Kekacauan
pemerintah dalam menjalankan pemerintahan dapat terlihat dari rangkaian upaya
dalam pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Hampir sebulan lamanya setelah
mengeluarkan Perppu, surat pembubaran sama sekali belum diterima artinya secara
hukum HTI tidak memiliki syarat cukup untuk mengajukan gugatan hukum MK. Sulit
dipercaya, pemerintah seakan-akan tidak punya profesionalitas dalam menjalankan
pemerintahan. Ditengah banyak isu negatif lainnya baik itu naiknya tarif dasar
listrik, hak angket, kasus ektp, hingga masalah beras pemerintah seakan
memiliki segudang “PR” yang harus di tuntaskan.
Baru-baru
ini akan diadakan suatu diskusi tentang listrik yang lebih tepat saya sebut
dengan persekongkolan penguasa dengan intelektual. BEM UI dan BEM FT berkolaborasi
membuat suatu panggung meluruskan kesepahaman pemerintah yang akan diaminkan
oleh lembaga tersebut. Harus melihat jeli di sini, beberapa pekan yang lalu BEM
UI datang pada pansus angket kemudian mencak-mencak menolak ruangan diskusi
ber-AC dan mewah. Ditambah lagi mereka menginginkan Pansus Angket bicara di
lapangan lepas dan diskusi. Tapi coba lihat sekarang, mereka tengah membuat
acara dengan mengundang sejumlah petinggi pemerintah termasuk presiden RI di
hotel Borobudur, Jakarta. Hotel yang terbilang mewah tersebut serta undangan
pada pejabat tinggi negara seolah hal yang biasa bagi mereka ditengah keadaan
rakyat yang terancam dengan kemelarat atas kebijakan yang dinilai memberatkan.
Naiknya TDL
sebagai tumbal kedaulatan energi negara ini menjadi tema diskusi yang tidak
akan mengubah apa-apa terhadap nasib rakyat. Kemana lembaga yang pro rakyat
tahun 1998 itu berada? Adakah lembaga di UI yang masih menjadikan ini sebagai
masalah atau malah ikut bersekongkol dengan penguasa? Ditengah tanda tanya itu
kita melihat ada seakan penyingkiran pihak yang mengkritik pemerintah dan
merangkul pihak yang sejalan dengan pemerintah. Seperti HTI dan FPI sebagai
hadiah dari abad reformasi ini malah dikriminalisasi. BEM UI dijadikan
gandengan karena konsistensi per periode lembaga ini terombang ambing.
Pemerintah
seakan ingin menjadikan dirinya sebagai petarung tunggal yang tidak melihat
kebawah apalagi ke atas. Inilah yang disebut dengan otoriter pemerintahan yang
lebih buruk dari zaman kolonial sekalipun. Indikasinya dilengkapi dengan ambang
batas presiden 20-25% sehingga akan menjadi suatu kemungkinan pemerintah
periode selanjutnya tidak akan berubah. Hanya tinggal dua kemungkinan yang
terjadi pada periode selanjutnya yaitu munculnya gerakan penolakan rakyat atau dibungkamnya
kritik rakyat dengan tuduhan tidak Pancasilais serta sanksi pidana. Kondisi
bisa jauh lebih parah dari masa Orde Baru karena contohnya untuk anggota HTI
saja paling ringan akan kena hukuman 20 tahun penjara.
Gejala-gejala
tudingan dan gangguan pada pihak yang berseberangan dengan pemerintah telah
terlihat. Beberapa kejadian kriminal tidak asing lagi menghiasi layar kaca
kita. Haruskan itu disebut suatu kebetulan? sedangkan tindakan yang mengancam
nyawa tokoh tertentu ditakuti oleh pemerintah. Terdapat beberapa kemungkinan
yang pemerintah inginkan dari kondisi yang telah terjadi saat ini. Pertama
berdamai serta mengabaikan kritik masalah pemerintahan. Kedua mengancam dengan
sanksi pidana atau tindakan gangguan/persekusi yang berbahayakan nyawa.
Ingin sekali
saya selaku penulis salah dalam menganalisa kondisi politik yang terjadi saat
ini. Seandainya pemerintah mengeluarkan pernyataan tentang kondisi saat ini
dengan suka cita tentu saya bisa paham dan sadari tindakan yang tengah
dilakukan. Tapi ini lah yang terjadi, inilah kondisi yang ada, serta inilah
beberapa anlisis keadaan politik dan kemungkinan terbaik untuk kondisi yang
akan datang. Selamat datang dunia tuding, tuduh, dan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar