Latar belakang
Kerajaan
mataram pada tahun 1640 mengalami pergantian pemerintahan dari sultan Agung
kepada anaknya Amangkurat I. Sultan Agung telah mengatur masalah penggantinya
“suksesi ini terjadi selama sang ayah sakit,” seperti dinyatakan dengan tegas
oleh Van Goens dalam laporan perjalanannya (Goens, Gezantschapsreizem,
hlm.199). Maka, dipanggillah abdi-abdi utamanya yang terkemuka, seorang
pangeran yang tidak disebut namanya. Mereka diperintah agar menyetujui
pengengkatan putra sulungnya. Setelah segala sesuatu usai, Sultan Sunan
Amangkurat resmi di angkat sebagai raja.
Tindakan pada pemerintahan amangkurat
I
Melakukan
pergantian abdi-abdinya yang telah tua sebagai anugrah dari sang raja. Saat
terjadi penyerbuan di blambangan oleh orang-orang Bali meninggalkan banyak
korban termasuk pamannya sendiri, Tumanggung Wiraguna dan adiknya yang dianggap
penghianat ikut dalam penyerbuan tersebut.
Pembunuhan
atas kaum ulama dengan tuduhan penyebab kematian pangeran Alit dan pembunuhan
para pembesar yang telah tua agar diganti dengan pembesar yang muda dilakukan
oleh sunan terlihat bahwa gaya pemerintahan yang aneh. Van Goens mengisahkan
betapa setelah pembunuhan-pembunuhn terakhir yang dilakukan atas perintah
sunan, bahkan pamannya sendiri. Hal itu telah membuat pamannya, Pangeran
Purbaya merasa cemas dengan nyawanya yang bisa saja hilang seperti
rekan-rekannya yang lain. Tampa sepengetahuan dia memperkuat dirinya dengan
orang-orang kepercayaanya. Sunan yang mendegar hal itu merasa khawatir akan
terjadi kerusuhan. Maka diutuslah Raden Mas menyampaikan pesan yang isinya
bahwa purbaya tidak mau melanjutkan jabatannya. Akhir cerita sunan mengampuni
setelah pangeran purbaya menyerahkan diri dan sunan tetap tidak menggurangi
kegiatan untuk memilih orang-orang dari kalangan muda untuk menjadi abdi-abdi
istana.
Sunan tidak
menganggapan bahwa dirinya penguasa tertinggi di mataram akan tetapi sebagai
“penguasa atas seluruh pulau jawa “ (Daghregister, 4Oktober1673). Maka dari itu
masih banyak daerah yang belum di taklukan oleh sunan termasuk juga daerah yang
pernah lepas dari kekuasaanya. Sedangkan untuk daerah di negri seberang diutus empat
gubernur atas Palembang, Jambi, Sukadana, dan Batavia. Sukadana disini adalah
kalimantan yang disana diperintah oleh raja Makassar, akan tetapi raja makassar
sama sekali tidak pernah mengakui mataram sebagai pertuanan yang lebih tinggi. Begitu
juga dengan banten dan daerah blambangan yang mempunyai kekuasaan atas
daerahnya sendiri. Hanya Palembang yang setia sampai akhir (1677), mungkin
berdasarkan trsadisi lama, atau karena terancam oleh musuh mataram, yaitu
Banten; dan Jambi yang sedang berkemabang dengan pesat. Kehancuran kerajaan
mataram disebabkan oleh sangat kurangnya keperkasaan sang raja. Sering sekali
dia melancarkan rencana perang dan ancaman akan tindakan perang, tetapi tidak
perbah terwujud dalam pukulan yang nyata. Kerajaan Mataram bangkit sebab watak
dan karekter kuat dari Senapati dan Sultan Agung, tetapi runtuh kerajaan
tersebut disebabkan oleh sifat-sifat kejam anak cucu mereka, yaitu Sunan
Tegalwangi yang selalu curiga dan membawa malapetaka.
Hubungan mataram dengan daerah lain
Sunan tidak
merasa senang dengan Banten karena Banten takpernah menganggap dirinya lebih
rendah dari Mataram. Pada bulan Februari tahun 1649 Banten pernah melakukan
sensus buat penduduk laki-laki di atas usia 7 tahun dan dan dipersenjatai
senapan di asumsikan “usaha mengitung dilakukan untuk mengetahui berapa besar
kekuatan untuk menyambut Mataram jika suatu saat hendak memerangi Banten”
(Daghregister, 20Februari1649). Banten dan Mataram saling mengirim utusan
dengan tujuan mengetahui keadaan masing-masing kubu. Mataram memperlihatkan
kekuasaan dan kebesaran kerajaannya pada utusan Banten atau lebih bermaksud
menakuti utusan banten tersebut, dengan tidak memperkanankan mereka menghadap
raja. Pada saat Mataram akan melakukan expedisi ke blambangan untuk ditakukan,
sunan mendapat penyakit bisul yang diduga berupa kutukan. Sejak saat itu sunan
bersumpah akan membuat hubungan baik dengan Banten dan menaklukan Blambangan
terlebih dulu sesuai dengan pesan dari ayahnya.
Pada
tanggal 22Oktober1656 susuhunan menggunakan 100 gadis untuk memilih 2
diantaranya untuk putra Tumenggung dan secara rahasia akan ditolaknya
gadis-gadis dari Banten. Akibat dari itu retaknya hunbungan kedua kerajaan.
Pada awal juli 1657 sunan memerintahkan mengirim hadiah aneh pada Banten yang
mempunyai arti kurang menyenangkan bagi orang Banten. Banten kemudian menyindir
sangat kurang salehnya sunan dengan hadiah berupa ”sebuah pisau cukur, gunting,
topi jawa berwarna putih, dan kain putih yang panjang”. Maka dari itu muncul
ketegangan antara kedua kerajaan, menurut Truijtman kedua belah pihak bagaikan
dua musuh besar, yang saling amat menakuti. Rencana ekspedisi yang telah di
rencanakan oleh sunan diluruskan oleh Tumenggung Pati dengan dalih Banten
menganut agama yang sama dan sultan Banten berusaha agar tidak kehilangan muka
di hadapan susuhunan dengan dirinya sebagai jaminan. Ekspedisi kemudian
dibelokkan ke karawang dalam bentuk ekspedisi kecil menaklukkan karawang.
Setelah itu tidak adanya pertikaian antara kedua kerajaan. Malahan sebaliknya
ditemukan percobaan dari putra Mataram untuk menjalin hubungan baik dengan
negara tetangganya.
Politik mataram dengan daerah pulau
di luar jawa
Pada
dasarnya kerajaan mataram juga seperti kerajaan hindu dan budha lainnya yang
menggunakan sistem politik mandala dalam pemerintahannya. Mataram juga
mempunyai hubungan dengan daerah lain seperti palembang, jambi, kalimantan, dan
sulawesi. Mataram mempunyai sedikit kekuasaan di daerah Palembang dan Jambi
untuk wilayah bagian di Sumatera,(1651-1656). Setiap kali daerah tersebut harus
memberikan upeti sebagai sembah sujudnya pada sunan dan bersedia tunduk pada
kerajaan mataram sebagai suatu pusat kerajaan. Walaupun dalam pemberian
menimbulkan banyak kesulitan karena keangkuhan Sunan Mataram. Malah tak jarang
Sunan Mataram memperlakukan utusan dari Palembang dan Jambi dengan sambutan
menghina dan tidak layak. Hal itu tentu membuat para utusan kecewa dengan tingkah
laku sunan. Akhirnya Palembang dan Jambi menolak memberikan sembah sujud dan
menolak mengakui daerahnya sebagai bagian dari kerajaan Mataram.
Hubungan
mataram dengan Kalimantan dan Sulawesi tidak berbeda jauh dengan Sumatera yang
dimana utusan dari daerah tersebut diperlakukan secara tidak hormat oleh Sunan
Mataram. Maka tak heran jika mereka juga tidak menganggap bahwa Kalimantan dan
Sulawesi bagian dari Kerajaan Mataram. Masalah ini menimbulkan kemarahan Sunan
dan akan mengancam melakukan tindakan kekerasan bagi daerah yang tidak lagi
memberikan persembahan sebagai sembah sujud pada sunan, tetapi hal itu hanya
gertak sambal belaka. Hubungan kerajaan Mataram semakin memburuk karena
kegagalan Sunan dalam menghadapi kekuasaannya, justru sekitar tahun 1660
kekuasaan kompeni mulai tampak secara jelas.
Runtuhnya Mataram
è Penghianatan putra mahkota
Juli-Oktober 1676
Pengiriman pangeran Adipati Anom dan kawan-kawan ke Demung menimbulkan
banyak hambatan dari musuh bebuyutannya, Pangeran Singasari (Aria Pamot) dan
akhirnya berangkat pada juli 1676. Tetapi sementara itu kaum pemberontak tidak
diam menunggu sampai orang Mataram datang.
Alhasil terjadilah perperangan di Gegodog 13 Oktober 1676 sesampai
pasukan Adipati Anom di sana. Adipati Anom mundur Oktober-Desember 1676
è Kemenangan Madura
Bergerak maju ke barat dari orang-orang madura setelah
mendengar peristiwa di Gegodog. Laskar madura dengan bantuan tentara jawa timur
menyerang Jepara. Pada Desember 1676-Januari 1677 Madura berhasil merebut
beberapa pelabuhan sampai Cirebon.
è Serangan besar-besaran atas Mataram
April-Juni 1677
Berita paling awal berasal dari Raden Kajoran bahwa mataram telah hancur
sebagian dan hal itu di sebabkan oleh Raden Kajoran. Serangan demi serangan pun
beranjut, ada dua pasukan induk yaitu serangan yang di pimpim oleh Panglima
Madura Mangkuyuda yang menempatkan kubunya di Layang. Dia membawa pasukan dari
berbagai daerah di Jawa dan Madura dengan jumlah kekuatan sebesar 100.000
orang. Selain itu ada pasukan ke dua yang disebut sebagai pemmpinnya adalah
Adipati Wiramenggala yang mempunyai kekuatan 50.000 orang. Dilain pihak dari
pasukan mataram dipimpin oleh Pangeran Puger dengan kekuatan 10.000 orang dan
menyerah pada jangka waktu satu hari. Pasukan Madura sampai di ambang ibu kota
keraton Mataram dan terjadilah pertarungan sengit selama 7 hari bersama Adipati
Anom. Dan akhirnya kekalahan tak dapat dihindarkan, keraton jatuh ke tangan
pemberontak. Sunan amangkuran II sendiri melarikan diri dan mangkat di
Tegalwangi.
Daftar
pustaka
Graaf,1987.Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Jakarta:grafitipers.
Graaf,1987.Runtuhnya Istana Mataram.
Jakarta:grafitipers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar