“tidak ada penemu yang lebih mengganggu daripada penemu
ide-ide”
Lord Acton
Lord Acton
Seperti quote diataslah apa permasalahan sosial yang
tengah dihadapi dunia, pertarung ide. Sekilas memang sangat menarik namun,
tidak semudah itu. Karena banyak diantara nyawa manusia harus menjadi korban
demi mempertahankan idenya dan kemurnian ide tersebut.
Hanya saja tentu sebagai akar positif, ide yang seharusnya
berkembang tidak merugikan diri sendiri apalagi orang lain. Pada faktanya
beberapa ide yang dikedepankan justru kepentingan sendiri bahkan ada roh
materialistis yang merugikan pihak lain. Contoh sederhananya dalam pemilihan
anggota dewan, pemilihan eksekutif, atau pemilihan jabatan penting di tengah
masyarakat tidak jarang membawa aroma-aroma kepentingan tertentu.
Ide tidak lagi menjadi roh yang membangun peradaban karena
telah adanya sesuatu yang urgent, jumlah suara. Demi mendapatkan posisi yang
aman dalam pemilihan tidak jarang ide adalah nomor sekian, dan colaborasi lebih
dikedepankan walau bermuatan material. Dampaknya tentu dirasa oleh individu
dimana idenya kemudian berubah jadi sekelumit skenario yang harus dijalankan
ketika suatu jabatan sudah ditangan. Dan akhirnya ide tinggallah mimpi dan yang
timbul adalah idealis pribadi demi manjaga zona aman bagi kehidupannya.
Padahal pertarungan ide masa lalu itu sangat dinamis dan
yang penting tidak egois komunal serta jauh dari kepentingan materi. Beberapa
kelompok tokoh bangsa rela di buang ke Digul, ke Belanda, bahkan tidak diperkenankan
pulang ke tanah air. Walau sangat menyiksa, di satu sisi mereka-mereka itu
tetap solid dengan ide-nya hingga tidak ada bangsa Barat ataupun Timur yang
mampu mengdikte negeri ini.
Coba saat ini kita refleksikan dalam kehidupan saat ini,
dimana ide hanyalah suatu pelajaran emas disaat bercerita, berdebat, atau
membangun opini publik. Demi suatu “text” untuk citra elektabilitas menuju
kultus dan proyek ketika terpilih. Tidak heran jika keberhasilan seseorang
dalam mendapatkan jabatan diiringi dengan proyek pembangunan, kenaikan pajak,
cabut subsidi, bahkan naikan asuransi BPJS. Jika ide materialistik itu tinggal di
negeri ini, kehidupan bangsa tidak akan berubah dan hanya akan melanjutkan
penderitaan seperti yang sudah-sudah.
Sayangnya upaya seseorang yang mungkin memiliki ide yang
lurus tidak mampu berkopetisi dengan tingginya harga jabatan bahkan lebih
daripada itu sulit beradaptasi dengan gaya politik yang busuk, curang,
intimidasi, teror, bahkan serangan fisik. Tidak hanya sulit tetapi juga terlalu
keji untuk diikuti. Bangsa kita adalah bangsa yang menghargai kebebasan manusia,
tapi untuk kebebasan itu sendiri tidak akan sampai hati hingga harus tega
mengkorbankan darah demi jabatan 5 tahun.
Kesulitan terberat bagi masyarakat Indonesia tidak terletak
pada sumber dari niat baik yang berasal dari ide. Tapi bagaimana konsisten dan
yakin pada ide tersebut dapat menciptakan keteraturan. Antropologinya bangsa
ini tergiur dengan citra-citra kepemimpinan namun tidak memahami social text
yang sedang dibangun (bodoh). Mereka sulit membedakan mana bajingan dan mana
malaikat karena kesalahan dalam berfikir yang dipengaruhi sumber yang tidak
relevan.
Contoh sederhana banyak social text tentang bahaya Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), namun tidak ada fakta tentang ide destruktifnya terhadap peradaban.
Justru yang mereka usung adalah ide konstruktif peradaban lebih baik dengan beropini
diluar sistem demokrasi. Namun social text yang dibangun mengimajinasikan
bahaya besar dari ide tersebut. Sedangkan imaginasi tentang ide konstruktif
yang mereka bagikan kurang dapat dicernah dengan baik sehingga yang tersisa
adalah sentimen. Sentimen dalam kerangka nasionalis hanya menjadikan kebekuan
akal dalam berfikir untuk mendapatkan pendekatan ide-ide yang lebih
konstruktif. Akhirnya yang yang terjadi adalah bukan upaya membangun peradaban
tapi menyibukkan diri, membenturkan diri, bahkan menfitnah untuk memuaskan
hasrat sentimen yang mereka bangun sendiri.
Tepat tanggal 29 Agustus kemaren, salah satu aktifis yang
mengaku mantan HTI meluncurkan buku ke dua dalam mengdeskreditkan ide HTI.
Seolah-olah selama ini dia berupaya mencari dalil untuk membungkam organisasi
ini. Namun disisi lain, dalil tentang konstruktifnya HTI terhadap pemerintahan
tidak satu pun yang dibahasnya. Pikiran yang pernah didengungkan HTI ketika
masih legal tampaknya kurang menjadi perhatian bagi baliau, Ainur Rofiq.
Inilah contoh kerusakan pola berfikir masyarakat dalam
membedakan ide destruktif dan ide konstruktif. Setidaknya ide itu tidak hanya
rusak dikalangan kiri saja bahkan juga dikalangan kanan. Kalangan kanan tidak
henti-hentinya sentimen dengan hal-hal berbau liberal seperti kebebasan
berpendapat bahkan kebebasan bernarasi dengan objektif dan ilmiah.
Isu-isu baru ini, Abdul Aziz seorang akademia dibuat viral
oleh disertasinya yang kontroversi. Setidaknya hampir seluruh tokoh haluan
kanan bersuara tanpa klarifikasi lebih dalam membaca tesis tersebut. Saya masih
ingat betul bagaimana seorang tokoh MUI mencaci penulis lewat saluran TV stasta.
Padahal jika dilihat tingkat relevansi tesisnya dengan Indonesia mungkin tidak
ada, namun bukan berarti di negara lain memiliki tingkat relevansi yang sama
(jika tesis telah direvisi).
Secara isi dan hukum, menurut promotor dan ketua sidang
masih perlu pendekatan lain dan penelitian lebih lanjut. Namun menariknya bukan
pada hasil tesis yang mungkin dianggap tabu atau belum sempurna, tapi ide
dirinya sendiri yang secara individu ingin merelevankan beberapa ayat dalam al
Qur’an yang dianggap “nganggur”. Dimana harapannya muatan dalam kitab suci itu
relevan saat ini bahkan selamanya dalam kerangkan yang bisa diukur dengan
obyektif. Hal itulah yang mendasari penelitiannya yang kemudian menerjemahkan pandangan
muhammad Syahrur dalam hubungan non-marital.
Buruknya, golongan kanan paling ambisius menggelorakan emosi
sehingga membuat social text yang tidak hanya merendahkan bahkan
menghina penulis. Tidaknya sampai disitu, dari social text yang terbangun
terjadilah teror bahkan intimidasi yang merusak reputasi bahkan keluarga seorang
akademisi. Fenomena ini menjadi phobia bagi akademisi lainnya untuk membahas
hal yang dianggap tabu dalam masyarakat. Bahkan lebih buruknya, akademia enggan
membahas hal-hal yang dianggap tabu dalam masyarakat namun tersurat dan
tersirat dalam kitab suci. Asalkan golongan kanan tau, kejayaan Ustmani jatuh
didasari peradabannya gagal membahas hal yang tabu dan ketika mendapat serangan
ide peradaban lain, mereka sudah terlambat untuk bergerak.
Ide menjadi polar dalam kehidupan manusia, apapun ide itu akan
menjadi roh yang akan hidup selamanya. Hanya orang-orang yang bodoh mengorbankan
ide untuk materi sesaat. Tapi itulah yang terjadi, ide tentang pembangunan
peradaban bangsa seharusnya lepas dari kepentingan materi. Sebagaimana negara
ini dibangun dengan berimpikan peradaban besar namun gagal karena ide materi
menyusup disetiap hati kecil manusia.
Peradaban yang besar berawal dari ide, ide yang lurus dan
murni untuk kehidupan sosial bukan ide yang berisi social text sentimen.
Dikit2 teriak “NKRI Harga mati” atau “aku pancasila” atau semacamnya hanya akan
menghambat ide tentang konstruktifitas. Jargon tidak dibutuhkan dalam membangun
peradaban tapi ide adalah tiang utama dari peradaban. Ide hidup harmonis dan
beragam telah hidup dalam setiap ingatan individu bangsa namun egoisme membuat
hubungan antara individu berantakan. Jika sudah begitu kembalilah ke dasar awal
ide dimana tujuan kita adalam melahirkan peradaban lebih baik bukan hanya
memperbaiki peradaban saat ini tapi juga mewariskan untuk generasi setelahnya.
Tentu harapan ini dapat dirasakan oleh genarasi selanjutnya
dengan tetap mempertahankan ide bangsa untuk hidup harmonis berdampingan tanpa
melihat perbedaan. Oleh karena itu ide ini wajib untuk kita hidupkan walau harus
menerima kekurangan atau menerima ide lain secara objektif. Itulah bagian
tersulit dari kehidupan sosial ini, menerima kelemahan dan mengakui keunggulan.
Semoga apa-apa ide yang dilanjutkan adalah ide-ide yang benar-benar berisikan
roh terhadap pembangunan peradaban demi keberlanjutan kehidupan dan kemanusian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar