Ratusan tahun yang silam, teokrasi sempat menjadi solusi
dalam permasalahan politik. Hal itu kembali muncul di tengah masayarakat dunia
saat ini. Pada intinya teokrasi mendaulatkan sabda tuhan dalam negara. Hal itu
dianggap mampu menyelesaikan berbagai kerumitan masayarakat. Agustinus of
Hippo, seorang filsuf yunani, sangat mendukung bentuk pemerintahan agama atau
teokrasi ini. Meskipun pada masanya, Agustinus sering mendapat tanggapan atas
runtuhnya emporium Romawi yang telah menerapkan sistem pemerintahan agama itu.
Salah satu hal yang memberatkan pendapat Agustinus ini adalah kelalaian rohib,
pemuka agama, yang sering kali melanggar ketentuan agama untuk memenuhi hasrat
materialnya.
Indonesia tengah dibayangi oleh fenomena sosial yang kembali
untuk mempercayai rohib/pemuka agama sebagai pemimpin negara. Sekitar dua decade
sebalumnya, Indonesia pernah dipimpin oleh sosok ulama. Besarnya harapan pada
saat itu tak berlangsung lama. Rasa ketidak-percayaan karena banyaknya
pandangan negatif yang ditujukan pada figur ulama sebagai pemimpin Negara. Beberapa
pendapat mengatakan ulama tidak cakap dan tidak pantas dalam berpolitik karena
politik itu penuh tipu daya yang dianggap kotor untuk manusia mulia pembina umat
seperti ulama.
Tahun ini kembali mencuat kembali isu ulama dalam kancah
politik. Tidak hanya ulama sebagai pemimpin tapi juga suara ulama dalam
kontestasi politik tanah air. Bukan hanya isapan jempol, pengaruh ulama yang
mencuat akhir-akhir ini mendapat dukungan rakyat yang sangat massif seperti
terjadinya 411 dan 212. Dr. Mulyadi, dosen politik Universitas Indonesia,
menyimpulkan bahwa dalam demokrasi suara rakyat adalah suara Tuhan oleh karena
itu rakyatnya pun harus bertuhan sesuai dengan pengamalan pancasila. Fenomena
ulama dalam politik dan berjalannya demokrasi pancasila menuai bibit teokrasi
dalam perubahan politik di Indonesia.
sumber foto: merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar