Selasa, 05 Maret 2013

Laporan Bacaan untuk Sejarah Politik Luar Negeri AS di Timur Tengah




Nama: Bisamz Novtiandi               (1006773704)
            Ilham                                ()
            Jonathan Nainggolan         ()
Topik: Krisis Irak 2003

Kajian Teoritis dan Historis Krisis Irak:
Operasi militer yang terjadi di Irak masih terus menjadi perdebatan bagi para akademisi walaupun telah berlalu sejak tahun 2003 silam. Keputusan untuk berperang melawan Irak seolah menciptakan puzzle dengan tanda tanya besar bagi Dunia Internasional, terutama terkait faktor determinan yang mempengaruhi politik luar negeri Amerika Serikat pada awal abad 21. Selain belum jelasnya intensi serangan, operasi militer menyisakan laporan mengenai besarnya cost (meliputi biaya dan korban) yang harus ditanggung untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein. Tidak hanya itu, nihilnya penemuan senjata nuklir mengejutkan dunia internasional yang diklaim sebelumnya bahwa rezim agresif Saddam Husein sedang menginstalasi senjata nuklir. Pembahasan puzzle yang belum terpecahkan tersebut pada akhirnya membuat isu ini menjadi signifikan untuk dibahas secara lebih mendalam. Sehingga, fokus tulisan ini berusaha menjawab research question: bagaimana aksi-reaksi kebijakan luar negeri AS-Irak periode 1990-2003? Untuk menjawab pertanyaan ini, pembahasan dibagi menjadi dua struktur. Pertama, kajian teoritis faktor determinan invasi Irak dari teori kebijakan luar negeri. Ke-dua, kajian historis mengenai kronologi peristiwa penting sampai dengan terjadinya operasi militer.
A.     Perumusan Kebijakan Luar Negeri Vs  Faktor Determinan Invasi Irak
Jika dicermati, penjelasan para ahli mengenai intensi Amerika Serikat yang ‘pada akhirnya’ mengeluarkan kebijakan luar negerinya untuk campur tangan menjatuhkan rezim yang berkuasa tidak dapat dirumuskan dalam satu skenario. Awalnya Kongres melalui beberapa dokumen yang dirilis pada bulan September 2002 dan Februari 2003 menyatakan bahwa Amerika Serikat memutuskan untuk melakukan operasi militer atas pertimbangan kepemilikan senjata pemusnah massal yaitu senjata kimia dan biologis (terutama spekulasi program nuklir Irak).[1] Hal ini menjadikan rezim Saddam Hussein sebagai diktaktor kejam (evil dictactor) akibat tidak mematuhi resolusi PBB berdasarkan dua dokumen yang diperoleh dari laporan intelejen, yang kemudian disebut September Dossier dan February Dossier.[2] Dalam perkembangannya kemudian, ditemukan juga penjelasan lain terkait isu stabilitas minyak, perang terhadap terorisme global, ancaman secara khusus terhadap stabilitas Timur Tengah dan secara umum terhadap keamanan internasional[3], demokratisasi atau bahkan muncul wacana dendam pribadi keluarga Bush.
Kebijakan Luar Negeri Versi Kongres (Bisamz)


Preventive War Vs Unnecessary War
Secara teoritis, keputusan untuk berperang dengan Irak didasarkan oleh penilaian yang ‘dilebih-lebihkan’ oleh penganut preventive war yang mengajukan beberapa klaim.[4] Pertama, kepemilikan senjata pemusnah massal yaitu Chemical Weapon dan Biological Weapon dan proliferasi senjata nuklir.[5] Ke-dua, Saddam Hussein merupakan evil aggressor yang cenderung irasional jika dicermati dari Perang Irak-Iran dan Irak-Kuwait.[6] Ke-tiga, dengan karakteristik yang irasional, Saddam dapat mentransfer nuklirnya pada kelompok teroris seperti Al Qaeda yang tentu bersebrangan dengan Amerika Serikat.[7]
Mearsheimer dan Walt secara implisit telah ‘membantah’ kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) untuk melakukan Operasi Militer di Irak sejak Februari 2003, satu bulan sebelum tentara AS tiba di Irak. Preventive war menyatakan bahwa rezim Saddam Hussein dengan karakteristik nekat, kejam dan tidak sepenuhnya rasional ketika ditambah dengan kepemilikan senjata nuklir menjadikan kombinasi yang sulit diprediksi, dicegah dan mengancam kepentingan Amerika Serikat. Sedangkan Merasheimer dan Walt menngungkapkan bahwa jika dikilas-balik pada masa lampau, walaupun Saddam Hussein kejam namun dapat ditangkal (deterrable).[8] Argumentasi tersebut meliputi tiga penjelasan yang akan dibandingkan. Pertama, Karakteristik aggressor Saddam Hussein. Kedua, Keberadaan senjata pemusnah massal Irak. Ketiga, Transfer teknologi nuklir pada teroris (Nuclear Terrorisme).
Pertama, penganut preventive war berpendapat bahwa rezim Saddam Hussein dengan sifatnya yang kejam, nekat dan tidak sepenuhnya rasional mengakibatkan Irak tidak dapat ditangkal walaupun dengan ancaman kredibel[9]. Di lain pihak, Mearsheimer mengungkapkan bahwa melihat ‘perilaku’ Saddam Hussein pada dua perang masa lalu yaitu antara Irak dan Iran serta Irak dan Kuwait menegasikan bahwa ia bersifat kejam dan nekat.[10] Agresi yang dilakukan Irak dalam perang melawan Iran merupakan bentuk rasionalitas dikarenakan strategi untuk mengamankan Irak dari dominansi regional Iran atas mobilisasi etnis Kurdi dan Shiah untuk menjatuhkan rezimnya. Sedangkan dalam agresi Kuwait, Saddam melakukannya atas dasar kepentingan nasional Irak yaitu Kuwait enggan memberikan bantuan pada Irak yang terkena depresi ekonomi. Tidak hanya itu, sejarah juga membuktikan bahwa Irak dapat ditangkal. Pada saat Perang Teluk, Irak tidak meluncurkan senjata pemusnah massal (senjata biologis atau kimia) dikarenakan ambiguitas dan khawatir akan serangan balasan dari pemerintah Bush. Selanjutnya, ketika PBB memperingatkan keberadaan tentara Irak di Kuwait dan penambahan pasukan AS, Irak menarik-mundur pasukannya dari perbatasan. [11]
Kedua, paham preventive war menyebutkan bahwa Saddam telah menggunakan senjata pemusnah massal terhadap rakyatnya (Kurdi), Iran, dan dimungkinkan menyerang Amerika Serikat. Faktanya Mearsheimer-Walt menunjukkan bahwa sekali lagi Irak dapat ditangkal oleh Amerika Serikat. Penggunaan senjata pemusnah massal (senjata biologis atau kimia) Irak hanya digunakan pada lawan yang tidak memiliki senjata ini. Perhitungan ini menjadi berbeda jika Irak nekat menyerang Amerika Serikat yang dapat membalas serangan yang lebih besar.[12]
Ketiga, penganut preventive war juga memprediksi bahaya transfer teknologi senjata pemusnah massal Irak kepada kelompok teroris seperti Al Qaeda. Poinnya adalah kelompok ini bersifat lebih nekat dan irasional untuk menyerang Amerika Serikat. Pendapat berbeda disampaikan Mearsheimer-Walt bahwa terorisme nuklir kecil kemungkinannya terjadi, atau yang disebut nuclear handoff. Hal ini berdasarkan dua argumen,[13] pertama, transfer kepada teroris tidak akan menambah keamanan rezim Saddam, kedua, jika transfer telah dilakukan Saddam tidak dapat mendikte kelompok teroris untuk menargetkan serangan.
Dari tiga penjelasan di atas, dapat dicermati bahwa rezim Saddam Hussein yang kejam masih dapat ditangkal (deterrable), terutama kemungkinan serangan terhadap kepentingan Amerika Serikat. Sehingga operasi militer yang dilakukan merupakan Perang yang Tidak diperlukan (An Unnecessary War).
Pergantian Euro sebagai Mata Uang dalam Perdagangan Minyak


Cadangan Minyak (Jonathan)

Demokrtatisasi (jonathan)

Pendapat lain: Dendam Keluarga Bush (Jonathan)


B.     Kronologi Krisis Irak Periode 1990-2003 (Ilham)
-         Perang Irak-Kuwait
-         Keputusan AS tidak dilegitimasi oleh PBB
-         dll
C.     Akhir dari Operasi Militer Irak (Dampaknya)
-         Akibat dan dampaknya, siapa yang menang? (Ilham)
-         Cost (biaya dan korban) yang ditimbulkan (Jonathan)
-         Tidak ditemukannya senjata nuklir. Diungkapnya laporan CIA (bisamz)





[1] House of Common Foreign Affairs Committee, The Decision to Go to War in Iraq, Ninth Report Of Session 2002-2003, Volume I, The House of Common, July 2003, hlm. 9.
[2] Ibid, hlm. 7-9.
[3] Devon M. Largio, Uncovering Rationale for War on Iraq: The Words Of Bush Administration, Congress, and The Media,  from September, 12, 2001 to October, 11, 2002, Thesis for Degree of Bachelor of Art in Political Science,  College of Liberal Art  and Science, University of Illinois, 2004, hlm. 29.
[4] John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt, “An Unnecessary War”, dalam Foreign Policy, January-February 2003, hlm. 58. Diunduh dari http://mearsheimer.uchicago.edu/pdfs/A0032.pdf pada 10 November 2012.   
[5] Ibid. hlm. 52.
[6] Ibid. hlm. 53-54.
[7] Ibid. hlm. 57.
[8] John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt, Op.Cit, hlm.50.
[9] Ibid, hlm. 52.
[10] Ibid, hlm. 53-54.
[11] Ibid. hlm. 55
[12] Ibid. hlm. 55-56.
[13] Ibid. hlm. 57-58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar