Euforia di Gedung Putih tampaknya berumur sangat pendek. Beberapa hari yang lalu, Donald Trump dan para pendukungnya merayakan apa yang mereka sebut sebagai kemenangan telak: serangan terhadap tiga situs nuklir utama Iran. Dengan retorika yang bombastis, Trump mendeklarasikan bahwa Iran telah dilumpuhkan dan tidak punya pilihan selain menyerah. Namun, pesta kembang api itu ternyata dinyalakan terlalu dini dan, yang lebih parah, dinyalakan secara ilegal.
Trump, dengan keyakinan khas seorang pebisnis yang melihat segala sesuatu sebagai transaksi, tampaknya benar-benar percaya bahwa dengan menghancurkan aset paling berharga Iran, ia bisa memaksa Teheran untuk bernegosiasi. Ini adalah sebuah kesalahan perhitungan yang fatal. Namun, sebelum melihat dampaknya di luar negeri, arogansi ini pertama-tama telah menginjak-injak pilar demokrasi di negerinya sendiri. Terungkap bahwa Donald Trump tidak mengantongi izin dari Kongres AS untuk melancarkan serangan tersebut.
Padahal, aturan main di negeri Paman Sam itu sangat jelas. Undang-undang Kekuatan Perang (War Powers Resolution) mewajibkan Presiden untuk berkonsultasi dan meminta otorisasi dari Kongres sebelum mengerahkan angkatan bersenjata ke dalam sebuah tindakan perang. Dengan mengabaikan Kongres, Trump tidak hanya menunjukkan penghinaan terhadap Iran, tetapi juga terhadap konstitusi dan lembaga legislatif negaranya sendiri. Keputusan untuk berperang diambil secara sepihak, seolah Amerika adalah kerajaan pribadi, bukan sebuah republik demokratis. Aksi ini membuktikan bahwa arogansi Trump tidak mengenal batas, baik di dalam maupun di luar negeri.
Tindakan ilegal di dalam negeri ini segera disambut oleh kenyataan pahit di luar negeri. Guncangan pertama datang di jantung kekuatan militer AS di Timur Tengah. Sirene meraung di Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar saat rudal balistik Iran menghantam targetnya. Ini adalah pesan yang jelas: "Kami tidak takut, dan kami bisa menjangkau kalian." Serangan terhadap Al Udeid, pusat komando CENTCOM, adalah sebuah tamparan keras yang membuktikan bahwa perayaan kemenangan Trump adalah sebuah ilusi.
Seolah itu belum cukup, Iran mengeluarkan kartu trufnya yang paling menakutkan: ancaman penutupan Selat Hormuz. Rencana ini bukan lagi gertakan, melainkan sebuah strategi yang akan mengubah konflik militer menjadi malapetaka ekonomi global. Dengan seperlima pasokan minyak dunia bergantung pada selat ini, penutupannya akan memicu kiamat ekonomi yang dampaknya dirasakan semua negara, termasuk Amerika. Iran tidak hanya menunjukkan mereka siap bertarung, tetapi juga siap menggunakan senjata ekonomi untuk melukai lawannya.
Maka, pertanyaannya kini menjadi jauh lebih berat: Apakah Donald Trump masih merayakan "kemenangannya"? Apakah ada senyum di wajahnya saat para jenderal melaporkan kerusakan di Al Udeid, sementara di saat yang sama para anggota Kongres menyiapkan proses pemakzulan (impeachment) atas pelanggaran wewenangnya?
Pesta telah usai. Realitas telah datang menagih. Serangan terhadap situs nuklir Iran tidak menghasilkan perdamaian, melainkan menyulut sumbu dari sebuah rezim yang terbukti lebih tangguh dari yang diperkirakan. Donald Trump tidak sedang menatap kemenangan; ia sedang menatap dua front peperangan sekaligus: satu melawan Iran yang murka di Timur Tengah, dan satu lagi melawan sistem hukum negaranya sendiri di Washington.