I.
Peran Pemerintahan Bukittinggi
Pada awalnya Bukittinggi dalam
nagari minagkabau merupakan kesatuan wilayah adat yang otonom, Minangkabau
merupakan republik mini dengan teritorial yang jelas anggota-anggotanya,
mempunyai pemerintahan sendiri yang mengatur tata kehidupan anggotanya.[1]
Oleh sebab itu Bukittinggi dalam Minangkabau merupakan suatu kesatuan nagari
pemerintahan karena Bukittinggi berdiri di atas tanah Minankabau.
Perkembangan kota Bukittinggi
setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia kembali mengalami perubahan
fungsi, Bukittingi daerah administratif kembali menjadi Stadsgemeente Fort De
kock atau disebut juga sebagai kota benteng pertahanan. Berdasarkan ketetapan Gurbernur
Provinsi Sumatra No.391 tanggal 9 juni 1947, dilakukan pembentukan kota
Bukittinggi sebagai kota yang berhak mengatur dirinya sendiri.
Bukittinggi menjadi kota menjadi
kota semakin penting ketika mengandung kejadian sejarah atau nilai histories
yang terjadi di kota ini. Kejadian sejarah yang terjadi di Bukittinggi saat
berakhirnya pemerintahan jepang di Indonesia dapat saya bagi sebagai berikut:
Awal
PDRI dimulai saat kunjungan M.Hatta selaku wakil president dengan Mr Syafruddin
Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran ke Bukittinggi, singkat cerita M. Hatta
terpaksa kembali sesegera mungkin ke Yogyakarta untuk mengikuti rapat kabinet
menghadapi kemelut serangan Belanda dengan Agresi militer II-nya. Di Yogyakarta
terjadi persidangan kabinet terhadap serangan Belanda yang semena-mena telah
melangar perjanjian renville menghasil keputusan rapat berupa perintah mandat
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia kepada Mr Syafriddin Prawiranegara.
Sebelum
yogyakarta di kuasai oleh Belanda letnan jendral Sudirman telah membujuk
President dan Wakil President untuk ikut dengannya agar tidak di tangkap oleh
Belanda, tetapi mereka menolak ajakan itu. Kemudian agresi militer Belanda ini
berhasil menguasai Yogyakarta dan menagkap President dan Wakilnya serta
beberapa pejabat kementerian RI. Tetapi sebelum itu telah dikirim surat
perintah melalui telegraf berisi keputusan sidang kabinet oleh Mr Juanda selaku
menteri perhubungan kepada Mr Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi. Singkat
kata pada tanggal 22 Desember 1948 di Halaban, sebuah desa dekat Payakumbuh,
sekitar 45 km dari Bukittinggi, Mr Syafruddin Prawiranegara mengumumkan
pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).[2]
Susunan
Kabinet PDRI[3]
·
Ketua PDRI, Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan,
dan Menteri Luar Negri
:
Mr Syafrudding Prawiranegara
·
Wakil Ketua PDRI, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pendidikan & Kebudayaan, dan Menteri Agama : Mr TM
Hasan
·
Menteri Keamanan, Menteri Sosial, Menteri Pembangunan,
Menteri Pemuda, dan Menteri Pemburuhan : Mr SM
Rasjid
·
Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman : MR Lukman Hakim
·
Menteri Pekerjaan Umum, Menteri kesehatan: Ir Mananti
Sitompul
·
Menteri Perhubungan, Menteri Kemakmuran: Ir Indracahya
·
Sekretaris PDRI :
Mardjo Danubroto
·
Panglima Besar Angkatan Perang : Letnan Jendral Sudirman
·
Panglima Tentara Teritorial Djawa : Kolonel A H Nasution
·
Panglima Tentara Teritorial Sumatera : Kolonel R Hidayat
Bukittinggi
merupakan pusat penggalangan seluruh kekuatan perjuangan di Sumatera, sebelum
pada bulan November 1945 Dr AK Gani yang diangkat oleh Markas Besar TKR di Jawa
sebagai organisator dan Koordinator TKR di seluruh Sumatera, mengangkat
Suhardjo Hardjo Wardojo menjadi Kepala Staf Umum Markas Besar TKR untuk
Sumatera dengan pangkat Mayor Jendral. Upaya yang dilakukan Suhardjo di
Sumatera ialah dibentuknya tiga divisi: Divisi Gajah di Sumatera Utara, Divisi
Banteng di Sumatera tengah, dan Divisi Sumatera selatan. Setelah itu Suhardjo membentuk Komandemen
Tentara Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi dengan dia sendiri sebagai
Panglima.[4]
Pada
masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini di Bukittinggi mengalami
kegoncangan dimana seluruh armada belanda mencari pusat PDRI yang dianggap
sebagai pengganti dari pemerintahan Soekarno di Yogyakarta. Belanda selalu
beranggapan bahwa untuk menguasai pulau jawa maka mereka cukup menyerang Yogyakarta
sedangkan untuk menguasai Sumatera mareka menyerang Bukittinggi sebagai basis
penting. Tak heran karena benteng Belanda terdapat di Bukittinggi karena memang
merupakan tempat strategis dalam mementau daerah sekitar dari atas bukit itu.
Bukittingg menjadi kota yang mencekam karena belanda melakukan pembunuhan masal
di berbagai tempat, terutama di tempat-tempat yang dianggap pusat pergerakan
pemerintah Indonesia. Sedangkan pemerintahan PDRI dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah sehingga sulit untuk dilacak oleh
belanda dan antek-anteknya. Perpindahan ini dilakukan secara bergerilya di
sumatera barat dimana mereka melakukan perpindahan antar kampung pada malam
hari oleh sebab itulah belanda mustahil untuk menemukan mereka karena selain
dari strategi yang mereka lakukan pemerintahan PDRI ini didukung sepenuhnya
oleh rakyat Indonesia.
Bukittinggi
menjadi kota besar bersamaan dengan munculnya kota besar lainnya, Bukittinggi
menjadi kota besar diatur dalam Undang-Undang No.22 tahun 1948 dengan keluarnya
Undang-Undang No.9 tahun1956.
III.
Peran pemerintahan
Bukittinggi saat PRRI 1958-1962
Bentuk pergerakan heroik dari daerah
sumatera yang kritis terhadap sistem pemerintahan yaitu satu dari konflik yang
jalin menjalin sebagai manifestasi kekecewaan terhadap sistem demokrasi
parlementer yang berlangsung pada tahun 1958. Kritik itu tertuju pada sistem
birokratis negara yang tidak efisien dan korup yang terjadi pada pemerintahan
pusat sehingga sudah menjadi rahasia umum di mata masyarakat. Para pemimpin
daerah yang menentang Soekarno secara terang-terangan agar menghentikan
pemborosan demi kepentingan politik luar negerinya. Tetapi Soekarno secara
konsisten tetap mempertahankan pendiriannya sehingga memuncak dalam bentuk
perlawanan terhadap pemerintahan pusat yang dikenal dengan PRRI-SEMESTA. Hal
ini tentu tidak membuat diam pemerintahan di luar Indonesia terutama Australia
yang merasa Indonesia diambang berkembangnya paham komunis yang berdominasi di
Djawa, maka Australia membantu Sumatera untuk menghalau paham komunis yang
berkembang di Djawa dengan cara meruntuhkan pemerintahan pusat.[5]
Saat itu bukitinggi merupakan
Bukittinggi menjadi pusat pemerintahan untuk pulau Sumatera atau disebut dengan
kotapraja Bukittinggi di bawah pengaturan Undang-Undang Pemerintahan Daerah No
1 tahun 1957 dan penetapan Presiden No 6 Tahun 1957.
10 Pebruari 1958 melalui radio
Bukittinggi diumumkanlah pemerintahan baru oleh kolonel Achmad Husein selaku
komando pembebasan Sumatera tengah dalam arti lain telah terjadi Proklamasi di
Bukittinggi sebagai suatu pemerintahan.[6]
Hal ini mendapat tanggapan buruk dari pemerintahan pusat dimana mereka menyebut
telah terjadi kebandelan dari pihak daerah secara semena-mena. Menurut
pandangan Muhammad Roem, hal ini bukan bentuk proklamasi yang memisahkan negara
Sumatera namun merupakan pemerintahan baru bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sedangkan maksud Sumatera memproklamirkan suatu pemerintahan baru adalam untung
mengultimatum agar pemerintaha di Jakarta dihentikan.[7]
Pemerintahan pusat bukannya
mengintropeksi terhadap kebijakan politik yang dilakukan malah melakukan suatu
bentuk pemaksaan berupa kekerasan fisik terhadap propisi yang menyetujui
proklamir itu, karena secara de fakto bentuk pemerintahan di Sumatera akan
berdampak buruk terhadap perekonomian di Jawa.
Sumatera menjadi Pemerintahan baru
selain dari Jawa maka dalam hal ini sering Bukittinggi di pakai sebagai tempat
admintrasi bahkan pusat dari pergerakan politik yang sedang berkecamuk antara
pemerintahan pusat yaitu Jawa dan pemerintahan Sumatera. Fasilitas radio yang
terdapat di Bukittinggi sering menyiarkan informasi-informasi tentang
kelangsungan dari pemerintahan Sumatera. Proklamasi PRRI ternyata mendapat
dukungan dari Indonesia bagian Timur. Tanggal 17 Februari 1958 Somba memutuskan
hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Gerakannya dikenal dengan
Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini jelas melawan pemerintah
pusat dan menentang tentara sehingga harus ditumpas. Untuk menumpas gerakan
Permesta, pemerintah melancarkan operasi militer beberapa kali. Berikut ini
operasi-operasi militer tersebut.
- Komando operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat.
- Operasi Saptamarga I dipimpin Letkol Sumarsono, menumpas Permesta di Sulawesi Utara bagian Tengah.
- Operasi Saptamarga II dipimpin Letkol Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan.
- Operasi Saptamarga III dipimpin Letkol Magenda dengan sasaran kepulauan sebelah Utara Manado.
- Operasi Saptamarga IV dipimpin Letkol Rukminto Hendraningrat, menumpas Permesta di Sulawesi Utara.
- Operasi Mena I dipimpin Letkol Pieters dengan sasaran Jailolo.
- Operasi Mena II dipimpin Letkol Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai.
IV.
Peran pemerintahan Bukittinggi
sekarang
Kota bukittinggi sampai sekarang
mempunyai status sebagai kotamadya berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Akan tetapi sampai tahun 1979
secara de yure Bukittinggi tetap menjadi ibu kota propinsi Sumatera Barat.
Namun secara de fakto sejak tahun 1958 Ibukota Propinsi Sumatera Barat
dipindahkan ke Padang dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1979.
Walaupun Kota Bukitting bukan lagi
sebagai Ibukota tetapi Kota bukittinggi telah mengalami berbagai kemajuan baik
dibidang ekonomi maupun dibidang pelayanan umum dan pendidikan. Menurut M. Nur
Idris (ketua komisi A DPRD kota Bukittinggi) “sekarang kota bukittinggi telah
menjadi kota multinama seperti Kota Pendidikan, Kota Perjuangan,
Kota Jam Gadang, Kota Tri Arga, Kota Wisata, Kota Pelayanan Kesehatan, Kota
Jasa, dan Perdangangan, Kota Bunga Dahlia (yang baru dicanangkan saat ini).
Berkembangnya
kota bukittinggi tidak lepas dari peran penting masyarakat bukittinggi yang
mendukung kemajuan pemerintahan kota di berbagai bidang seperti pendidikan dan
perawatan benda-benda bernilai sejarah di Bukittinggi itu. Sehingga bukittinggi
sekarang telah berkembang menjadi kota pariwisata terpenting di Sumatra Barat.
Selanjutnya, bukittinggi mempunyai fasilitas mendukung dalam bidang kesehatan
seperti adanya Rumah Sakit Stroke Nasional yang termasuk terbesar di Indonesia.
Sebagaimana
halnya secara umum kota-kota di Indonesia, sebuah kota daerah tingkat II di
perintah oleh seorang Walikota. Begitu juga dengan Bukittinggi yang sejak awal
kemerdekaan dipimpin oleh seorang walikota. Struktur dan perangkat
pemerintahannya beberapa kali mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan
situasi. Namun struktur dan perangkat tersebut sedikit agak berbeda dari
kota-kota lain seperti pada tanggal 21 maret 1946 Residen Sumatra Barat
mengeluarkan maklumat tentang sistem pemerintahan nagari yang otonom dan
berlangsung hingga tahun 1950. Dari sana terbentuk struktur kepimpinan terdiri
dari Wali Nagari dan wakilnya, Dewan Harian Nagari, dan Dewan Perwakilan Nagari.
Sistem itu menempatkan kembali Wali Nagari sebagai penguasa tertinggi di Nagari
Kurai Limo Jorong.
Kota Bukittinggi
yang sejak semula telah berbeda pola struktur pemerintahannya dari kota-kota
lain tentu harus menyesuaikan dengan struktur baru tersebut. Akhirnya DPRD dan
Niniak Mamak membuat kesepakatan tampa menghilangkan kepemimpinan traditional
secara drastis.[8]
Melaksanakan UU No. 5 tahun 1979 dalam rangka mengganti sistem lima jorong
dengan pola struktur pemerintahan baru Kota Bukittinggi dan membagi kota
Bukittingi menjadi tiga kecamatan, terlaksana efektif pada tahun 1981, yaitu:
1.
Kecamatan
Guguk Panjang.
2.
Kecamatan
Mandiangin Koto Selayan.
3.
Kecamatan
Aur Birugo Tigo Baleh57.
Tabel
Struktur Organisasi Pemerintahan Kotamadya/daerah Tk. II Bukittinggi
Berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1974
Walikota
|
DPRD
|
Badan
Pengembangan Daerah
|
Sekretaris Daerah
|
Sub Direktorat
|
Kelompok Pembantu
Pribadi
|
Sub Direktorat
|
Bagian-Bagian
|
||
Umum
|
Personalia
|
Hukum
|
Dinas-Dinas
|
|||
Pendataan Daerah
|
Teknik Kota
|
Usaha
|
Perlindungan masyarakat
|
Bidang Otonom
|
Instansi-instansi
vertikal
|
Sub Bahagian
Humas
|
Sub Bahagian
|
|
Sandi Telekomunikasi
|
Bendahara
|
Jorong-Jorong
Kampung
|
Sumber: Monografi kotamadya Dati II
Bukittinggi, 1977
V.
Peran Pemerintahan Kota Bukittinggi Menentukan
Identitas Kota
Seiring dengan perkembangan zaman
Bukittinggi menetapkan hari jadinya dengan beberapa tujuan antara lain:
- Mengetahui landasan histories kehidupan kota bagi memahami nilai-nilai ideal yang terkandung dalam pengalaman sejarahnya.
- Memperoleh identitas kehadiran kota di pentas sejarah perkembangan bangsa secara keseluruhatn.
- Memperoleh landasan ideal dalam merintis perkembangan kota selanjutnya.
Berdasarkan hal-hal di atas,
Pemerintah Kota Bukittinggi mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat
baik yang berada di daerah maupun di perantauan, dan terakhir meminta pendapat
DPRD memberikan alternative tanggal yang dapat ditetapkan sebagai hari jadi
Kota Bukittinggi, setelah meminta pula pendapat beberapa Tokoh masayarakat baik
yang berada di Kerapatan Adat Nagari (KAN) maupun Kerapatan Adat Kurai (KAK)
dengan disertai harapan, hendaknya Pemerintah Daerah untuk penetapan tanggalnya
yang pasti menunjuk suatu Badan atau Lembaga yang professional di bidangnya
untuk menseminarkannya.
Sebagai tindak lanjut dari
kegiatan di atas, Pemerintah Kota Bukittinggi, bekerjasama dengan
Universitas Andalas dan beberapa pakar sejarah baik di daerah maupun di tingkat
nasional telah menseminarkannya.
Hasil seminar tersebut mendapat
persetujuan DPRD Kota Bukittinggi dengan Surat Keputusan No.10/SK-II/DPRD/1988
tanggal 15 Desember 1988, akhirnya Pemerinath Daerah dengan Surat Keputusan
walikota Kepala Daerah Kota Bukittinggi No. 188.45-177-1988 tanggal 17 Desember
1988 menetapkan Hari Jadi Kota Bukittinggi tanggal 22 Desember 1784.
Sejarah perkembangan phisik Bukittinggi dapat
diuraikan sebagai berikut :
- Pasar
Atas
Pasar Atas didirikan di atas bukit Kandang Kabau pada tahun 1858, bangunan pertama los Galung dengan kontruksi kerangka besi berbentuk atap melengkung. - Kebun
Binatang
Kebun Binatang ini dulunya dengan nama Kebun Bungo kemudian berubah nama menjadi Taman Puti Bungsu. Dengan Perda No. 2 tahun 1995 diberi nama Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan. Dibangun pada tahun 1900 dengan nama Stormpark di atas Bukit Cubadak Bungkuak oleh Conteleur Gravenzande. Pada tahun 1929 dilengkapi menjadi kebun binatang dengan pimpinan dokter hewan J.Ock. - Jenjang
40
Untuk menghubungi Pasar Atas ke Pasar Banto dan Pasar Bawah dinagunlah jejang 40. sebetulnya anak tangga yang ada pada jenjang tersebut berjumlah 100 buah, namun dinamai jenjang 40 karena jumlah anak tangga yang kecil pada sisi yang curam sebelah atas berjumlah 40 buah. Didirikan pada tahun 1898 masa Westeenek menjadi Asisten Agam. - Benteng
Benteng ini didirikan oleh Kapten Baeur pada tahun 1825 di atas Bukit Jirek, yaitu semasa Baron Hendrick Markus de Kock menjadi Komandan de Roepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dari sinilah asal nama Fort de Kock. - Jam
Gadang
Jam Gadang ini menjadi lambang kota Bukittinggi sehingga Bukittinggi sering juga disebut kota Jam Gadang, didirikan pada tahun 1926 oleh Countorleur Rookmaker. - Jenjang
Gantuang
Jenjang gantuang ini didirikan pada tahun1932 sewaktu Cator Countoleur Agam Tuo yang dimanfaatkan sebagai jembatan penyebarangan dari Pasar lereng ke Pasar bawah. - Rumah Adat
Baanjuang
Rumah adat ini didirikan pada tahun 1935 diatas Bukit Cubadak Bungkuak yaitu di dalam Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan sekarang pada masa J. Mandelaar Countroleur Agam Tuo. Dalam rumah adat ini banyak tersimpan benda-benda peninggalan sejarah bauk Bukittinggi maupun Minangkabau. - Sekolah-sekolah
Semenjak zaman penjajahan Belanda, di Bukittinggi sudah banyak didirikan sekolah yang merupakan satu-satunya untuk Sumatera, didukung cuaca yang sejuk Bukittinggi cocok untuk pendidikan.
Sekolah-sekolah yang didirikan adalah sebagai berikut :
a. Kweek School, satu-satunya untuk pulau Sumatera dan sekolah ini disebut juga sekolah Raja. Disinilah didik calon-calon guru untukl Bumiputra.
b. MOSVLA yang juga satu-satunya di Sumatera tempat calon-calon Pamong praja dan Kepolisian.
c. MULO terdapat 2 buah milik Pemerintah di Minang kabau dan 1 milik swasta yang dikelola oleh IVOORSA.
d. HIS milik Pemerintah 2 Buah dan 3 buah dikelola oleh swasta, yaitu 1 oleh PGI, 1 oleh VSM ( sekarang PSM ) dan 2 lagi didirikan oleh Zainuddin Sutan Kerajaan yang bernama VORSA, cabangnya di Medan dengan Nama IVORNO. - Rumah
Sakit
Rumah Sakit Ahmad Mochtar yang sekarang, semula dibangun oleh Pemerintah Belanda untuk kepentingan Militernya, YARSI, Rumah sakit TNI- AD IV, Rumah sakit Pusat Pengembangan Penaggulangan Strok Nasioanal ( P3SN ) RSUP Bukittinggi dan Rumah Sakit Madina.
Sumber
http://www.bukittinggikota.go.id
01april2012
cat kaki:
28. Imran Manan, Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di
Minangkabau : Nagari dan Desa di Minangkabau (Padang: Yayasan Pengkajian
Kebudayaan Minangkabau, 1995) hlm. 23-24.
56. Harian Singgalang, 17 Desember dan 28
Desember 1977.
57. Bukittinggi dalam
angkat 1981, op. Cit.,hlm 12-13
40. SM Rasjid, sekitar PDRI (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), hal. 17-18
10. Audrey R Kahim,
pergolakan daerah pada awal kemerdekaan, terjemahan Satyagraha Hoerip (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1989) hal. 169
123. Australia
Archives, Series, A. 1209/64, Item, 60/983, 16 Januari 1958, hlm. 9-10.
126. Ibid, 8
Pebruari1958. Lihat juga pernyataan Ganis Harsono dalam Recollections of an
Indonesian Diplomat in the Sukarno Era, University of Queensland Press, St
Lucia , Queensland, 1977, hlm.1-2.
128. Australia
Archives, Series, A. 1838/283; Item, /3034/10/1Pt6, 25 Pebruari 1958. Surat Dubes
Australia di Jakarta, Mclntyre kepada Pemerintahan Canberra.
106. Nugroho
Notosusanto, Naskah Proklamasi (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hal.4.
Kesimpulan
Bukittinggi
menjadi ibukota berarti juga menjadi pusat dari pemerintahan dan tidak terlepas
juga pada pusat pangkalan militer saat terjadi beberapa konflik baik konflik
internal maupun eksternal. Tak bisa di pungkiri keberada an bukittinggi sangat
penting bagi Indonesia karena bukittinggi merupakan jalur penerimaan informasi
teraktual dari belahan dunia melalui radio yang sekarang kita kenal RRI
Bukittinggi. Bukittinggi kota yang pernah memimpin penentangan terhadap rezim
Soekarno yang semena-mena terhadap politik negara sehingga berakibat pertumbuan
daerah di luar jawa menjadi lambat. Bukittinggi sekarang menjadi kota yang
damai dengan menyandang beberapa nama besar sehingga menjadi kota yang penting
disinggahi ketika kenegeri minang atau sumatera barat ini.
[1] Imran Manan, Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di
Minangkabau : Nagari dan Desa di Minangkabau (Padang: Yayasan Pengkajian
Kebudayaan Minangkabau, 1995) hlm. 23-24.
[2] Audrey R Kahim,
pergolakan daerah pada awal kemerdekaan, terjemahan Satyagraha Hoerip (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1989) hal. 169.
[3] SM Rasjid, sekitar PDRI (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), hal. 17-18.
[4] Nugroho
Notosusanto, Naskah Proklamasi (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hal.4.
[5] Australia
Archives, Series, A. 1209/64, Item, 60/983, 16 Januari 1958, hlm. 9-10.
[6] Ibid,
8 Pebruari1958. Lihat juga pernyataan Ganis Harsono dalam Recollections of an
Indonesian Diplomat in the Sukarno Era, University of Queensland Press, St
Lucia , Queensland, 1977, hlm.1-2.
[7] Australia
Archives, Series, A. 1838/283; Item, /3034/10/1Pt6, 25 Pebruari 1958. Surat
Dubes Australia di Jakarta, Mclntyre kepada Pemerintahan Canberra.
saya ingin bertanya apakah di bukittinggi masih menggunakan kerapatan adat dalam penyelesaian masalah?
BalasHapusSenmei Wardhatul Terimakasih
HapusJawabannya tentu tidak karena saat ini seperti ketetapan diatas yang berhak menyelesaikan masalah atau yang berwenang adalah pemerintahan daerah seperti halnya daerah lain. Dalam kata lain pemerintahan adat tidak memiliki landasan hukum untuk diikuti apalagi dipatuhi karena telah beralih pada pemerintahan suprastruktural daerah yang kita kenal DPRD.