Minggu, 21 Juni 2020

Urang Minang dan Kejatuhan Sistem Khilafah Turkey 1924

Jatuhnya kekhilafah atau dinasti negara Islam di Turkey, 1924, berdampak hingga ke ranah Minang. Masyarakat Minang memiliki perhatian khusus pada pusat Islam tersebut. Dalam sebuah kabar disiarkan bahwa, sultan Turkey tidak hanya diturunkan dari jabatannya tetapi juga diusir dari negaranya sehingga sistem pemerintahannya juga dihapus. Sistem tersebut diganti dengan sistem konstitusi liberal atas pimpinan Mustafa Kemal. 

Kejatuhan sistem ini berdampak pada bagian negara lainnya hingga pada beberapa negara mayoritas muslim di dunia. Termasuk masyarakat Minang atau urang Minang yang merupakan bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Sebagian masyarakat muslim di Minang menanggapi fenomena tersebut dengan cara orang untuk menghadiri forum konferensi tingkat dunia, kongres khilafah di Mesir. Peran tersebut dikordinir oleh organisasi Persatuan Guru Agama Islam. 

Sebuah lembaga keislaman bernama Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) menggalang dana untuk biaya perjalanan utusannya. Utusan tersebut diharapkan dapat mewakilkan emansipasi urang Minang sekaligus merespon terhadap jatuhnya kekhilafahan Turkey. Oleh karena itu, selain penggalangan dana, PGAI juga memilih beberapa tokoh ulama yang cukup cakap membahas dan menghadiri konferensi tersebut.

PGAI mengirim dua utusan terdiri dari ulama besar yakni Haji Abdul Karim Amrullah dan Abdullah Ahmad. Abdul Karim tidak asing lagi dikalangan masyarakat. Beliau tempat urang Minang meminta fatwa dan juga kajiannya yang ramai dihadiri oleh para tokoh agama terkemuka. Keilmuan agamanya tidak diragukan lagi karena beliau pernah belajar langsung dari tuan guru Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi, seorang imam mahzab syafi'i di Mekah. Dari keturunan beliaulah, lahir ulama besar pula yang kita kenal dengan Hamka. 

Abdullah Ahmad merupakan seorang ulama sekaligus pendiri dari PGAI. PGAI didirikan 1919 dengan pimpinan Abdullah Ahmad yang membuat lembaga ini semakin berkembang dan dinamis. Beliau juga tergolong ulama yang cerdik dan juga murit dari Syeikh Ahmad Khatib. 

Pengutusan  dua tokoh tersebut dibekali dengan sejumlah dana yang cukup sekedar ongkos pulang-pergi memenuhi undangan kongres. Ternyata kepergian mereka tidak hanya satu utusan dari Nusantara, ada rombongan H. O. S. Tjokroaminoto yang juga bertolak ke Mesir. Berbeda dengan rombongan Abdul Karim, Tjokroaminoto diutus oleh Sarekat Islam yang berpusat di Surabaya. 

Kongres khilafah di Kairo ternyata terhambat karena pemerintahan baru Mesir tengah menyelenggarakan pemilu. Selain itu terdapat alasan yang sangat mendasar yaitu tekanan dari pemerintahan Inggris untuk mengusut kasus kematian salah seorang jendralnya di Mesir. Dua alasan tersebut membuat kongres di tunda hingga dua tahun. Kongres akhirnya diselenggarakan pada tahun 1926.

Pada hari-hari pemberangkatan, Tjokroaminoto mengganti destinasi tujuannya, awalnya ke Kairo diganti ke Mekah. Karena kabarnya kondisi perang Hijaz sudah reda dan Ibnu Saud, penguasa Hijaz selanjutnya, tetap melanjutkan terselenggaranya Kongres Khilafah di Mekah yang rencananya dilakukan oleh Syarif Husein, penguasa Hijaz sebelum diserang. Berbeda dengan rombongan Abdul Karim, mereka tetap melanjutkan perjalanan ke Kairo, Mesir. 

Selama di Mesir Abdul Karim dikenal sebagai peserta yang cukup menonjol dan tegas dalam sidang. Dan berkat kemampuannya, beliau dianugrahi gelar doktor kehormatan atas nama institusi al Azhar Mesir. Tak jarang ulama Mesir meng kagumi kedalam ilmu beliau tentang fikih dan bahasa arabnya yang fasih. 

Selepas mengikuti konferensi di Kairo, beliau bertolak kembali ke Padang. Kedatangan beliau diterima dan ditunggu oleh segenap masyarakat Minang. Kabar yang beliau sampaikan apa adanya bahwa mengembalikan kondisi kekhilafaan pada kekinian saat itu sudah tidak sangat mungkin. Karena beberapa tanah/negara yang mayoritas muslim dikuasai oleh pejajah yang notabene orang kafir/non muslim. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar