Siapa yang menyangka berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) itu berawal dari usulan yang ditolak dalam sebuah rapat. Awal tahun 1926, kalangan yang dikenal dengan golongan tradisi ini merupakan salah satu bagian dalam komite khilafah yang terorganisir dalam Sarekat Islam (SI). Namun hampir seluruh organisasi dalam perwakilan rapat SI tidak menyambut baik usulan golongan tradisi. Berita terkait perkembangan organisasi SI ini diabadikan dalam sebuah surat kabar Hindia Baroe yang dipimpin oleh Haji Agus Salim.
Sebelum kongres Al Islam ke lima di Bandung diadakan, kalangan tradisi harus kecewa karena usulan-usulannya tidak disambut baik oleh sebagian besar peserta kongres al Islam. Hal tersebut diketahui beberapa hari sebelum diadakan kongres, yaitu dalam rapat antar organisasi peserta kongres yang diadakan pada 8-10 januari 1926 di Ciajur. K. H. Abdul Wahab, sebagai seorang pemuka dari golongan tradisi, mengusulkan agar kebiasaan2 agama seperti membangun kuburan, membaca do'a seperti dalail al khairat, dan ajaran mahzab dihormati kepala negeri arab yang baru atau raja Ibnu Sa’ud yang berhasil merebut Hijaz dari pemimpin terdahulu.
Kalangan tradisi yang merasa usulannya tidak disetujui dalam kongres memutuskan keluar dari komite khilafah. Salah satunya adalah Abdul Wahab. Beliau berinisiatif membentuk panitia tersendiri untuk menyampaikan usulan tersebut ke raja Hijaz. Atas dukungan kalangan tradisi dari Surabaya, Pati, Lasem, dan Pasuruan dibentuklah Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang mewakili Nahdlatul Ulama yang sengaja didirikan pada suatu rapat di Surabaya, 31 Januari 1926. Jadi alasan kuat dalam pendirian NU adalah sebagai lembaga yang akan diwakili Komite Merembuk Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Sa’ud di Mekah.
Dalam rapat 31 Januari 1926, kalangan tradisi menempatkan masalah Hijaz sebagai pokok pembicaraan utama. Berikut pemberitaan hasil rapat yang diabadikan dalam surat kabar Utusan Nahdlatul Ulama:
Bani Sa’ud An-Najdi di zaman dahulu terkenal dengan aliran Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin abdul Wahab, menurut kitab-kita Tarikh . . . . belum lagi diketahui dengan pasti aliran apa yang dianut raja Sa’ud sekarah (masih Wahabi atau bermahzab empat), tetapi kabar mutawatir menyebutkan mereka merusak pada qubah-qubah, melarang membaca dalail al khairat dan sebagainya.
….. Kita kaum muslimin, meskipun kaum tua, juga ada merasa ada mempunyai hak yang berhubungan dengan itu tanah (suci) dalam hal agama, karena di situ ada Qiblat dan (tempat) kepergian haji kita dan beberapa berkas Nabi kita bahkan quburnya juga. Walhal, kita ada anggap Sunnat-Muakad ziarah di mana qubur tersebut.
Komite Merembuk Hijaz fokus menjaga keberlangsungan mahzab Syafi’i baik di Hijaz yang berdampak di Hindia Belanda. Sehingga dalam rapat memutuskan:
1. Mengirim dua orang menghadap raja Ibnu Sa’ud yaitu Kiayi Haji Khalil dari Lasem dan Kiayi Haji Abdul Wahab dari Surabaya
2. Mempersembahkan pendapat organisasi
a. Tidak melarang mahzab Syafi’i
b. Adakan angkat ziarah ke Madinah dan beberapa kubur syuhada serta bekas-bekas mereka
c. Tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir membaca Dalail al Khairat atau burdah
d. Memelihara kubur Rasulullah s.a.w.
e. Tidak merusak qubah-qubah syuhada dan aulia atau ulama
f. Menetapkan tarif haji
g. Membentuk komite pengurus haji di Mekah
Dalam permintaan bertemu dengan raja Sa’ud, NU meminta bantuan konsulat Belanda di Jeddah yang kemudian direncanakan pada tanggal 2 Juni 1926. Namun, pertemuan tersebut gagal karena utusan Nahdlatul Ulama terlambat memesan tiket kapal sehingga tidak jadi berangkat ke Mekah. Sebagai gantinya, NU mengirim isi keputusan rapat lewat telegram (pesan kawat) berharap dapat menjadi masukan dalam UU Hijaz.
Tidak juga mendapat jawaban dari pesan kawat yang dikirim, kali ini NU berhasil mengutus delegasi ke Mekah pada 17 April 1928. Delegasi ini terdiri dari KH Abdul Wahab dan ustadz Ahmad Ghanaim al-Amir, seorang mantan guru al Irsyad yang kemudian keras menolak paham wahabi. Dua bulan setiba di Mekah utusan tersebut diterima raja Ibnu Sa’ud. Raja menjawab bahwa perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban tiap pemerintah di negeri itu. Ia menambahkan akan memperbaiki keadaan pejalanan haji sejauh perbaikan ini tidak melanggar ketentuan Islam. Ia juga sependapat bahwa pada umumnya kaum muslim bebas dalam menjalankan praktek keagaman dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang Tuhan Allah mengharamkan, seperti tidak terdapat sesuatu dalil dari kitab-Nya Tuhan Allah, tidak terdapat sunnat rasulaullah s.a.w., dan tidak ada dalam mazhabnya orang dulu-dulu yang saleh-saleh, dan tidak dari sabda salah satu Imam empat. Pertemuan delegasi dengan raja berlangsung singkat, sehingga jawaban atas usulan dari NU ditulis pada secarik kertas sebagai balasan atas telegram yang dikirim sebelumnya.
Dengan demikian, berdirinya NU hingga terbentuknya Komite Merembuk Hijaz berhubungan dengan isu khilafah yang diperjuangkan oleh Komite Khilafah dan diorganisir oleh Sarekat Islam. Walaupun tidak dalam Komite Khilafah, NU atau yang sebelumnya disebut kalangan tradisi masih dapat menyampaikan pesannya demi tetap berlangsungnya praktek ibadah mazhab syafi’i dan tradisi ibadah lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar