Jumat, 20 Juni 2025

Hak Navigasi dan Persyaratan Pemberitahuan untuk Transit Militer Amerika Serikat Melalui Selat Malaka: Sebuah Penilaian Hukum

USS Theodore Roosevelt (CVN 71)


1. Ringkasan Eksekutif

Pada tanggal 15 Juni 2025, Amerika Serikat tidak diwajibkan secara hukum untuk meminta izin dari Indonesia atau Malaysia ketika kapal atau pesawat militernya melintasi Selat Malaka. Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), Selat Malaka adalah selat internasional yang diatur oleh rezim "lintas transit". Rezim ini memberikan hak kepada semua kapal dan pesawat, termasuk aset militer, untuk navigasi dan penerbangan tanpa hambatan dalam mode operasi normal mereka, tanpa memerlukan pemberitahuan atau persetujuan sebelumnya dari negara-negara pesisir.

Laporan ini akan menguraikan perbedaan mendasar antara "lintas damai" dan "lintas transit", menjelaskan mengapa rezim lintas transit berlaku untuk Selat Malaka. Kebijakan Amerika Serikat untuk mematuhi hukum kebiasaan internasional, sebagaimana tercermin dalam UNCLOS, serta Program Kebebasan Navigasi (FON) yang secara aktif menentang klaim maritim yang berlebihan, termasuk persyaratan izin sebelumnya untuk transit, akan dibahas. Meskipun Indonesia dan Malaysia secara historis menegaskan kontrol yang lebih besar atas Selat dan, pada waktu-waktu tertentu, menuntut pemberitahuan sebelumnya untuk kapal perang asing, tuntutan ini sebagian besar tidak dihiraukan oleh kekuatan maritim besar seperti Amerika Serikat dan tidak konsisten dengan rezim lintas transit. Kekhawatiran Malaysia saat ini mengenai transit kapal selam bertenaga nuklir merupakan potensi tantangan di masa depan terhadap kerangka hukum yang telah mapan ini.




2. Pendahuluan: Pentingnya Strategis Selat Malaka dan Pertanyaan Pengguna

Pertanyaan yang diajukan merujuk pada "pangkalan militer" yang melintasi Selat Malaka. Penting untuk mengklarifikasi bahwa pangkalan militer yang bersifat tetap tidak dapat "melintasi" selat. Oleh karena itu, laporan ini akan menafsirkan pertanyaan tersebut sebagai merujuk pada transit kapal militer (misalnya, kapal perang, kapal selam) atau pesawat militer Amerika Serikat.

Selat Malaka merupakan salah satu jalur laut paling vital di dunia, menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Selat ini adalah jalur krusial untuk perdagangan global, terutama minyak dan gas alam, dengan lebih dari sepertiga perdagangan dunia melewatinya. Lebarnya yang sempit dan area dangkalnya menimbulkan tantangan navigasi yang signifikan. Pentingnya strategis ini melibatkan pemain global seperti Amerika Serikat, India, dan Tiongkok, yang berupaya menjaga stabilitas dan kebebasan navigasi di wilayah tersebut. Pertanyaan pengguna secara langsung membahas persyaratan hukum untuk transit militer melalui jalur air yang sangat penting ini, khususnya apakah izin dari Indonesia atau Malaysia diperlukan. Hal ini memerlukan pemeriksaan hukum maritim internasional, khususnya UNCLOS, dan posisi spesifik negara-negara yang terlibat.




3. Hukum Laut Internasional: Rezim Navigasi di Selat Internasional

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS)

UNCLOS adalah kerangka hukum internasional fundamental yang mengatur seluruh ruang laut dan aktivitas maritim. Konvensi ini mengkodifikasi hukum kebiasaan internasional dan menetapkan rezim hukum yang komprehensif untuk berbagai zona maritim dan hak navigasi. Perlu dipahami bahwa UNCLOS merupakan pencapaian luar biasa dalam tatanan dunia, yang kepentingannya hanya kalah dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Signifikansinya meningkat secara substansial ketika konvensi ini mengkonfirmasi pelebaran lebar perairan teritorial dari tiga menjadi dua belas mil laut, menyebabkan lebih banyak selat tumpang tindih dengan laut teritorial negara-negara pesisir, sehingga memerlukan aturan navigasi yang jelas. Perkembangan ini menyoroti peran penting konvensi dalam mengadaptasi hukum internasional terhadap klaim negara yang berkembang dan kemampuan teknologi yang terus berubah.

Lintas Damai

Lintas damai adalah hak kapal asing untuk berlayar melalui laut teritorial negara lain, asalkan "tidak merugikan perdamaian, ketertiban umum, atau keamanan negara pesisir". Pasal 19 UNCLOS mencantumkan 12 kegiatan yang dianggap "merugikan", secara efektif menghalangi berbagai operasi militer, seperti latihan senjata, peluncuran/pendaratan pesawat atau perangkat militer, atau pengumpulan informasi yang merugikan keamanan. Kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya yang melakukan lintas damai harus berlayar di permukaan dan menunjukkan benderanya. Negara pesisir dapat menangguhkan sementara lintas damai di area tertentu di laut teritorialnya jika penting untuk keamanannya, namun penangguhan ini tidak diizinkan di selat internasional. Secara historis, hak lintas damai bagi kapal perang menjadi perdebatan, dengan banyak negara pesisir mensyaratkan izin sebelumnya. Meskipun Konvensi tahun 1958 dipahami oleh banyak negara, termasuk Amerika Serikat, untuk mengizinkan lintas damai bagi kapal militer, beberapa negara menyimpang dari hak ini dengan persyaratan tersebut.

Lintas Transit

Lintas transit didefinisikan sebagai pelaksanaan kebebasan navigasi dan penerbangan, semata-mata untuk tujuan transit yang terus-menerus dan cepat melalui selat internasional antara satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan bagian lain dari laut lepas atau ZEE. Hak ini berlaku untuk semua kapal dan pesawat, tanpa memandang kebangsaan atau statusnya, termasuk kapal perang, kapal bantu, dan pesawat militer. Mereka menikmati hak lintas transit yang tidak terhalang dalam mode operasi normal mereka. Ini adalah perbedaan penting dari lintas damai:

  • Kapal selam bebas untuk melintas di bawah permukaan, karena itu adalah mode operasi normal mereka.

  • Kapal perang dapat melakukan formasi berlayar dan meluncurkan/memulihkan pesawat.

  • Pesawat militer dapat melintasi wilayah udara di atas selat internasional, hak yang ditolak di bawah lintas damai.

Negara-negara yang berbatasan dengan selat tidak boleh menangguhkan lintas transit untuk tujuan apa pun, termasuk latihan militer. Mereka juga dilarang mengadopsi undang-undang atau peraturan yang memiliki efek praktis untuk menolak, menghambat, atau merusak hak lintas transit. Kompetensi negara pesisir untuk mengatur lintas transit terbatas dan bersifat eksklusif berdasarkan Pasal 42 UNCLOS, terutama berkaitan dengan keselamatan di laut, pencegahan polusi, serta undang-undang bea cukai/fiskal/imigrasi/sanitasi, tetapi tidak untuk menghambat transit. Hak lintas transit berlaku di masa damai dan terus berlaku selama konflik bersenjata. Negara-negara netral tidak dapat menangguhkan atau menghambat lintas transit negara-negara yang terlibat konflik melalui selat internasional.

Perbedaan Utama dan Penerapan

Untuk memperjelas perbedaan antara kedua rezim navigasi ini, Tabel 1 menyajikan perbandingan fitur-fitur utama yang relevan dengan pertanyaan pengguna. Tabel ini sangat penting untuk mengilustrasikan perbedaan mendasar antara lintas damai dan lintas transit, yang seringkali disalahpahami. Pertanyaan pengguna secara implisit menyentuh perbedaan ini dengan menanyakan tentang "izin", sebuah konsep yang lebih selaras dengan lintas damai dalam konteks tertentu. Dengan menyajikan hak dan batasan yang berbeda, terutama untuk kapal militer, laporan ini dapat menegaskan mengapa lintas transit adalah rezim yang berlaku untuk Selat Malaka dan mengapa izin tidak diperlukan.

Tabel 1: Perbandingan Lintas Damai vs. Lintas Transit

Fitur

Lintas Damai

Lintas Transit

Lokasi Penerapan

Laut teritorial (hingga 12 mil laut dari garis pangkal)

Selat internasional yang menghubungkan laut lepas/ZEE

Tujuan

Melintasi laut teritorial tanpa masuk perairan internal atau pelabuhan, atau menuju/dari pelabuhan

Transit yang terus-menerus dan cepat antara laut lepas/ZEE

Persyaratan untuk Kapal Selam

Harus berlayar di permukaan dan menunjukkan bendera

Bebas transit di bawah permukaan (mode operasi normal)

Operasi Militer

Dibatasi secara ketat; kegiatan yang merugikan keamanan dilarang (misalnya, latihan senjata, pengumpulan intelijen, peluncuran pesawat/perangkat militer)

Diizinkan dalam mode operasi normal (misalnya, formasi berlayar, peluncuran/pemulihan pesawat)

Hak Penerbangan

Tidak ada hak lintas damai untuk pesawat; negara pesisir dapat menolak masuk

Hak penerbangan di atas selat internasional; negara pesisir tidak dapat menolak

Penangguhan oleh Negara Pesisir

Dapat ditangguhkan sementara untuk alasan keamanan (kecuali di selat internasional)

Tidak dapat ditangguhkan untuk alasan apa pun

Persyaratan Pemberitahuan/Izin

Beberapa negara secara tidak sah mensyaratkan pemberitahuan/izin sebelumnya untuk kapal perang (terutama secara historis)

Tidak diperlukan pemberitahuan atau izin sebelumnya; merupakan hak




4. Status Selat Malaka di Bawah UNCLOS

Selat Malaka secara jelas diakui sebagai selat internasional yang digunakan untuk navigasi internasional dan diatur oleh rezim lintas transit di bawah Bagian III UNCLOS. Ini berarti bahwa Selat Malaka memenuhi kriteria geografis sebagai penghubung antara dua bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Akibatnya, semua kapal dan pesawat, termasuk kapal perang dan pesawat militer, menikmati hak lintas transit yang tidak terhalang melalui Selat Malaka dalam mode operasi normal mereka. Hak ini merupakan masalah hukum internasional dan bukan berdasarkan persetujuan atau keinginan negara-negara pesisir.





5. Posisi Amerika Serikat Mengenai Hak Navigasi

Amerika Serikat secara konsisten menegaskan hak kebebasan navigasi (FON) dan hak lintas transit secara global. Meskipun Amerika Serikat bukan pihak yang meratifikasi UNCLOS, ia menerima sebagian besar aturan navigasinya sebagai hukum kebiasaan internasional. Kebijakan Amerika Serikat adalah untuk menerapkan hak dan kebebasan navigasi dan penerbangan secara global sesuai dengan keseimbangan kepentingan yang tercermin dalam Konvensi Hukum Laut.

Program Kebebasan Navigasi (FON) Amerika Serikat, yang secara resmi didirikan pada tahun 1979, secara aktif menentang "klaim maritim yang berlebihan" yang tidak konsisten dengan hukum internasional sebagaimana tercermin dalam UNCLOS. Program ini melibatkan tindakan diplomatik dan, yang penting, "penegasan operasional" oleh unit militer Amerika Serikat untuk secara nyata menunjukkan tekad Amerika Serikat untuk tidak menyetujui klaim yurisdiksi maritim yang berlebihan oleh negara lain. Operasi ini, yang seringkali tidak mendapat sorotan publik, dilakukan di seluruh lautan terhadap klaim yang tidak dapat diterima dari lebih dari 35 negara, dengan laju sekitar 30-40 per tahun. Amerika Serikat secara eksplisit menyatakan bahwa mereka tidak akan "menyetujui tindakan sepihak negara lain yang dirancang untuk membatasi hak dan kebebasan komunitas internasional dalam navigasi dan penerbangan".

Penerapan kebijakan ini terlihat dalam transit rutin kapal Angkatan Laut Amerika Serikat melalui selat internasional, seperti Selat Taiwan, yang dilakukan tanpa meminta izin dari negara pesisir, dengan menegaskan kebebasan navigasi laut lepas. Kehadiran militer Amerika Serikat di acara-acara seperti Pameran Maritim dan Dirgantara Internasional Langkawi (LIMA) 2025 di Malaysia, termasuk kapal induk USS Nimitz yang sebelumnya melintasi Selat Malaka, lebih lanjut menunjukkan komitmen Amerika Serikat terhadap "Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka" dan kebebasan navigasi tanpa hambatan.

Posisi Amerika Serikat yang tidak meratifikasi UNCLOS namun tetap mematuhi sebagian besar aturannya sebagai hukum kebiasaan internasional memiliki implikasi penting. Pendekatan ini memungkinkan Amerika Serikat untuk secara unilateral menegaskan kebebasan navigasi secara global tanpa terikat oleh seluruh kewajiban UNCLOS, seperti mekanisme penyelesaian sengketa atau peraturan eksploitasi dasar laut dalam. Hal ini memberikan fleksibilitas operasional tetapi juga menciptakan posisi hukum yang unik, di mana Amerika Serikat bergantung pada interpretasinya sendiri terhadap hukum kebiasaan, yang mungkin tidak selalu selaras sepenuhnya dengan interpretasi negara lain terhadap perjanjian tersebut.



6. Posisi Indonesia dan Malaysia

Klaim Historis dan Tuntutan Pemberitahuan

Secara historis, Indonesia dan Malaysia telah menegaskan kedaulatan yang kuat atas Selat Malaka, menantang statusnya sebagai jalur air internasional dan mengklaim bahwa ia tunduk pada kontrol mereka. Pada awal 1970-an, kedua negara menyatakan bahwa Selat Malaka bukan jalur air internasional dan hanya mengakui penggunaannya untuk pelayaran internasional sesuai dengan prinsip lintas damai. Menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu, Adam Malik, bahkan menuntut pemberitahuan terlebih dahulu untuk semua kapal perang asing yang ingin melintasi Selat, dan mengklaim bahwa Komandan Armada Ketujuh Amerika Serikat telah memberikan pemberitahuan tersebut. Kepala Staf Angkatan Laut Indonesia juga dilaporkan mengancam akan menyerang kapal selam asing yang memasuki perairan teritorial tanpa izin.

Namun, tuntutan Indonesia untuk pemberitahuan sebelumnya ini tidak dihiraukan oleh kekuatan angkatan laut utama seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet, sebagian karena kurangnya kekuatan penegakan hukum dari negara-negara pesisir pada saat itu. Dokumen Departemen Pertahanan Amerika Serikat (DoD) terbaru masih mencatat "batasan pada lintas jalur laut kepulauan melalui rute normal yang digunakan untuk navigasi internasional" oleh Indonesia, menunjukkan adanya tantangan berkelanjutan oleh Amerika Serikat terhadap beberapa peraturan Indonesia yang dianggap berlebihan.

Kekhawatiran Kontemporer dan Potensi Tantangan

Meskipun rezim lintas transit kini diterima secara luas untuk Selat Malaka, kekhawatiran dari negara-negara pesisir tetap ada, khususnya terkait dengan peningkatan lalu lintas kapal selam bertenaga nuklir. Malaysia telah menyatakan keprihatinan bahwa peningkatan lalu lintas kapal militer asing, terutama kapal selam bertenaga nuklir, dapat mengancam lingkungan laut dan keamanan negara-negara pesisir.

Sebagai respons terhadap kekhawatiran ini, Malaysia telah mempertimbangkan untuk "merekarakterisasi" status selat dari lintas transit menjadi lintas damai yang tidak dapat ditangguhkan. Jika ini terjadi, kapal selam bertenaga nuklir tidak lagi diizinkan untuk berlayar dalam mode normal (yaitu, di bawah permukaan) karena rezim lintas damai mensyaratkan kapal selam untuk muncul ke permukaan dan menunjukkan bendera mereka. Rekarakterisasi semacam ini juga akan memungkinkan Malaysia untuk bertindak terhadap "kapal angkatan laut yang tidak patuh" berdasarkan Pasal 30 UNCLOS.

Namun, rekarakterisasi hukum semacam ini akan sangat kontroversial dan kemungkinan besar akan ditolak oleh negara-negara maritim utama, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Tiongkok, yang akan berargumen bahwa rezim lintas transit di Selat Malaka telah mencapai status hukum kebiasaan internasional. Hal ini menunjukkan adanya potensi titik nyala hukum di masa depan. Meskipun lintas transit diterima secara luas, kekhawatiran lingkungan dan keamanan, terutama dengan teknologi militer canggih, dapat mendorong negara-negara pesisir untuk menuntut reinterpretasi atau rekarakterisasi, menantang definisi "mode normal" yang telah ada.

Kerja Sama Regional dan Ketegangan Kedaulatan

Indonesia dan Malaysia, bersama dengan Singapura, secara aktif terlibat dalam kerja sama keamanan maritim regional, termasuk patroli terkoordinasi dan pertukaran intelijen untuk mengatasi ancaman seperti pembajakan dan kejahatan lintas batas. Peningkatan insiden pembajakan pada awal 2025 telah mendorong penguatan kemitraan pertahanan antara Indonesia dan Malaysia. Amerika Serikat juga memperdalam kerja sama militer dengan Indonesia dan Malaysia, termasuk dalam keamanan maritim.

Meskipun ada kerja sama yang erat dalam menghadapi ancaman umum, terdapat ketegangan yang mendasari antara penegasan kedaulatan negara dan kebutuhan akan kerja sama internasional. Negara-negara pesisir secara historis enggan menyerahkan sebagian kendali kedaulatan mereka atas perairan teritorial dan ZEE mereka, terutama terkait dengan hak lintas yang aman dan bebas bagi kapal, di mana mereka tidak diizinkan untuk campur tangan. Hal ini menunjukkan pendekatan ganda: kerja sama praktis dalam menghadapi ancaman bersama (seperti pembajakan) di mana hal itu menguntungkan semua pihak, sambil mempertahankan sikap tegas terhadap hak-hak kedaulatan, terutama ketika menyangkut ancaman yang dirasakan dari kapal militer atau potensi risiko lingkungan. Ketegangan ini berarti bahwa meskipun ada kerja sama, perbedaan pendapat hukum dan politik yang mendasari mengenai kontrol Selat tetap ada dan dapat muncul kembali, terutama terkait dengan masalah sensitif seperti transit militer.



7. Kesimpulan

Berdasarkan analisis hukum maritim internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), Amerika Serikat tidak diwajibkan untuk meminta izin kepada Indonesia atau Malaysia untuk transit kapal atau pesawat militernya melalui Selat Malaka pada tanggal 15 Juni 2025. Selat Malaka secara tegas diakui sebagai selat internasional yang tunduk pada rezim lintas transit, yang memberikan hak navigasi dan penerbangan tanpa hambatan kepada semua kapal dan pesawat, termasuk militer, dalam mode operasi normal mereka tanpa memerlukan pemberitahuan atau persetujuan sebelumnya.

Meskipun Amerika Serikat bukan pihak yang meratifikasi UNCLOS, ia secara luas menerima ketentuan navigasinya sebagai hukum kebiasaan internasional dan secara aktif menerapkan hak-hak ini melalui Program Kebebasan Navigasinya, secara konsisten menentang klaim maritim yang berlebihan yang membatasi hak lintas transit. Sejarah menunjukkan bahwa upaya Indonesia dan Malaysia untuk memberlakukan persyaratan pemberitahuan sebelumnya untuk kapal perang asing di Selat Malaka tidak dihiraukan oleh kekuatan angkatan laut utama.

Namun, lanskap hukum dan politik di Selat Malaka tetap dinamis. Kekhawatiran yang muncul dari Malaysia mengenai transit kapal selam bertenaga nuklir dan pertimbangan untuk merekarakterisasi rezim navigasi selat menjadi lintas damai yang tidak dapat ditangguhkan merupakan potensi tantangan di masa depan terhadap hak lintas transit yang telah mapan. Meskipun langkah seperti itu kemungkinan besar akan sangat kontroversial dan ditentang oleh negara-negara maritim utama, hal ini menggarisbawahi ketegangan yang berkelanjutan antara kedaulatan negara-negara pesisir dan prinsip kebebasan navigasi internasional di jalur air yang sangat penting ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar