Selasa, 13 Januari 2015

Teroris atau bentuk kekecewaan???


Telah 6 hari berlalu aksi pembunuhan empat orang komikus, seorang pimpinan redaksi Chalie Hebdo beserta beberapa orang yang ikut terbunuh ketika peristiwa penembakan depan kantor penerbit majalah Charlie Hebdo terjadi. Sampai saat ini issu ini masih marak dikalangan masyarakat Paris hingga melakukan aksi penolakan yang mereka sebut itu sebagai tindak terorisme. Sementara itu pelaku penembakan telah diketahui mendapat ganjarannya yang sama dari pihak berwajib. Tanpa mendengar suara mereka, tanpa mau tahu alasannya, bahkan tanpa kompromi apapun. Alasan atau tujuan dari penembakan tidak ditemui kebenarannya, namun disana telah besar pekiknya terhadap anti terorisme dan kebebasan berekspresi.
Setidaknya adal satu juta umat manusia dalam aksi hari minggu kemaren dan bentuk duka mereka terhadap 12 orang korban penembakan Charlie Hebdo. pertanyaannya bagaimana dengan orang yang melakukan penembakan itu? apakah mereka melakukan itu tanpa memikirkan resikonya atau bahkan mereka telah memprediksi semua ini? Haruskah kita melihat apa yang terjadi saja tanpa melihat akar permasalahannya? Disini seharusnya sifat kemanusiaan kita diuji karena cukup adilkah kita melihat permasalahan ini?
Suatu tindakan berbahaya dan apalagi menyangkut menghabisi nyawa seseorang bukanlah perkara berfikir secara simple. Tidak ada pemikiran shortcut jika dilihat dalam rencana penembakan ini. Semua disusun secara rapi dan bersih dan fokus target terjalani dengan baik yaitu komikus dan pimred Charlie Hebdo. Semua berjalan dengan cepat dan kemudian berhasil melarikan diri. Butuh waktu, strategi, dan kondisi yang matang dalam merumuskan itu semua sehingga sampai akhirnya dapat terlaksana.
Tentu pelaksanaan rencana ini tidak lepas dari keinginan dan dorongan kuat dari berbagai faktor. Dugaan paling kuat adalah conten dari majalah Charlie Hebdo sendiri yang terlalu vulgar dan menyakiti golongan-golongan diluar golongan mereka. Terutama berbicara dalam masalah kepercayaan, Charlie Hebdo menghina hampir seluruh kepercayaan yang banyak berkembang kecuali Semit. Jika dugaan itu benar, berarti peristiwa ini berawal dari keresahan yang mendorongnya untuk berbuat. Sepertinya teguran atau kecaman tidak membuat Charlie Hebdo berhenti melakukan penghinaan lewat medianya. Begitu juga pengawasan dari pemerintahan, sepertinya tidak ada atau tidak berjalan dengan baik sehingga disatu sisi ada golongan yang berekspresi menghina suatu golongan dan dilain sisi adan golongan yang tersakiti.
Matinya beberapa fungsi dan suara seorang rakyat kemudian dibungkam dengan tuduhan teroris. Pertama yaitu fungsi negara sebagai penyedia kaamanan di masyarakat, kedua fungsi hukum yang diam atas “ekspresi” Charlie Hebdo, dan ketika mungkin ormas perdamaian yang melihat permasalahan ini sebagai pemicu ketegangan ditengah masyarakat. Kemungkinan kuat bahwa suara minoritas tidak mendapat ruang untuk berekspresi dan juga membela diri.
Seharusnya pelaku penembakan tidak bisa disebut sepenuhnya bersalah terhadap 12 orang yang tewas itu. Jika melihat beberapa tinjauan dari fungsi yang tidak berjalan maka faktor mendorong juga termasuk bagian yang terlibat terjadinya pembunuhan ini. Peran negara, Hukum, dan keadilan dari masyarakat (ormas) terhadap golongan minoritas yang mendapat tekanan dari Charlie hebdo merupakan juga pelaku yang ikut secara tidak langsung dalam pembunuhan ini.
Terlepas apakah ini tindak terorisme atau bukan, kita bisa melihat bahwa pelaku juga merupakan manusia biasa. Begitu juga seharusnya kita dalam memandang ini sebagai masalah kemanusiaan teruma suara-suara kemanusiaan yang selama ini dibungkam bahkan diacuhkan. Seandainya suara minoritas mendapat jawaban serius tentu hal ini tidak perlu terjadi dan masing-masing golongan pun bisa hidup berdampingan yang terlepas dari tekanan-tekanan yang menghina.


Minggu, 11 Januari 2015

KEBEBASAN ATAU MENABRAK NORMA?


Kebebasan pers berekspresi bukan berarti bebas menghina apalagi membuat gambar yang bukan-bukan. Bersifat obyektif tidak memihak dalam tulisan ataupun gambar adalah kunci dari pers yang bijak dan dapat dipercaya dimata masyarakat. Apa jadinya jika pers malah menjadi trouble maker dalam masyarakat, tentu akan terjadi kekacauan. Kebebasan berekspresi seharusnya menyampaikan suatu berita tidak dengan berlebihan tetapi apa adanya berdasarkan fakta terjadi dilapangan.
Menjadi pertanyaan jika suatu pers memaparkan beritanya secara “kotor”, tidak senonoh, bahkan menimbulkan kontrofersi lewat gambar karikaturnya. Menggunakan kerikatur untuk menyinggung, bahkan penghinaan atas sesuatu yang tidak pernah terjadi. Anehnya, itu malah disebut dengan kebebasan berekspresi, lalu dimana hak perlindungan terhadap orang yang dihina? Apalagi karikatur yang dibawakan seringkali membawakan orang yang telah lama meninggal atau tidak ada lagi. Lantas apa alasan pers memaparkan karikatur itu dan dampaknya malah membuat keresahan ditengah masyarakat.
Pers diciptakan seharusnya tidak untuk tujuan sensasi yang kemudian menabrak norma-norma umum di masyarakat. Ketika pers sudah menabrak norma tersebut tentu saja terjadi clash yang pada akhirkan timbul rasa ketidak senangan dari golongan tertentu. Disatu pihak pers seolah melakukan perbuatan suci dengan membeberkan tulisan “kebenaran”-nya sedangkan dipihak lain merasakan sebuah penghinaan yang sangat kejam yang tidak hanya atas namanya tetapi juga kelompoknya. Pergesekan telah terjadi dan itulah menjadi pemicu pembunuhan atas nama “kebebasan berekspresi” pers. Jangan heran jika terjadi pembunuhan atas suatu penghinaan, justru heranlah jika penghinaan tidak menimbulkan respon apa-apa.
Dunia yang semakin canggih ini mempermudah Informasi dan komunikasi namun tidak seimbang dengan bijak manusia dalam menggunakannya. Oleh karena itu penggunakan media secara publik harusnya mendapat kontrol lebih dari negara agar tidak melanggar batas terhadap norma umum yang berlaku. Adapun manusia melanggar norma tersebut harus mendapat teguran dari pihak berwenang dan mampu mempertanggungjawabkannya. Sebalinya, manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab atas apa yang mereka lakukan tentu akan bertemu dengan temannya, yaitu orang yang tidak bertangungjawab terhadapnya.