DANPOLITIK
NU (1945,1970,2001)
Airlangga
Risnu / 1106056850
Galuh
Fathim Az Zahra’ / 1106008574
Ilhamdi
/ 1106056964
APRIL
2013
A. GambaranSingkat Tentang Islam Tradisional (Jawa)
A.1.
Sinkretisme Antara Islam dan Budaya Jawa
Menurut Geertz[1],
Islam masuk ke Indonesia secara sistematis baru abad ke-14, berpapasan dengan
suatu kebudayaan besar yang telah menciptakan suatu sistem politik, nilai-nilai
estetika, dan kehidupan sosial keagamaan yang maju. Islam menyebar di Jawa
melalui proses yang tidak mudah, penuh tantangan dan melalui dua tahapan. Tahap
pertama adalah proses islamisasi orang Jawa saja dan tahap kedua adalah saat
dimana mereka menjadi muslim yang taat. Islamisasi di Jawa dilakukan secara
damai sehingga Islam tidak kaku ajarannya. Hal tersebut kemudian membuat
adat-adat tradisional masih bisa bersanding bersama islam.Meskipun begitu, syariat
Islam tidak selalu menjadikan keraton (pada waktu itu) bercorak Islam karena para
wali dan raja saling bekerjasama untuk menghasilkan suatu corak Islam yang
sesuai dengan masyarakatnya.[2]
Islam di Indonesia
dinilai Geertz begitu lemah, tak berakar dan bersifat sementara, sinkretis, dan
berwajah majemuk.Banyak pihak yang juga berpendapat bahwa Islam tradisional itu
seringkali melakukan ritual-ritual syirik.Islam tradisional sendiri adalah Islam
yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para “ulama” ahli fiqh (hukum
islam), hadist, tafsir, tauhid (teologi islam) dan tasawuf yang hidup antara
abad ke-7 hingga abad ke-13.[3]
Menurut Snouck Hugronje, Islam tradisional (Jawa) yang terlihat statis dan
terbelenggu oleh pikiran ulama “abad pertengahan” sebenarnya mengalami
perubahan secara fundamental, namun tidak terlihat. Islam tradisional yang
dianggap statis masih dominan di Indonesia meskipun harus bersaing dengan arus Islam
moderen.Keberhasilan Islam tradisional dalam menghimpun kekuatan yang besar di
Jawa bukan karena memiliki pengikut yang banyak, melainkan solidaritas dan
integritas penganutnya.[4]Beberapa
ciri dari Islam tradisional di Jawa menurut Geertz adalah:
Pertama,
seorang muslim kolot (tradisional) cenderung menganut pandangan yang agak
menyerah kepada nasib yaitu bahwa perjalanan hidup perseorangan seluruhnya
ditakdirkan oleh kehendak Tuhan. Kedua, seorang kolot cenderung menyangkal perbedaan
antara kehidupan sekuler (keduniaan) dan kehidupan beragama, dan berkeras bahwa
agama merasuk ke dalam semua bagian kehidupan.Ketiga, terhadap kepercayaan dan
upacara pra-Islam yang ada, seorang kolot cenderung lebih bersedia menerima
baik semacam kebijaksanaan.Keempat, seorang kolot cenderung menekankan
penghayatan religi.Kelima, seorang kolot cenderung lebih bersikap tradisional
dan lebih berpegang pada ajaran dalam menghalalkan amal dan tafsir agama.[5]
Islam di Jawa pada masa
pertumbuhannya sangat diwarnai oleh kebudayaan Jawa.Hal ini dikarenakan unsur-unsur
para bangsawan Jawa melestarikan tradisi Jawa-Hindu, dan juga karena para wali, sebagian angkatan pertama mubalig
Islam dididik dalam lingkungan Jawa.[6]Pada
masa awal tersebut Islam didakwahkan dengan jalan menyesuaikan diri dengan
kebiasaan setempat dan membuatnya menjadi sesuatu yang memenuhi kebutuhan orang
Jawa.Islam juga menggunakan adat kebiasaan Jawa sebagai salah satu bagian
ibadah Islam.Islam di Jawa tidak berusaha untuk memisahkan antara budaya Hindu
yang sudah ada dari datangnya pengaruh Islam, namun Islam di Jawa terpaksa
berpaling ke dalam dan bertindak dalam rangka kepercayaan agama tradisional
Jawa.
Kelonggaran yang
diberikan Islam membuatnya mampu
berinteraksi dengan tradisi Jawa sehingga terjadi sintesis antara Islam dan
tradisi Jawa lama yang memiliki peninggalan seperti Het Boek van Bonang (Kitab Bonang), Een Javaansche Primbon uit de Zestiende Eeuw (Sebuah Primbon Jawa
dari Abad keenambelas), Suluk Sukarso, Suluk Wijil, Cabolek, Centini, Hidayat
Jati, Serat Wirid (Kitab ajaran suci yang mengumumkan ajaran Islam yang banyak
memasukkan unsur Jawa tradisional). Upacara-upacara pokok dalam agama Jawa tradisional
adalah Slametan (selamatan,
kenduri).Selain itu orang Jawa juga melakukan perayaan kehamilan, kelahiran,
pengkhitanan, perkawinan, kematian, hari raya Islam resmi, seperti Lebaran (Id al-fitr), Muludan (Maulid
Nabi Muhammad SAW), dsb.Selain itu dikenal juga ritual ziarah kubur ke makam
para wali dan ruwah yaitu
penghormatan kepada orang mati dengan mengadakan kenduri.
Pesantren, pusat pendidikan dan dakwah juga
memiliki peran penting pada perkembangan Islam di pulau Jawa. Biasanya
pesantren-pesantren ini hidup dari hasil pengolahan tanah mereka sendiri atau
juga dari sumbangan-sumbangan yang datang, bukan dari uang para santri. Kiai
memiliki peran sentral dalam sebuah pesantren. Pada zaman sebelum kemerdekaan,
mungkin hingga sekarang, peran kiai ini juga memiliki peran yang sangat banyak
dalam masyarakat desa. Mereka biasanya menjadi seorang panutan, juga memimpin
upacara-upacara adat dan keagamaan yang diselenggarakan di desa tersebut.
A.2.
Faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah (ASWAJA)
Pada
umumnya para kiai dibesarkan dan dididik dalam lingkungan pesantren yang memegang
teguh dan membela dengan tangguh faham Islam tradisional ahlussunnah wal jama’ah.Ahlussunnah wal jama’ahdapat diartikan
“para pengikut Nabi Muhammad dan ijma’ ulama”.Ahlusssunnah waljamaah
pada hakikatnya adalah ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan
para sahabatnya.Oleh karena itu, secara embrional, ahlusssunnah waljamaah sudah muncul sejak munculnya Islam itu
sendiri. Hanya saja penamaan ahlusssunnah
waljamaah sebagai sebuah nama kelompok tidaklah lahir pada masa Rasulullah,
tetapi baru muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah.
Ketegasan
para kiai memilih faham Islam tradisional ini secara jelas dapat dibuktikan
dari kitab-kitab yang diajarkan di pesantren, yang selain berisi berbagai
cabang pengetahuan bahasa Arab juga mengutamakan ajaran-ajaran dan pendekatan
tentang hukum-hukum Islam yang dikembangkan oleh Imam Syafi’i dan
pengikut-pengikutnya, dan kitab-kitab mengenai tasawuf.[7]Menurut
K.H. Bisyri Musthafa[8],
secara eksplisit faham ahlusunnah wal
jama’ah adalah faham yang berpegang pada tradisi sebagai berikut:
·
Dalam bidang
hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu mazhab empat. Dalam
praktek, para kyai adalah penganut kuat dari mazhab Syafi’i.
·
Dalam soal-soal tauhid,
menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hassan Al-Asyari dan Imam Abu Mansur
al-Maturidi
·
Dalam bidang tasawwuf
menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaid.
Dengan menganut faham
tersebut para kiai menganggap bahwa tarekat merupakan salah satu inti
ajaran-ajaran dan praktek-praktek Islam.para kiai setuju bahwa asetisme dan
praktek-praktek dzikir, sebaiknya dilakukan oleh orang yang sudah lanjut usia.
Dengan digunakannya kitab-kitab tafsir selain Al-Quran dan Hadist oleh para kiai
tidak berarti mereka meninggalkannya.Para kiai berpendapat bahwa kitab-kitab
yang berisi ulasan-ulasan dan tafsiran-tafsiran isi Al-Qur’an dan Hadist yang
telah ditulis oleh imam-imam tertentu dan para ulama terkenal pengikut
imam-imam tersebut dari sejak Nabi meninggal sampai sekarang dapat dijadikan
sebagai dasar bagi pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam.[9]Bagi
para kiai, sangat berbahaya menfasirkan Al-Quran dan Hadist hanya menurut
pendapatnya sendiri.[10]
B.Kaum Modernis dan Latar Belakang Terbentuknya NU
B.1.
Kemunculan Islam Modernis dan Pertentangan dengan Islam Tradisional
Pada abad ke-19, dunia
Islam, terutama Mesir, terjadi pembaruan pola pikir strategi perjuangan dan
pemahaman keagamaan oleh para mujadid (yang memperbaharui ajaran agama) dan
(beberapa kasus) oleh penguasa.Gerakan pembaharuan atau revivalisme agama pada
akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 ini kemudian mewujudkan
pemikiran-pemikiran abstrak kedalam usaha yang konkret.Beberapa pemikiran
seperti pemikiran tentang emansipasi (tahrir al-mar’ah) oleh Rifa’ah Badawi
Pafi ‘Al Tatahwi, Pan Islamisme Jamal Al-Din Al-Afghani, pemikiran tentang
ijtihad dan liberalisme pemikiran milik Muhammad Abduh serta Rasyid Ridha yang
mengungkapkan tentang pandangan salaf.[11]
Beberapa gagasan pembaharuan
tersebut mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia.Gagasan yang berpengaruh
seperti milik Muhammad Abduh yang mampu memengaruhi kebangkitan umat Islam di
Indonesia.[12]Itulah
zaman masuknya dan diterimanya gagasan-gagasan baru, sementara tradisi-tradisi
asli sedang berubah atau membela diri dengan cara baru, dan penyebaran
gaya-gaya fikiran baru dirangsang oleh pertumbuhan media massa pribumi.[13]
Akibat situasi tersebut kemudian muncul organisasi-organisasi Islam seperti
Syarikat Islam (1912) dan Muhammadiyah (1912) bersamaan dengan organisasi lain
seperti Budi Utomo (1908), Partai Komunis Indonesia (1914), dan Taman Siswa
(1922). Karel A. Steenbrik menyebut gambaran perubahan Islam di Indonesia
sebagai kebangkitan, pembaruan, dan
bahkan pencerahan (renaissance).[14]
Menurut Andree Feillard, reformasi Islam di
Nusantara dimulai pada abad ke-19 di Sumatera Barat. Reformasi ini bertujuan
untuk menarik kaum-kaum yang masih mempercayai aliran-aliran mistis kebatinan
untuk menjalankan ibadah Islam yang sesuai. Kaum reformis di Sumatra Barat ini
menganut puritanisme mirip dengan kaum wahabi yang menerapkannya melalui
kekerasan sehingga nantinya muncullah Perang Padri.
Di Jawa sendiri arus reformis ini baru
terjadi pada awalan abad ke-20, dengan berdirinya organisasi-organisasi
keagamaan seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Para Reformis-reformis ini
menentang upacara-upacara tertentu, seperti tahlilan, sesajen, selamatan, dan
ziarah ke makam. Mereka menganggap bahwa hal-hal semacam ini adalah syirik dan
bid’ah. Mereka juga menganjurkan umat Islam untuk melakukan penghapusan Usalli (mengucapkan niat ketika mulai
salat) serta meninggalkan kebiasaan lama yang bersandar kepada kitab-kitab mazhab,
untuk melakukan Ijtihad dengan menggali dari sumber pokok agama Islam yaitu
Qur’an dan hadis. Kemudian perbedaan-perbedaan tersebut disebut sebagai perbedaan antara kaum muda
(reformis) dan kaum tua ( tradisionalis, para ulama-ulama).
B.2.
Terbentuknya Nahdlatul Ulama
Bisa
dikatakan pada abad ke-20 adalah kurun sengit dimana banyak bermunculan
organisasi baik yang bersifat sosial maupun politik yang bercorak suku, daerah,
dan keagamaan.Perbedaan pandangan antara kaum modernis dan tradisionalis
berujung pada konflik diantara keduanya dimana kaum modernis menilai mahzab
yang dianut oleh kaum tradisionalis merupakan bid’ah dan kurafat yang mendekati
syirik. Keadaan semakin diperparah dengan adanya peristiwa politik religious di
tanah suci pada tahun 1924 dimana terjadi penaklukkan Mekah oleh Abdul Aziz Ibn
Saud sehingga pemerintahan kemudian dikuasai oleh Kaum Wahabi. Penghapusan
Khalifah oleh nasionalis Turki dan penyerangan kaum Ibn Saud terhadap Syarif
Husin di Mekah mendapatkan perhatian dari dunia muslim, termasuk di Nusantara.
Kemenangan
Ibn Saud di Mekah membuat kaum tradisionalis di Nusantara merasa perlu
bereaksi, terutama dengan kenyataan bahwa Kaum Wahabi memerintah Mekah[15]. Kaum
Wahabi menyerang tradisi keagamaan dan pada era ini terjadi reformasi ajaran
Islam dimana falsafah yang digunakan adalah Al-Quran dan Hadist serta
memunculkan kabar untuk menghilangkan mazhab-mazhab yang ada. Keadaan tersebut
kemudian membuat resah para ulama pesantren di Indonesia yang kemudian membuat
Kiai Wahab Hasbullah mempunyai gagasan untuk mendirikan Jam’iyah Nahdlatul
Ulama dimana kemudian usul ini diberitahukan kepada Kiai Hasyim Asy’ari.
Ibn Saud menyelenggarakan
pertemuan Mekah, “Muktamar Khilafah”, yang mengundang umat Islam di seluruh
dunia. Kaum tradisionalis di Nusantara merasa perlu untuk mengirimkan delegasi
mereka ke “Tanah Hijaz” guna membawa usul mereka. Sehingga kaum tradisionalis
menganggap perlu untuk medirikan sebuah persatuan untuk menghimpun kekuatan dan
kegiatan mereka dengan membentuk Komite Hijaz yang nantinya melahirkan
Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini juga diakibatkan oleh dicoretnya Kiai Wahab
Hasbullah dari undangan untuk mendatangi “Muktamar Khilafah” dikarenakan pada
waktu itu dirinya tidak mewakili suatu organisasi. Kaum tradisionalis merasa
perlu untuk bersatu demi menjaga eksistensi mereka ditengah naiknya kaum
reformis di Nusantara.Melalui “Muktamar Khilafah” tersebut kaum ulama pesantren
yang seharusnya diwakili oleh Kiai Wahab Hasbullah berpesan agar menghentikan
tindakan-tindakan kebebasan anti bermazhab, ziarah kubur, membaca kitab
barzanji, dsb.[16]Namun
usulan tersebut ditolak dengan alasan politik formalistik.
Komite Hijaz dibentuk untuk
mengakomodasi aspirasi para ulama yang tidak tertampung namun kemudian muncul
usulan untuk mengembangkan komite tersebut dalam bentuk organisasi.Akhirnya
usul tersebut disambut dengan suara bulat oleh para ulama yang hadir dalam
pertemuan itu.Kemudian dibentuklah “Jam’iyah Nahdlatul Ulama” pada Rajab 1344 H
atau 31 Januari 1926 M di Surabaya.[17]Setelah
NU terbentuk tugas yang kemudian dilakukan adalah mengirimkan delegasinya
mengikuti Kongres Dunia Islam di Mekah.Ada empat hal yang dibawa delegasi NU
dalam kongres di Mekah tersebut, yaitu kebebasan
menjalankan praktek keagamaan menurut empat mazhab, perawatan tempat pusaka
yang bernilai sejarah dan merupakan tanah wakaf agar tidak dihancurkan,
perbaikan tata pelaksanaan haji dan meminta kepastian tarif naik haji , serta
penjelasan tulis mengenai hukum yang berlaku di negeri Hijaz.
Permintaan
kaum tradisionalis ini, hanya tentang empat mazhab yang mendapat jawaban,
sedangkan permintaan yang lain tidak ditanggapi sama sekali. Sedangkan tentang
tempat-tempat bersejarah, beberapa tanah wakaf seperti tempat kelahiran Fatimah
telah dihancurkan dan Dar Khaizuran telah ditutup. NU lantas menganggap bahwa
tindakan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi terebut telah betindak semena-mena
tanpa memperhatikan opini-opini lain dari umat muslim sedunia yang juga
memiliki hak.
Saat kepulangan utusan dari
Mekah, mereka disambut oleh para anggota NU di Jawa. Mereka didampingi oleh
rombongan yang mengantar dari Jakarta hingga perjalanannya menuju Surabaya.
Puncaknya adalah saat diadakan upacara resmi di masjid Ampel Surabaya untuk
menyampaikan hasil yang dari utusan Mekah tersebut. Dan acara ini dihadiri oleh
ribuan pengunjung. Hal ini menandakan betapa pentingnya untuk memperjuangkan
paham keagamaan yang dilaksanakan oleh NU.
C. Nahdlatul Ulama Masa
Awal
Lahirnya
NU bisa dikatakan merupakan reaksi terhadap peristiwa naiknya Hijaz yang baru
dimana paham yang dianut adalah Wahabi yang melarang sistem bermazhab,
barzanji, melakukan pembongkaran makam-makam, memberantas bid’ah, khufarat,
taklid, ziarah kubur dan tradisi keagamaan lainnya. Tindakan tersebut kemudian
mengancam kaum tradisional (ulama) yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah yang bahkan sudah mengakar di Indonesia
semenjak zaman Wali Sanga.Disamping itu, munculnya gerakan pembaharu Islam
seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam yang mengancam keberadaan ahlussunnah wal jamaah yang mereka
anggap menyesatkan.Sikap kalangan pembaharu tersebut semakin berlebihan dengan
tindakan pelecehan dan merendahkan ulama pesantren.Oleh karena itu, muncullah
keinginan untuk melembagakan tradisi sosial dan kultural yang telah hidup di
masyarakat.
Secara etimologis nama NU berarti
kebangkitan para ulama atau gerakan yang dimainkan para ulama secara aktif,
kemudian diikuti oleh umat pengikutnya dan diharapkan menjadi “kekuatan raksasa
Islam di Indonesia”.[18]Tujuan
didirikannya NU semata-mata adalah untuk melindungi bentuk-bentuk sosial
keagamaan tradisional dengan ciri pokok ahlussunnah
wal jamaah yang menjadi patri persatuan dan integritas bagi NU. Secara
formal NU didirikan oleh 46 orang namun tokoh kuncinya adalah Kiai Wahab
Hasbullah sebagai pencetus ide, Hadratusyaikh Kiai Hasyim Asy’ari sebagai
pemegang kunci, dan Kiai Kahlil sebagai penentu berdirinya.[19]Oleh
karena itu, jika membicarakan NU dari perspektif jam’iyah (organisasi), dari
ide sampai realisasinya, Kiai Wahab Hasbullah adalah yang terkemuka.Jika
dilihat dari sudut pandang isiyang merefleksikan tradisi pemikiran adalah Kiai
Hasyim Asy’ari.
Sifat keberadaan NU merupakan upaya peneguhan
kembali sebuah tradisi keagamaan dan sosial yang sebenarnya telah melembaga
dalam jaringan struktur dan pola kepemimpinan yang mapan. Lembaga-lembaga
pesantren, kyai, santri dan jemaah mereka yang tersebar di tanah air sebagai
unit-unit komunitas sosial budaya masyarakat Islam, menjadikan NU tanpa
kesulitan menyebarkan sayap organisasinya.[20]
Dengan menggunakan basis-basis pesantren, keulamaan, kyai dan santri iniliah
yang menurut saya memudahkan NU untuk masuk kekalangan masyarakat, apalagi
mereka yang tradisionalis. Peran dari Kyai Hasjim Asj’ari dan Kyai Wahab sangat
kuat dalam lingkungan pesantren. Saat NU pertama kali diperkenalkan, begitu
mudah menarik perhatian dari para kyai di Jawa yang memimpin pesantren. Hubungan
kekerabatan dari para kyai juga ikut andil dalam pelebaran sayap NU di Jawa.
Karena pesantren ini memiliki basis yang relatif besar, sehingga tidak sulit
nantinya bagi NU untuk mendapat dukungan.
Namun nantinya, NU malah lebih sibuk
mengurusi keanggotaanya ketimbang masalah-masalah perjuangan paham keagamaan
tadi. Seperti dijelaskan oleh M. Ali Haidar dalam bukunya bahwa NU seakan
terlena oleh kuatnya dukungan-dukungan dari bawah sehingga merasa terpuaskan.
Dukungan yang kuat dari bawah ini juga sebenarnya sebuah beban bagi NU, karena
ada kewajiban disitu bagi NU untuk mengontrolnya. Dan NU akhirnya seakan
kehilangan kontrol dalam memikul beban tersebut.
Bahkan K.H Idham Chalid
mengemukakan, bahwa NU sebenarnya adalah sebuah isme , suatu faham yang telah menyatu dalam budaya dan tradisi.
Masih menurut K.H Idham Chalid, bahwa NU sebagai organisasi nantinya bisa saja
bubar atau dibubarkan, namun NU sebagai isme,
sebagai paham yang telah melembagan dalam budaya dan tradisi tidak mungkin
dibubarkan, karena isme yang telah menyatu dalam masyarakat tidak mementingkan
struktur dan organisasi formal.
C.1.
Nahdatul Ulama Pengemban Ahlussunnah Waljamaah (ASWAJA)
Setelah
terbentuknya NU pada awal tahun 1926 di Surabaya, telah dirintis untuk
menyelenggarakan muktamar pertamanya. Namun pada waktu itu NU sendiri belum
memiliki lambang sehingga Kyai Abdul Wahab meminta pada Kyai Ridwan untuk
menciptakan lambang NU dengan syarat harus original, tidak meniru lambang lain,
dan melambangkan sifat ulama.
Kyai
Ridwan pun tidak serta merta mendapatkan lambang tersebut. Empat bulan berlalu
dan lambang tersebut belum tercipta. Lambang tersebut baru dapat diciptakan
beberapa minggu menjelang Muktamar pertama NU tersebut. Dan dengan berbagai
macam usaha akhirnya lambang tersebut sudah ada diatas sebuah kain warna hijau
yang akan digunakan pada mukatamar pertama NU pada 21 Oktober 1926. Sempat
terjadi peristiwa dimana salah seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda
menanyakan filsafah dari lambang tersebut. Kyai Ridwan yang sedang sibuk dengan
tugasnya sebagai panitia pada muktamar tersebut tadinya enggan untuk menjawab.
Namun karena desakan berbagai pihak akhirnya dijelaskan.
·
Gambar bola dunia dan tali
melingkar melambangkan asas persatuan dan perdamaian
·
Sembilan bintang salah satu
yang paling besar diatas melambangkan Nabi Muhammad sebagai panutan umat
·
Empat bintang dibawahnya
melambangkan khulafa rasyidun
·
Empat dibawahnya lagi
melambangkan empat imam mazhab
·
Dan sembilan bintang
melambangkan wali songo sebuah mitologi
Islam yang populer di Nusantara.
Filsafah
lambang NU ini diyakini oleh sebagian anggota NU memiliki arti mistis
dikarenakan mereka melihat dari Kyai Ridwan yang sebelumnya kesulitan dalam
menemukan lambang, namun tiba-tiba dapat menciptakan dan menjelaskannya secara
gamblang sehingga hal tersebut diyakini sebuah petunjuk dari Allah. Lambang
tersebut seolah ingin menegaskan bahwa NU adalah organisasi yang menjadikan Ahlussunnah waljamaah sebagai dasarnya.
Ini diperlihatkan dengan pengakuan terhadap khulafa
rasyidun , dan empat imam mazhab. Khulafa rasyidun adalah pemimpin umat
pengganti Nabi Muhammad yang benar dan lurus, yang diterima oleh umat. Para
khalifah yang mendapat sebutan khulafa
rasyidun adalah empat khalifah yang secara berturut-turut menggantikan
kedudukan dan tugas Rasulullah.
Kerangka pemahaman ASWAJA
yang dikembangkan NU memiliki karateristik yang khusus dan juga mungkin
membedakannya dengan kelompok muslim yang lain. Ajaran ASWAJA yang dikembangkan
berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang Aqidah, Fiqh
dan Tasawwuf.
Pada bidang Aqidah, NU
menganut pemikiran-pemikiran Aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan
al-‘Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Pada bidang Fikih, NU menganut konsep
empat imam mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan
dibidang Tasawwuf mengikuti model yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali
dan Al-Juwaini al-Baghdadi.
Mazhab Ahlusssunnah
waljamaah dalam pandangan NU merupakan pendekatan yang multidimensional dari sebuah gagasan konfigurasi aspek aqidah, fiqh dan
tasawwuf. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh,
masing-masing tidak terpilah dalam trikotomi yang berlawanan. Namun tidak
seluruh perilaku NU mampu mengapresiasikan kesatuan itu. Dalam praktiknya
sering kali aspek fikih lebih menonjol ketimbang aspek yang lain. Mungkin
karena keberagaman pemahaman keagamaan jemaah NU yang membuat sulit untuk
mengembangkan wawasan pemahaman yang komprehensif.
D. Pemikiran dan
Jalan Politik Islam NU (1945, 1970, dan 2001)
Sebuah
konsep politik demokrasi Indonesia menyiratkan bahwa adanya peran ulama dalam
perpolitikan dengan posisi yang berbeda dari para politikus dari masa ke
masa.Ulama dimaksud adalah kalangan kiai dari NU yang sebenarnya bukan dalam
bidang elit politik tetapi lebih pada golongan santri yang hidup melepaskan
permasalahan politik pada pihak yang berkuasa.Hal itu dipandang sebelumnya
karena tidak adanya pelajaran mengenai peran Islam dalam negara didunia
pesantren NU. Pesantren NU cendrung lebih mempelajari pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah atau lebih
dikenal dengan Aswaja yang berpegang pada teologi al-Asy’ariyah dan
al-Maturidiyah, fikih pada empat imam mazhab
(syafi’i, Malik, Hambali, dan Hanafi), dan dalam tasawuf bersandar pada
imam al-Gazali dan imam al-Baghdadi.
Pada
masa Belanda NU bersikap kooperatif bahkan NU sendiri memandang bahwa
pemerintahan Belanda harus dipertahankan. Pada masa pemerintahan belanda Ini
telah terjalin hubungan NU dengan para antek-antek Hindia Belanda dan Hindia
Belanda pun tidak mengusik-usik permasalahan ibadah NU. Bahkan Mbah Hasyim
menyatakan bahwa pemerintahan Hindia Belanda adalah Dar al Islam pada muktamar
NU di Palembang pada 1936 dikarenakan kebebasan menjalankan yang dijamin oleh
pemerintahan Belanda (pragmatism
religious). Namun ketika pihak belanda diserang oleh Jepang tidak ada
himbauan untuk membantu atau mempertahankan kekuasaan Belanda.
Pada
masa pemerintahan Jepang ada suatu kehormatan dari pemerintahan Jepang kepada
NU dalam hal mendapat simpati dari gologan nahdiyin
ini yaitu dengan diangkatnya Hasyim Asy’ari sebagai pimpinan Shumubu.Shumubu yaitu semacam kantor urusan agama tingkat national yang
berada di Jakarta. Ketika sidang BPUPKI dan PPKI adanya upaya dari K.H.A. Wahid
Hasyim sebagai perwakilan dari NU untuk menjadikan Islam sebagai landasan
negara Indonesia.Namun hal itu menjadi pertentangan rumit baik dalam sidang
formal maupun non-formal sehingga terciptanya piagam Jakarta sebagai suatu
kompromi antara pendukung pancasila dan nasionalis Islam.
Saat
berdirinya negara Indonesia Hasyim Asy’ari sangat mendukung hal itu termasuk
terpilihnya Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakit presidennya.Bahkan
lebih dari itu NU juga mengeluarkan seruan jihad untuk melawan penjajah pada
tanggal 22 Oktober 1945.[21]
Pada muktamar NU ke-17 di Madiun 1947, Kiai Hasyim pernah mewanti-wanti bahwa
ketakutan atas melemahnya politik Islam di Indonesia dan juga sangat ditakutkan
jika seseorang menggunakan Islam untuk mencapai ambisi politiknya ataupun
keuntungan pribadi karena mengfikurkan dirinya sebagai tokoh Islam.
Terjun
atau tidaknya ulama dalam ranah politik membuat dilema bagi ulama dalam bidang
politik Indonesia. Karena jumlah massa NU yang banyak dan bisa dibilang
pengikut ajaran Islam yang mayoritas adalah NU maka kesulitannya adalah apakah
jumlah massa ini mau digunakan dalam bidang politik oleh NU sendiri atau
digunakan oleh para elit politik dari golongan yang bukan NU. Apalagi ketika
massa pemilu kaum NU yang lebih dikenal dengan golongan nahdiyin justru menjadi
obyek terbesar dalam perebutan suara pada saat pemilu itu.[22]
NU
lewat suara elitnya yaitu Said Agiel lewat wawancara oleh MS. Alfais, Media
Nusantara, sangat tidak menginginkan pengembalian piagam Jakarta karena sangat
berdampak pada perpecahan. Seharusnya islam membuka diri dan mengutamakan
keutuhan bangsa dengan menjaga persatuan dan kesatuan. Lebih tepatnya Gus Said
menyatakan bahwa tidak perlu mendirikan negara Islam berdiri karena secara
historis Indonesia berbeda dengan orang arab. Indonesia mempunyai historis yang
mempunyai nilai yaitu nilai universal dan nilai kebangsaan (nasionalisme).Islam
tidak harus menjadi sebuah negara asalkan nilai Islam dijadikan nilai universal
yang harus kita amalkan.
Perkembangan pandangan NU terhadap
masalah sosial lebih bersikap pertimbangan nasionalisme bangsa. Dimana NU
secara terang-terangan menentang kecenderungan pengislaman yang terjadi di
Indonesia karena akan berdampak pada usaha perpecahan persatuan dan kesatuan
bangsa. Lewat elit NU ini, Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, menambahkan bahwa
ummat muslim sebagai ummat mayoritas harus lebih demokratis dengan menerima
ummat non-muslim sebagai bangsa yang majemuk. Hal itu juga tidak tertutup
kemungkinan nantinya ummat muslim juga harus siap jika suatu ketika dipimpin
oleh non-muslim baik dalam konteks kesatuan kecil maupun kesatuan bernegara.[23]
Perjalanan
Politik NU sangat erat kaitannya dengan kittah NU pada awal berdirinya yaitu
pada tahun 1926 dimana pada saat itu NU adalah organisasi masyarakat keagamaan
(jam’iyah diniyah).Pada pasal 4
anggaran dasar NU bertujuan “berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Waljama’ah serta mengikuti
salah satu mazhab dari empat mazhab besar”.Namun pada jalan sejarahnya NU
pernah masuk dalam partai politik dengan bergabung dengan Masyumi, kemudian
keluar dan menjadi partai politik.
D.1.NU dalam Masyumi
Masuknya NU ke ranah
politik sebenarnya suatu hal yang sangat delematis dimana mayoritas penduduk di
Indonesia adalah pengikut NU dan dalam politik apakah NU mau bermain politik
atau sekedar dimanfaatkan oleh politik. Karena dengan jumlah massa yang banyak
NU dapat menjadi dominasi suara Islam dalam pemilu. Walaupun pada awalnya NU bukanlah
sebuah organisasi bertujuan politik namun di tengah jalan masuk ke ranah
politik agar tidak dimanfaatkan melainkan memanfaatkan. Pada Awalnya NU
berintegrasi dengan Masyumi dimana status NU menjadi anggota istimewa dan K.H.
Hasyim Asy’ari, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Wahab Hasbullah mendapat tempat-tempat
penting dalam organisasi seperti ketua Majelis Syuro oleh Asy’ari.Serangan yang
paling memalukan sehingga menjadi puncak kekecewaan NU pada Masyumi adalah
ketika Muhammad Soleh mengatakan:
“… Politik itu saudara-saudara, tidak
bisa dibicarakan sambil memegang tasbih, urusan politik ini cukup luas, tidak
hanya berada disekeliling pondok pesantren.Politik itu luas menyebar ke seluruh
dunia”.
Muktamar NU ke 19 di
Palembang berisikan saat itu NU butuh ruang politik yang lebih luas dari
Masyumi maka NU menyatakan keluar dari Masyumi dan menjadi partai
politik.Banyak pertimbangan NU buat sampai pada ketekatan bulat meninggalakn
Masyumi seperti berkurangnya wewenang Dewan Syuro’, dualisme dalam keanggotaan
Masyumi, serta kekecewaan-kekecewaan lainnya.keputusan ini telah difikirkan
masak-masak oleh ulama NU sampai ketika peninjauan ulang pun tokoh-tokoh ulama
NU tetap tidak bergeming meskipun di dalam tubuh NU sendiri ada pro dan kontra.
D.2. NU Sebagai Partai
Politik
Ketidakharmonisan kaum tradisional dengan kaum modernis,
telah memaksa Nahdlatul Ulama untuk menentukan sikap sendiri yaitu mendirikan partai
sendiri, sehingga pada tanggal 28 April – 1 Mei 1952 Nahdlatul Ulama
menyelenggarakan Muktamar ke sembilan belas bertempat di Palembang.
Muktamarnya di Palembang tahun 1952, menegaskan Asas dan tujuan Partai
Nahdlatul Ulama, dimana dalam pembahasan Asas dan tujuan Partai
Nahdlatul Ulama adalah “menegakkan Syari’at Islam, dengan berhaluan
salah satu dari pada empat mazhab: Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali” (Anam,
1999) serta melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat.
Dengan penegasan Asas dan tujuan partai, memperjelas arah dan tujuan perjuangan
Nahdlatul Ulama dalam berbangsa dan bernegara. Pada bulan Juli 1953, Nahdlatul
Ulama masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo, disini Nahdlatul Ulama memainkan
perannya, bukan saja Mentri Agama yang dipegang orang Nahdlatul Ulama, juga
Mentri Pertanian, dan bahkan Wakil Perdana Mentri, dengan demikian peran dan
fungsi Nahdlatul Ulama dalam membangun bangsa ini bukan sekedar pada segmen
agama saja melainkan pada berbagai hal yang berhubungan dengan hajat hidup
orang banyak, terutama yang berkait erat dengan kekuasaan Negara. Pada tahun
1954, Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Konferensi Alim Ulama yang
diselenggarakan di Cipanas Jawa Barat dengan keputusan mengangkat Soekarno dan
pemerintahannya sebagai “Walyyul Amri ad-daruri bisy-syaukah”, gelar ini
menjadikan Soekarno menjadi kepala negara yang sah. Penganugrahan gelar kepada
Soekarno, disamping sebagai sebuah bentuk legalisasi terhadap khalifah
(penguasa), hal lain juga merupakan pengakuan bahwa keberadaan Soekarno sebagai
pemimpin negara (Presiden), hanya sebatas dalam keadaan darurat.
Pemilu 1955 merupakan
suatu puncak kejayaan bagi kaum Ulama ini dimana NU masuk tiga besar dari 4
partai besar yang lolos.NU berada di bawah PNI dan Masyumi.Pada saat itu suatu
pemahaman yang dikembangkan bagi kalangan NU dan masyarakat luas dengan
mengkaitkan antara Masyumi dengan DII/TII dan PKI dengan pemberontakan madiun
1948.Sehingga PNI dan NU lah yang benar-benar memperjuangkan bangsa dan
negara.Isu-isu seperti itu hidup pada saat itu sehingga berdampak pada NU
dimana kepercayaan pada NU mulai terbangun.
Sejak itu kekuatan basis
politik Islam terpilah menjadi dua kelompok, yakni Masyumi termasuk dalam
kelompok yang menolak dan mendukung demokrasi terpimpin, yaitu NU, PSII, dan
Perti yang bergabung dalam Liga Muslimin. Di dalam tokoh-tokoh NU juga ada yang
menentang demokrasi terpimpin akan tetapi jumlahnya relatif sedikit (Jonaedi,
2008).
D.3. NU dalam Partai Persatuan Pembangunan(PPP)
Saat jatuhnya Rezim Soekarno
dan digantikan oleh Soeharto, pada saat itu partai politik difusi menjadi 3
partai sesuai dengan ideologi masing-masing.Pada akhirnya NU bergabung dengan
PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sebagai basis politik.Penyederhanaan partai
dengan pengelompokan pengelompokan partai menjadi 3 partai bertujuan untuk
stabilitas nasional.Hal ini telah mulai diseruka oleh presiden Soeharto pada 7
Februari 1970 dan kemudian berdialog langsung dengan partai-partai politik pada
27 Februari 1970. Setelah melalui forum dialog itulah akhirnya disepakati
penyederhanaan partai dengan NU, Parmusi, PSII, dan Perti berfusi kedalam
Partai Persatuan Pembangunan.
Pada Tahun 1970-an sebagian
banyak masyarakat NU masih memiliki keyakinan bahwa politik tidak bisa
dipisahkan dengan agama. Muslim dianjurkan untuk memilih atau memenangkan
partai Islam yaitu PPP demi kepentingan Islam dan sebagai satu-satunya partai
yang berideologi Islam saat itu. Namun hal itu ditanggapi beda oleh beberapa
tokoh muslim seperti Kiai Mustain Ramli, Nurcholish Madjid, dkk. Mereka
menyatakan bahwa tidak perlu seorang muslim berafiliasi kepartai Islam karena
itu Cuma alat baik itu lembaga (pondok pesantren, universitas, dl) ataupun
organisasi (NU, PPP, Golkar, dll).[24]
Namun hubungan internal di
tubuh PPP juga tidak begitu baik, pertentangan antara NU dan MI sulit
untuk dielakkan. Karena power sharing yang dilakukan kurang memuaskan,
kalangan NU yang memiliki jumlah massa paling banyak. Hal ini terbukti dengan
perolehan suara PPP pada pemilu 1977 meskipun meningkat dari 27,11% menjadi
29,29 % (bertambah 5 kursi di DPR), namun yang menjadi jatah NU diberikan pada
golongan Islam yang lainnya (Jonaedi, 2008).
Problema antara NU dan PPP
terjadi karena terbentuknya suatu sikap diskriminasi terhadap kalangan NU di
badan partai ini terkait dengan daftar calon legislatif yang calon dari NU
terdapat pada daftar paling bawah yang memiliki kemungkinan kecil untuk
terpilih. Itulah yang terjadi pada pemilu 1982 dengan PPP dibawah kepemimpinan
Djaelani Naro. Pada masa inilah peran NU diperlemah dan hanya sedikit
mendapatkan peran penting ditubuh partai padahal NU memiliki massa yang banyak
untuk memberikan dukungannya.
Permasalahan ini sebenarnya
memuncak ketika tokoh NU menolak akan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) untuk disahkan dalam sebuah sidang. K.H. Yusuf Hasyim, dkk lebih
memilih hengkang pada sidang tersebut, sayangnya sidang tetap berlanjut dan P4
di sahkan dengan dominasi para kelompok sekuler yaitu Golkar, PDI, dan ABRI. Tidak
hanya selesai di sidang itu saja, Soeharto dengan lantang dan tegas meyatakan
bahwa akan “menyerang” setiap kelompok di Tanah Air yang mencoba berseberangan
ideologi Pancasila.
Itulah sebabnya NU keluar dari
PPP, dan mengkhittahkan diri untuk kembali berdakwah di pesantren-pesantren.
Sesuai dengan Khittah NU dari Muktamarnya 1983 di Situbondo mengeluarkan 2
pernyataan yaitu keluar dari PPP dan menerima asas tunggal Pancasila. Hingga
reformasi pun aspirasi NU diabaikan oleh pemerintah, hingga akhirnya NU
membentuk partai, yang bernama Partai kebangkitan Bangsa (PKB), yang ketika itu
K.H Abdurachman Wahid (Gus Dur) menjadi Dewan Syuro PKB. PKB yang dinilai
memiki tempat naungan warga nahdiyyin ternyata malah terjadi perpecahan dalam
hal ini sistem feodal terlihat dalam partai ini dewan syuro juga bertempat
sebagai dewan mustasyar sehingga sistem birokrasi partai ini tumpang tindih,
dan banyak pemecatan-pemecatan para Deklarator PKB, seperti almarhum K.H
Mathori Abdul Djalil.
D.4. Politik NU dalam Era 2001
Perlu untuk diingat
bahwa NU selalu mengadakan muktamar NU yang biasanya dilakukan setahun sekali
guna mempertegas kembali prinsip dasar NU didirikan. Pada awal NU berdiri
hingga sekarang NU telah melewati beberapa kali Muktamar NU dan paling menarik
dari Muktamar-muktamar yang pernah dilakukan NU adalah pada tahun 2002 jatuh
pada tanggal 25-28 Juli. Muktamar ini secara resmi NU masuk dunia perpolitikan
sehingga beberapa partai dari golongan NU seperti PKB, PNU, SUNI, PKU.
Namun jika dilihat
sebelumnya, NU telah berkiprah di dunia politik sejak dulu pada awalnya di
tubuh Masyumi.Keluarnya NU dari Masyumi kemudian menjadi partai politik namun
walaupun demikian kursi menteri keagamaan selalu menjadi wilayah NU.Tetapi pada
pemilu 1971 NU tidak hanya kehilangan kursi di parlemen tetapi juga tidak
mendapatkan jabatan menteri keagamaan dan lebih parahnya lagi fungsi dewan
syuro’ dimana majelis itu dipimpin oleh ulama NU namun tidak mempunyai peran
eksekutif melainkan hanya sebatas memberikan nasihat.
Partai NU seperti PKB
berdiri pada 23 Juli 1988 memberikan jawaban baru terhadap kebutuhan kuam
santri ini untuk berpolitik.Diawali dengan berdirinya PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa) oleh Abdurahman Wahid, hal ini diikuti oleh partai-partai lainnya
termasuk beberapa kerabat Gus Dur yang ikut berkiprah dalam partai politik
NU.Tak jarang terdapat isu saling menjatuhkan antara partai NU, malahan ada isu
yang berkembang PKB bukanlah NU lagi atau PBNU tidak adil dalam memberikan
sorotan yang cendrung lebih mengutamakan PKB.
Walaupun NU terpisah
dalam beberapa partai tetapi tidak NU memberikan kebebasan bagi mereka untuk
menyalurkan aspirasi politiknya ke partai apa saja termasuk partai PPP dimana
NU sebelumnya tergabung. Hingga April 1987 dimana NU menarik ucapannya dengan
tidak memberikan dukungan pada PPP tetapi malahan pada golkar dan PDI.Hal ini
dinyatakan juga dalam Muktamar NU 1987 dimana masyarakat NU wajib mensukseskan
pemilu tapi tidak mengkampanyekan PPP.Hal ini juga erat kaitannya untuk
menjantuhkan Naro sebagai ketua pimpinan PPP.
Dalam politik
kedepannya sangat banyak berkembang partai politik Islam yaitu 11 partai, hal
itu terjadi pada saat setelah tumbangnya rezim Soeharto dengan dibukanya
“liberalisasi politik” dimana masyarakat mecobamengekspresikannya hak-hak
politik dan kebebasannya yang telah lama direnggut. Partai-partai itu adalah
PUI, PKU, PMB, PPP, PSII, PSII 1905, PPIM, PBB, PK, PNU, dan PPP.Belum lagi
partai lainnya yang diluar kelompok Islam terpecah beberapa partai
lagi.Ketajaman melihat politik sebagai arena memperebutkan kekuasaan sangat
terlihat dengan banyaknya partai yang berdiri berarti semakin banyak
kepentingan dalam negara ini.Namun pertanyaannya adalah “apakah kepentingan
rakyat yang mereka bawa atau kepentingan individu atau kelompoknya?”.
Finalnya dari 148 parpol
hanya 48 parpol yang berhak masuk pada kancah pemilu 1999 diamana menjadi
pemenang adalah PDI dan Golkar sedangkan partai Islam jauh merosot menjadi
kelompok-kelompok kecil dalam beberapa partai. Kemenangan dua partai itu maka
sudah dapat dipastikan bahwa Megawati atau Habibie yang akan menjadi Presiden
selanjutnya. Hal ini terjadi pro dan kontra dimana masing-masing pendukung
sama-sama kuat.Bagi kalangan Ulama saat itu lebih condong pada Megawati
termasuk itu beberapa elite NU atau sebut saja Gus Dur walaupun tidak secara
terang-terangan.Namun dengan adanya poros tengah untuk memecahkan tegangan itu
dimana Habibie memajukan Gus Dur sebagai calon presiden selanjutnya.Dimana
Amien Rais mendukung Gus Dur sebagai presiden sebagai pencetus dari poros tengah.Banyak
yang curiga dengan keputusan pencalonan ini, justru kelihatan seperti adanya
sikap pribadinya.
Wacana ini menjadi
serius dan menjadi pemikiran umum dimana wajah seorang Abdurahman Wahid saat
itu sangat dikenal dengan kontroversional dan liberal.Disamping itu Habibie
malah mengundurkan dirinya dari pencalonan presiden dan membuat makin kuatnya
PDI dan poros tengah yaitu Abdurahman Wahid.
Ulil Abshar Abdalla
mengeluarkan pendapat tentang pemikiran yang berkembang pada kalangan NU saat
itu dimana telah jauh dari kittah 1926. NU terbagi menjadi tiga golongan
pemahaman yaitu:
1. Golongan
elit politik yang rindu akan kekuasaan politiknya yang telah dibungkam pada era
orde Baru
2. Golongan
kiai yang bersifat tidak pro juga tidak kontra dengan permasalahan politik yang
terpenting adalah kepengurusan NU sebagai organisasi ummat.
3. Golongan
pemuda yang berfikir mengembangkan pemikiran Gus Dur
Terangkatnya Gus Dur
sebagai presiden menjadi kemenangan bagi semua kalangan santri.Namun hal itu
tidak berlangsung lama dimana DPR menganggap pernyataan yang dikeluarkan Gus
Dur sering membuat “heboh” dimana kurangnya komitmen Gus Dur dalam agenda
reformasi. Demikian
juga dengan ketua PBNU yang mewanti-wanti Gus Dur, demikian juga dengan Amien
Rais sebagai promotor mengusungkan Gus Dur sebagai presiden mencabut
dukungannya dengan pernyataan penebusan dosa atas kekeliruannya tempo lalu.Hal
ini semakin membesar dimana golongan NU semakin panas dengan ucapan Amien Rais
yang secara terang-terangan meminta Gus Dur mundur dari bangku kepresidenan.
Hasyim Muzadi sebagai
pihak yang tidak ingin terlibat dengan politik terpaksa turun keranah politik
untuk menyelamatkan Gus Dur dan perpecahan ummat.Dimana banyaknya para
pendukung Gus Dur dari kalangan Jawa Tengah dan Jawa Timur siap berdatangan ke
Jakarta untuk demonstrasi agar Gus Dur tidak dilengserkan.Keprihatinan itu
lebih mendalam lagi karena mereka tidak hanya mempersiapkan spanduk atau baliho
tetapi juga mempersiapkan golok dan pisau.
Berkecamuknya isu
tantang hal ini membawa NU memandang kebencian pula pada Muhammadiyah karena
dari Muhammadiyah Amien Rais yang paling menuntut kemunduran Gus Dur. Kuatnya
arus desakan pada penurunan Gus Dur akan berdampak pada NU secara umum apalagi
dengan cara yang tidak terhormat. Dengan ini semua terlihat bahwa NU selalu
mendapatkan posisi yang tidak di untungkan dalam politik atau lebih terlihat
dipermainkan dalam perpolitikan.Seperti halnya yang sudah sudah ketika NU masuk
ke tubuh Masyumi, PP, hingga menjadikan Gus Dur presiden seakan-akan semua
penuh dengan permainan.
E. Kesimpulan
Ciri NU pada masa awal atau
masakolonial adalah kebijakannya yang masih abstain dalam politik. Lebih kepada
sosial dan keagamaan. NU menetapkan dirinya menjadi pengawas tradisi dengan
mempertahankan ajaran keempat mazhab, meskipun pada kenyataannya mazhab Syafi’i
lah yang dianut oleh kebanyakan umat Islam diseluruh Nusantara. NU
mempertahankan ilmu dan hak para ulama untuk menafsirkan ayat-ayat suci dan
hadis dari kaum reformis yang mempertanyakan kembali ajaran ulama-ulama besar
pada abad ke-9 dan secara tidak langsung, para penerusnya sekarang ini. Namun
NU juga menyerap beberapa tujuan kaum reformis yang dianggap baik.
NU
masuk pada dunia politik sejak Indonesia merdeka dengan bersemayam di tubuh Masyumi
sebagai partai himpunan Islam. Posisi yang sangat besar di miliki oleh orang NU
tidak memberikan pengaruh yang besar
terhadap partai ini karena NU cenderung dijadikan anggota istimewa. “NU tidak
pandai dalam berpolitik” itulah kesimpulan dari para elit saat itu sehingga
posisi NU baik strategis di parpol ataupun dikenegaraan ditanggap sebelah mata.
NU ditubuh PPP mendapat pertentangan
atau kasus yang hampir sama dengan ketika di Masyumi dimana NU tetap mendapat
posisi strategis di partai namun berbeda di perlemen. NU kemudian dipaksa untuk
mensahkan P4 pada masa Soeharto ini.NU memilih keluar dari parpol yang
dinyatakan dalam kittahnya.
Politik NU saat diturunkannya Gus
Dur mendapat pertentangan keras dari warga NU hingga menaruh kebencian pada
Amien Rais sebagai orang yang menuntut kemunduran Gus Dur.
Daftar Pustaka
Alafsana, S. (2002).Bodohnya NU” Apa “NU dibodohi?.Yogyakarta
: Ar-ruzz Press.
Asy-Syurbasi, Dr.Ahmad.
(1991). Sejarah dan Biografi Empat Imam
Mazhab. Jakarta: Bumi Aksara.
Dofier, Z. (1990). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai. Cet. Ke-5.Jakarta: LP3ES.
Feillard, A. (1999). NU
vis-a-vis Negara. Yogyakarta: LKiS.
Haidar, M. A. (1994). Nahdatul
Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hidayat,
K, dan Haryono, M.Y. (2004). Manuver
Politik Ulama.Yogyakarta : Jalasutra.
Mastuki.(1999).Kiai Menggugat.Jakarta : Pustaka
Ciganjur.
Misrawi,
Z. (2010).Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaaan.Jakarta : Buku Kompas.
Muchtarom,
Z. (1988). Santri dan Abangan di Jawa.
Jilid II. Jakarta: INIS.
Noer,
D. (1980).Gerakan Moderen Islam Indonesia
1900-1942. Jakarta: LP3ES Press.
Qomar, M. (2002).NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah
ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan.
Romli, L. (2006). Islam
Yes Partai Islam Yes. Jakarta:
Pustaka Pelajar.
Sodik, Mochamad.
(2000). Gejolak Santri Kota. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Sujuhuti, M. (2001).Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiah
Jombang. Yogyakarta: Galang Press.
[1]Zaini Muchtarom, Santri dan
Abangan di Jawa, Jilid II, (Jakarta:
INIS, 1988), 10.
[3]Zamakhsyari Dofier. Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Cet ke-5. (Jakarta: LP3ES,
1990),
[5] Zaini Muchtarom, Santri dan
Abangan di Jawa, Jilid II, (Jakarta:
INIS, 1988), 12.
[7] Zamakhsyari Dofier. Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Cet ke-5. (Jakarta: LP3ES,
1990), 149.
[8]Lihat, Zamakhsyari Dofier. Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Cet ke-5. (Jakarta: LP3ES,
1990), 149.
[10]Ibid.
[11] Mujamil Qomar, NU Liberal: Dari
Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
29.
[13] Zaini Muchtarom, Santri dan
Abangan di Jawa, Jilid II, (Jakarta:
INIS, 1988), 37.
[14] Mujamil Qomar, NU Liberal: Dari
Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
30.
[17]Ibid.
[20]M.
Ali Haidar,Nahdatul Ulama dan Islam di
Indonesia, (Jakarta:, 1994), 83.
[21] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh
Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaaan, (Jakarta : Buku Kompas,
2010), 58.
[22] Komarudding Hidayat dan M. Yudie Haryono, Manuer Politik Ulama(Yogyakarta : Jalasutra, 2004), 167.
[23] Mastuki, Kiai menggugat,
(Jakarta : Pustaka Juganjur, 2002), 203.
[24] Mahmud Sujuthi, Politik Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiah Jombang, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 90.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar