Kadang kita lupa esensi kehidupan ini. Fokus dengan masalah kehidupan kita lupa akan eksistensi kita sebagai mahkluk. Ingin rasanya teriak, karena aksistensi itu tidak ada lagi. Berganti menjadi manusia cinta dunia dan takut mati. Suatu ketika istri meminta aku untuk membinanya. Dia meminta aku menyampaikan sedikit kuliah singkat tentang Islam. Tanpa disadari itu peristiwa pertama dan tidak pernah terjadi lagi hingga usia pernikahan mendekati dua tahun.
Saat ini istri udah menjadi orang lain. Dia punya kesibukan. Dia punya rahasia yang aku ngak boleh tahu. Dan dia punya hubungan spesial dengan rekan kerjanya. Ini merisaukan. Menulisnya saja membuat jantungku tak kuat menahannya.
Aku pelepas dia bekerja..... bukan, lebih tepatnya itu keputusan kita. Kalau dilihat dari asal usulnya memang kebutuhan akan materi. Hal ini sudah saya tuliskan dicatatan sebelumnya. Intinya pekerjaan itu menjadi kehidupannya saat ini.
Tanpa aku sadari aku sudah menikah dengan orang yang keras. Keras karena baginya pekerjaan itu lebih utama. setidaknya lebih utama dari pada suaminya. Bahkan dalam salah satu chat dia bilang aku ini tekanan. aku hanya halangan yang menggangunya. Suami adalah halangan bagi istrinya. "Jadi masalah kerjaan tidak usah ikut campur" mungkin itu yang terkandung dalam maksudnya.
Sebagai suami, aku tidak boleh tau bagaimana pekerjaannya apa apalagi prosesnya. Hati yang kuat. sekuat baja yang kokoh tak terbendung. Hati yang jauh sejauh 439km
Menengadah pada hati sejauh 439km
terhampar jiwa yang terpasung angan
terlalu mudah menerima pikatan alam
birokrasi lebih utama siang malam
menelan pil pahitnya rasa sesak
pil itu sudah mengakar sedu sedan
Tak terlihat lagi
jiwa islami yang dulu kini berkelip
terkikis kecurigaan yang berarti
menukil hati yang sudah bertuan
emoticon rasa diabaikan jangan
sudah malu pun tak bertuan
suatu suratan tak bertepi
akhir yang indah pun mati
tak ada yang abadi
jika pun rasa ini harus mati
biarkan mati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar