DITINJAU
PENELITIAN VAN NIEL DAN R. ELSON : TANAM PAKSA (1830-1860)
Kelas
Sejarah Agraria
Kelompok
IV:
Ilhamdi
/ 1106056964
Dwiki
Fahmi
Ketut
Lamria
Aushop
Fahmi
Ketut
Lamria
Aushop
PROGRAM
STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS
ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2013
DEPOK, 2013
BAB I
Pendahuluan
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Masa
tanam paksa meyisakan banyak pro kontra masalah kesejahteraan masyarakat Jawa
pada khususnya. Ada yang mengatakan masyrakat Jawa hidup dalam kemelaratan
sesuai dengan history of java yang
dikarang oleh multatuli, namun ada juga yang mengatakan masyarakat Jawa
mendapat kesejahteraan dengan penghasilan lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya.
Pernyataan-pernyataan bertentangan itu ditulis masing-masing masing oleh dua
sejarawan terkenal yaitu Van Niel dan R. Elson.
Istilah tanam paksa atau culture
stelsel merupakan program dari pemerintahan Hindia Belanda untuk mengumpulkan
sumber pendanaan kerajaan yang saat itu kosong. Program ini dalam bahasa
belanda berarti pembudidayaan tanaman ekspor yang berarti penanaman tumbuhan
ekspor untuk menjadi komoditi perdagangan yang nantinya akan sangat
menguntungan bagi pemerintah.
Pada masa sebelum diadakan culture
stelsel pemerintah telah menerapkan beberapa kebijakan terkait dengan haknya
sebagai pengganti raja jika kita lihat dari hirarkies secara objektif. Namun memasuki 1830 terjadi pergeseran keras
dimana masyrakat muncul golongan buruh yang bekerja dengan upah yang rendah di
pabrik-pabrik pengusaha baik swasta maupun pemerintah.
Van Neil dan R. Elson adalah dua
sejarawan memiliki padangan dalam melihat kesejahteraan yang tercipta dari
kultur stelsel. Keduanya memiliki sumber data yang mendukung pernyataannya
berdasarkan penelitianya terkait dengan tanam paksa ini.
Rumusan masalah dari makalah ini
akan menjawab beberapa aspek terkait dengan faktor-faktor pendukung pernyataan
Van Neil dan R. Elson. Pernyataan kedua sejarawan itu berkaitan erat dengan
aspek bidang ekonomi masyarakat dengan faktor-faktor seperti sistem upah,
permodalan, hingga kenaikan kesejahteraan masyarakat.
Makalah ini akan menjabarkan
beberapak aspek yang ditinjau dan mendukung masing-masing pernyataan dari
peneliti ini dalam makalah ini. Ruang lingkup peneliti dalam makalah ini
berkisar pada tahun 1830-1860 sesuai dengan lamanya culture stelsel diterapkan
di Hindia Belanda.
Secara umum makalah ini kami buat
untuk melengkapi tugas mata kuliah sejarah agrarian dari presentasi minggu
lalu. Disamping itu makalah ini juga bertujuan untuk memperbaiki beberapa
pernyataan yang kami dapat koreksi baik itu dari dosen mata kuliah maupun dari audiens yang bertanya dan menyampaikan
pernyataan.
BAB II
Kemiskinan
dan Kemakmuran Kaum Petani pada Masa Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa
A. (judul kecil ketut)
Kalau
dilihat sepintas, bukti-bukti penyebab kemiskinan petani dalam masa Tanam Paksa
tampak cukup ampuh untuk dipercaya. Namun, menurut Elson segala bukti-bukti
tersebut masih terlalu lemah untuk menyatakan bahwa tanam paksa memiskinkan
petani. Elson berpandangan bahwa bukti-bukti yang diberikan masih lemah secara
logika dan struktural. Selain itu, juga terdapat bukti-bukti yang mengatakan
sebaliknya, bukti-bukti yang menyatakan bahwa Tanam Paksa justru
mensejahterakan petani. Tanam paksa memang membuat kesengsaraan pada waktu dan
di daerah tertentu, tapi tidak menyebabkan kemiskinan secara merata.
Elson
mengemukakan tiga alasan bahwa pernyataan Tanam Paksa menyebabkan kemiskinan
itu lemah. Pertama,kebanyakan bukti
dan alasan yang dikemukakan berjenis “agaknya masuk akal” – misalnya masuk akal
kiranya jika petani harus menghabiskan banyak waktu menggarap tanaman ekspor,
maka tanam pangannya terabaikan. Argumentasi macam ini memperlihatkan kelemahan
pembuktian. Kedua, alasan yang
diutarakan mengenai kemiskinan itu tidak dilihat sesuai konteks kesejahteraan.
Kurang adanya perhatian terhadap kehidupan di Jawa sebelum tahun 1830, yang
akan dijadikan patokan untuk menilai taraf kehidupan selanjutnya yang berlaku
selama masa Tanam Paksa. Bagaimana pun juga, jika hendak mengemukakan alasan
mengenai munculnya kemiskinan, perlu didasarkan pemahaman terhadapa kehidupan
masyarakat sebelum sistem Tanam Paksa diterapkan. Ketiga, petani digambarkan seakan-akan sebagai korban yang tak
berdayadan bersikap pasif menghadapi kekuatan yang diluar kekuasaann mereka.
Jika kehidupan kaum petani dilukiskan semacam itu, maka bukti-bukti mengenai
pemiskinan petani cukup adanya. Namun , jika dilihat dari persepektif petani
sebagai pengelola dan pelaku, maka bukti alasan mengenai penyebab kemiskinan
menjadi lemah.
Beralih
dari keterbatasan alasan mengenai kemisikinan, mari lihat bukti-bukti yang
beralawanan. Elson mengelompokan bukti-bukti ini kedalam tiga kelompok, yaitu
keterangan dan penilaian deskriptif, bukti-bukti statistik, dan bukti-bukti
yang justru mengarah pada perluasaan radikal ekonomi dalam negeri.
Kelompok
pertama dari bukti-bukti mencakup berbagai kesan dan keterangan yang menunjukan
adanya perbaikan dari materai petani di Jawa selama sistem Tanam Paksa.
Kebanyakan bukti-bukti teresebut berasal dari Jawa Timur yang mengalami Tanam
Paksa paling intensif. Dari keresidenan Pasuruan misalnya, laporan-laporan dari
residen mengacu pada peningkatan perdagangan lokal. Banya tercatat keterangan
yang membenarkan laporan tersebut, bahkan dari tokoh-tokoh yang mengecam Tanam
Paksa. Selain dari Pasuruan, terdapat juga keterangan-keterangan positif yang
datang dari daerah Kedu, Begalen, Kediri, Madiun bahkan Cirebon. Ada yang
kurang diperhatikan mengneai laporan mengenai kesejahteraan, khususnya yang
mengacu bertambahnya luas tanah yang digarap dan pertambahan hasil yang
dikirim. Harus hait-hati pula terhadap laporan positif yang diajukan oleh
residen yang mengajukan bukti positif yang palsu hanya untuk mempertahankan
karirnya.
Bukti
yang kedua adalah angka-angka statistik. Perangkaian yang ada pada abad ke-19
cukup cocok dan memberikan dasar untuk menarik berbagai kesimpulan. Elson
memberikan tiga tabel mengenai hasil budidaya selama Tanam Paksa, yaitu tebu,
nila dan kopi. Berkenan dari hasi budidaya tebu, pembayaran hasil budidaya itu,
semenjak 1838, selalu melebihi pajak yang dibebankan. Dari segi regional,
petani dikebanyakan keresiden dapat membayar pajak mereka dari hasil lahan
mereka. Dari angka rata-rata bagi petani yang melaksanakan tanam paksa, selisih
antara hasil budidaya dan pajak makin mensejahterakan petani. Sebaliknya,
budidaya nila tak terlalu menguntungkan. Baru menjelan 1845 saja , pembayaran
untuk budidaya jatuh dibawah pembayaran pajak. Walaupun nilai nila jatuh,
separuh dari penggarap di keresidenan masih mampu memenuhi kewajiban pembayaran
pajaknya dan mengambil sedikit untung. Mengnai budidaya kopi tabel yang
diajukan Elson mengacu pada masuknya sejumlah besar uang yang bagi petani
sebagai hasil mereka dalam industri kopi. Di Pasuruan saja setengah dari
keluarga petani disana adalah penanam kopi. Uang yang dihasilkan petani kopi
bahkan dua kali lipat dari pajak yang harus mereka bayar. Dari daerah lain
memang dari angkanya kurang mencolok, namun cenderung kearah positif.
Angka-angka
statistik yang diterangkan mengindikasikan bahwa telah tersedia jumlah uang
yang besar di tangan petani, yang mana tak terajd sebelum 1830. Tabel alin yang
ditampilkan Elson adalah pola konsumsi dan belanja daerah Jawa-Madura. Dari
angka-angka tersbut dinyatakan bahwa walaupun pertumbuhan penduduk Jawa
meningkat, tapi daya belanja petani semakin meningkat. Memang dapt
dipertanyakan apakah angkaa-angka tersebut melukiskan kesejahteraan yang
sebenarnya. Namun, dilihat dari angka-angkanya, sulit untuk tidak menyimpulkan
bahwa daya beli petani telah meningkat semenjak adanya Tanam Paksa.
Tabel
yang diajukan Elson selanjutnya membuat terjadinya keraguan pernyataan bahwa
Tanam Paksa memiskinkan petani. Salah satu dasar dari argumen bahwa petani
miskin karena Tanam Paksa adalah lahan padinya dirampas untuk tanaman ekspor.
Namun, landasan ini goyah ketika angka dari tabel ini menunjukan bahwa petani
tidak hanya dapat mempertahankan produksi padinya, tapi juga dapat meningkatkan
produksinya.
Bukti yang terakhir adalah mengenai
perluasan ekonomi. Ada dua faktor yang di tonjolkan Elson yang diabaikan oleh
orang lain. Pertama,perubahan radikal
yang berlangsung dalam perekonomian desa yang diagairahkan dan dimungkinkan
oleh Tanam Paksa. Kedua,kemampuan dan
kecakapan dari kaum petani untuk memberi tanggapan serta menyesuaikan diri terhadap
lingkungan dan kesempatan baru.
Johannes
van den Bosc, selaku penggagas Tanam Paksa, menegasakn bahwa faedah dari Tanam
Paksa adalah untuk memupuk daya kerja petani. Hal tersebut dinilai benar dapat
dilihat dari contoh, daerah yang mendapat intensifikasi tanam paksa paling
besar sering kali mendapat masalah kekurangan pangan. Namun, kekurangan pangan
tersebut dapat ditutupi oleh hasil padi dari daerah yang beban tanam paksanya
tidak terlalu besar. Hal tersebut memunculkan daerah-daerah pinggiran penghasil
padi. Secara lebih luas di Jawa aliran uang, perbaikan sistem irigasi dan
transportasi, menggairahkan kegiataan ekonomi petani.
Kesimpulan
akhir dari penelitian Elson ini adalah bahwa bukti-bukti dan pernyataan bahwa
Tanam Paksa telah memiskinkan dan menyengsarakan petani sangatlah lemah.
Sebaliknya, Tanam Paksa justru memperluas ekonomi petani, sehingga petani pada
umumnya menjadi sejahtera. Daya kerja dan belanja petani juga meningkat dan
terbukanya peluang-peluang dalam meningkatakna ekonomi petani yang sebelum
Tanam Paksa datang tidak memungkinkan terjadi.
B. (judul kecil dwiki)
BAB III
Pembentukan modal
Sebelum diperkenalkan tanam paksa
adanya suatu usaha untuk meninggalkan kebiasaan penyerahan paksa dan ongkos
paksa yang pada saat itu telah membudaya sebagai ciri khas VOC. Ada pun
orang-orang yang terlibat dalam produksi atau sebagai prodosen dari
barang-barang yang laku di perdagangan international di Hindia Belanda saat itu
adalah :
1. Penduduk
desa Jawa
2. Pengusaha
swasta bangsa eropa (kerjasama dengan pemerintahan)
3. Pengusaha
swasta bangsa eropa (kerjasama dengan kesultanan)
4. Pemiliki
tanah partikelir (orang eropa/pribumi yang diberi kuasa atas suatu luasan tanah
beserta isi dan penduduknya)
Masing-masing
produsen itu mengaku sulit mengembangkan produksinya terutama masalah keamanan
yang masih berkendala. Selain itu untuk mendapatkan modal dari pemerintahan,
hanya pengusaha bangsa eropa-lah yang berpotensi besar mendapatkan modal dari
pemerintah. Apalagi jika kita kaji struktur geografisnya daerah Jawa hamper
sebagaian besar masih desa sehingga diluar jangkauan dan tidak menunjukan minat
pada bidang budi daya. Sehingga dipedesaan lebih diperhatikan pada mata
pencaharian individu dan bersifat longgar karena secara resmi dari pemerintahan
Belanda tidak adanya pengawasan ketat dan pemerintahan pun lemah di pedesaan.
Hal inilah membuat keamanan para enggan untuk menanam modalnya disana.
Pada
periode tahun 1815-1830, produk-produk untuk ekspor justru banyak berasal dari
pengusaha yang bekerjasama dengan pemerintah. Namun dilain pihak sistem
pemodalan itu menghambat pertumbuhan ekonomi karena tidak mampu menarik banyak
modal dikarenakan tanah itu bukan miliki mereka. Berbada dengan pengusaha dari
swasta yang bekerjasama dengan kesultanan lebih berpotensi untuk berkembang.
Namun adanya kebijakan traditional seperti membatasi perluasan lahan, beban
atas tanah dan kewajiban-kewajiban traditional terhadap buruh yang membatasi
mereka sehingga sulit juga untuk berkembang. Akhirnya para pemilik tanah perkebunan
tidak tertarik dengan pengusahaan ekspor dalam operasi ekonomi mereka. Tanah
malah menjadi permasalahan soal gengsi daripada soal ekonomi.
Pada
periode tanam paksa ini pemerintah merasa perlunya ada suatu upaya untuk
mengembangkan produk-produk ekspor yang kemudian berdampak pada pinjaman modal
dari pemerintah. Pinjaman modal itu diperuntukan bagi pengusaha yang mengadakan
perjanjian untuk mendirikan pubrik/penggilingan. Hal ini dinilai tepat sekali
karena tingkat produksi tebu yang besar disamping itu para kontraktor yang
terlibat dalam peminjaman dapat menjual hasil tebunya secara bebas setelah
menyerahkan pembayaran dari pinjaman sebelumnya.
Perkembangan
antara pengusahan swasta dan pengusahan pemerintah memperlihatkan persaingan
dalam produksi ekspor. Lahan kedua jenis pengusaha ini berdekatan sehingga
perlunya ikut campur pemerintahan dalam menentukan kebijakan untuk membatasi
ruang gerak dari pengusaha swasta. Kebijakan itu antaranya yaitu penanaman
komoditi yang kurang menguntungkan diberikan pada pengusaha swasta seperti the,
tembakau, dan nopal.
Pegawai
sipil belanda di pulau jawa erat hubungannya dalam bentuk kekeluargaan sehingga
selama sistem tanam paksa adanya ikatan antara keluarga dengan mengangkat
orang-orang dari gologan kerabat (nepotime). Pengarunya dari hal seperti ini
adalah hak-hak atas tanah sebagai kepemilikan pribadi.
Tanam
paksa melalui suntikan modal dapat
mendorong pembentukan modal swasta lebih besar untuk komoditi pertanian ekspor.
Masalah timbul ketika adanya rasa keistimewaan terhadap sekelompok orang dalam.
Petani jawa terasa sangat dirugikan ketika mereka justru harus bersaing dengan
pemerintah yang ikut dalam sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa dinilai
bertentangan dengan sistem partikelir dan sebagai penghalang pembentukan modal.
Akibatnya modal luar Jawa (1850-1860) meningkat pesat sehingga mendorong
kehancuran sistem tanam paksa.
Tenaga Buruh Murah
Sistem tanam paksa menanggulangi
maslah tenaga buruh murah dengan beradaptasi dengan kultur traditional Jawa.
Kultur tersebuat adalah dalam upaya kerja wajib sebagai bentuk pengabdian pada
jabatan yang lebih tinggi dan beberapa kali dalam setahun ada diminta melakukan
pekerjaan yang ditugasi oleh atasan. Hal itu dianggap wajib karena sebagai
upaya solidaritas sosial dan mendukung tata tertib sosial yang hirarkis. Pekerjaan
ini tidak dibayar sehingga cocok dengan sistem tanam paksa yang akan
diterapkan.
Masuknya pemerintah Belanda dalam
hirarki masyarakat jawa memposisikan dirinya sebagai pengganti raja dengan
menuntut atas haknya yang harus didapat berupa pelayanan wajib dari rakyatnya
maupun upeti. Pelayanan wajib diberlakukan untuk membangun prasaraa jalan,
perbentengan, saluran air, proyek irigasi, dan bangunan-bangunan umum. Bagi
pengusaha swasta mereka harus memenuhi tenaga kerjanya dengan adminitrasi
tersendiri serta membayar upah.
Permasalahan terjadi ketika
pemerintah melokasikan sistem kerja paksa tidak hanya di hutan-hutan namun
seperlima tanah masyarakat harus diberlakukan sistem tanam paksa. Disegi upah
dianggap sepadan dengan pajak sebayak dua perlima dari lahan. Nilai hasil yang
tumbuh di seperlima tanah terkenan sistem tanam paksan sepadan dengan pajak.
Pelayanan tanam paksa ini bukanlah
sebagai pengganti dari rodi akan tetapi sebagai tambahannya. Adanya perubahan
sosial terjadi pada 1830 dimana adanya masayarakat yang bekerja tetap di
perkebunan-perkebunan pemerintah dan ada pula sebagai buruh harian disamping
sebagai penyewa untuk para penduduk desa lainnya. adapun pembayaran sistem upah
sangatlah terlalu kecil sehingga dinilai tidak cukup untuk bertahan hidup. Sistem
upah berjalan namun karena dari upah tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat maka tidak adanya rasa keinginan dari masyarakat berharap dari upah
tersebut. Pada dasawarsa 1850 ada penolakan dari buruh tani ketika diminta
untuk mengerjakan pekerjaan buruh rodi. Namun hal itu ditolak karena tidak
adanya buruh yang mau digaji dengan tingkat upah yang dijanjikan pemerintah.
Pada tahun 1860-1870 pengusaha
swasta mulai menagdakan perjanjian perburuhan dan tanah baik dengan perorangan
maupun dengan desa-desa. Nyatalah bahwa sistem tanam paksa tidak berbuat banyak
dalam pembentukan pasar buruh yang bebas dan sukarela. Sebaliknya tanam paksa
membuat nilai negatif bagi pekerja karena member kompensasi serendah mungkin
dengan menggunakan polo-pola traditional.
BAB IV
Kesimpulan
Sistem
tanam paksa di Jawa mengubah 3 bidang yang mengalami penafsiran kembali , yaitu
:
1. Pembentukan modal
2. tenaga buruh
3. ekonomi pedesaan
Pada pokoknya sistem tanam paksa adalah penghisapan dan
pemerasan secara brutal dan dikelola oleh orang-orang yg tamak dan haus akan
kekuasaan yg nilai-nilainya dibentuk oleh latar belakang kebudayaan
masing-masing. Tanam
paksa menjadi lebih baik setelah mendapatkan sokongan swasta , karena sistem
pemerintah yang berbelit . Setelah tahun 1880 masukan modal besar ke Jawa
terjadi setelah proses pembubaran tanam paksa .
Akibat dari tanam paksa adalah memperlihatkan secara
Jelas , bahwa Jawa dapat menghasilkan komoditi-komoditi pertanian tertentu
dengan cara yang cukup murah untuk dapat bersaing di pasaran dunia.
Tenaga buruh yang murah adalah sesuatu yang menandai
kehidupan di Jawa, lama sebelum sistem tanam paksa muncul.
Masyarakat Jawa tingkat menengah dan tinggi sebenarnya
mengetahui betul2 bagaimana cara mengeksploitir tenaga buruh ini dan bagaimana
cara menangani produk-produk2 yg tersedia bagi mereka.
Beberapa golongan
masyarakat Jawa mendapatkan keuntungan dari sistem tanam paksa,
golongan2 yg lebih rendah menjadi lebih tergantung pada penguasaan tradisional
, dan mereka mendapatkan keuntungan yang sangat kecil .
Desa-desa di Jawa sebagai kesatuan-kesatuan pemukiman
selalu mengandung perbedaan2 sosial . Desa merupakan sumber dari mana tenaga
buruh dan hasil pertanian ditarik , walaupun hanya dari beberapa penduduk desa
pada awal abad ke-19.
Untuk mendapatkan kerja sama dari semua pihak yang
bersangkutan dan supaya sistem tanam paksa berjalan secara wajar , desa menjadi
kesatuan yang lebih akrab sehingga pengaturan lahan yang semakin kompleks dan
pembagian tugas yg semakin rumit dapat melibatkan jumlah penduduk desa yang
semakin banyak.
Sistem itu mempengaruhi pertumbuhan sosio-ekonomi dan
perkembagan semua kelompok sosial di Jawa (tentative) . Oleh karena pola
perubahan ini sudah ada sebelum sistem itu didirikan pada tahun 1830 dan
berlanjut terus setelah pembubarannya pada tahun 1870.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar