Kebijakan
otonomi daerah keluar pada tahun 2001 memiliki harapan masing-masing daerah
dapat berkembang dalam pertumbuhan ekonomi sesuai dengan harapan keluarnya
kebijakan tersebut. Daerah berpotensi memiliki sumber daya alam yang melimpah
sudah sepatutnya lebih mendapati kemajuan atau tidak boleh mengalami
ketinggalan dalam pembangunan. Atas dasar inilah kemudian sumber daya daerah
banyak yang diakuisisi oleh pemerintahan daerah tanpa melibatkan pemerintahan
pusat.
Akibat
dari keluarnya otonomi daerah banyak diantara pemegang saham menanamkan
sahamnya dibeberapa daerah di Indonesia. Penanaman saham dalam bentuk
menggalian atau penggambilan sumber daya alam tentu membawa dampak pada
lingkungan sekitar. Dampak bahaya lingkungan yang sampai dirasakan oleh
masyarakat dapat menjadikan gugatan terhadap perusahaan yang melakukan
aktifitas pengolahan. Tidak jarang dari semua dampak yang diakibatkan oleh
perusahaan penambang menjadi kerusuhan di tengah masyarakat.
Nampaknya
kerusuhan demi kerusuhan tidak membuat pengaruh bagi pemerintah daerah dalam
memberikan hal pengolahan/penambangan di daerahnya. Terjadinya penambangan
berarti mendatangkan investasi dan menguntungkan pemerintahan daerah. Dampak
yang diterima oleh masyarakat tidak menjadi persoalan dan dikalahkan oleh
investasi yang masuk ke kas daerah. Kasus kerusuhan yang pernah terjadi sebut
saja daerah Bima, Nusa Tenggara Barat. Begitu besar dampak sosial yang
ditimbulkan oleh pertambangan di sana sehingga menjadi kasus yang serius.
Tulisan
kali ini saya menggunakan teori elite dalam studi kasus gugatan Isran Noor,
Bupati Kutai Timur, terhadap UU no 4 tahun 2009 tentang minerba. Gugatan ini
bertujuan untuk menyesuaikan antara UU no 4 tahun 2009 tentang minerba dengan
UU 1945 yang dianggap saling bertentangan. Isran Noor mengajukan judicial
review pasal 1 angka 29, angka 30, angka31, pasal 6 ayat (1) huruf e, dan ayat
(2). Ditambah lahi pasal 10 hurup b dan c, pasal 11-19, termasuk penjelasan
pasal 15, yang dimohonkan untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut
Isran Noor pasal tersebut menghambat kepala daerah dalam mengelola kekayaan
sumberdaya mineral dan batubara di wilayahnya.
Elit
politik memiliki pengaruh dalam mendapatkan peluang pemdapatan asli daerah
(PAD) terutama setelah ditetapkannya otonomi daerah. Wilayah kekuasaan pusat
menjadi terbatas di daerah dan elit politik daerah mendapatkan keuntungan dari
sumberdaya yang mereka miliki. Hal inilah yang dibahas oleh Isran Noor dimana
dia merasa bahwa UU no 4 tahun 2009 akan menghambatnya dalam mengelola sumber
daya alam daerahnya.
Penulis
menganalisis bahwa ada upaya dari elit daerah dalam mempermudah upaya Wilayah
Usaha Pertambangan (WUP) dengan maksud tertentu. UU no 4 tahun 2009 dinyatakan
menghambat usaha pertambangan atau hanya mempersulit terjadinya penambangan di
daerah tersebut. Isran Noor selaku bupati daerah tidak seharusnya menjadikan
mempermasalahkan UU no 4 tahun 2009. Bahaya jika dalam pengurusan WUP
dipermudah akan membawa dampak negative bagi lingkungan terutama bagi
masyarakat. Setidaknya sedikit mempersulit dengan beberapa indikasi yang
diperhatikan dapat membuat pertambangan yang ramah lingkungan juga tidak
berdampak pada masyarakat.
Pasal 11-19 menjadi gugatan oleh
Isran Noor adalah masalah perizinan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan
WUP. Pemerintah berhak memberikan wewenang maupun mensyahkan daerah tersebut
boleh atau tidaknya di jadikan pertambangan. Gugatan dari Isran Noor menjadi
hal yang tidak beralasan bagus dalam menggugat UU tersebut apalagi membawa-bawa
UUD 1945 pasal 18A ayat (2) dimana menjelaskan bahwa pemerintahan daerah
mengatur pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan asas otonomi daerah
masing-masing.
Tampaknya dengan berlakunya otonomi
daerah menyebabkan masing-masing daerah atau elit daerah semakin berusaha bebas
dalam mengatur dan pemanfaatan sumber daya alam tanpa kontrol dari pusat. Hal
ini menjadi masalah jika suatu ketika penyebaran pertumbuhan ekonomi tidak
merata dan hanya berkembang pada daerah yang memiliki sumber daya alam yang
strategis. Kasus gugatan Isran Noor merupakan suatu bukti bahwa adanya
permainan pasar daerah tetapi berurusan dengan asing. Bahayanya adalah jika
hubungan ini tidak melibatkan pemerintahan pusat kemudian pemerintahan dikenai
gugatan maka pemerintahlah yang akan mengalami kerugian seperti gugatan Churchill
terhadap Indonesia melalui Pengadilan Arbitrase Internasional (International
Centre for Settlement of Invesment Dispute, Washington/ICSID). Indonesia
dikenai gugatan $ 20 milliyar atau Rp 20 trilliun karena kerugian yang dialami
oleh Churchill.
Untuk meminimalisir dari dampak
kecurangan atau keamanan dari pembukaan WUP maka sudah seharusnya pemerintah
ikut campur serta memberi wewenang dalam keberlangsungannya pertambangan
tersebut. Pemerintahan daerah harus bekerjasama serta berkoordinasi dengan
pemerintahan pusat terkait dengan izin WUP. Pemerintahan pusat harus selalu
mengkontrol WUP agar tidak terjadi pelanggaran atau pemalsuan dokumen yang
membuat kerugian negara.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar