Selasa, 12 Agustus 2025

Putusan MA Sudah Inkracht, Tapi Silfester Masih Melenggang

 


Fakta Utama Kasus (Sidang 2019)

Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) dan relawan Jokowi, dinyatakan bersalah atas pencemaran nama baik (fitnah) terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Putusan Mahkamah Agung (kasasi) dibacakan pada 16 September 2019, menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara serta biaya perkara tingkat kasasi

Kasus pencemaran nama baik Silfester Matutina bermula dari pernyataan dan tuduhan yang ia lontarkan secara terbuka kepada mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), yang kemudian dianggap menyerang kehormatan dan reputasi pribadi JK. Silfester membuat tuduhan di media yang menyebut bahwa Jusuf Kalla terlibat dalam upaya menggulingkan Presiden Jokowi. Ia juga menyebut JK memanfaatkan posisinya untuk mengatur sejumlah proyek dan kepentingan politik tertentu. Pernyataan ini disampaikan secara publik melalui media, sehingga dianggap menyerang nama baik JK.

Jusuf Kalla melalui kuasa hukumnya melaporkan Silfester ke Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran nama baik, dengan dasar Pasal 310 KUHP dan UU ITE. Intinya: menyebarkan informasi yang tidak benar dan merugikan kehormatan orang lain.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyidangkan perkara ini. Hakim menyatakan bahwa pernyataan Silfester tidak berdasar bukti dan menimbulkan citra negatif terhadap JK di mata publik. Vonis awal menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara.

Jaksa mengajukan kasasi, dan Mahkamah Agung menguatkan putusan bersalah bahkan menaikkan hukuman menjadi 1 tahun 6 bulan penjara. Putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) pada 16 September 2019.




Eksekusi yang Tak Kunjung Terlaksana

Meskipun sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), vonis tersebut belum pernah dieksekusi—Silfester hingga kini belum pernah ditahan https://www.metrotvnews.comHerald IDTempo.co.

Mahfud MD (mantan Menko Polhukam) menegaskan bahwa Kejaksaan Agung memiliki tanggung jawab mengeksekusi putusan—mengkritik lambatnya penahanan dan menuding adanya potensi intervensi atau pelindungan

Kalau dilihat dari fakta dan pernyataan para pihak, tidak dieksekusinya Silfester Matutina selama 6 tahun kemungkinan besar bukan karena hambatan hukum, tapi karena hambatan eksekusi di tingkat Kejaksaan yang memunculkan dugaan “perlindungan”.

Setelah putusan Mahkamah Agung 16 September 2019, eksekusi hukuman adalah tugas Kejaksaan Negeri Jakarta SelatanMahfud MD menegaskan bahwa MA sudah menuntaskan perkara dan tak ada alasan hukum untuk tidak menahan Silfester. Artinya, kalau belum dieksekusi, masalahnya ada di penegakan, bukan proses peradilan.



Dugaan Perlindungan Politik

Tokoh seperti Roy Suryo secara terbuka mendesak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk segera menahan Silfester YouTube+1. Ia menuding ada intervensi atau “tangan tak terlihat” yang membuat Kejaksaan enggan mengeksekusi. Dugaan ini menguat karena kasusnya relatif kecil, tapi vonisnya jelas dan sudah final—namun eksekusi nihil selama bertahun-tahun.

Dalam banyak kasus, Kejaksaan akan segera menahan terpidana begitu putusan inkracht, apalagi bila yang bersangkutan tidak mengajukan peninjauan kembali (PK). Namun untuk Silfester, tidak ada tindakan paksa meski publik dan media menyorot. Tekanan internal dari lembaga penegak hukum juga terlihat lemah. Banyak yang mempertanyakan, apakah Kejaksaan akan bergerak setelah sorotan publik ini, atau tetap diam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar