Nama: Bisamz
Novtiandi (1006773704)
Ilham ()
Jonathan
Nainggolan ()
Topik: Krisis Irak 2003
Kajian Teoritis dan
Historis Krisis Irak:
Operasi militer yang
terjadi di Irak masih terus menjadi perdebatan bagi para akademisi walaupun
telah berlalu sejak tahun 2003 silam. Keputusan untuk berperang melawan Irak
seolah menciptakan puzzle dengan
tanda tanya besar bagi Dunia Internasional, terutama terkait faktor determinan
yang mempengaruhi politik luar negeri Amerika Serikat pada awal abad 21. Selain
belum jelasnya intensi serangan, operasi militer menyisakan laporan mengenai
besarnya cost (meliputi biaya dan
korban) yang harus ditanggung untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein. Tidak hanya
itu, nihilnya penemuan senjata nuklir mengejutkan dunia internasional yang
diklaim sebelumnya bahwa rezim agresif Saddam Husein sedang menginstalasi
senjata nuklir. Pembahasan puzzle
yang belum terpecahkan tersebut pada akhirnya membuat isu ini menjadi
signifikan untuk dibahas secara lebih mendalam. Sehingga, fokus tulisan ini
berusaha menjawab research question:
bagaimana aksi-reaksi kebijakan luar negeri AS-Irak periode 1990-2003? Untuk
menjawab pertanyaan ini, pembahasan dibagi menjadi dua struktur. Pertama,
kajian teoritis faktor determinan invasi Irak dari teori kebijakan luar negeri.
Ke-dua, kajian historis mengenai kronologi peristiwa penting sampai dengan
terjadinya operasi militer.
A. Perumusan Kebijakan
Luar Negeri Vs Faktor Determinan Invasi
Irak
Jika dicermati,
penjelasan para ahli mengenai intensi Amerika Serikat yang ‘pada akhirnya’
mengeluarkan kebijakan luar negerinya untuk campur tangan menjatuhkan rezim
yang berkuasa tidak dapat dirumuskan dalam satu skenario. Awalnya Kongres
melalui beberapa dokumen yang dirilis pada bulan September 2002 dan Februari
2003 menyatakan bahwa Amerika Serikat memutuskan untuk melakukan operasi
militer atas pertimbangan kepemilikan senjata pemusnah massal yaitu senjata
kimia dan biologis (terutama spekulasi program nuklir Irak).[1] Hal ini menjadikan rezim
Saddam Hussein sebagai diktaktor kejam (evil
dictactor) akibat tidak mematuhi resolusi PBB berdasarkan dua dokumen yang
diperoleh dari laporan intelejen, yang kemudian disebut September Dossier dan February
Dossier.[2]
Dalam perkembangannya kemudian, ditemukan juga penjelasan lain terkait isu
stabilitas minyak, perang terhadap terorisme global, ancaman secara khusus
terhadap stabilitas Timur Tengah dan secara umum terhadap keamanan
internasional[3],
demokratisasi atau bahkan muncul wacana dendam pribadi keluarga Bush.
Kebijakan Luar Negeri Versi Kongres
(Bisamz)
Preventive War Vs Unnecessary War
Secara teoritis, keputusan
untuk berperang dengan Irak didasarkan oleh penilaian yang ‘dilebih-lebihkan’
oleh penganut preventive war yang
mengajukan beberapa klaim.[4] Pertama, kepemilikan senjata pemusnah massal yaitu Chemical Weapon dan Biological Weapon dan proliferasi senjata nuklir.[5] Ke-dua, Saddam Hussein merupakan evil aggressor yang cenderung irasional jika dicermati dari Perang
Irak-Iran dan Irak-Kuwait.[6] Ke-tiga, dengan karakteristik yang irasional, Saddam dapat
mentransfer nuklirnya pada kelompok teroris seperti Al Qaeda yang tentu
bersebrangan dengan Amerika Serikat.[7]
Mearsheimer dan Walt
secara implisit telah ‘membantah’ kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS)
untuk melakukan Operasi Militer di Irak sejak Februari 2003, satu bulan sebelum
tentara AS tiba di Irak. Preventive war
menyatakan bahwa rezim Saddam Hussein dengan karakteristik nekat, kejam dan
tidak sepenuhnya rasional ketika ditambah dengan kepemilikan senjata nuklir
menjadikan kombinasi yang sulit diprediksi, dicegah dan mengancam kepentingan
Amerika Serikat. Sedangkan Merasheimer dan Walt menngungkapkan bahwa jika
dikilas-balik pada masa lampau, walaupun Saddam Hussein kejam namun dapat
ditangkal (deterrable).[8] Argumentasi tersebut
meliputi tiga penjelasan yang akan dibandingkan. Pertama, Karakteristik
aggressor Saddam Hussein. Kedua, Keberadaan senjata pemusnah massal Irak.
Ketiga, Transfer teknologi nuklir pada teroris (Nuclear Terrorisme).
Pertama, penganut preventive war berpendapat bahwa rezim
Saddam Hussein dengan sifatnya yang kejam, nekat dan tidak sepenuhnya rasional
mengakibatkan Irak tidak dapat ditangkal walaupun dengan ancaman kredibel[9]. Di lain pihak,
Mearsheimer mengungkapkan bahwa melihat ‘perilaku’ Saddam Hussein pada dua
perang masa lalu yaitu antara Irak dan Iran serta Irak dan Kuwait menegasikan
bahwa ia bersifat kejam dan nekat.[10] Agresi yang dilakukan
Irak dalam perang melawan Iran merupakan bentuk rasionalitas dikarenakan
strategi untuk mengamankan Irak dari dominansi regional Iran atas mobilisasi
etnis Kurdi dan Shiah untuk menjatuhkan rezimnya. Sedangkan dalam agresi
Kuwait, Saddam melakukannya atas dasar kepentingan nasional Irak yaitu Kuwait
enggan memberikan bantuan pada Irak yang terkena depresi ekonomi. Tidak hanya
itu, sejarah juga membuktikan bahwa Irak dapat ditangkal. Pada saat Perang
Teluk, Irak tidak meluncurkan senjata pemusnah massal (senjata biologis atau kimia)
dikarenakan ambiguitas dan khawatir akan serangan balasan dari pemerintah Bush.
Selanjutnya, ketika PBB memperingatkan keberadaan tentara Irak di Kuwait dan
penambahan pasukan AS, Irak menarik-mundur pasukannya dari perbatasan. [11]
Kedua, paham preventive war menyebutkan bahwa Saddam
telah menggunakan senjata pemusnah massal terhadap rakyatnya (Kurdi), Iran, dan
dimungkinkan menyerang Amerika Serikat. Faktanya Mearsheimer-Walt menunjukkan
bahwa sekali lagi Irak dapat ditangkal oleh Amerika Serikat. Penggunaan senjata
pemusnah massal (senjata biologis atau kimia) Irak hanya digunakan pada lawan
yang tidak memiliki senjata ini. Perhitungan ini menjadi berbeda jika Irak
nekat menyerang Amerika Serikat yang dapat membalas serangan yang lebih besar.[12]
Ketiga, penganut preventive war juga memprediksi bahaya
transfer teknologi senjata pemusnah massal Irak kepada kelompok teroris seperti
Al Qaeda. Poinnya adalah kelompok ini bersifat lebih nekat dan irasional untuk
menyerang Amerika Serikat. Pendapat berbeda disampaikan Mearsheimer-Walt bahwa
terorisme nuklir kecil kemungkinannya terjadi, atau yang disebut nuclear handoff. Hal ini berdasarkan dua
argumen,[13]
pertama, transfer kepada teroris tidak akan menambah keamanan rezim Saddam,
kedua, jika transfer telah dilakukan Saddam tidak dapat mendikte kelompok
teroris untuk menargetkan serangan.
Dari tiga penjelasan
di atas, dapat dicermati bahwa rezim Saddam Hussein yang kejam masih dapat
ditangkal (deterrable), terutama
kemungkinan serangan terhadap kepentingan Amerika Serikat. Sehingga operasi
militer yang dilakukan merupakan Perang yang Tidak diperlukan (An Unnecessary War).
Pergantian Euro sebagai Mata Uang dalam
Perdagangan Minyak
Cadangan Minyak (Jonathan)
Demokrtatisasi (jonathan)
Pendapat lain: Dendam Keluarga Bush
(Jonathan)
B.
Kronologi
Krisis Irak Periode 1990-2003 (Ilham)
-
Perang
Irak-Kuwait
-
Keputusan
AS tidak dilegitimasi oleh PBB
-
dll
C.
Akhir
dari Operasi Militer Irak (Dampaknya)
-
Akibat
dan dampaknya, siapa yang menang? (Ilham)
-
Cost
(biaya dan korban) yang ditimbulkan (Jonathan)
-
Tidak
ditemukannya senjata nuklir. Diungkapnya laporan CIA (bisamz)
[1] House of Common Foreign Affairs Committee, The Decision to Go to War in Iraq, Ninth Report Of Session
2002-2003, Volume I, The House of Common, July 2003, hlm. 9.
[2] Ibid, hlm. 7-9.
[3] Devon M. Largio, Uncovering
Rationale for War on Iraq: The Words Of Bush Administration, Congress, and The
Media, from September, 12, 2001 to
October, 11, 2002, Thesis for Degree of Bachelor of Art in Political
Science, College of Liberal Art and Science, University of Illinois, 2004,
hlm. 29.
[4] John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt, “An Unnecessary War”,
dalam Foreign Policy, January-February 2003, hlm. 58. Diunduh dari http://mearsheimer.uchicago.edu/pdfs/A0032.pdf pada 10 November
2012.
[5] Ibid. hlm. 52.
[6] Ibid. hlm. 53-54.
[7] Ibid. hlm. 57.
[8] John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt, Op.Cit, hlm.50.
[9] Ibid, hlm. 52.
[10] Ibid, hlm. 53-54.
[11] Ibid. hlm. 55
[12] Ibid. hlm. 55-56.
[13] Ibid. hlm. 57-58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar