpa makna, dan semua omong kosong menjijikkan yang disebut patriotisme — betapa aku membencinya dengan begitu mendalam!”


  1. “I am against any nationalism, even in the guise of mere patriotism. For me, humanity is one.”
    Einstein, wawancara tahun 1930-an

    ๐Ÿ‘‰ “Aku menentang segala bentuk nasionalisme, bahkan jika ia disamarkan sebagai patriotisme. Bagiku, kemanusiaan adalah satu.”


  1. The world is in greater peril from those who tolerate or encourage evil than from those who actually commit it.”
    Einstein, 1930-an (tentang bahaya kebisuan dalam menghadapi kekerasan yang sering dilegitimasi dengan nasionalisme)

Dari kutipan-kutipan ini jelas bahwa Einstein memandang nasionalisme sempit sebagai bahaya besar bagi peradaban manusia, dan ia mendorong kemanusiaan universal ketimbang sekadar kebanggaan nasional.

Pandangan Albert Einstein yang keras terhadap nasionalisme tidak lahir tiba-tiba, melainkan hasil dari latar belakang hidup, pengalaman pribadi, dan lingkungan intelektual yang membentuknya. Berikut faktor-faktor penting:

1. Masa kecil di Jerman (pengaruh militerisme)

  • Einstein lahir di Ulm, Jerman (1879) dan tumbuh di Mรผnchen pada masa Kekaisaran Jerman (Kaiserreich) yang sangat kental dengan nasionalisme dan militerisme.

  • Di sekolah, ia merasakan langsung sistem pendidikan yang disiplin ketat, berorientasi pada ketaatan, baris-berbaris, dan nasionalisme.

  • Ia sangat tidak cocok dengan suasana itu, merasa seperti “dipaksa untuk berpikir sama dengan orang lain.” Dari kecil, ia jadi alergi pada otoritarianisme dan nasionalisme sempit.


2. Pengalaman sebagai Yahudi di Eropa


3. Pendidikan & lingkungan intelektual internasional

  • Einstein menempuh pendidikan di Swiss (Politeknik Zรผrich), yang lingkungannya lebih kosmopolitan dan liberal dibanding Jerman.

  • Di sana ia bergaul dengan mahasiswa dari berbagai bangsa, ikut perdebatan filsafat, sosialisme, dan humanisme.

  • Hal ini memperkuat pandangannya bahwa ilmu pengetahuan dan kemanusiaan bersifat lintas batas negara.


4. Pengalaman Perang Dunia I (1914–1918)

  • Saat Perang Dunia I pecah, banyak ilmuwan Jerman menandatangani manifesto dukungan untuk perang atas nama “bangsa.”

  • Einstein menolak ikut, dan justru menjadi salah satu dari sedikit intelektual yang menentang perang dan nasionalisme buta.

  • Ia melihat langsung bagaimana nasionalisme menjadi mesin propaganda untuk melegitimasi kekerasan.


5. Naiknya Nazisme di Jerman

  • Pada 1930-an, ketika Hitler berkuasa, Einstein melihat nasionalisme ekstrem (Nazisme) berubah menjadi rasisme, kebencian, dan genosida.

  • Ia sendiri harus mengungsi ke Amerika Serikat karena Yahudi diburu.

  • Pengalaman ini semakin mengukuhkan keyakinannya bahwa nasionalisme adalah ancaman serius bagi kemanusiaan.


6. Kecenderungan Filsafat Humanisme & Internasionalisme

  • Einstein banyak membaca karya-karya filsafat (misalnya Spinoza, Kant) dan bersahabat dengan tokoh intelektual yang mengusung humanisme universal.

  • Dari sana ia membentuk keyakinan bahwa nilai kemanusiaan lebih tinggi daripada identitas kebangsaan.


๐Ÿ“Œ Jadi, pandangan Einstein tentang nasionalisme terbentuk dari kombinasi:

  • pengalaman buruk dengan militerisme Jerman,

  • diskriminasi sebagai Yahudi,

  • pendidikan kosmopolitan di Swiss,

  • trauma Perang Dunia I & II,

  • serta bacaan filsafat humanisme.

Selasa, 12 Agustus 2025

Putusan MA Sudah Inkracht, Tapi Silfester Masih Melenggang

 


Fakta Utama Kasus (Sidang 2019)

Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) dan relawan Jokowi, dinyatakan bersalah atas pencemaran nama baik (fitnah) terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Putusan Mahkamah Agung (kasasi) dibacakan pada 16 September 2019, menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara serta biaya perkara tingkat kasasi

Kasus pencemaran nama baik Silfester Matutina bermula dari pernyataan dan tuduhan yang ia lontarkan secara terbuka kepada mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), yang kemudian dianggap menyerang kehormatan dan reputasi pribadi JK. Silfester membuat tuduhan di media yang menyebut bahwa Jusuf Kalla terlibat dalam upaya menggulingkan Presiden Jokowi. Ia juga menyebut JK memanfaatkan posisinya untuk mengatur sejumlah proyek dan kepentingan politik tertentu. Pernyataan ini disampaikan secara publik melalui media, sehingga dianggap menyerang nama baik JK.

Jusuf Kalla melalui kuasa hukumnya melaporkan Silfester ke Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran nama baik, dengan dasar Pasal 310 KUHP dan UU ITE. Intinya: menyebarkan informasi yang tidak benar dan merugikan kehormatan orang lain.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyidangkan perkara ini. Hakim menyatakan bahwa pernyataan Silfester tidak berdasar bukti dan menimbulkan citra negatif terhadap JK di mata publik. Vonis awal menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara.

Jaksa mengajukan kasasi, dan Mahkamah Agung menguatkan putusan bersalah bahkan menaikkan hukuman menjadi 1 tahun 6 bulan penjara. Putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) pada 16 September 2019.




Eksekusi yang Tak Kunjung Terlaksana

Meskipun sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), vonis tersebut belum pernah dieksekusi—Silfester hingga kini belum pernah ditahan https://www.metrotvnews.comHerald IDTempo.co.

Mahfud MD (mantan Menko Polhukam) menegaskan bahwa Kejaksaan Agung memiliki tanggung jawab mengeksekusi putusan—mengkritik lambatnya penahanan dan menuding adanya potensi intervensi atau pelindungan

Kalau dilihat dari fakta dan pernyataan para pihak, tidak dieksekusinya Silfester Matutina selama 6 tahun kemungkinan besar bukan karena hambatan hukum, tapi karena hambatan eksekusi di tingkat Kejaksaan yang memunculkan dugaan “perlindungan”.

Setelah putusan Mahkamah Agung 16 September 2019, eksekusi hukuman adalah tugas Kejaksaan Negeri Jakarta SelatanMahfud MD menegaskan bahwa MA sudah menuntaskan perkara dan tak ada alasan hukum untuk tidak menahan Silfester. Artinya, kalau belum dieksekusi, masalahnya ada di penegakan, bukan proses peradilan.



Dugaan Perlindungan Politik

Tokoh seperti Roy Suryo secara terbuka mendesak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk segera menahan Silfester YouTube+1. Ia menuding ada intervensi atau “tangan tak terlihat” yang membuat Kejaksaan enggan mengeksekusi. Dugaan ini menguat karena kasusnya relatif kecil, tapi vonisnya jelas dan sudah final—namun eksekusi nihil selama bertahun-tahun.

Dalam banyak kasus, Kejaksaan akan segera menahan terpidana begitu putusan inkracht, apalagi bila yang bersangkutan tidak mengajukan peninjauan kembali (PK). Namun untuk Silfester, tidak ada tindakan paksa meski publik dan media menyorot. Tekanan internal dari lembaga penegak hukum juga terlihat lemah. Banyak yang mempertanyakan, apakah Kejaksaan akan bergerak setelah sorotan publik ini, atau tetap diam.


Selasa, 05 Agustus 2025

Cerita Kondisi Pemerintahan Dunia di Onepiece Mirip dengan Indonesia





Dalam dunia One Piece, Bajak Laut Topi Jerami yang dipimpin oleh Monkey D. Luffy sering kali dipandang sebagai kelompok kriminal yang mengganggu stabilitas pemerintahan Dunia (World Government). Namun, jika dilihat lebih dalam, mereka bukanlah bajak laut jahat yang mencari kekacauan semata. Kelompok ini lebih tepat disebut sebagai gerakan pembebasan yang menentang ketidakadilan, korupsi, dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa. Pandangan ini tercermin dari berbagai petualangan Luffy yang selalu berujung pada pembebasan rakyat tertindas dan penggulingan rezim korup.๐Ÿ˜

Sejak awal, posisi politik kelompok Luffy adalah netral terhadap kekuasaan, namun sangat tegas dalam melawan penguasa yang menyalahgunakan wewenang. Contohnya terlihat pada episode Alabasta, di mana Luffy membantu Putri Vivi melawan Crocodile, seorang anggota Shichibukai yang diam-diam menguasai kerajaan melalui organisasi kriminal Baroque Works. Pemerintah Dunia yang semestinya menjaga keadilan justru menutup mata terhadap kejahatan Crocodile karena statusnya sebagai Shichibukai yang bekerja sama dengan mereka. Luffy dan kru-nya melawan hal ini tanpa pamrih, menunjukkan sikap anti-korupsi dan keberpihakan kepada rakyat.๐Ÿ˜ก

Kebobrokan pemerintah semakin jelas pada episode Enies Lobby. Pemerintah Dunia melalui CP9 menculik Nico Robin, salah satu anggota Topi Jerami, hanya karena dia mengetahui rahasia sejarah abad kosong (Void Century). Alih-alih menegakkan hukum dengan adil, mereka menggunakan kekuatan militer untuk menghilangkan kebenaran sejarah demi melanggengkan kekuasaan. Luffy dan kru-nya menantang langsung simbol hukum dan keadilan palsu tersebut dengan mendeklarasikan perang terhadap Pemerintah Dunia, membakar bendera mereka sebagai tanda perlawanan terbuka.๐Ÿ˜ค

Pemerintah Dunia dalam One Piece tidak hanya korup tetapi juga menutupi kejahatan terbesar: keberadaan para Naga Langit (Tenryuubito). Kaum bangsawan ini hidup mewah di atas penderitaan rakyat, memperbudak manusia, dan memiliki hak istimewa yang tidak tersentuh hukum. Kelompok Luffy beberapa kali bentrok dengan mereka, termasuk ketika Luffy memukul Tenryuubito di Sabaody karena menindas seorang manusia ikan. Tindakan ini membuatnya semakin dicap sebagai kriminal kelas berat, padahal ia hanya menegakkan martabat dan kebebasan manusia yang diinjak-injak oleh penguasa.๐Ÿ˜ฃ

Gerakan Bajak Laut Topi Jerami juga terlibat dalam pembebasan wilayah yang dikuasai oleh tiran atau rezim penindas. Di Dressrosa, Luffy menggulingkan Doflamingo, seorang Shichibukai lain yang berkuasa dengan kekejaman dan perdagangan gelap, sementara Pemerintah Dunia menutup mata karena Doflamingo memiliki hubungan dengan Tenryuubito dan pasar gelap senjata. Di Wano, Luffy memimpin aliansi besar untuk menjatuhkan Kaido, seorang Yonko yang bekerja sama dengan pemerintah korup melalui jaringan perdagangan senjata dan eksperimen biologis berbahaya.๐Ÿ˜ข

Secara politis, kelompok Luffy tidak berambisi menggantikan pemerintah atau menjadi penguasa. Mereka lebih condong menjadi simbol perlawanan terhadap tirani, menegakkan kebebasan individu, dan menghancurkan sistem yang menindas. Pemerintah Dunia mencap mereka sebagai bajak laut berbahaya karena keberanian mereka mengungkap kebenaran sejarah dan melemahkan kekuasaan yang selama ini terjaga dengan kebohongan. Posisi ini membuat Luffy dianggap ancaman terbesar bagi keseimbangan kekuatan politik dunia, meskipun pada kenyataannya ia berjuang demi masyarakat bebas dari ketakutan dan penindasan.๐Ÿ’ช


Pada akhirnya, cap kriminal yang diberikan kepada Bajak Laut Topi Jerami hanyalah alat politik untuk menjaga citra pemerintah yang korup. Gerakan mereka sebetulnya merupakan refleksi dari semangat revolusi dan pembebasan rakyat, sejalan dengan gerakan Revolusioner yang dipimpin oleh Monkey D. Dragon. Eiichiro Oda menggambarkan bahwa dalam dunia One Piece, garis antara “bajak laut kriminal” dan “pahlawan rakyat” sangat tipis. Luffy dan kru-nya berdiri di tengah garis itu—dianggap musuh negara oleh penguasa, tetapi disambut sebagai penyelamat oleh rakyat tertindas.๐Ÿ˜Ž

Pertanyaannya siapa yang mirip Luffy dan kru-nya versi Indonesia?

Selasa, 24 Juni 2025

Pesta yang Buyar: Realitas Pahit Menampar Donald Trump Pasca Serangan ke Iran




Euforia di Gedung Putih tampaknya berumur sangat pendek. Beberapa hari yang lalu, Donald Trump dan para pendukungnya merayakan apa yang mereka sebut sebagai kemenangan telak: serangan terhadap tiga situs nuklir utama Iran. Dengan retorika yang bombastis, Trump mendeklarasikan bahwa Iran telah dilumpuhkan dan tidak punya pilihan selain menyerah. Namun, pesta kembang api itu ternyata dinyalakan terlalu dini dan, yang lebih parah, dinyalakan secara ilegal.

Trump, dengan keyakinan khas seorang pebisnis yang melihat segala sesuatu sebagai transaksi, tampaknya benar-benar percaya bahwa dengan menghancurkan aset paling berharga Iran, ia bisa memaksa Teheran untuk bernegosiasi. Ini adalah sebuah kesalahan perhitungan yang fatal. Namun, sebelum melihat dampaknya di luar negeri, arogansi ini pertama-tama telah menginjak-injak pilar demokrasi di negerinya sendiri. Terungkap bahwa Donald Trump tidak mengantongi izin dari Kongres AS untuk melancarkan serangan tersebut.



Padahal, aturan main di negeri Paman Sam itu sangat jelas. Undang-undang Kekuatan Perang (War Powers Resolution) mewajibkan Presiden untuk berkonsultasi dan meminta otorisasi dari Kongres sebelum mengerahkan angkatan bersenjata ke dalam sebuah tindakan perang. Dengan mengabaikan Kongres, Trump tidak hanya menunjukkan penghinaan terhadap Iran, tetapi juga terhadap konstitusi dan lembaga legislatif negaranya sendiri. Keputusan untuk berperang diambil secara sepihak, seolah Amerika adalah kerajaan pribadi, bukan sebuah republik demokratis. Aksi ini membuktikan bahwa arogansi Trump tidak mengenal batas, baik di dalam maupun di luar negeri.

Tindakan ilegal di dalam negeri ini segera disambut oleh kenyataan pahit di luar negeri. Guncangan pertama datang di jantung kekuatan militer AS di Timur Tengah. Sirene meraung di Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar saat rudal balistik Iran menghantam targetnya. Ini adalah pesan yang jelas: "Kami tidak takut, dan kami bisa menjangkau kalian." Serangan terhadap Al Udeid, pusat komando CENTCOM, adalah sebuah tamparan keras yang membuktikan bahwa perayaan kemenangan Trump adalah sebuah ilusi.

Seolah itu belum cukup, Iran mengeluarkan kartu trufnya yang paling menakutkan: ancaman penutupan Selat Hormuz. Rencana ini bukan lagi gertakan, melainkan sebuah strategi yang akan mengubah konflik militer menjadi malapetaka ekonomi global. Dengan seperlima pasokan minyak dunia bergantung pada selat ini, penutupannya akan memicu kiamat ekonomi yang dampaknya dirasakan semua negara, termasuk Amerika. Iran tidak hanya menunjukkan mereka siap bertarung, tetapi juga siap menggunakan senjata ekonomi untuk melukai lawannya.

Maka, pertanyaannya kini menjadi jauh lebih berat: Apakah Donald Trump masih merayakan "kemenangannya"? Apakah ada senyum di wajahnya saat para jenderal melaporkan kerusakan di Al Udeid, sementara di saat yang sama para anggota Kongres menyiapkan proses pemakzulan (impeachment) atas pelanggaran wewenangnya?

Pesta telah usai. Realitas telah datang menagih. Serangan terhadap situs nuklir Iran tidak menghasilkan perdamaian, melainkan menyulut sumbu dari sebuah rezim yang terbukti lebih tangguh dari yang diperkirakan. Donald Trump tidak sedang menatap kemenangan; ia sedang menatap dua front peperangan sekaligus: satu melawan Iran yang murka di Timur Tengah, dan satu lagi melawan sistem hukum negaranya sendiri di Washington.

America's Flawed Logic: The Attack on Iran is a Gateway to World War III



A reckless move that ignores common sense and international law. That is the most accurate way to describe the United States' attack on three of Iran's nuclear facilities. This action, ordered by the Trump administration, is not just a dangerous military escalation, but also a fundamental flaw in logic that erroneously casts Iran as the primary aggressor in a conflict that was, in fact, ignited by America's closest ally, Israel.

The world must open its eyes to the chronology of events that preceded this US aggression. It was Israel that first lit the flames of war by launching an airstrike on the Iranian consulate in Damascus, Syria. This attack, which killed high-ranking Iranian officers on diplomatic soil that should have been protected, was a grave violation of the Vienna Convention and a blatant provocation of war. Iran's measured response, launching a direct retaliatory strike on Israeli territory, was an act of self-defense, its legitimacy arguably justified under international law as a reply to the preceding aggression.

It is in the midst of this already volatile situation that the United States, under Trump's leadership, instead of acting as a wise mediator, chose to pour gasoline on the fire. Under the pretext of preventing Iran from obtaining nuclear weapons, the US attacked Iran's nuclear facilities. This is a twisted and hypocritical logic. How can the US punish Iran for a reaction triggered by its own ally's act of aggression? It is akin to blaming a robbery victim for daring to fight back after their home was invaded.

Even more flawed is Trump's thinking in then attempting to force Iran to make peace with Israel following such a brutal attack. This is an absurd and insulting form of coercion. Peace cannot be built upon the ruins of a nation's sovereignty and at gunpoint. To bomb a country and then demand it make peace is the height of power-crazed arrogance that fails to understand the essence of diplomacy and justice. This is the logic of a bully, not a statesman.

Conclusion: The Door to a Global War Has Been Opened

With this reckless action, the United States has not only destroyed the prospects for peace in the Middle East but has also officially opened a rift leading to World War III. The decision to directly attack Iran has drawn a much wider battle line.

Let us not forget that today's world is no longer unipolar. The rise of powers like Russia and China, as well as other nations that embrace a multi-polar world view, means that US aggression against Iran will not go without consequences. Russia, which has already voiced its condemnation and called the US action an opening of "Pandora's box," has a high potential to provide more tangible military and political support to Iran. Other nations that view US hegemony as a threat to their sovereignty will increasingly close ranks.

The nightmare scenario where this regional conflict expands into a global confrontation between major power blocs has now become a terrifyingly real possibility. Proxies will turn into direct participants, and the battlefield will extend from the deserts of the Middle East to other arenas across the globe.

In this situation, no words of peace can be expected from America's empty rhetoric. Blood has been spilled due to flawed logic and boundless arrogance. The United States must and will be held fully responsible for its role in dragging the world to the brink of destruction. They have opened the door to World War III, and history will record it as a fatal and unforgivable miscalculation.

Senin, 23 Juni 2025

Logika Cacat Amerika: Agresi Terhadap Iran Adalah Pintu Menuju Perang Dunia III


Sebuah langkah gegabah yang mengabaikan akal sehat dan hukum internasional. Demikianlah cara paling tepat untuk melukiskan serangan Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir Iran. Tindakan ini, yang diperintahkan oleh pemerintahan Donald Trump, bukan hanya sebuah eskalasi militer yang berbahaya, tetapi juga sebuah kecacatan logika yang fundamental, yang secara keliru menempatkan Iran sebagai agresor utama dalam konflik yang justru dipicu oleh sekutu terdekat Amerika, Israel.

Publik dunia harus membuka mata lebar-lebar terhadap kronologi peristiwa yang mendahului agresi AS ini. Adalah Israel yang pertama kali menyulut api peperangan dengan melancarkan serangan udara terhadap konsulat Iran di Damaskus, Suriah. Serangan ini, yang menewaskan perwira-perwira tinggi Iran di tanah diplomatik yang seharusnya dilindungi, merupakan sebuah pelanggaran berat terhadap Konvensi Wina dan sebuah provokasi perang yang terang-terangan. Respons Iran yang terukur, dengan melancarkan serangan balasan langsung ke wilayah Israel, adalah sebuah tindakan pembelaan diri yang dapat diperdebatkan legitimasinya di bawah hukum internasional sebagai balasan atas agresi yang mendahuluinya.

Di tengah situasi yang sudah genting inilah, Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Trump, bukannya bertindak sebagai penengah yang bijaksana, malah memilih untuk menuangkan bensin ke dalam api yang berkobar. Dengan dalih mencegah Iran memperoleh senjata nuklir, AS menyerang fasilitas nuklir Iran.1 Ini adalah sebuah logika yang terbalik dan munafik. Bagaimana mungkin AS menghukum Iran atas sebuah reaksi yang dipicu oleh tindakan agresi sekutunya sendiri? Ini seolah-olah menyalahkan korban perampokan karena berani melawan setelah rumahnya disatroni.



Lebih cacat lagi adalah cara berpikir Trump yang kemudian mencoba memaksa Iran untuk berdamai dengan Israel pasca serangan brutal tersebut. Ini adalah sebuah bentuk pemaksaan kehendak yang absurd dan menghina. Perdamaian tidak bisa dibangun di atas reruntuhan kedaulatan sebuah negara dan di bawah todongan senjata. Membom sebuah negara lalu memintanya berdamai adalah puncak dari arogansi kekuasaan yang tidak memahami esensi dari diplomasi dan keadilan. Ini adalah logika seorang preman, bukan seorang negarawan.

Kesimpulan: Pintu Menuju Perang Global Telah Dibuka

Dengan tindakan gegabahnya ini, Amerika Serikat bukan hanya telah menghancurkan prospek perdamaian di Timur Tengah, tetapi juga telah secara resmi membuka celah menuju Perang Dunia III. Keputusan untuk menyerang Iran secara langsung telah menarik garis pertempuran yang jauh lebih luas.

Jangan pernah lupakan bahwa dunia saat ini tidak lagi unipolar. Kebangkitan kekuatan-kekuatan seperti Rusia dan China, serta negara-negara lain yang mengadopsi paham dunia multi-polar, berarti bahwa agresi AS terhadap Iran tidak akan dibiarkan tanpa konsekuensi. Rusia, yang telah menyuarakan kecamannya dan menyebut tindakan AS sebagai pembuka "kotak Pandora," berpotensi besar untuk memberikan dukungan militer dan politik yang lebih nyata kepada Iran. Negara-negara lain yang melihat hegemoni AS sebagai ancaman bagi kedaulatan mereka akan semakin merapatkan barisan.

Skenario mimpi buruk di mana konflik regional ini meluas menjadi konfrontasi global antara blok-blok kekuatan besar kini menjadi sebuah kemungkinan yang sangat nyata. Proksi akan berubah menjadi partisipan langsung, dan medan pertempuran akan meluas dari gurun pasir Timur Tengah ke arena-arena lain di seluruh dunia.



Dalam situasi ini, tak ada lagi kata damai yang bisa diharapkan dari retorika kosong Amerika. Darah telah tertumpah akibat logika yang cacat dan arogansi yang tak terbatas. Amerika Serikat harus dan akan dimintai pertanggungjawaban penuh atas perannya dalam menyeret dunia ke jurang kehancuran. Pintu menuju Perang Dunia III telah mereka buka, dan sejarah akan mencatatnya sebagai sebuah kesalahan perhitungan yang fatal dan tak termaafkan.