Source of picture: dailymail.co.uk |
Manusia
yang terkena penyakit Hikikomori biasanya menghabiskan waktu hingga berjam-jam
bahkan sampai bertahun-tahun. Hal itu tergantung pada tingkat kebosanan atau kesadaran
akan keburukan yang dia lakukan. Banyak orang tua atau keluarga dari penderita
penyakit ini membiarkan anaknya menjadi unsosial tetapi ada punya yang langsung
memberikan pengarahan yang baik. Berbeda halnya jika seseorang berada ditempat
yang jauh dan lepas dari kontrol orang tua atau saudaranya sehingga penyakit
hikikomori berkembang lebih parah dan lebih lama untuk sembuh dikarenakan
faktor tidak ada yang peduli padanya.
Kehidupan
jepang kehidupan yang masih memiliki tanda tanya. Disatu sisi terlihat
suksesnya negara dalam kreatifitas yang dibangun oleh masyarakatnya, tetapi
disisi lain membuat kreatifitas tersebut malah menjerumuskan masyarakatnya pada
permasalahan baru seperti munculnya Hikikomori ini. Generasi-genarasi jepang
bahkan juga genarasi dunia akan menjadi konsumen dari kreatifitas pembuat
masalah ini. Tentunya, kontrol dari orang berpengaruh seperti keluarga,
saudara, dan teman akan membantu seseorang agar tidak terlena dalam dunia
kreatifitas mutakhir tersebut. Bersikap tidak peduli hanya akan merusak
generasi bahkan akan memperparah kehidupan Jepang selanjutnya. Seharusnya, sebagai
pihak yang memiliki kuasa terhadap ini sudah seharusnya pemerintahan Jepang
memiliki Badan Konsultasi Kesejahteraan Sosial yang menjadi wadah umum untuk
masyarakat yang dirasa memiliki potensi munculnya penyakit atau pengaruh yang
tidak diinginkan.
Bagaimana
dengan Indonesia? Indonesia tidak lepas dari penyakit yang datang dari jepang
ini. Sebab arus deras globalisasi telah membawa kreatifitas tersebut ke negara
miskin ini. Dengan sistem ekonomi liberal dan kebijakan negara yang kapitalis
tentu tidak memandang ini sebagai ancaman berarti, sehingga tidak mungkin
menolak atau menghentikan arus globalisasi dari Negara Sakura tersebut.
Indonesia terkena imbasnya yang tidak hanya tertutup pada generasi dari
golongan “beruang” saja. Saat ini telah mulai populer penyakit ini di antara siswa,
pelajar, dan mahasiswa. Diantara mereka terdapat banyak yang memiliki kehidupan
lain, kehidupan di dunia maya fantasi. Beberapa diantara mereka hampir selalu
menghabiskan waktu di tempat-tempat online atau di dalam kamar. Hal itu
terbukti dari menjamurnya warung-warung game online di sekitar siswa-siswa
pelajar.
Tidak
jarang diantara orang tua malah memfasilitasi anaknya dengan meminjamkan laptop,
hp, android, tap, dan sebagainya, tetapi juga tidak jarang membelikan untuknya.
Akibatnya, kehidupan hedonis individualis ini semakin teraplikasi. Kehidupan genarasi
penerus telah teracun oleh kefokusan pada kehidupan maya. Mereka merasa lebih
memiliki tantangan di dunia online dari pada dunia offline yang terlihat
biasa-biasa saja. Akibatnya sikap prioritas lebih pada dunia dalam kamar atau
dalam warung internetnya. Menghabiskan waktu berjam-jam, bermalam-malam, bahkan
hingga bertahun-tahun. Tentu hal ini akan memperparah kehidupan generasi
terutama yang berasal bukan dari darah “beruang”. “Sudah jatuh namun juga ikut
tertimpa tangga” merupakan pribahasa yang cocok untuk menggambarkan keadaan masyarakat
dari golongan yang kurang mampu atau miskin yang mayoritas di negara ini.
Untuk
terlepas dari permasalahan ini dibutuhkan tiga elemen sosialisasi yang
dijelaskan oleh Selo Soemarjan dalam bukunya “Kritik Sosial Masyarakat”. Tiga
elemen tersebut adalah keluarga, teman sebaya, dan masyarakat. Permasalahannya
adalah ketiga agen sosialisasi tersebut tidak dapat mengarahkan pada kehidupan
sebenarnya yang terlepas dari dunia online dan malah memfasilitasi, seperti
seorang anak yang keluarganya melepaskan kontrol terhadap benda-benda eletronik
padanya, atau berteman dengan teman bermain yang juga mencintai game, anime,
dan manga secara bebas, ditambah lingkungan dan perkembangan teknologi yang
memanjakan game online, anime, dan manga yang menjamur di setiap sudut kota
yang sangat mudah diakses. Jika ketiga element tersebut tidak berfungsi lagi
maka runtuhlah solusi yang pernah diberikan oleh Selo Soemarjan tentang agen
sosial.
Satu
hal sebenarnya yang masih kita punya untuk mengubah semua ini yaitu “harapan”.
Harapan menhasilkan sebuah ide yang butuh aplikasi untuk melihat hasilnya.
Harapan itu yaitu kehidupan generasi penerus yang lebih baik dari generasi
selanjutnya, generasi yang lebih disibukan oleh hal-hal yang penting, generasi
yang berjibaku dalam dunia positifnya, generasi tangguh, bermental kuat, serta
beriman yang menjadi kebanggaan yang pernah ada dalam sejarah. Ide dari semua
itu tidak lepas dari memisahkan pendidikan dari kepentingan ekonomi sang
penguasa dan pengusaha. Banyak negara memandang pendidikan sebagai jalan
seorang siswa untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan gaji tinggi, tanpa
berfikir untuk membuat emosi antara pendidikan dengan kehidupannya. Sehingga
seorang yang tidak memiliki kehidupan pendidikan formal dianggap tidak bisa
memiliki pekerjaan atau kehidupan lebih baik. Secara sejatinya pemaham seperti
itu telah salah dari sisi filosofi tujuan pendidikan sebenarnya.
Lalu
apa sistem pendidikan yang memisahkan antara kepentingan ekonomi? Itu adalah
pendidikan dimana mempersiapkan siswanya menjadi manusia yang mengetahui makna
hidup dan berani untuk hidup sebagai manusia. Manusia yang menikmati hidup
walau susah, walau sulit, walau sempit, tetapi menikmati semua itu dengan sadar
akan makna dari sebuah kehidupan. Tentu saja sebelum sadar akan arti kehidupan
banyak pertanyaan yang harus mereka dapatkan dari sekolah seperti asal manusia,
tujuan manusia, serta kemana manusia setelah mati. Secara lahiriah dengan modal
jawaban pertanyaan tersebuat manusia tidaklah mau memiliki mental lembek dan
melakukan berbuat sia-sia dalam kehidupan yang sebenarnya ladang perjuangan
baginya.
Aplikasi
ide dari sistem pendidikan tersebut tidak lain adalah dengan menggunakan
kebijakan negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat mempengaruhi
dunia pendidikan saat ini ketika agen sosialisasi telah musnah secara teori
membawa seorang manusia menjadi manusia. Merumuskan sistem pendidikan dengan menjadikan generasi manusia yang dapat
menjawab makna sesungguhnya dari kehidupan ini. Dengan begitu, generasi
selanjutnya tidak lagi terlena dengan kreatifitas yang menyebabkan masalah
bahkan bisa menjadi leader dari mengubah balik arus globalisasi ke araf positif
yang lebih bermanfaat. Dan saat itu, Hikikomori hanya menjadi teori penyakit
yang tidak teraplikasi karena kehidupan yang telah berubah dan terlepas dari
hal-hal yang membuat individu hedonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar