Minggu, 31 Maret 2013

Perampok dan Merampok

sebuah pemikiran mendalam yang saya ikuti ketika mengikuti PFPM (pengantar Filsafat Pemikiran Modern) bersama pak fristian di kelas 7. seperti biasa saya selalu tertarik dengan hal-hal berbau pemikiran ini karena pemikiranlah yang membuat orang itu berbeda-beda dan pola pikir yang berbeda pola.
hampir setiap pertemuan saya berada ditempat duduk terdepan dan dekat dengan tu dosen. walau masih muda dosen ini memiliki pengetahuan luar biasa super sehingga beliau sering memberika gambaran yang sulit, walaupun saya tetap susah untuk mengertinya. khusus rabu minggu kemaren aku merasa ada tekanan batin ketika berhadapan dengan kekuatan kalimat yang dilontarkan oleh dosen tersebut tidak lain adalah beasiswa yang diterima dari pemerintah itu adalah hasil rampokan untuk si miskin.
coba bayangkan orang Indonesia yang dikenakan pajak adalah orang kaya kemudian pajak itu disubsidikan untuk pendidikan si miskin berserta uang sakunya dalam pendidikan tersebut. sedangkan si kaya harus membayar mahal kuliah di UI (misalnya) 6 jt tapi si miskin bisa kuliah tanpa di pungut biaya (dikasih uang saku lagi). si kaya dan si miskin belajar di istitusi yang sama yaitu ptn UI namun si kaya bayar, si miskin tidak namun mereka dapat perlakuan dan pendidikan yang sama di institusi tersebuat.
pertanyaan besar bagi kita, jadi "siapakah yang perampok dan siapa yang merampok?" jawabannya sudah jelas yaitu "si miskin".
anda sebagai pelajar akademis pasti mengerti perasaan yang saya hadapi saat itu, terlepas dari semua tuntukan saya pada keadilan negara dan tuntutan hak saya mendapat pendidikan sesungguhnya saya menangis karena negara ini "merampok untuk masa depan saya".
demi masa depan yang lebih baik, demi harapan kebersamaan, demi harapan tunas bangsa, biaya pendidikan saya telah ditanggung dari SD hingga kuliah sekarang. tanpa adanya "sistematika perampokan legal" ini, belum tentu saya bisa dapat melanjutkan kuliah.
mungkin ini pernah saya tanamkan saat ilhamdi kecil di masa silam sana tengah sibuk belajar bahwa "perpolitikan Indonesia makin hari makin rusak, saya harus menghentikannya walaupun harus mencabut hingga akar-akarnya"

Sabtu, 23 Maret 2013

persoalan nikah dalam kamus saya

tiba-tiba terlintas dalam benak ku "nikah".....O_O'
kapan ya??? masalahnya sebenarnya bukan kapan, tapi ada gak??? :D
kadang saya tidak terlalu ahli dengan hal ini, kata ini pun muncul di tengah iseng2 kami bercanda-canda di sekre frm. mau tau sekre FRM UI --> http://www.youtube.com/watch?v=U0Zm2Jp-Sbw
 tiba-tiba pertanyaan berpaling pada saya setelah membicarakan si anu, si ani, si ane dah pada nikah semua. "antum kapan?"
Boooonnngggg,,,,,,,
kadang memikirkan hal ini pelik banget, jujur saya dah punya planning buat itu tapi tetap saja kesanggupan jadi hal yang utama. memangnya gampang memutuskan masalah ginian buat ihwan? ni butuh kesanggupan pinan sial eh, finansial cuiy :D.
klo dilihat dari sodara-sodara ku udah pada merit semua, tinggallah delast one.
gak kebayang deh, kuliah tinggal 2 tahun lagi. aku harus dah dapet kerja tetep nih. enterpreneur? (belakangan aja)
kadang aku merasa rindu sama orang yang akan menjadi istriku, entah bagaimana aku merasa yakin klo calonku ada dikehidupan ini. hahahahahahaha.......
TEMEN NIKAH
suatu ketika ada undangan indahan yang mendarat di meja sekre, saking indahnya sangat jelas disana terrulis walimahan,,,,ckckckckc ni lagi musim nikah nih. soalnya kemaren saya habis diundah juga oleh pak Tatang buat walimahan putranya ^^. tentu saja yang penting itu MAKAN BESAR ^o^)/"....perbaiki gizi kawan....
namun ketika undangan teman itu saya terima rasanya ada bagian hati yang terenyuh dalam dan beku. saya tau klo yang walimahan itu umurnya bahkan dibawah saya, klo dipikir2 mereka telah mempersiapkannya lebih dulu dari saya. saya dilangkahi......
hal itu lah yang memberatkan saya untuk berangkat memenuhi undangan tersebut, terasa banget sedih hati jika melihat di dahului temen yang lebih muda umurnya.
suka atau tidak suka rela atau tidak rela, saya hanya bisa yakinkan akan menikah tahun ini 2013 menjadi lapangan merah bagi perjalanan hidup ini. >: o

Selasa, 05 Maret 2013

Laporan Bacaan untuk Sejarah Politik Luar Negeri AS di Timur Tengah




Nama: Bisamz Novtiandi               (1006773704)
            Ilham                                ()
            Jonathan Nainggolan         ()
Topik: Krisis Irak 2003

Kajian Teoritis dan Historis Krisis Irak:
Operasi militer yang terjadi di Irak masih terus menjadi perdebatan bagi para akademisi walaupun telah berlalu sejak tahun 2003 silam. Keputusan untuk berperang melawan Irak seolah menciptakan puzzle dengan tanda tanya besar bagi Dunia Internasional, terutama terkait faktor determinan yang mempengaruhi politik luar negeri Amerika Serikat pada awal abad 21. Selain belum jelasnya intensi serangan, operasi militer menyisakan laporan mengenai besarnya cost (meliputi biaya dan korban) yang harus ditanggung untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein. Tidak hanya itu, nihilnya penemuan senjata nuklir mengejutkan dunia internasional yang diklaim sebelumnya bahwa rezim agresif Saddam Husein sedang menginstalasi senjata nuklir. Pembahasan puzzle yang belum terpecahkan tersebut pada akhirnya membuat isu ini menjadi signifikan untuk dibahas secara lebih mendalam. Sehingga, fokus tulisan ini berusaha menjawab research question: bagaimana aksi-reaksi kebijakan luar negeri AS-Irak periode 1990-2003? Untuk menjawab pertanyaan ini, pembahasan dibagi menjadi dua struktur. Pertama, kajian teoritis faktor determinan invasi Irak dari teori kebijakan luar negeri. Ke-dua, kajian historis mengenai kronologi peristiwa penting sampai dengan terjadinya operasi militer.
A.     Perumusan Kebijakan Luar Negeri Vs  Faktor Determinan Invasi Irak
Jika dicermati, penjelasan para ahli mengenai intensi Amerika Serikat yang ‘pada akhirnya’ mengeluarkan kebijakan luar negerinya untuk campur tangan menjatuhkan rezim yang berkuasa tidak dapat dirumuskan dalam satu skenario. Awalnya Kongres melalui beberapa dokumen yang dirilis pada bulan September 2002 dan Februari 2003 menyatakan bahwa Amerika Serikat memutuskan untuk melakukan operasi militer atas pertimbangan kepemilikan senjata pemusnah massal yaitu senjata kimia dan biologis (terutama spekulasi program nuklir Irak).[1] Hal ini menjadikan rezim Saddam Hussein sebagai diktaktor kejam (evil dictactor) akibat tidak mematuhi resolusi PBB berdasarkan dua dokumen yang diperoleh dari laporan intelejen, yang kemudian disebut September Dossier dan February Dossier.[2] Dalam perkembangannya kemudian, ditemukan juga penjelasan lain terkait isu stabilitas minyak, perang terhadap terorisme global, ancaman secara khusus terhadap stabilitas Timur Tengah dan secara umum terhadap keamanan internasional[3], demokratisasi atau bahkan muncul wacana dendam pribadi keluarga Bush.
Kebijakan Luar Negeri Versi Kongres (Bisamz)


Preventive War Vs Unnecessary War
Secara teoritis, keputusan untuk berperang dengan Irak didasarkan oleh penilaian yang ‘dilebih-lebihkan’ oleh penganut preventive war yang mengajukan beberapa klaim.[4] Pertama, kepemilikan senjata pemusnah massal yaitu Chemical Weapon dan Biological Weapon dan proliferasi senjata nuklir.[5] Ke-dua, Saddam Hussein merupakan evil aggressor yang cenderung irasional jika dicermati dari Perang Irak-Iran dan Irak-Kuwait.[6] Ke-tiga, dengan karakteristik yang irasional, Saddam dapat mentransfer nuklirnya pada kelompok teroris seperti Al Qaeda yang tentu bersebrangan dengan Amerika Serikat.[7]
Mearsheimer dan Walt secara implisit telah ‘membantah’ kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) untuk melakukan Operasi Militer di Irak sejak Februari 2003, satu bulan sebelum tentara AS tiba di Irak. Preventive war menyatakan bahwa rezim Saddam Hussein dengan karakteristik nekat, kejam dan tidak sepenuhnya rasional ketika ditambah dengan kepemilikan senjata nuklir menjadikan kombinasi yang sulit diprediksi, dicegah dan mengancam kepentingan Amerika Serikat. Sedangkan Merasheimer dan Walt menngungkapkan bahwa jika dikilas-balik pada masa lampau, walaupun Saddam Hussein kejam namun dapat ditangkal (deterrable).[8] Argumentasi tersebut meliputi tiga penjelasan yang akan dibandingkan. Pertama, Karakteristik aggressor Saddam Hussein. Kedua, Keberadaan senjata pemusnah massal Irak. Ketiga, Transfer teknologi nuklir pada teroris (Nuclear Terrorisme).
Pertama, penganut preventive war berpendapat bahwa rezim Saddam Hussein dengan sifatnya yang kejam, nekat dan tidak sepenuhnya rasional mengakibatkan Irak tidak dapat ditangkal walaupun dengan ancaman kredibel[9]. Di lain pihak, Mearsheimer mengungkapkan bahwa melihat ‘perilaku’ Saddam Hussein pada dua perang masa lalu yaitu antara Irak dan Iran serta Irak dan Kuwait menegasikan bahwa ia bersifat kejam dan nekat.[10] Agresi yang dilakukan Irak dalam perang melawan Iran merupakan bentuk rasionalitas dikarenakan strategi untuk mengamankan Irak dari dominansi regional Iran atas mobilisasi etnis Kurdi dan Shiah untuk menjatuhkan rezimnya. Sedangkan dalam agresi Kuwait, Saddam melakukannya atas dasar kepentingan nasional Irak yaitu Kuwait enggan memberikan bantuan pada Irak yang terkena depresi ekonomi. Tidak hanya itu, sejarah juga membuktikan bahwa Irak dapat ditangkal. Pada saat Perang Teluk, Irak tidak meluncurkan senjata pemusnah massal (senjata biologis atau kimia) dikarenakan ambiguitas dan khawatir akan serangan balasan dari pemerintah Bush. Selanjutnya, ketika PBB memperingatkan keberadaan tentara Irak di Kuwait dan penambahan pasukan AS, Irak menarik-mundur pasukannya dari perbatasan. [11]
Kedua, paham preventive war menyebutkan bahwa Saddam telah menggunakan senjata pemusnah massal terhadap rakyatnya (Kurdi), Iran, dan dimungkinkan menyerang Amerika Serikat. Faktanya Mearsheimer-Walt menunjukkan bahwa sekali lagi Irak dapat ditangkal oleh Amerika Serikat. Penggunaan senjata pemusnah massal (senjata biologis atau kimia) Irak hanya digunakan pada lawan yang tidak memiliki senjata ini. Perhitungan ini menjadi berbeda jika Irak nekat menyerang Amerika Serikat yang dapat membalas serangan yang lebih besar.[12]
Ketiga, penganut preventive war juga memprediksi bahaya transfer teknologi senjata pemusnah massal Irak kepada kelompok teroris seperti Al Qaeda. Poinnya adalah kelompok ini bersifat lebih nekat dan irasional untuk menyerang Amerika Serikat. Pendapat berbeda disampaikan Mearsheimer-Walt bahwa terorisme nuklir kecil kemungkinannya terjadi, atau yang disebut nuclear handoff. Hal ini berdasarkan dua argumen,[13] pertama, transfer kepada teroris tidak akan menambah keamanan rezim Saddam, kedua, jika transfer telah dilakukan Saddam tidak dapat mendikte kelompok teroris untuk menargetkan serangan.
Dari tiga penjelasan di atas, dapat dicermati bahwa rezim Saddam Hussein yang kejam masih dapat ditangkal (deterrable), terutama kemungkinan serangan terhadap kepentingan Amerika Serikat. Sehingga operasi militer yang dilakukan merupakan Perang yang Tidak diperlukan (An Unnecessary War).
Pergantian Euro sebagai Mata Uang dalam Perdagangan Minyak


Cadangan Minyak (Jonathan)

Demokrtatisasi (jonathan)

Pendapat lain: Dendam Keluarga Bush (Jonathan)


B.     Kronologi Krisis Irak Periode 1990-2003 (Ilham)
-         Perang Irak-Kuwait
-         Keputusan AS tidak dilegitimasi oleh PBB
-         dll
C.     Akhir dari Operasi Militer Irak (Dampaknya)
-         Akibat dan dampaknya, siapa yang menang? (Ilham)
-         Cost (biaya dan korban) yang ditimbulkan (Jonathan)
-         Tidak ditemukannya senjata nuklir. Diungkapnya laporan CIA (bisamz)





[1] House of Common Foreign Affairs Committee, The Decision to Go to War in Iraq, Ninth Report Of Session 2002-2003, Volume I, The House of Common, July 2003, hlm. 9.
[2] Ibid, hlm. 7-9.
[3] Devon M. Largio, Uncovering Rationale for War on Iraq: The Words Of Bush Administration, Congress, and The Media,  from September, 12, 2001 to October, 11, 2002, Thesis for Degree of Bachelor of Art in Political Science,  College of Liberal Art  and Science, University of Illinois, 2004, hlm. 29.
[4] John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt, “An Unnecessary War”, dalam Foreign Policy, January-February 2003, hlm. 58. Diunduh dari http://mearsheimer.uchicago.edu/pdfs/A0032.pdf pada 10 November 2012.   
[5] Ibid. hlm. 52.
[6] Ibid. hlm. 53-54.
[7] Ibid. hlm. 57.
[8] John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt, Op.Cit, hlm.50.
[9] Ibid, hlm. 52.
[10] Ibid, hlm. 53-54.
[11] Ibid. hlm. 55
[12] Ibid. hlm. 55-56.
[13] Ibid. hlm. 57-58.