PENETRASI ISLAM (ISLAMISASI)
DI BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA
PERIODE ABAD 13 - 15
Dewi Saraswati 1106056806
Dian Vinie Fabyola 1106056831
Ilhamdi 1106056964
Katri Adiningtyas 1106008694
Muhammad Syahrir 1106005276
Nadia Nur Indriany 1106007073
Sisca Ameliawati
Rudy 1106056844
Zulkifli 1106056822
FAKULTAS
ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS
INDONESIA
2012
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
BAB I 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 1
1.3 Ruang Lingkup Penelitian 1
1.4 Tujuan
Penelitian 2
1.5 Metode
Penelitian 2
1.6 Sumber
Penelitian 2
1.7 Sistematika
Penulisan 2
BAB
II 3
PERIODE AWAL MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
A. Islam Masuk ke Barus 3
B. Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke-7 3
C. Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke-11 4
D. Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke-13 4
BAB
III 6
PROSES
DAN SALURAN MASUKNYA ISLAM DI JAWA, SUMATERA, SULAWESI, KALIMANTAN, DAN MALUKU
A. Proses Islamisasi di Jawa 7
B. Proses Islamisasi di Sumatera 10
C. Proses Islamisasi di Sulawesi 13
D. Proses Islamisasi di Kalimantan 14
a.
Proses Islamisasi di Wilayah Kalimantan Selatan 15
b.
Proses Islamisasi di Wilayah Kalimantan Timur 17
E.
Proses
Islamisasi di Maluku 18
BAB
IV 20
PENGARUH ISLAM DALAM BERBAGAI ASPEK
KEHIDUPAN
A.
Pengaruh Islam di Bidang Bahasa 20
B.
Pengaruh Islam di Bidang Pendidikan 21
C.
Pengaruh Islam di Bidang Arsitektur dan Kesenian 21
BAB
V 23
KESIMPULAN
LAMPIRAN 24
DAFTAR
PUSTAKA 25
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Penyebaran Islam ke Indonesia terjadi lewat kontak
yang terjadi antara pedagang-pedagang Muslim yang sebagian besar berasal dari
Arab, Persia, dan India. Interaksi antara pedagang-pedagang tersebut
mengarahkan kepada ketertarikan penduduk lokal terhadap Islam yang tanpa kasta.
Dapat dipastikan Islam sudah ada di negara bahari Asia Tenggara sejak awal
zaman Islam. Dari masa Khalifah Ketiga, ‘Utsman (644-56), utusan-utusan Muslim
dari Tanah Arab mulai tiba di istana Cina. Kontak-kontak antara Cina dan dunia
Islam itu terpelihata terutama lewat jalur laut melalui perairan Indonesia.[1]
1.2 Perumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah Penetrasi
Islam di Berbagai Daerah di Indonesia periode abad 13 sampai dengan abad 15. Untuk memfokuskan tema permasalahan pada
perkembangan tersebut, maka diajukan tiga pertanyaan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
gambaran umum masyarakat Jawa kala itu sehingga proses Islamisasi
dapat terjadi?
2.
Bagaimana proses Islamisasi itu dapat
berlangsung di berbagai daerah di Indonesia?
3.
Bagaimana kehadiran Islam di Indonesia
dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat tradisional Indonesia
kala itu?
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas tentang Penetrasi Islam di
Berbagai Daerah di Indonesia periode abad 13 sampai dengan abad 15.
Pemilihan abad 13 sebagai batas awal penulisan, karena
Islam mulai populer di nusantara pada periode tersebut. Abad 15 diambil sebagai batas akhir penelitian dikarenakan
pada abad
ini Islam mulai mendapatkan massa yang cukup besar dan sudah menjadi suatu
peradaban baru.
1.4 Tujuan
Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan: Pertama, untuk memberikan gambaran
sejarah
masuknya Islam di Indonesia dan bagaimana pengaruhnya, khususnya pada periode abad 13
sampai dengan abad 15.
Kedua, penelitian ini dengan segala
keterbatasannya ingin hadir sebagai bentuk pengetahuan tambahan dari sejarah
Islam di Indonesia yang kemudian memunculkan suatu kekuatan baru yang
menggantikan Majapahit, yaitu Kerajaan Demak.
1.5 Metode
penelitian.
Metode yang digunakan dalam
peneliatian ini adalah metode sejarah. Metode sejarah adalah proses
menganalisis sumber-sumber sejarah melalui tahap-tahap heuristik, kritik
sumber, interpretasi, dan histiriografi. Pada tahap heuristik dilakukan upaya
untuk menemukan sumber sejarah yang tersebar dan terdifersifikasi. Kritik
sumber adalah upaya untuk mendapatkan otensitas dan kredibiliats sumber.
Interpretasi adalah proses pemberian makna terhadap data-data yang telah di
kritik sehingga jelas validitas dan relevansinya. Historiografi adalah
rekonstruksi imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang diperoleh
dengan menempuh proses.
1.6 Sumber
penelitian
Sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian sumber sekunder. Sumber
sekunder yang digunakan
dalam penulisan ini adalah buku-buku.
1.7 Sistematika
penulisan
Penulisan penelitian ini dibagi menjadi tiga bab yang terdiri atas:
Bab I
adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang gambaran umum mengenai masalah yang
dibahas tentang Penetrasi Islam di Berbagai Daerah di
Indonesia periode abad 13 sampai dengan abad 15.
Bab II membahas tentang
periode awal masuknya Islam ke Indonesia.
Bab
III membahas tentang proses dan saluran masuknya Islam di Jawa, Sumatera,
Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku.
Bab
IV membahas tentang pengaruh Islam terhadap berbagai bidang kehidupan
masyarakat tradisional Indonesia kala itu.
Bab V yaitu kesimpulan dari seluruh penelitian.
BAB
II
PERIODE
AWAL MASUKNYA ISLAM KE NUSANTARA
Islam menjadi agama
perubahan karena kedatangannya ke Nusantara karena Islam mampu memberi
pencerahan bagi ummat di Nusantara yang saat itu masih banyak yang menyembah
berhala. Islam datang ke Nusantara menghadapi adat dan kebiasaan masyarakat yang
berbeda-beda dan jauh dengan ajaran Islam seperti situasi politik dan sosial
yang saat itu sangat di dominasi oleh kepercayaan-kepercayaan mistis. Berikut
akan menjelaskan proses Islam masuk di Nusantara.
Masuknya Islam ke
Nusantara sampai saat ini masih diperdebatkan karena tidak banyaknya
data-datanya yang mendukung dan bisa dilacak. Pertanyaan awal yang menjadi
pertanyaan adalah definisi dari kata “masuk” islam ke Nusantara.
1.
Dalam
arti sentuhan (ada hubungan dan ada pemukiman Muslim).
2.
Dalam
arti sudah berkembang adanya komunitas masyarakat Islam.
3.
Dalam
arti sudah berdiri Islamic State (Negara/kerajaan Islam).
Beberapa pendapat
pernah dilontarkan oleh beberapa ahli terkait dengan awal masuknya Islam ke
Nusantara. Di antaranya sebagai berikut:
A.
Islam
masuk ke Barus[2]
Papan tinggi adalah
sebuah pemakaman di Bandar Barus, pantai Barat Sumatera Utara, maka disalah
satu “batu nisan” di situ terdapat sebuah nama Said Mahmud Al Hadramaut.
Menurut naskah tangan yang terdapat di Museum Jakarta, bahwa Syeh Said Mahmud
ini keluarga Rasulullah Muhammad SAW. Syeh Said Mahmud diceritakan bahwa dia
meng-Islamkan Raja Guru Marskot, Raja Batak Islam pertama di Barus. Kedatangan
Said Mahmud dari arab ke Barus beum diketahui dengan pasti.
B.
Islam
Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7
1. Seminar yang berlangsung di banda
aceh pada tahun 1978 tentang masuk dan berkembannya islam di Indonesia
menghasilkan suatu kesimpulan bahwa kerajaan Islam pertama adalah perlak,
lamuri, dan pasai yang berdasarkan makalah prof. A. Hasjmy.[3]
2. Pendapat Harry W. Hazard dalam Atlas
of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia
pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah
di sumatera dalam perjalannya ke China.
3. Pendapat Gerini dalam Futher India
and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah
ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
4. Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam
Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian
Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di
kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
5. Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam
Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin
Arab telah masuk ke Malaya.
6. Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar,
dalam makalah ceramahya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan
Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin
India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
7. W.P. Groeneveld dalam Historical
Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa
pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke
Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim).
8. T.W. Arnold dalam buku The Preching
of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa
Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).
C.
Islam
Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11
Satu-satunya
sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik,
yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat
prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082).
D.
Islam
Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13
a.
Catatan
perjalanan marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam
Ferlec (mungkin Peureulack) di aceh, pada tahun 1292 M.
b.
K.F.H.
van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase
(mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
c.
J.P.
Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk
Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke 13.
d.
Beberapa
sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih
cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13,
berdasarkan saudah adanya beberapa kerajaaan islam di kawasan Indonesia.
Sementara itu ada juga
beberapa para ahli yang menyampaikan beberapa teorinya terkait dengan
kedatangan Islam di Nusantara, yaitu:
1.
Teori Pertama,
diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari
wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan
Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara. Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut
didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang
ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga
mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara
wilayah Nusantara dengan daratan India.
2.
Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia
disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini
berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat
Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang
dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah.
Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang
berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung
lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari
Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya. Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan
wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.
3.
Teori
ketiga, adalah berasal dari
arab sendiri yang menyetakan bahwa expedisi Islam telah terjadi sejak abad ke 7
M atau abad 1 hijriyah yaitu saat khulafaur rasyidin masih memerintah. Teori
ini memberikan pemehaman bahwa Islam datang langsung dari tanah Mekah dan
Madinah yang dibawa oleh para pendakwah.
BAB III
PROSES
DAN SALURAN MASUKNYA ISLAM DI JAWA, SUMATERA, SULAWESI, KALIMANTAN, DAN MALUKU
Setelah Islam masuk ke
Nusantara melalui beberapa perantara dapat dipastikan bahwa Islam menjadi agama
yang dicintai oleh masyarakat di Nusantara pada saat itu, hal ini terbukti dari
banyaknya peninggalan sejarah masa Islam di Nusantara yang berdomisili sebagian
banyaknya di pulau Sumatera dan Jawa. Pulau Kalimantan dan Sulawesi juga
mengalami hal yang serupa, kebanyakan yang membawa Islam kesana adalah para
ulama dan kyai dari Sumatera dan Jawa, akan tetapi semangat mereka akan
menjadikan Islam sebagai suatu landasan bentuk negara sangat kuat maka tak
heran munculnya berbagai kesultanan di sana.
Sumber-sumber literatur Cina menyebutkan,
menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di
pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan,
orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk
komunitas-komunitas Muslim.
Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari
Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Seperti pada masa Dinasti
Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti
Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7
sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.
Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina
perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga
mengunjungi Zabaj atau Sribuza
atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan
Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah
masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan
menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.
Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah
dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau
menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang
alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak
Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.
Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan
peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai-Aceh menjadi kerajaan Islam pertama
yang dikenal dalam sejarah.
Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga
dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah
Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari
orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah
sendiri Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke
Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai
pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu.[4]
Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan
pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad awal
perhitungan hijriah. Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa menjadi
kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak, Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon.
Proses dakwah yang panjang, yang salah
satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja
sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat Muawiyah bin Abu
Sofyan.
Peranan Wali Songo dalam perjalanan
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh
disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan
dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah
Jawa yang paling terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan
dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.
Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang
nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah
ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah.
Dari wilayah Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke
Nusatenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.
F.
Proses Islamisasi di Jawa
Karena Indonesia
memiliki titik-titik pangsa dagang yang amat diminati oleh para pedagang, hal
ini mengakibatkan Indonesia menjadi sebuah perkumpulan dan perpaduan
budaya-budaya dunia yang dibawa oleh para pedagang. Pedagang-pedagang Islam
khususnya, yang berasal dari Arab, India ataupun Persia, telah menetap di
Indonesia bahkan sebelum Islam menjadi agama yang populer di kalangan
masyarakat lokal. Pedagang-pedagang Islam dari Arab, Persia, dan India sudah
berdagang di Indonesia sejak abad ke-7 M, atau saat Islam mulai berkembang di
Timur Tengah.[5]
Masyarakat pribumi yang
berada dalam kepulauan Indonesia mulai memeluk Islam pada abad ke-13.
Masyarakat Muslim tersebut telah tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
Bukti-bukti adanya masyarakat Muslim ini dapat ditemukan melalui
prasasti-prasasti atau biasanya nisan kubur dengan huruf Arab di atasnya.[6] Di
Jawa, makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) bertuliskan angka 475 H
(1082 M). Para ahli sejarah berpendapat bahwa Fatimah binti Maimun ini adalah
istri dari seorang pedagang asing Muslim yang kebetulan sedang berdagang di
Jawa. Di bagian Utara Sumatera ke udian ditemukan nisan dari Sultan Sulaiman
bin Abdullah bin al-Basir yang diperkirakan merupakan bukti dari adanya suatu
Kerajaan Islam di Aceh sekaligus bukti dari hadirnya Islam di Indonesia pada
abad 13.
Catatan dari Tome Pires
(Portugis) dan Marcopolo (musafir Venesia), dalam catatannya mengatakan bahwa
adanya perkampungan Islam di bagian Utara Sumatera. Marcopolo sendiri mengenal
Perlak sebagai sebuah kota Islam. Seorang musafir Maroko, Ibn Battuta, dalam
perjalanannya menuju Cina saat melewati wilayah nusantara mendapati bahwa
penguasanya merupakan pengikut mazhab-fikih Syafi’i. Dalam bukunya Suma Oriental, Tome Pires menyebutkan
bahwa sebagian besar raja-raja di Sumatera telah beragama Islam, namun daerah
Jawa Barat yang saat itu masih dikuasai oleh kerajaan Hindu-Buddha yaitu
Kerajaan Pajajaran, malah memusuhi Islam.[7]
Makam-makam Islam yang
berada di situs-situs Majapahit menunjukkan bahwa Islam hadir ketika Majapahit
sedang berada dalam puncak kejayaannya. Dan kemudian Islam berkembang akibat
hegemoni Majapahit yang mulai runtuh akibat perang perebutan kekuasaan antara
Wikramawhardana dan Bhre Wirabumi, sepeninggal Gajah Mada (1364 M) dan Hayam
Wuruk (1389 M). [8]
Di Jawa, penyebaran
agama Islam dihadapkan kepada dua jenis lingkungan budaya Kejawen, yaitu
lingkungan budaya istana (Majapahit)
yang telah menyerap unsur Hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih
hidup dalam bayang-bayang animisme-dinamisme, dan hanya lapisan luarya saja
yang terpengaruh oleh Hinduisme. Disebutkan dalam Babad Tanah Jawi bahwa raja
Majapahit kala itu menolak kehadiran agama baru tersebut. Sehingga kemudian
para pendakwah menyebarkan Islam lebih menekankan dakwahnya kepada
masyarakat-masyarakat pedesaan.[9]
Islam sulit diterima
oleh kalangan istana karena budaya Hindu mereka yang mengenal kasta. Sedangkan
Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat pedesaan karena mereka ingin hidup
terlepas dari kasta yang selama ini membelenggu mereka. Mereka yang
disebut-sebut sebagai kawula bisa diperlakukan sama dan setara dalam Islam.
Penyebaran Islam pun bersifat damai dan represif sehingga agama ini lebih mudah
diterima oleh masyarakat.
Islam dan penyebarannya
datang dengan cara yang sangat damai. Jika di istana sedang terjadi kericuhan,
Islam dijadikan sebagai suatu senjata politik bagi kaum-kaum yang berkehendak
atas kekuasaan tersebut. Bagi mereka hal tersebut bukan semata hanya untuk
menyebarkan agama, tapi juga secara politis mereka ingin menguasai kerajaan di
sekitar dan melakukan ekspansi-ekspansi wilayah.
Uka Tjandrasasmita
berpendapat bahwa ada enam saluran islamisasi yang berkembang di Indonesia,
yaitu saluran perdagangan, saluran perkawinan, saluran tasawuf, saluran
pendidikan, saluran kesenian, dan saluran politik.[10]
Uka Tjandrasasmita
menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau
Jawa yang ketika itu penduduknya masih kafir. Lalu mereka membangun
masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah sehingga para penduduk menjadi
mudlim dan orang Jawa yang kaya.
Para pedagang Muslim
memiliki status ekonomi jauh lebih tinggi daripada penduduk pribumi, sehingga
mereka menikahkan putri-putri mereka kepada para pedagan tersebut dan akhirnya
mereka pun ikut masuk Islam. Sehingga kemudian timbulah kampung-kampung Islam
yang semakin meluas.
Para pengajar tasawuf
atau sufi ada yang mengawini bangsawan setempat, sehingga kemudian teosofi yang
mereka ajarkan dengan bentuk Islam tersebut mudah dimengerti dan diterima oleh
masyarakat yang sebelumnya telah mengenal agama Hindu.
Islamisasi juga
dilakukan dengan pendidikan. Setelah melalui pendidikan di pesantren atau
pondok-pondok mereka akan kembali ke kampung halaman masing-masing dan kemudian
turut menyebarkan agama Islam.
Dalam saluran kesenian,
wayanglah yang paling terkenal. Sunan Kalijaga yang paling mahir melakukan
pertunjukkan, tidak meminta bayaran kepada para penontonnya, ia hanya meminta
mereka untuk mengucapkan syahadat sehingga secara resmi mereka telah masuk
Islam.
Dari segi politik di
Jawa ataupun Sumatera, yang terjadi setiap kerajaan Islam memerangi kerajaan
non-Islam dan kemudian kerjaan non-Islam tersebut kalah, maka mereka secara
politis telah membawa kerajaan dan
pengikutnya tersebut untuk memeluk Islam.
G.
Proses
Islamisasi di Sumatera
Kondisi politik
masing-masing daerah saat Islam masuk di tiap daerah berbeda-beda, sebagai
contoh sistem pemerintahan kerajaan Siak sebagai sistem pemerintahan lokal yang
otonom. Pemerintahan di Kerajaan Siak di pecah kedalam suku-suku kecil seperti
Suku Batung, Suku Berombong, Suku Delima dan lain-lain yang berjumlah 73 suku.
Masing-masing suku dipimpin oleh kepala suku yang di sebut Batin. Sultan tidak dapat ikut campur sesuka hatinya apa lagi
bentuk kehidupan masyarakat yang “Tradisi-Konvensional”.
Islam masuk di daerah
Sriwijaya dapatlah dipastikan pada abad ke-7. Ini mengingat cerita buku sejarah
Cina yang menyebutkan bahwa Dinasti T’ang yang memberitakan utusan Tacher
(sebutan untuk orang arab) ke Lingga pada tahun 674 Masehi. Karena Sriwijaya
sering di kunjungi oleh pedagang arab dalam jalur perdagangan, maka Islam saat
itu menrupakan proses awal Islamisasi. Sesuai dengan berita Cina di zaman T’ang
tersebut telah adanya pemukiman kampung arab di pantai barat Sumatera.[11]Ini
memberi keyakinan kepada kita bahwa dengan kutipan di atas agama Islam telah
masuk di daerah Sumatera Selatan pada masa kekuasaan Dapunta Hyang Sriwijaya.
Sumatera
merupakan wilayah pertama di Nusantara yang berinterkasi dengan Islam. Disini,
secara sederhana bisa dikatakan berawal dari komunitas masyarakat yang pada
akhirnya membukasebuah wilayah dan mengangkat seorang tokoh berpengaruh untuk
kemudian menjadi pemimpin komunitas masyarakat tersebut. Alasan mendasar
mengapa wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan
wilayah yang menjadi titik perhatian adalah hasil bumi yang dijual di daerah
tersebut memiliki kemenarikan bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan
penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal
dari Maluku, dipasarkan di Sumatera, untuk kemudian di jual kepada pedagang
asing. Hal ini menjadi cikal bakal proses Islamisasi di Sumatera. Menurut J.C
van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat diperkirakan bahwa
sejak 674 M ada koloni-koloni Arab di
barat laut Sumatera, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur barus.[12]
Munculnya
kekuasaan Islam telah dirintis pada periode abad 7-8 M, namun hal itu belum
terlalu signifikan dikarenakan hegemoni maritim Sriwijaya yang berpusat di
Palembang dan kerajaan Hindu di Jawa, seperti Singasari dan Majapahit. Pada
masa ini para pedagang, ahli-ahli dan mubaligh Islam membentuk
komunitas-komunitas Islam. Mereka mengajarkan ajaran-ajaran Islam yang
menekankan persamaan dan toleransi antar sesama umat. Ajaran ini sungguh
berbeda dengan ajaran agama Hindu yang lebih menekankan adanya perbedaan
derajad antar manusia. Ajaran ini menarik perhatian masyarakat Indonesia pada
masa itu, terlebih lagi Islam disebarkaan dengan cara damai. Hal ini yang
membuat ajaran agama Islam bisa berkembang dengan cepat.[13]
Pada
abad ke-7 sampai abad ke-10, kerajaan Sriwijaya meluaskan daerah kekuasaannya ke
daerah Semenanjung Malaka dampai Kedah. Datangnya orang-orang Muslim ke daerah
tersebut belum terlihat dampak-dampak politiknya, karena memang pada dasanya
tujuan mereka datang yakni untuk berdagang.
Keterlibatan orang Muslim terlihat pada abad ke-9 dengan adanya
peristiwa pemberontakan petani-petani terhadap kekuasaan Dinasti T’ang pada
masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889M). Akibat dari pemberontakan ini,
banyak orang Muslim yang dibunuh. Sebagian lainnya lari ke Kedah, wilayah yang
masuk kekuasaan Sriwijaya, bahkan ada yang ke Palembang dan membuat
perkampungan musilim di daerah tersebut[14].
Pada
abad ke-13, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Hal tersebut dikarenakan
adanya ekspedisi Pamalayu yang dilakukan oleh kerajaan Singasari pada tahun 1275.
Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan pula oleh pedagang-pedagang muslim untuk
mendapatkan keuntungan politik dan perdagangan. Mereka mendukung daerah-daerah
yang akan muncul dan menyataakan diri sebagai kerajaan Islam, yaitu kerajaan
Samudra Pasai di pesisir Timur Laut Aceh. Daerah ini sudah disinggahi
pedagang-pedagang Muslim sejak abad 7 dan abad ke-8. Hal itu membuktikan bahwa
proses islamisasi telah berjalan sejak saat itu. Kerajaan Samudra Pasai dengan
segera berkembang biak dalam bidang politik maupun perdagangan.
Setelah
kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan masyarakat Muslim di Malaka makin lama
makin meluas dan pada awal abad ke-15 M, di daerah ini lahir kerajaan Islam,
yang merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara. Laju perkembangan masyarakat
Muslim ini berkaitan erat dengan keruntuhan Sriwijaya. Malaka merupakan pusat
perdagangan yang paling penting di kepulauan bagian barat, dan oleh karenanya
menjadi pusat bagi orang-orang muslim asing, dan tampaknya menjadi penopang
penyebaran agama Islam[15].
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511 M), Mata rantai pelayaran beralih
ke Aceh, yakni kerajaan Islam yang akan melanjutkan kejayaan Samudra Pasai[16].
Pada masa inilah dimulai proses Islamisasi di Nusantara yang lebih cepat
dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Menurut
H.J de Graff, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian wilayah
Aceh dan pergantian agama diperkirakan terjadi mendekati pertengahan abad
ke-14. Menurutnya kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil,
yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kamal[17].
Untuk menghindari gangguan Portugis yang menguasai Malaka, untuk sementara
waktu kapal-kapal memilih berlayar menelusuri pantai Barat Sumatera. Aceh
kemudian berusaha melebarkan kekuasaannya ke Selatan sampai ke Pariaman dan
Tiku. Dari pantai Sumatera, kapal-kapal memasuki Selat Sunda.
Berdasarkan
berita Tome Pires (1512-1515), dalam Suma
Oriental, dapat diketahui bahwa daerah-daerah di sekitar pesisir Sumatra Utara dan timur
Selat Malaka, yaitu dri Aceh sampai Palembang sudah banyak terdapat masyarakat
dari kerajaan-kerajaan Islam. Akan tetapi, menurut berita itu, daerah-daerah
yang belum Islam masih terhitung banyak juga. Proses Islamisasi ke
daerah-daerah pedalaman Aceh, Sumatera Barat, terutama terjadi sejak Aceh
melakukan ekspansi politiknya pada abad ke-16 dan 17 M.
Adanya
proses Islamisasi tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa bukti-bukti yang
ada. Menurut M.C.Riekliefs, petunjuk pertama tentang muslim Indonesia berkaitan
dengan bagian utara Sumatera. Di pemakaman Lamreh ditemukan ditemukan nisan
Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Al-basir, yang wafat pada tahun 608 H/
1211 M. Ini merupakan petunjuk pertama
tentang keberadaan kerajaan Islam di wilayah Indonesia. Pada waktu musafir
Venesia, Marco Polo, singgah di Sumatera dalam perjalanan pulangnya dari Cina
pada tahun 1292, dia mengenal Perlak sebagai sebuah kota Islam[18].
Selain
itu, proses Islamisasi di Sumatera, juga dapat dibuktikan dengan adanya Hikayat Raja-Raja Pasai. Hal itu
merupakan salah satu sumber yang berbahasa Melayu, tetapi disalin di Demak
(Jawa Utara) pada tahun 1814. Legenda ini menceritakan bagaimana Islam masuk ke
Samudra. Dalam cerita ini disebutkan bahwa Khalifah Mekah mendengar tentang
adanya Samudra dan memutuskan untuk mengirim sebuah kapal ke sana untuk
memenuhi rmalan Nabi Muhammad bahwa suatu hari nanti akan ada sebuah kota besar
di timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan banyak orang suci.
Setelah itu, Sejarah Melayu juga
salah satu hal yang dapat digunakan untuk menggambarkan proses Islamisasi. Sejarah Melayu merupakan naskah
berbahasa Melayu. Satu naskah bertarikh 1021 H(1612 M), tetapi naskah ini hana
ada dalam salinan dari awal abad XIX. Bila Hikayat
raja-raja Pasai bercerita tentang masuk Islamnya Samudra, Sejarah Melayu berisi suatu kisah
mengenai masuk Islamnya Raja Malaka. Raja ini juga bermimpi bahwa Nabi
menampakkan diri kepadanya, mengajarinya cara mengucapkan dua kalimat syahadat,
memberinya nama baru Muhammad, dan memberitahukannya bahwa pada hari berikutnya
akan tiba sebuah kapal dari negeri Arab yang mengangkut seorang ulama yang
harus dipatuhinya.
Ada
empat hal utama yang ingin disampaikan historiografi tradisional lokal semacam
ini. Pertama, Islam di Nusantara di bawa langsung dari tanah Arab. Kedua, Islam
diperkenalkan oleh para guru atau Juru Dakwah ‘profesional”. Ketiga,
orang-orang yang pertama kali masuk Islam adalah para penguasa. Keempat,
sebagian besar para juru dakwah “professional” datang di Nusantara pada abad
ke-12 dan ke-13. Orang-orang Muslim dari luar memang telah ada di Nusantara
sejak abad pertama Hijriah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Arnorld dan
ditegaskan oleh kalangan ahli Melayu-Indonesia, tetapi jelas bahwa hanya
setelah abad ke-12 pengaruh Islam dikepulauan Melayu menjadi lebih jelas dan
kuat. Oleh karena itu, Islamisasi tampaknya baru mengalami percepatankhususnya
selama abad ke-12 sampai abad ke-16.
Sampai
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam itu, proses Islamisasi di Sumatera dapat
dibagi menjadi tiga fase, yakni
A.
Singgahnya pedagang-pedagang Islam di
pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama
Cina,
B.
Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa
daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya, disamping berita-berita asing, juga
makam-makam Islam, dan
C.
Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.
Dengan demikian bahwa
perkembangan agama Islam di Indonesia dimulai dengan cara damai melalui para
bangsawan dan juga rakyat pada umumnya melalui kegiatan perdagangan dan para
pendakwah, namun apabila situasi politik di kerajaan-kerajaan itu tidak
kondusif dikarenakan oleh perebutan kekuasaan antar keluarga kerajaan sehingga
menyebabkan kekacauan dan lemahnya pemerintahan, Islam dijadikan alat politik
bagi golongan bangsawan dan raja-raja yang menghendaki kekuasaan. Mereka menghubungi
saudagar-saudagar muslim yang posisi ekonominya kuat karena penguasaan atas
pelayaran dan perdagangan.
H.
Proses
Islamisasi di Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak
lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi
maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang
mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi.
Menurut catatan company dagang Portugis yang
datang pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui
pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan
dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu
negeri di Makassar.
Raja Goa pertama yang
memeluk Islam adalah Sultan Alaidin al Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir
besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai
pula pada ayahanda Sultan Alaidin yang bernama Tonigallo dari Sultan Ternate
yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam,
ia merasa kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa ulama Kerajaan
Goa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas
dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang
dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas,
yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang
menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang
dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan perjalanan ke wilayah lain
sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.
D.
Proses
Islamisasi di Kalimantan
Menurut Tetek
Tatum atau Talikawas[19],
penduduk asli Kalimantan mempunyai tempat tinggal di pesisir. Sampai pada
akhirnya masuklah pengaruh-pengaruh dari pendatang sebagai contoh pengaruh
Hindu yang dibawa oleh kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14 M di daerah
Kayutangi (Martapura di daerah Kalimantan Selatan sekarang)[20].
Masuknya Majapahit di wilayah Kalimantan ini telah menaklukkan
kerajaan-kerajaan orang Dayak di pesisir.[21]
Orang-orang Dayak akhirnya mulai terpencar dan terdesak ke daerah pedalaman.
Bagi kerajaan yang dapat ditaklukkan oleh Majapahit, kerajaan tersebut akan
menganut agama Hindu.
Nansarunai
adalah kerajaan orang Dayak yang dihancurkan oleh Majapahit. Masuklah pengaruh
Hindu ke Kalimantan pada tahun 1350 yang memunculkan kerajaan Hindu yang
bernama Nagara Dipa. Negara Dipa memiliki ikatan yang kuat dengan kerajaan
Majapahit akibat pernikahan putri dari Negara Dipa yang bernama Putri Jungjung
Built dengan Pangeran Suryanata dari kerajaan Majapahit.
Sebelum
masuknya Hindu, orang Dayak menganut agama primitif di mana agama tersebut
dikelompokkan ke dalam dinamisme, animisme, dan spiritualisme. Peneliti Belanda
zaman dahulu menyatakan bahwa orang-orang Dayak menganut kepercayaan kepada
roh-roh rendah dengan agama yang dinamakan agama Nelo atau agama dahulu yang
kemudian diumpamakan Heiden (orang-orang kafir). Agama tersebut kemudian diberi
nama agama Kaharingan oleh Y. Salilah yang kemudian direstui dan diterima semua
pihak.[22]
Masuknya
Islam di Kalimantan ini adalah dengan masuknya orang-orang Melayu.[23]
Orang-orang Melayu itu datang baik untuk menyebarkan agama Islam, kepentingan
politik maupun keperluan perdagangan. Penyebaran Islam di Kalimantan sama
halnya dengan penyebaran Islam di Jawa dan Sumatera dimulai dari wilayah
pesisir kemudian menyebar ke wilayah pedalaman.
Masuknya
Islam yang diperkirakan pada tahun 1540, menyebabkan perpindahan di kalangan
orang Dayak kepedalaman karena beberapa dari mereka belum bisa memeluk Agama
Islam.[24]
Setelah memeluk Islam, orang Dayak tidak lagi menyebut diri mereka orang Dayak
melainkan menyebut diri mereka orang Melayu.
Proses
Islamisasi Kalimantan (yang diawali oleh
masuknya Islam pada tahun 1540 di wilayah Kalimantan) memiliki cara yang
berbeda-beda di masing-masing wilayahnya. Proses Islamisasi di tiap-tiap daerah
juga dipengaruhi oleh situasi masing-masing kerajaan dan situasi
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa yang sedang melancarkan ekspansi kekuasaannya
ke wilayah Kalimantan.
a.
Proses
Islamisasi di Wilayah Kalimantan Selatan
Kerajaan Negara
Dipa merupakan salah satu kerajaan Hindu terbesar di Kalimantan. Pada masa
pemerinthan Maharaja Sari Kaburungan atau
Raden Sekar Sungsang, dia memindahkan wilayah kerajaan Negara Dipa ke
daerah hilir pada percabangan anak sungai Bahan yaitu Muara Hulak yang kemudian
diganti namanya menjadi Negara Daha. Kerajaan yang tadinya berdiri dengan nama
Negara Dipa pun juga diganti namanya dengan Kerajaan Daha. Hal ini diakibatkan
karena Ibu kota kerajaan disebut dengan nama yang sesuai dengan penempatan
letak ibukotanya. Salah satu faktor penyebab pemindahan wilayah ibukota
kerajaan tersebut dari Candi Agung (sekarang wilayah Amuntai) ke Muara Hulak
atau Negara Daha adalah karena Raden Sekar Sungsang merasa wilayah Candi Agung
telah kehilangan tuahnya sehingga apabila kerajaan tidak dipindahkan, bala
bencana akan menyerang kerajaan tersebut.[25]
Pada
masa pemerintahan Raden Sekar Sungsang inilah Islam datang ke daerah Kalimantan
yang berasal dari daerah Giri. Raden Sekar Sungsang pernah mengadakan perjalanan
ke Jawa dan menikahi putri dari Sunan Giri. Namun, Islam belum berkembang luas
di wilayah Kalimantan Selatan melalui peristiwa ini. Agama Islam berkembang
pada masa pemerintahan Sultan Suryanullah diakibatkan oleh faktor politik
berupa perebutan takhta kerajaan sepeninggal Maharaja Sukarama.
Setelah
Maharaja Sukarama meninggal, takhta kerajaan jatuh kepada Pangeran Tumenggung,
tetapi beberapa tahun kemudian timbullah perpecahan dengan Raden Samudra . [26]
Raden Samudra yang merupakan cucu dari Maharaja Sukarama merasa dirinya lebih
berhak menjadi raja. Muncullah kerajaan Banjar dengan Raden Samudra sebagai
rajanya yang dinobatkan oleh Patih Masih, Balit, Muhur, Kuwin, dan Balitung.
Kerajaan ini kemudian menjadi saingan
dari kerajaan Negara Daha.
Untuk
merebut takhta miliknya dari Pangeran Tumenggung, Raden Samudra menjalin
hubungan dengan kerajaan Demak di Jawa. Hal tersebut bertepatan dengan ekspansi
yang dilakukan Pati Unus untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Kalimantan
sebelum menyerang Portugis dan Malaka pada tahun 1521. Hal ini dimaksudkan
untuk membendung ekpansi Portugis yang sedang berusaha menguasai daerah-daerah
antara Malaka dan Maluku.[27]
Demak melihat ini sebagai kesempatan politik, sehingga Demak memberikan bantuan
kepada Raja Samudra agar dia dapat merebut takhta kerajaan dari Pangeran
Tumenggung dengan syarat saat Raden Samudra telah mendapatkan takhtanya, dia
beserta rakyatnya harus memeluk agama Islam.
Bala
bantuan berupa tentara dari kerajaan Demak merupakan titik awal proses islamisasi
yang terjadi di wilayah Kalimantan Selatan. Kemenangan Raden Samudra telah
memebuat pangeran Tumenggung tunduk dan Raden Samudra akhirnya menguasai
takhta. Kerajaan Negara Daha telah dikalahkan oleh kerajaan Banjar dan kemudian
kerajaan Banjar menjadi kerajaan Islam yang berpengaruh di Kalimantan dengan
Raden Samudra sebagai rajanya dengan gelar Sultan Suryanullah. Sultan
Suryanullah kemudian meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai
Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan.[28] Sebagai
imbalan atas bala bantuan yang diberikan oleh kerajaan Demak atau bisa
dikatakan kerajaan Banjar sebagai wilayah perluasan kekuasaan kerajaan Demak,
Sultan Suryanullah membayar upeti secara rutin kepada kerajaan Demak.
Kedatangan
Islam dengan damai berubah saat Islam dijadikan sebagai alat politik untuk
mendapatkan kekuasaan oleh kaum bangsawan.[29]
Proses islamisasi di wilayah Kalimantan Selatan atau tepatnya di Banjarmasin
terjadi sekitar tahun 1550.[30]
Penduduk asli Kalimantan Selatan yang pada awalnya merupakan suku Dayak,
setelah mereka masuk Islam, mereka tidak mau disebut orang Dayak lagi. Mereka
lebih senang menyebut dirinya orang Melayu
(Banjar).[31]
b. Proses Islamisasi di Wilayah
Kalimantan Timur
Pada awal abad
ke -13 M, berdirilah kerajaan baru di Tepian
Batu atau Kutai lama yang bernama kerajaan Kutai Kertanegara dengan rajanya
yang pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325 SM).[32]
Kerajaan ini mempunyai hubungan yang kurang baik dengan kerajaan Kutai
Martadipura yang terletak di wilayah Muara Kaman. Pada abad ke-16 terjadilh
peperangan di antara keduanya dan Kerajaan Kutai Kartanegara di bawah rajanya
Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan Kutai
Martadipura dan mengganti namanya mengganti Kerajaan Kuta Kartanegara Ing
Martadipura.
Sebelum
kedatangan Islam, kerajaan Kutai Kartanegara adalah kerajaan bercorak Hindu,
dan penduduk lainnya di pedalaman masih menganut animisme dan dinamisme.[33] Pada
abad ke- 16 M, tepat pada masa
pemerintahan Aji Raja Mahkota Mulia Alam datanglah dua orang mubaligh yang
bernama Datori Bandang dan Tuan Tunggang Parangan.[34]
Kedua mubaligh tersebut datang setelah mengislamkan wilayah Makassar, tetapi
Datori Bandang kembali lagi ke Makassar dikarenakan orang-orang Makassar
kembali menjadi orang kafir lagi. Tuan Tunggang Parangan menetap di wilayah
Kalimantan Timur berusaha mengislamkan
wilayah tersebut.
Raja
Aji Raja Mahkota Mulia Alam atau yang dikenal dengan sebutan Raja Mahkota
menyatakan dirinya mau masuk Islam dengan syarat Tuan Tunggang Parangan harus
mengalahkan dirinya melalui adu kesaktian. Akhirnya Raja Mahkota masuk Islam
setelah ia merasa kalah saat adu kesaktian.[35]
Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura kemudian menjadi kerajaan Islam
dengan nama Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Islamisasi di Kutai
ini diperkirakan terjadi pada tahun 1575 M.[36]
Kerajaan Kutai Kartanegara kemudian menyebarkan pengaruh Islam hingga ke
wilayah pedalaman di bawah pemerintahan Raja Aji di Langgar.[37] Pada
abad ke- 18 M, Islam mulai bisa diterima
masyarakat secara menyeluruh dan sebutan raja kemudian diganti dengan sebutan
Sultan. Sultan pertama yang menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad
Idris.[38]
E.
Proses
Islamisasi di Maluku
Kepulauan Maluku yang
terkenal kaya dengan hasil bumi yang melimpah membuat wilayah ini sejak zaman
antik dikenal dan dikunjungi para pedagang seantero dunia. Karena status itu
pula Islam lebih dulu mampir ke Maluku sebelum datang ke Makassar dan
kepulauan-kepulauan lainnya.
Kerajaan Ternate adalah
kerajaan terbesar di kepulauan ini. Islam masuk ke wilayah ini sejak tahun
1440. Sehingga, saat Portugis mengunjungi Ternate pada tahun 1512, raja ternate
adalah seorang Muslim, yakni Bayang Ullah. Kerajaan lain yang juga menjadi
representasi Islam di kepulauan ini adalah Kerajaan Tidore yang wilayah
teritorialnya cukup luas meliputi sebagian wilayah Halmahera, pesisir Barat
kepulauan Papua dan sebagian kepulauan Seram.
Ada juga Kerajaan
Bacan. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang
bersyahadat pada tahun 1521. Di tahun yang sama berdiri pula Kerajaan Jailolo
yang juga dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam dalam pemerintahannya.
BAB IV
PENGARUH ISLAM DALAM BERBAGAI
ASPEK KEHIDUPAN
D.
Pengaruh Islam di Bidang Bahasa
Konversi
Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya. Menyusul
konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu
digunakan sebagai bahasa dagang yang banyak digunakan di bagian barat kepulauan
Indonesia. Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun memasukkan
sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat
sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab.[39]Selain
itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini
kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.
Bersamaan
naiknya Islam menjadi agama dominan kepulauan nusantara, terjadi sinkretisasi
atas bahasa yang digunakan Islam. Sinkretisasi terjadi misalnya dalam struktur
penanggalan Çaka. Penanggalan ini adalah mainstream
di kebudayaan India. Secara sinkretis, nama-nama bulan Islam disinkretisasi
Agung Hanyakrakusuma (sultan Mataram Islam) ke dalam sistem penanggalan Çaka.
Penanggalan çaka berbasis penanggalan Matahari (syamsiah, mirip gregorian),
sementara penanggalan Islam berbasis peredaran Bulan (qamariah). Hasilnya pada
1625, Agung Hanyakrakusuma mendekritkan perubahan penanggalan Çaka menjadi
penanggalan Jawa yang sudah banyak dipengaruhi budaya Islam. Nama-nama bulan
yang digunakan tetap 12, sama dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam).
Penyebutan nama bulan mengacu pada bahasa Arab seperti Sura (Muharram atau
Assyura dalam Syiah), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul
Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab),
Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela (Dzulqaidah), dan Besar
(Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti penanggalan Çaka
sebab saat itu penanggalan harian Çaka paling banyak digunakan penduduk
sehingga tidak bisa digantikan begitu saja tanpa menciptakan perubahan radikal
dalam aktivitas masyarakat (revolusi sosial).
Selain
pembagian bulan, bahasa Arab merambah ke dalam kosakata. Sama dengan sejumlah
bahasa Sanskerta yang diakui selaku bagian dari bahasa Indonesia, kosakata Arab
pun akhirnya masuk ke dalam struktur bahasa Indonesia.
Bahasa Arab ini bahkan
semakin signifikan di abad ke-18 dan 19 di Indonesia, di mana masyarakat
nusantara lebih familiar membaca huruf Arab ketimbang Latin. Bahkan, di masa
kolonial Belanda, mata uang ditulis dalam huruf Arab Melayu, Arab Pegon,
ataupun Arab Jawi. Tulisan Arab pun masih sering diketemukan sebagai keterangan
dalam batu nisan.
E.
Pengaruh Islam di Bidang
Pendidikan
Salah satu wujud pengaruh
Islam yang lebih sistemik secara budaya adalah pesantren. Asal katanya
pesantren kemungkinan shastri (dari bahasa Sanskerta) yang berarti orang-orang
yang tahu kitab suci agama Hindu. Atau, kata cantrik dari bahasa Jawa yang
berarti orang yang mengikuti kemana pun gurunya pergi. Fenomena pesantren telah
berkembang sebelum Islam masuk. Pesantren saat itu menjadi tempat pendidikan
dan pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk, kurikulum dan proses
pendidikan pesantren diambilalih Islam.
Pada dasarnya,
pesantren adalah sebuah asrama tradisional pendidikan Islam. Siswa tinggal
bersama untuk belajar ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang disebut Kyai.
Asrama siswa berada di dalam kompleks pesantren di mana kyai berdomisili.
Dengan kata lain, pesantren dapat diidentifikasi adanya lima elemen pokok
yaitu: pondok, masjid, santri, kyai, dan kitab-kitab klasik (kitab
kuning).Seputar peran signifikan pesantren ini, Harry J. Benda menyebut sejarah
Islam ala Indonesia adalah sejarah memperbesarkan peradaban santri dan
pengaruhnya terhadap kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi di Indonesia.[40]
Melalui pesantren, budaya Islam dikembangkan dan beradaptasi dengan budaya
lokal yang berkembang di sekitarnya tanpa mengakibatkan konflik horisontal
signifikan.
F.
Pengaruh Islam di Bidang Arsitektur
dan Kesenian
Masjid adalah tempat
ibadah umat Islam. Masjid-masjid awal yang dibangun pasca penetrasi Islam ke
nusantara cukup berbeda dengan yang berkembang di Timur Tengah. Salah satunya
tidak terdapatnya kubah di puncak bangunan. Kubah digantikan semacam meru,
susunan limas tiga atau lima tingkat, serupa dengan arsitektur Hindu. Masjid
Banten memiliki meru lima tingkat, sementara masjid Kudus dan Demak tiga
tingkat. Namun, bentuk bangunan dinding yang bujur sangkar sama dengan budaya
induknya.[41]
Perbedaan lain, menara
masjid awalnya tidak dibangun di Indonesia. Menara dimaksudkan sebagai tempat
mengumandakan adzan, seruan penanda shalat. Peran menara digantikan bedug atau
tabuh sebagai penanda masuknya waktu shalat. Setelah bedug atau tabuh
dibunyikan, mulailah adzan dilakukan. Namun, ada pula menara yang dibangun
semisal di masjid Kudus dan Demak. Uniknya, bentuk menara di kedua masjid mirip
bangunan candi Hindu. Meskipun di masa kini telah dilengkapi menara, bangunan-bangunan
masjid jauh di masa sebelumnya masih mempertahankan bentuk lokalnya, terutama
meru dan limas bertingkat tiga.
Pusara atau makam
adalah lokasi dikebumikannya jasad seseorang pasca meninggal dunia. Setelah
pengaruh Islam, makam seorang berpengaruh tidak lagi diwujudkan ke dalam bentuk
candi melainkan sekadar cungkup. Lokasi tubuh dikebumikan ini ditandai pula
batu nisan. Nisan merupakan bentuk penerapan Islam di Indonesia. Nisan
Indonesia bukan sekadar batu, melainkan terdapat ukiran penanda siapa orang
yang dikebumikan.
Ajaran Islam melarang
kreasi makhluk bernyawa ke dalam seni. Larangan dipegang para penyebar Islam
dan orang-orang Islam Indonesia. Sebagai pengganti kreativitas, mereka aktif
membuat kaligrafi serta ukiran tersamar. Misalnya bentuk dedaunan, bunga,
bukit-bukit karang, pemandangan, serta garis-garis geometris. Termasuk ke
dalamnya pembuatan kaligrafi huruf Arab. Ukiran misalnya terdapat di Masjid
Mantingan dekat Jepara, daerah Indonesia yang terkenal karena seni
ukirnya.
Seperti India, Islam
pun memberi pengaruh terhadap sastra nusantara. Sastra bermuatan Islam terutama
berkembang di sekitar Selat Malaka dan Jawa. Di sekitar Selat Malaka merupakan
perkembangan baru, sementara di Jawa merupakan kembangan sastra Hindu-Buddha.
Sastrawan Islam melakukan gubahan baru atas Mahabarata, Ramayana, dan
Pancatantra. Hasil gubahan misalnya Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang
Pandawa Jaya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayat
Panjatanderan. Di Jawa, muncul sastra-sastra lama yang diberi muatan Islam
semisal Bratayuda, Serat Rama, atau Arjuna Sasrabahu. Di Melayu berkembang
Sya’ir, terutama yang digubah Hamzah Fansuri berupa suluk (kitab yang
membentangkan persoalan tasawuf). Suluk gubahan Fansuri misalnya Sya’ir Perahu,
Sya’ir Si Burung Pingai, Asrar al-Arifin, dan Syarab al Asyiqin.
BAB
V
KESIMPULAN
Penyebaran Islam merupakan salah satu proses yang
sangat penting dalam sejarah Indonesia. Keadaan politik dan sosial budaya
daerah-daerah ketika didatangi Islam sangat berbeda-beda. Islam masuk ke Indonesia
disebarluaskan melalui kegiatan kaum pedagang dan para sufi. Hal ini berbeda
dengan daerah Islam di Dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklulan
Arab dan Turki. Islam masuk di Nusantara dengan jalan damai, terbuka dan tanpa
pemaksaan sehingga Islam sangat mudah diterima masyarakat.
Islam mulai berkembang
di Jawa sejak abad 16 dengan datangnya pedagang-pedagang dari Arab, Persia, dan
India. Islam lebih mudah diterima karena saat itu hegemoni Majapahit sedang
runtuh dan penyebaran Islam sifatnya lebih represif (damai) serta tidak
mengenal kasta dalam kelasan masyarakatnya. Runtuhnya Majapahit kemudian
memberikan celah bagi Kerajaan Demak untuk menjadi penguasa baru di Jawa. Demak
yang terletak di pesisir Pulau Jawa kemudian menjadi salah satu pusat
perdagangan serta pusat penyebaran Islam kala itu.
Setelah Islam menjadi
sangat populer di kepulauan nusantara, terjadi sinkretisasi atas bahasa yang
digunakan Islam yang kemudian berafiliasi dengan mothertongue penduduk lokal kala itu. Selain dari segi bahasa,
Islam masuk memengaruhi peradaban di nusantara dari segi arsitektur seperti
dibangunnya masjid dan pusara-pusara. Sedangkan dalam bidang pendidikan, Islam
membangun suatu pengaruh yang lebih sistemik yaitu dengan adanya budaya pesantren.
LAMPIRAN
Kosakata
Indonesia yang dipengaruhi Bahasa Arab
Arab
|
Indonesia
|
|
Arab
|
Indonesia
|
isnain
|
Senin (dua)
|
|
`ajā'ib
|
Ajaib
|
tsalasa
|
Selasa (tiga)
|
|
`aib
|
Aib (malu)
|
arbain
|
Rabu (empat)
|
|
Ahl
|
Ahli
|
kamis
|
Khamis (lima)
|
|
`ādil
|
Adil
|
jumu’ah
|
Jumat (ramai)
|
|
`abd
|
Abdi
|
badan
|
Tubuh
|
|
abadī
|
Abadi
|
yatim
|
Yatim
|
|
Abad
|
Abad
|
wujud
|
Wujud (rupa)
|
|
dahsha
|
Dahsyat
|
usquf
|
Pemimpin gereja
|
|
dalīl
|
Dalil (bukti)
|
umr
|
Umur
|
|
ghaira
|
Gairah (hasrat)
|
daraja
|
Derajat
|
|
wajh
|
Wajah
|
darura
|
Darurat
|
|
wājib
|
Wajib
|
awwal
|
Awal
|
|
walīy
|
Wali
|
atlas
|
Atlas
|
|
waṣīya
|
Wasiat
|
asli
|
Asli
|
|
wilāya
|
Wilayah
|
‘amal
|
Amal
|
|
yaqīn
|
Yakin
|
ala
|
Alat
|
|
ya`nī
|
Yakni
|
alama
|
Alamat
|
|
Nashichah
|
Nasehat/nasihat
|
alami
|
Alami
|
|
Ijazah
|
Ijazah/ijasah
|
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin. Ilmu Politik Islam IV; Sejarah Islam dan
Umatnya Sampai Sekarang. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang. 1978.
Apipudin. Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2008.
Azra, Azyumardi, Perspektif
Islam di Asia Tenggara, Jakarta: YayasantObor Indonesia, 1989.
Berg, H. J. Van Den. Dari
Panggung Sejarah.
Dames,
M. L. The book of Daurte Barbosa II.
1921.
Hamka. Sejarah Umat Islam IV. Bulan Bintang: Jakarta, 1981.
Hasjmy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia. Alma’arif: Bandung, 1981.
Meuraxa, Dada. Sejarah Masuknya Islam di Bandar Barus,
Sumatera Utara. Sastrawan: Medan, 1973.
Moertono, Soemarsaid. Negara dan Ketatanegaraan di Jawa Lama;
Suatu Studi Atas Periode Mataram Terakhir, Abad 16-19. New York: Cornell
University. 1968.
Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia; Jilid III.
Jakarta: Balai Pustaka. 2010.
O’Hanlon, Murray
Gordon. Pesantren dan Dunia Pemikiran
Santri: Problematika Metodologi Penelitian yang dihadapi Orang Asing. Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang. 2006.
Olthof,
W. L. Babad Tanah Djawi. 1954.
Rama, Pangestu Ageng. Kebudayaan Jawa; Ragam Kehidupan Kraton dan
Masyarakat di Jawa 1222-1998. Yogyakarta: Cahaya Ningrat. 2007.
Ricklefs, M.C. Islam In The Social Context. Australia:
Centre of Southeast Asian Studies. 1991.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2010.
Robertson.
Magellan’s Voyages Around the World by
Antonio Pigafetta II. 1909.
Saleh, Mohamad Idwar. Tutur Candi: Sebuah Karya Sastra
Sejarah Banjarmasin. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah. 1986.
Simuh. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa.
Jakarta: Teraju. 2003.
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta:
Kanisius, Cet.19.
2008.
Syamsu, Muhammad. Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan
Sekitarnya. Majlis Ulama: Palembang, 1984.
Taylor, Jean Gelman. Indonesia: Peoples and Histories. New
Haven: Yale University Press.
2003.
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia Jilid aIV (Kemunculan Penjajahan di
Indonesia). Jakarta: Balai Pustaka, 2010.
Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
Propinsi Kalimantan Tengah. Sejarah
Daerah Kalimantan Tengah. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978.
Van Leur, J.C. Indonesian Trade
and Society. Bandung: Sumur Bandung, 1960.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada. 1993.
Sumber Internet
(Diakses
pada 8 April 2012)
Website Kesultanan Kutai Kartanegara. Sejarah
Kesultanan Kutai Kartanegara, http://kesultanan.kutaikartanegara.com/
(Diakses
pada 10 April 2012)
[1] M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern
1200-2008, hlm. 3.
[2] Dada
Meuraxa, Sejarah Masuknya Islam di Bandar
Barus, Sumatera Utara, h. 28-29, Sastrawan, Medan, 1973.
[3] Prof. A.
Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Indonesia, Alma’arif, Bandung, 1981.
[4] Prof.
Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, IV, h. 135, Bulan Bintang, Jakarta, 1981.
[5] M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern
1200-2008, hlm. 3.
[6] M.C.
Ricklefs, Islam In The Social Context,
hlm. 2.
[7] M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern
1200-2008, hlm. 11.
[8] Ibid, hlm. 196.
[9] Prof.
Dr. Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya
Jawa, hlm. 66.
[10] Dr.
Badri yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam,
hlm. 201.
[11] Ibid, h
32-33.
[12] J.C van Leur, Indonesian Trade and Society, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), hlm.
91
[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 194
[14] Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid III, hlm 2
[15]M.C Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008,
hlm.8
[16] Badhri yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm197
[17] Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara, hlm. 5
[18]M.C Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008,
hlm.4
[19] Tim
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Propinsi Kalimantan Tengah. Sejarah Daerah Kalimantan Tengah,
(Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), 13.
[20] Ibid., 56.
[21] Ibid.
[22] Ibid., 116.
[23] Ibid., 59.
[24] Ibid.
[25]Mohamad Idwar Saleh, Tutur
Candi: Sebuah Karya Sastra Sejarah
Banjarmasin , (Jakarta: Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah,1986), 22.
[26] Tim
Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. Sejarah
Nasional Indonesia III Edisi Pemutakhiran, (Jakarta: Balai Pustaka, 2009),
10-11.
[27] Ibid., 11.
[28] Ibid.,
86.
[29]
Apipudin. Islam di Asia Tenggara,
(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), 32.
[30] Tim
Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. Sejarah
Nasional Indonesia III Edisi Pemutakhiran, (Jakarta: Balai Pustaka, 2009),
11.
[31] Tim
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Propinsi Kalimantan Tengah. Sejarah Daerah Kalimantan Tengah,
(Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), 14.
[32] Website
Kesultanan Kutai Kartanegara. Sejarah
Kesultanan Kutai Kartanegara, http://kesultanan.kutaikartanegara.com/ (Diakses pada 10 April 2012), 1.
[33] Tim
Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. Sejarah
Nasional Indonesia III Edisi Pemutakhiran, (Jakarta: Balai Pustaka, 2009),
11.
[34] Ibid .
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid.,12.
[38] Website
Kesultanan Kutai Kartanegara. Sejarah
Kesultanan Kutai Kartanegara, http://kesultanan.kutaikartanegara.com/ (Diakses pada 10 April 2012), 1.
[39] Jean
Gelman Taylor, Indonesia: Peoples
and Histories (New Haven: Yale University Press, 2003). hlm 105
[40] Murray
Gordon O’Hanlon, Pesantren dan Dunia
Pemikiran Santri: Problematika Metodologi Penelitian yang dihadapi Orang Asing (Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2006) h.1.
[41] R.
Soekmono, Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia 3 (Yogyakarta: Kanisius, Cet.19, 2008) h.75-109.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar