Selasa, 08 Agustus 2017

TUDING, TUDUH, HUKUM, CARA BARU REZIM DIKTATOR


                Kekacauan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan dapat terlihat dari rangkaian upaya dalam pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Hampir sebulan lamanya setelah mengeluarkan Perppu, surat pembubaran sama sekali belum diterima artinya secara hukum HTI tidak memiliki syarat cukup untuk mengajukan gugatan hukum MK. Sulit dipercaya, pemerintah seakan-akan tidak punya profesionalitas dalam menjalankan pemerintahan. Ditengah banyak isu negatif lainnya baik itu naiknya tarif dasar listrik, hak angket, kasus ektp, hingga masalah beras pemerintah seakan memiliki segudang “PR” yang harus di tuntaskan.
                Baru-baru ini akan diadakan suatu diskusi tentang listrik yang lebih tepat saya sebut dengan persekongkolan penguasa dengan intelektual. BEM UI dan BEM FT berkolaborasi membuat suatu panggung meluruskan kesepahaman pemerintah yang akan diaminkan oleh lembaga tersebut. Harus melihat jeli di sini, beberapa pekan yang lalu BEM UI datang pada pansus angket kemudian mencak-mencak menolak ruangan diskusi ber-AC dan mewah. Ditambah lagi mereka menginginkan Pansus Angket bicara di lapangan lepas dan diskusi. Tapi coba lihat sekarang, mereka tengah membuat acara dengan mengundang sejumlah petinggi pemerintah termasuk presiden RI di hotel Borobudur, Jakarta. Hotel yang terbilang mewah tersebut serta undangan pada pejabat tinggi negara seolah hal yang biasa bagi mereka ditengah keadaan rakyat yang terancam dengan kemelarat atas kebijakan yang dinilai memberatkan.
Naiknya TDL sebagai tumbal kedaulatan energi negara ini menjadi tema diskusi yang tidak akan mengubah apa-apa terhadap nasib rakyat. Kemana lembaga yang pro rakyat tahun 1998 itu berada? Adakah lembaga di UI yang masih menjadikan ini sebagai masalah atau malah ikut bersekongkol dengan penguasa? Ditengah tanda tanya itu kita melihat ada seakan penyingkiran pihak yang mengkritik pemerintah dan merangkul pihak yang sejalan dengan pemerintah. Seperti HTI dan FPI sebagai hadiah dari abad reformasi ini malah dikriminalisasi. BEM UI dijadikan gandengan karena konsistensi per periode lembaga ini terombang ambing.
Pemerintah seakan ingin menjadikan dirinya sebagai petarung tunggal yang tidak melihat kebawah apalagi ke atas. Inilah yang disebut dengan otoriter pemerintahan yang lebih buruk dari zaman kolonial sekalipun. Indikasinya dilengkapi dengan ambang batas presiden 20-25% sehingga akan menjadi suatu kemungkinan pemerintah periode selanjutnya tidak akan berubah. Hanya tinggal dua kemungkinan yang terjadi pada periode selanjutnya yaitu munculnya gerakan penolakan rakyat atau dibungkamnya kritik rakyat dengan tuduhan tidak Pancasilais serta sanksi pidana. Kondisi bisa jauh lebih parah dari masa Orde Baru karena contohnya untuk anggota HTI saja paling ringan akan kena hukuman 20 tahun penjara.
Gejala-gejala tudingan dan gangguan pada pihak yang berseberangan dengan pemerintah telah terlihat. Beberapa kejadian kriminal tidak asing lagi menghiasi layar kaca kita. Haruskan itu disebut suatu kebetulan? sedangkan tindakan yang mengancam nyawa tokoh tertentu ditakuti oleh pemerintah. Terdapat beberapa kemungkinan yang pemerintah inginkan dari kondisi yang telah terjadi saat ini. Pertama berdamai serta mengabaikan kritik masalah pemerintahan. Kedua mengancam dengan sanksi pidana atau tindakan gangguan/persekusi yang berbahayakan nyawa.

Ingin sekali saya selaku penulis salah dalam menganalisa kondisi politik yang terjadi saat ini. Seandainya pemerintah mengeluarkan pernyataan tentang kondisi saat ini dengan suka cita tentu saya bisa paham dan sadari tindakan yang tengah dilakukan. Tapi ini lah yang terjadi, inilah kondisi yang ada, serta inilah beberapa anlisis keadaan politik dan kemungkinan terbaik untuk kondisi yang akan datang. Selamat datang dunia tuding, tuduh, dan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar