Minggu, 17 Agustus 2025

Nasionalisme Einstein


Nasionalisme Einstein atau pandangan Albert Einstein terhadap nasionalisme cenderung negatif dan sering ia ungkapkan secara keras. Beberapa poin penting:

  1. Menolak Nasionalisme Sempit (chauvinisme):
    Einstein melihat nasionalisme yang berlebihan sebagai bentuk “penyakit” dalam kehidupan sosial dan politik. Ia pernah menyebut nasionalisme sebagai penyakit masa kanak-kanak umat manusia, seperti cacar. Menurutnya, terlalu mengagungkan bangsa sendiri sambil merendahkan bangsa lain akan berujung pada konflik dan perang.

  2. Pendukung Internasionalisme & Kemanusiaan:
    Einstein lebih mendukung semangat internasionalisme, yakni persaudaraan umat manusia di atas batas-batas negara. Ia percaya bahwa ilmu pengetahuan dan kemanusiaan seharusnya bersifat universal, tidak dibatasi oleh kebangsaan.

  3. Kritik terhadap Militerisme:
    Baginya, nasionalisme seringkali menjadi alasan untuk memobilisasi militer dan memicu peperangan. Sebagai seorang pasifis (terutama di periode awal hidupnya), Einstein menolak gagasan bahwa pengorbanan demi “bangsa” harus dibayar dengan nyawa dalam perang.

  4. Tetap Mendukung Identitas Budaya (Konteks Yahudi):
    Meski kritis terhadap nasionalisme secara umum, Einstein tetap mendukung perjuangan komunitas Yahudi, terutama dalam konteks penindasan. Ia mendukung berdirinya Universitas Ibrani di Yerusalem dan gerakan Zionisme kultural (bukan politik atau militeristik). Baginya, itu lebih kepada pelestarian budaya dan pendidikan, bukan nasionalisme agresif.

  5. Visi Dunia:
    Einstein sering menyerukan perlunya pemerintahan dunia atau sistem internasional yang lebih kuat agar manusia tidak terus-menerus terjebak dalam konflik antarnegara akibat nasionalisme sempit.

Einstein menilai nasionalisme adalah sumber perpecahan, peperangan, dan kebodohan kolektif, namun ia masih mengakui pentingnya identitas budaya selama tidak berubah menjadi fanatisme.



Beberapa kutipan asli Albert Einstein yang cukup tajam tentang nasionalisme


  1. “Nationalism is an infantile disease. It is the measles of mankind.”
    Albert Einstein, 1921

    πŸ‘‰ “Nasionalisme adalah penyakit masa kanak-kanak. Ia seperti penyakit campak bagi umat manusia.”


  1. Heroism on command, senseless violence, and all the loathsome nonsense that goes by the name of patriotism — how passionately I hate them!”
    Einstein, dalam surat tahun 1931

    πŸ‘‰ “Kepahlawanan yang diperintahkan, kekerasan tanpa makna, dan semua omong kosong menjijikkan yang disebut patriotisme — betapa aku membencinya dengan begitu mendalam!”


  1. “I am against any nationalism, even in the guise of mere patriotism. For me, humanity is one.”
    Einstein, wawancara tahun 1930-an

    πŸ‘‰ “Aku menentang segala bentuk nasionalisme, bahkan jika ia disamarkan sebagai patriotisme. Bagiku, kemanusiaan adalah satu.”


  1. The world is in greater peril from those who tolerate or encourage evil than from those who actually commit it.”
    Einstein, 1930-an (tentang bahaya kebisuan dalam menghadapi kekerasan yang sering dilegitimasi dengan nasionalisme)

Dari kutipan-kutipan ini jelas bahwa Einstein memandang nasionalisme sempit sebagai bahaya besar bagi peradaban manusia, dan ia mendorong kemanusiaan universal ketimbang sekadar kebanggaan nasional.

Pandangan Albert Einstein yang keras terhadap nasionalisme tidak lahir tiba-tiba, melainkan hasil dari latar belakang hidup, pengalaman pribadi, dan lingkungan intelektual yang membentuknya. Berikut faktor-faktor penting:

1. Masa kecil di Jerman (pengaruh militerisme)

  • Einstein lahir di Ulm, Jerman (1879) dan tumbuh di MΓΌnchen pada masa Kekaisaran Jerman (Kaiserreich) yang sangat kental dengan nasionalisme dan militerisme.

  • Di sekolah, ia merasakan langsung sistem pendidikan yang disiplin ketat, berorientasi pada ketaatan, baris-berbaris, dan nasionalisme.

  • Ia sangat tidak cocok dengan suasana itu, merasa seperti “dipaksa untuk berpikir sama dengan orang lain.” Dari kecil, ia jadi alergi pada otoritarianisme dan nasionalisme sempit.


2. Pengalaman sebagai Yahudi di Eropa


3. Pendidikan & lingkungan intelektual internasional

  • Einstein menempuh pendidikan di Swiss (Politeknik ZΓΌrich), yang lingkungannya lebih kosmopolitan dan liberal dibanding Jerman.

  • Di sana ia bergaul dengan mahasiswa dari berbagai bangsa, ikut perdebatan filsafat, sosialisme, dan humanisme.

  • Hal ini memperkuat pandangannya bahwa ilmu pengetahuan dan kemanusiaan bersifat lintas batas negara.


4. Pengalaman Perang Dunia I (1914–1918)

  • Saat Perang Dunia I pecah, banyak ilmuwan Jerman menandatangani manifesto dukungan untuk perang atas nama “bangsa.”

  • Einstein menolak ikut, dan justru menjadi salah satu dari sedikit intelektual yang menentang perang dan nasionalisme buta.

  • Ia melihat langsung bagaimana nasionalisme menjadi mesin propaganda untuk melegitimasi kekerasan.


5. Naiknya Nazisme di Jerman

  • Pada 1930-an, ketika Hitler berkuasa, Einstein melihat nasionalisme ekstrem (Nazisme) berubah menjadi rasisme, kebencian, dan genosida.

  • Ia sendiri harus mengungsi ke Amerika Serikat karena Yahudi diburu.

  • Pengalaman ini semakin mengukuhkan keyakinannya bahwa nasionalisme adalah ancaman serius bagi kemanusiaan.


6. Kecenderungan Filsafat Humanisme & Internasionalisme

  • Einstein banyak membaca karya-karya filsafat (misalnya Spinoza, Kant) dan bersahabat dengan tokoh intelektual yang mengusung humanisme universal.

  • Dari sana ia membentuk keyakinan bahwa nilai kemanusiaan lebih tinggi daripada identitas kebangsaan.


πŸ“Œ Jadi, pandangan Einstein tentang nasionalisme terbentuk dari kombinasi:

  • pengalaman buruk dengan militerisme Jerman,

  • diskriminasi sebagai Yahudi,

  • pendidikan kosmopolitan di Swiss,

  • trauma Perang Dunia I & II,

  • serta bacaan filsafat humanisme.

Selasa, 12 Agustus 2025

Putusan MA Sudah Inkracht, Tapi Silfester Masih Melenggang

 


Fakta Utama Kasus (Sidang 2019)

Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) dan relawan Jokowi, dinyatakan bersalah atas pencemaran nama baik (fitnah) terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Putusan Mahkamah Agung (kasasi) dibacakan pada 16 September 2019, menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara serta biaya perkara tingkat kasasi

Kasus pencemaran nama baik Silfester Matutina bermula dari pernyataan dan tuduhan yang ia lontarkan secara terbuka kepada mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), yang kemudian dianggap menyerang kehormatan dan reputasi pribadi JK. Silfester membuat tuduhan di media yang menyebut bahwa Jusuf Kalla terlibat dalam upaya menggulingkan Presiden Jokowi. Ia juga menyebut JK memanfaatkan posisinya untuk mengatur sejumlah proyek dan kepentingan politik tertentu. Pernyataan ini disampaikan secara publik melalui media, sehingga dianggap menyerang nama baik JK.

Jusuf Kalla melalui kuasa hukumnya melaporkan Silfester ke Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran nama baik, dengan dasar Pasal 310 KUHP dan UU ITE. Intinya: menyebarkan informasi yang tidak benar dan merugikan kehormatan orang lain.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyidangkan perkara ini. Hakim menyatakan bahwa pernyataan Silfester tidak berdasar bukti dan menimbulkan citra negatif terhadap JK di mata publik. Vonis awal menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara.

Jaksa mengajukan kasasi, dan Mahkamah Agung menguatkan putusan bersalah bahkan menaikkan hukuman menjadi 1 tahun 6 bulan penjara. Putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) pada 16 September 2019.




Eksekusi yang Tak Kunjung Terlaksana

Meskipun sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), vonis tersebut belum pernah dieksekusi—Silfester hingga kini belum pernah ditahan https://www.metrotvnews.comHerald IDTempo.co.

Mahfud MD (mantan Menko Polhukam) menegaskan bahwa Kejaksaan Agung memiliki tanggung jawab mengeksekusi putusan—mengkritik lambatnya penahanan dan menuding adanya potensi intervensi atau pelindungan

Kalau dilihat dari fakta dan pernyataan para pihak, tidak dieksekusinya Silfester Matutina selama 6 tahun kemungkinan besar bukan karena hambatan hukum, tapi karena hambatan eksekusi di tingkat Kejaksaan yang memunculkan dugaan “perlindungan”.

Setelah putusan Mahkamah Agung 16 September 2019, eksekusi hukuman adalah tugas Kejaksaan Negeri Jakarta SelatanMahfud MD menegaskan bahwa MA sudah menuntaskan perkara dan tak ada alasan hukum untuk tidak menahan Silfester. Artinya, kalau belum dieksekusi, masalahnya ada di penegakan, bukan proses peradilan.



Dugaan Perlindungan Politik

Tokoh seperti Roy Suryo secara terbuka mendesak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk segera menahan Silfester YouTube+1. Ia menuding ada intervensi atau “tangan tak terlihat” yang membuat Kejaksaan enggan mengeksekusi. Dugaan ini menguat karena kasusnya relatif kecil, tapi vonisnya jelas dan sudah final—namun eksekusi nihil selama bertahun-tahun.

Dalam banyak kasus, Kejaksaan akan segera menahan terpidana begitu putusan inkracht, apalagi bila yang bersangkutan tidak mengajukan peninjauan kembali (PK). Namun untuk Silfester, tidak ada tindakan paksa meski publik dan media menyorot. Tekanan internal dari lembaga penegak hukum juga terlihat lemah. Banyak yang mempertanyakan, apakah Kejaksaan akan bergerak setelah sorotan publik ini, atau tetap diam.


Selasa, 05 Agustus 2025

Cerita Kondisi Pemerintahan Dunia di Onepiece Mirip dengan Indonesia





Dalam dunia One Piece, Bajak Laut Topi Jerami yang dipimpin oleh Monkey D. Luffy sering kali dipandang sebagai kelompok kriminal yang mengganggu stabilitas pemerintahan Dunia (World Government). Namun, jika dilihat lebih dalam, mereka bukanlah bajak laut jahat yang mencari kekacauan semata. Kelompok ini lebih tepat disebut sebagai gerakan pembebasan yang menentang ketidakadilan, korupsi, dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa. Pandangan ini tercermin dari berbagai petualangan Luffy yang selalu berujung pada pembebasan rakyat tertindas dan penggulingan rezim korup.😁

Sejak awal, posisi politik kelompok Luffy adalah netral terhadap kekuasaan, namun sangat tegas dalam melawan penguasa yang menyalahgunakan wewenang. Contohnya terlihat pada episode Alabasta, di mana Luffy membantu Putri Vivi melawan Crocodile, seorang anggota Shichibukai yang diam-diam menguasai kerajaan melalui organisasi kriminal Baroque Works. Pemerintah Dunia yang semestinya menjaga keadilan justru menutup mata terhadap kejahatan Crocodile karena statusnya sebagai Shichibukai yang bekerja sama dengan mereka. Luffy dan kru-nya melawan hal ini tanpa pamrih, menunjukkan sikap anti-korupsi dan keberpihakan kepada rakyat.😑

Kebobrokan pemerintah semakin jelas pada episode Enies Lobby. Pemerintah Dunia melalui CP9 menculik Nico Robin, salah satu anggota Topi Jerami, hanya karena dia mengetahui rahasia sejarah abad kosong (Void Century). Alih-alih menegakkan hukum dengan adil, mereka menggunakan kekuatan militer untuk menghilangkan kebenaran sejarah demi melanggengkan kekuasaan. Luffy dan kru-nya menantang langsung simbol hukum dan keadilan palsu tersebut dengan mendeklarasikan perang terhadap Pemerintah Dunia, membakar bendera mereka sebagai tanda perlawanan terbuka.😀

Pemerintah Dunia dalam One Piece tidak hanya korup tetapi juga menutupi kejahatan terbesar: keberadaan para Naga Langit (Tenryuubito). Kaum bangsawan ini hidup mewah di atas penderitaan rakyat, memperbudak manusia, dan memiliki hak istimewa yang tidak tersentuh hukum. Kelompok Luffy beberapa kali bentrok dengan mereka, termasuk ketika Luffy memukul Tenryuubito di Sabaody karena menindas seorang manusia ikan. Tindakan ini membuatnya semakin dicap sebagai kriminal kelas berat, padahal ia hanya menegakkan martabat dan kebebasan manusia yang diinjak-injak oleh penguasa.😣

Gerakan Bajak Laut Topi Jerami juga terlibat dalam pembebasan wilayah yang dikuasai oleh tiran atau rezim penindas. Di Dressrosa, Luffy menggulingkan Doflamingo, seorang Shichibukai lain yang berkuasa dengan kekejaman dan perdagangan gelap, sementara Pemerintah Dunia menutup mata karena Doflamingo memiliki hubungan dengan Tenryuubito dan pasar gelap senjata. Di Wano, Luffy memimpin aliansi besar untuk menjatuhkan Kaido, seorang Yonko yang bekerja sama dengan pemerintah korup melalui jaringan perdagangan senjata dan eksperimen biologis berbahaya.😒

Secara politis, kelompok Luffy tidak berambisi menggantikan pemerintah atau menjadi penguasa. Mereka lebih condong menjadi simbol perlawanan terhadap tirani, menegakkan kebebasan individu, dan menghancurkan sistem yang menindas. Pemerintah Dunia mencap mereka sebagai bajak laut berbahaya karena keberanian mereka mengungkap kebenaran sejarah dan melemahkan kekuasaan yang selama ini terjaga dengan kebohongan. Posisi ini membuat Luffy dianggap ancaman terbesar bagi keseimbangan kekuatan politik dunia, meskipun pada kenyataannya ia berjuang demi masyarakat bebas dari ketakutan dan penindasan.πŸ’ͺ


Pada akhirnya, cap kriminal yang diberikan kepada Bajak Laut Topi Jerami hanyalah alat politik untuk menjaga citra pemerintah yang korup. Gerakan mereka sebetulnya merupakan refleksi dari semangat revolusi dan pembebasan rakyat, sejalan dengan gerakan Revolusioner yang dipimpin oleh Monkey D. Dragon. Eiichiro Oda menggambarkan bahwa dalam dunia One Piece, garis antara “bajak laut kriminal” dan “pahlawan rakyat” sangat tipis. Luffy dan kru-nya berdiri di tengah garis itu—dianggap musuh negara oleh penguasa, tetapi disambut sebagai penyelamat oleh rakyat tertindas.😎

Pertanyaannya siapa yang mirip Luffy dan kru-nya versi Indonesia?